Kamis, 10 Februari 2011

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK



Puisi Sejarah Nusa Utara



Iverdixon Tinungki



Aku Laut, Aku Ombak *)

taufan selat Basilan
mengantar mahkota enam kerajaan
bersusun tujuh abad
berbunga sastra ombak

sajaksajak hutan air, bau manuru
rambut perempuan di pangkal pedang
lunas perahu ditebang  laut penuh

api kubah langit
melontarkan berjutajuta panah hujan tropis
menembus serat kain keangkuhan
yang dikibarkibar orang di daratan

Inilah padang air pertapaan
katakata asin di tenggorokan
mengajar senyap berkilauan
di sayap kunangkunang air
ditebar guagua karang
membumbungkan gelombang
seperti tangan perempuan
menyelusup ke lubang hati malam
membangunkan gairah para sufi
menitis nafas enam kerajaan

tapi lautan tak membangun candi
bersusun arcaarca emas datuk
kecuali syair manusia perahu
melintas abad saga dan lembayung
menamai pulau dianugerahkan kecuraman laut
buat margasatwa beristirah
lalu berangkat lagi menembus waktu
hingga batubatu bersusun habis dilalap air
menjadi cairan manikam menebalkan kulit ari
membungkus uraturat kawat pelaut
yang berkilau di bandarbandar benua

aku pun berlayar menghadap dewa
yang tak pernah bicara
selain memberi pesan di tuas angin
yang menggendong badai
merubuhkan istanah sultansultan fasik
atau sesekali muncul di lautan kencana
di kawal lima buaya berkulit intan
memakan perompakperompak
akupun tiba dalam Humansandulage
di sampingku Tendensihiwu
derap perahu tujuh abad
merayapi kesunyian utara
di resik suara pesambo
merobek malam
hingga langit memunculkan terang
merebahkan bintang dan bulan
menjadi penuntun jalan
menuju istanah kedatuan

akulah laut, akulah ombak
ikan tak letih di pusaran arus
paus  hiu menunggang gelombang
dalam sejarah nenek moyang

di laut tak ada juragan dan kelasi
ketika puncakpuncak karang mengintai nafas
aku mengangkat layar mengarahkan kemudi
atau mendayung ketika angin mati

tak ada tempat bersembunyi
bila kuda angin berpacu
semuanya mendidih di api arus ganas
menguapkan kabut desingandesingan
seperti konser absurd yang megah
ketika sang dewi malahirkan anak lautnya
agar langit menurunkan tangannya
meneguhkan pengeran air
bertakdir bahaning nusa

2009
*) Filosofi laut dalam sastra bahari Nusalawo mencapai kekokohannya pada permulaan abad XIII, berasal dari enam generasi moyang tertinggi (Humansandulage-Tendengsehiwu, Datung Dellu-Hiwungello, Gumansalangi-Ondoasa, Toumatiti-Putri telur Sakti, Mokoduludut-Abunia, Lokongbanua-Mangimadamdele). Mereka perentas sejarah berdirinya 6 Kerajaan besar di Nusalawo yang bernafaskan kearifan budaya laut yaitu: Kerajaan Tagulandang, Kerajaan Siau, Kerajaan Kauhis – Manganitu, Kerajaan Kendahe – Tahuna, Kerajaan Tabukan dan Kerajaan Talaud. Serta beberapa kerajaan di Mindanao dan daratan pulau Sulawesi. Moyang-moyang itu adalah pelaut ulung yang berumah di ombak,  berjuluk “Bahaning Nusa” (Pahlawan Pulau).


Alamina *)


dari mindanao hingga bacan
berkisah mondelingen alamina
ampuang  mengajar kita syair dewa

o, aditinggi moyang tertinggi
pelindung alamina, pelindung kita 
pusaka kara, seperti pedang terhunus
di tangan sejarah menjernihkan nasib
dimana doadoa berdaun
dimana maarifat berakar
dirapal hulubalanghulubalang
agar laut tak letih, langit tiada mengantuk
membuka luasnya jalan bagi pendayung
karena mendayung, dayunglah  perahu
bersama seirama
searah setujuan
seperti tangan pasir yang banyak
membelai lautan serupa anak bocah
menjadi tak membahayakan

lalu terbetik cerita sukma selalu lusuh
seakan bumi tak berhenti menjadi tua
dan sejarah harus dibarukan
dalam gemerincing pedang beradu

anaksuku menggetarkan perang
membagi pulau atas nafsu, atas kuasa
menebas narang hingga menitikkan darah
dalam ketuban ajaran bertuah
kemudian melahirkan beberapa anak jadah

lihatlah moyangmoyang
di atas siong Kara, o
seperti guru letih mengajar anakanak durhaka
ketika jadi pemimpin hanya berpikir anak,
istri dan sanak saudara
rakyat di biar merana
penjahat dijadikan pahlawan
pahlawan dipenjarakan
ini keganjilan namanya!

maka berbijaklah ia
moyang ampuang Tatetu
sembilan kali menghadap dewa
membawa tangisan orangorang lembah
mereka yang hak kesejahteraannya dikorupsi para datuk
mereka yang hak kemanusiaannya diambil para datuk

o, moyang tertinggi, moyang aditinggi
empung upung amang, o
meminta ia alamina dibenamkan ke samudera
nedosa balagheng mau punya laut, punya pulau
punya semua, semaunya
beri air mata duka moyangmoyang
buat menempah, mengasah pedang perang generasibergenerasi
di atas laut yang dibawahnya terkubur sebuah negeri
dimana moyangmoyang dan peri
pergi menepi
membiar kita hidup sendiri

dan pulaupulau itu dinamai nusalawo
sebuah syair tua alamina
yang letih hidup bersama

2009

*) Ampuang Tatetu adalah seorang pemimpin spiritual (kulano). Sebuah mite dari masa purba di bawah 1500 SM  menyebut Alamina merupakan daratan pulau besar yang membentang dari Bacan hingga Mindanao. Pulau itu dipimpin kulano tua bernama Ampuang Tatetu yang dipercaya sebagai wakil dewa moyang tertinggi Aditinggi yang berdiam di puncak gunung Karangetang. Alamina di hancurkan dan ditenggelamkan  karena manusia tak lagi patuh pada hukum dewa moyang tertinggi (narang). Dari bencana besar itu, yang tersisa adalah puncak-puncak gunung yang kemudian membentuk pulau-pulau. Sementara hamparan karang di dalam laut di wilayah utara  muncul menjadi pulau-pulau karang yang baru. Karena letaknya jauh ke laut maka disebut pulau karang jauh di laut. (Malaude atau Talaude) Sisa-sisa dari reruntuhan Alamina itu oleh datuk Tatetu dinamakan Nusalawo (Pulau banyak). Saat ini orang menyebut kawasan pulau-pulau di utara daratan Minahasa itu dengan nama Nusa Utara. Padahal sebutan  Nusa Utara tidak tercatat dalam artefak sejarah dan mitologi Nusalawo. Peristiwa letusan gunung Awu yang menelan banyak korban jiwa serta hancurnya 7777 rumah di abad ke XI juga menenggelamkan sebagian daratan pulau Sangihe  dan membentuk pulau-pulau kecil seperti pulau-pulau Nusa, Lipang dan beberapa pulau lain hingga pulau Marore. Kejadian itu dikaitkan dengan adanya dosa sumbang (nedosa) antara Mekondangi dan Tampilangbahe.


 Keringat Bidadari *)



o ya kasiang
ia sengkatela su nusane
angkedung

dari Pyong Yang, putri Sang Iang di buang
bersama kedua orang tuanya Nio Aso
juga Sia Uw dan Ta Loo kedua saudara lelakinya
berakit bambu cina menuju utara
jauh sebelum perang manchu
moga di sana ada cinta
kerena di tanah asal perempuan dinista

Sang Iang menangis seribu satu malam
datangkan  iba Sang Hiang
bidadari A Hung direstu nunggang  Sang Hen
ke utara ikuti  air mata  
dalam kabut dalam gelombang
di sana diperciknya  keringat jadi daratan
negeri karang pulau khayangan

Tagh Alo Ang terusik tangis Sang Iang
dimintanya Ta I Fun  tebar gelombang
beraikan rakit  pengelana
pecahkan pulau jadi  kepingkepingan

kilau indah pulau  Ing Ang 
goda  burung langit Sang Hen
bersarang ia di Kara Nge Tang
Nio Aso tinggal di Man Dolo Kang,
Sia U di  Kara,  Sang Iang  di Tampungan
Ta Loo  di Aow Lo Tan

begitu adanya  nusalawo membentang
Tagh Alo Ang cukup senang
dipanggilnya Mekila- Medellu
membangun Ku Lan No di Tha Bu Khan

beratus tahun kerajaan itu berdiri persatukan negeri
sebelum Lorca menulis syair
bajak laut penemu pulau ringgit

2009

*). Mite keringat Malaikat Laut (bidadari Ahung) yang dipercik menjadi pulau-pulau Sangihe (Nusalawo) diperkirakan berasal dari masa awal migrasi bangsa-bangsa Mongolia dan Asia Belakang pada kisaran tahun 500-1000 (Zaman Hindu). Dikisahkan, seorang putri Cina bernama Sang Iang (Sangiang) bersama keluarganya di usir keluar oleh kaisar mereka. Menaiki rakit bambu dan terbawa arus ke lautan lepas. Keadaan tanpa harapan itu membuat putri Sang Iang menangis tanpa henti. Dewi Sang Hiang (Ilahi) pun ibah mendengar tangisan itu, maka diutuslah bidadari  A Hung (Antung=Opung=Empung=dewi laut) untuk memercikan keringat  menjadi daratan agar putri Sang Iang dan keluarganya  bisa menetap di sana. Tapi daratan itu pecah oleh amuk gelombang. Kepulauan  itu pun mereka namakan Sangi (Tangis). Tapi ada yang menafsir nama Sangihe diambil dari nama burung langit Sang Hen (salumpito). Juga dari kisah abad XIII dua orang putri kulano Mokodoludugh, kerajaan wowontehu bernama Uringsangiang dan Sinangiang yang menangis karena  hanyut dan terdampar di Manganitu maka negeri itu di namakan Sangi (tangis) bermakna; “yang tidak di sukai”.



Kulano Badolangi *)

O, wera dalai kanawo, e
E, wera mapia kadeho, o

beginilah sejarah laut kita;
mantra jahat jatuh
mantra baik hidup
dalam kelana moyangmoyang
kelana samudera zaman batu
pelayaran mite ke jantung abadabad
pendakian kecuraman laut
buat bertemu degup nafas dalam kebringasan
orang laut yang sabar ditarikan gunde

dan ketika kulano berdiri
datuk tempatkan di gerbang perempuan suci
petanda rahim bumi menantang kebranian memasuki

dulu kita mengenakan celana cawat
mengarip angin seperti kekasih mengusap kulit
lalu menancap batang layar
meninggalkan rumahrumah pohon tiang tinggi
dituntun roh moyang tertinggi
sebab di sebrang tak kelihatan
selalu ada negeri


o, alingan tumuwo, e
e, ensokang tumendang, o

meski dipindahkan tumbuh
meski  digeserkan bercahaya
di atas laut beludru perak
moyangmoyang belajar bijak
menghitung waktu dan hari baik
pada alasan langit menempatkan bintang
getaran bulan menambahkan potongan
liang angin melepas raungan
agar ayam berkabar pasang surut
buat bininta berumah samudera

dan kau pun datang dalam cerita lama yang perkasa
seperti matahari melepas cahaya ke guagua
buat anak cucu belajar kearifan
narang ditempah di ketajaman panah dan sumpit
dari mongolia, asia belakang, campa, mangindano
bertemu alamina negeri tua yang telah runtuh

o, Badolangi mendirikan kulano molibagu, e
e, buat  balagheng nusalawo, o

hingga zaman Sriwijaya
anak cucu terus mengembara
melintasi laut buat bertemu dunia baru
berperang dengan goa di molibagu
berpindah ke lokon malesung
membangun kulano wowontehu
bertahan di bentenan, tersuruk ke belang
berlayar ke talise bangka
mendarat di mandolang
di depannya manarow yang gagah
Mokodoludugh cucu Badolongi
memindahkan kulano wowontehu ke sana
berkuasa  dari talaud sampai kwandang
mengajar kita bangsa pemilik lautan

2009

*) Badolangi adalah Kulano (pemimpin spiritual) dan salah seorang pemimpin para pengembara  balagheng (rumpun keturunan) Nusalawo yang hidup di permulaan abad ke XIII. Ia pengajar kearifan tradisi laut dari moyang-moyang. Ia mendirikan kedatuan di Molibagu dan berperang dengan Bugis untuk melebarkan pengaruh.  Dari Molibagu, cucu Madolangi bernama Mokoduludugh (Mokoduludut) yang menikah dengan anak Tonaas Wangko Pinontoan bernama Baunia, memindahkan balagheng Nusalawo  ke utara gunung Lokon (Malesung) dan mendirikan kedatuan Wowontehu (Bowontehu=di atas dataran tinggi=). Karena pengaruhnya yang luas dari Talaud hingga Kwandang Gorontalo, maka ibu negeri dipindahkan ke pulau Manarow (Manado Tua) karena dipandang lebih strategis menjadi ibu kota kedatuan Wowontehu. Ketika itu wilayah teluk Manado masih bernama Mandolang, sudah menjadi Bandar yang ramai pada abad XIV .



Gumansalangi Ondaasa *)

medimpule Patiku selaeng
dimpulaeng

dari timu day berlayar ke selatan
menunggang seekor naga
karena ia punya laut
kerena pulau punya ia
ampuang… aku Gumansalangi, aku Ondaasa
guruhgemuruh guntur  kilatan api
berpendar lima cahaya lautan
buat terangi sebuah peradaban
di atas laut ada laut
di atas pulau ada pulau
di bawah ruata ada   ampuang
di bawah ampuang ada kulano

lima diriku damaidamai, o
lima diriku indahindah, o

di gemulai keanggunan gunde
bertakdir Ghenggona
bertakdir kondaruata
bahwa tak ada anak tanpa bangsa
           tak ada bangsa tanpa negara
           tak ada negara tanpa rakyat
maka kubangun dimpulaeng Salurang
tampunganglawo anak cucu
buat kebaikan tumbuh menerangi dunia

Salu iupung timpuang su walang tampungang
naung tenda iupung
Iapaka disihe susangi egegua
Sukabekaseng ngu elo,
nenualage kebi,
apa leto mapia.

2009
*) Gumansalangi dan istrinya Ondaasa, adalah keturunan dari leluhur tua Nusalawo (Timu Day) di Mindanao (dimasa purba kawasan Nusalawo membentang dari Bacan hingga Mindanao selatan). Gumansalangi,  seorang pertapa dan guru ilmu kebijaksanaan masa purba. Peletak dasar struktur dan sistim pemerintahan kerajaan-kerajaan di Nusalawo, dimana pemimpin tertinggi Ampuang. Di atas Ampuang ada Duata atau Ilahi pencipta segala yang ada. Di bawah Ampuang ada Bawikingan (orang terpelajar), mereka merupakan  Kulano-Kulano (pemimpin kerajaan). Di bawah Kulano ada Gundeng (pegawai atau pelayan raja)).   Ia juga guru ilmu agama purba dan kesusasteraan. Di abad ke XII ia dan isterinya memimpin pelayaran orang-orang Nusalawo dari Mindanao ke pulau-pulau Sangihe, lalu ke daratan Minahasa dan Bolaang Mangondow. Mereka menetap lama di Mangondow hingga dipandang sebagai nenek moyang orang Balaang Mangondow dengan sebutan  Gumalangit-Tendengduata.  Dari Mangondow mereka   kemudian kembali ke Mindanao.  Lalu dengan menunggangi seekor naga mereka datang lagi ke Sangihe dan  mendarat di gunung Sahandarumang. Kedatangan mereka di sambut gelegar guntur yang dasyat serta sambaran kilat yang menyala-nyala. Oleh orang Sangihe mereka pun dijuluki Upung Dellu dan Sangiang Kila. Ia mendirikan kedatuan (Kararatuang) pertama di Sangihe dengan nama Tampungan lawo dengan ibu negeri di Salurang pada 1300-1350. Kedatuan ini berkuasa dari Bacan hingga Mindanao. Dalam perkembangan kemudian kedatuan ini berubah menjadi kerajaan Tabukan (Sahabe) atau nama sasahara-nya Dimpulaeng. Setelah wafat, ia diyakini menjadi Ampuang (arwah suci=moyang tertinggi).  

 



Tuan Residen Jellesma*)


sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1677
di kirim ratu Belanda jadi hantu

sejak itu, negeriku dilanda banjir peperangan
seakan kutuk menjelma dongeng darah
penolak bala
hanyut dari Eropa
bersengketa karena rempah

paderipaderimu berkata: kami tak punya Tuhan
lalu berkhotbah seperti dewa
dan Tuhan yang sama
diajar spanyol, portugis dan gujarat
dilarang disembah

tuan residen Jellesma…
cerita ini sudah lama
tapi kau tak lupa berapa gulden pajak babi potong
kami menyetor dua puluh lima persen
ke kas kerajaan Belanda
lalu kau ambil lagi empat gulden dari setiap wajib pajak
moga kau pun tak lupa berapa gulden pajak pendapatan
berapa hari kami jalani  kerja paksa, untuk tuan,
untuk kakikaki tangan tuan

tuan Residen…
apakah kau tahu berapa harga saudara kami
yang terjual di pasar budak Madagaskar dan Brasillia?
berapa kerugian kami dalam kebijakan pemotongan cengkeh
berapa nilai budaya kami yang kau larang
berapa desa yang kau bakar
berapa rakyat yang kau tembak
berapa pahlawan dan raja kau bunuh dan mati di pengasingan
untuk membangun kemegahan Belanda di milenia kedua
di mana benderamu berkibar di atas sejarah busuk
di atas tanahtanah jajahan Hindia Belanda

tuan Residen Jellesma…
kau tak usah merasa dosa
puisi ini kutulis sekadar refleksi sejarah lama
karena setelah kami  enam puluh empat tahun merdeka
sejarah itu kurang lebih sama:
sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1945
di kirim dari Jawa jadi hantu

lalu sangsaka mengibar kemegahan jakarta
di atas sejarah tangis dusundusun miskin merana

tapi tuan residen Jellesma…
bedanya… aku tak berani bertanya ke istana
berapa harga darah para pahlawan yang gugur
untuk merebut kata: Indonesia Merdeka
bila merdeka hanya untuk segelintir wilayah
segelintir orang

tuan residen…
di sini, saat ini, bicara tak dilarang
di masa ordelama antara dilarang dan tidak dilarang
di masa ordebaru dilarang
di masa ordereformasi tidak di larang
yang jadi persoalan saat ini
apapun kita bicara tak didengar pemerintah

begitu ceritanya…Indonesia Merdeka!

2009

*) Residen J. E. Jellesma, seorang pejabat Belanda, pada tahun 1899 mengeluarkan kontrak menyatukan kerajaan-kerajaan di Nusalawo ke dalam enam daerah politik otonom (Swapraja). Raja yang dulunya di pilih rakyat, diganti dengan penguasa yang di angkat pemerintah belanda. Menerapkan pajak yang berat, diantaranya pajak potong babi sebesar 2 gulden perekor atau 25 persen dari harga seekor babi ketika itu. Selain itu diterapkan pajak perorangan, pajak rumah dan harta benda, pajak pendapatan, serta kerja tanpa upah sebanyak 42 hari setiap tahunnya untuk kepentingan proyek pemerintah, berlaku bagi semua orang yang berusia 18-45 tahun, kecuali keluarga raja dan aparat pemerintah. Kebijakannya ini menimbulkan perlawanan rakyat yang disambut dengan tekanan bersenjata, pembunuhan, pembakaran desa, penangkapan dan pengasingan. Pemerintah Belanda berkuasa di Nusalawo sudah sejak 1677.  Kekuasaan  Belanda dan bangsa Eropa lainnya (terutama: Spanyol dan Portugis), dipandang sebagai “pekerjaan setan” (peralatan setang).   Seperti datangnya bala seiring tibanya sebuah perahu besar dalam ukuran mini yang memuat pendayung dari boneka kayu. Dalam upacara penolak bala Nusalawo purba, bila sebuah desa mengalami kesusahan atau kemiskinan, maka mereka membuat ritual menghanyutkan perahu besar dalam ukuran mini yang memuat pendayung boneka-boneka kayu ke laut lepas agar bala itu hilang. Tapi, menjadi celaka bagi desa lain dimana perahu mini itu terdampar, karena kutuk segera berpindah kesitu. Untuk menolaknya lagi ke laut mereka harus menyembeli banyak binatang sebagai korban darah, dan melepas lagi perahu mini itu ke laut lepas. Perahu lagi-lagi terbawa arus menuju pantai yang baru untuk menebar kutuk yang sama.




Gubernur Padtbrugge *)


ketika datang moyangmoyang menghadap Padtbrugge

mereka mengancungkan kepal dan berseru; gubernur…
jangan lagi kau janjikan kami jabatan apapun
karena mulutmu penuh khianat
hatimu tak pernah tulus
tak bangga kami kau beri  pejabatpejabat boneka
orangorang terlatih mengkhianat saudara
kau seperti spanyol dan portugis
barbar yang berlindung pada agama
padahal datang mencuri rempah

dengan 1180 tentara bulan november 1677, katamu
kau pukul spanyol dari ullu bagi kami, katamu
kau datang sebagai pelindung baru
kemudian kau bakar desa rakyat arangkaa
kau bunuh larenggam
kau tembak manganitu
kau gantung bataha Santiago
kau asingkan para pemimpin
kau penjarakan para pahlawan
kau biarkan rakyat diperdagangkan seperti budak
dan kau minta kami tandatangani kesepakatan
bahwa kau pahlawan
dan kau ambil semua yang kami punya
kau adu kami untuk perang saudara

wahai gubernur…
bagi kami kau sama seperti pendahulu
sama seperti Pieter Both
sama seperti Jan Pietersen Coun
para pengemban monopoli kekuasaan
kaki tangan kompeni
yang tak segan membunuh
untuk kepentingan laba dan untung

gubernur…
dulu ketika kau ditugaskan ke ternate dan maluku, katamu
itu misi kemanusiaan dan perdamaian
padahal kau tipu Kaitjil Sibori
semata untuk mencuri

dan kini saat kau kuasai benteng Sancta Rosa
kau panggil kami dalam nama;
“yang mulia tuan franciscus xaverius Batahi
Raja Siau dan pembesarpembesarnya”
“mari tandatangani kesaksian bahwa aku
telah melakukan segala tugas kemuliaan
bagi kerajaan dan yang mulia ratu. Bahwa kamu sekalian
merasa terlindungi oleh kompeni
yang ku pimpin”

wahai tuan gubernur…
jangan lagi meminta apapun dari kami
karena engkau licik
karena engkau pendusta
karena engkau serakah
karena engkau telah lama mati
ketika puisi ini selesai ditulis.

2009
*) Padtbrugge, adalah seorang Gubernur Belanda yang bertugas di Ternate dan Maluku, untuk mengamankan kepentingan Kompeni (VOC) dalam monopoli perdagangan rempah serta perbudakan. Pada 1 November 1677, ia memimpin 1180 tentara bersama Sultan Ternate Kaitjil Sibori menggempur Kerajaan Siaw. Setelah berhasil mengalahkan Siaw dan mengusai benteng Sancta Rosa yang dibangun Spanyol, ia menekan pula seluruh kerajaan di Nusalawo ( Kerajaan Tabukan, Tahuna, Kendahe, Tagulandang) dalam perjanjian penaklukan, diantaranya pembakaran seluruh tanaman cengkeh di kepulauan itu, pembakaran budaya dan ajaran-ajaran lama, serta secara licik  memaksa raja-raja memberi kesaksian palsu atas tindakannya yang melanggar perjanjian perdamaian antara Belanda  dan Spanyol pada tahun 1648 yang mengakhiri perang 80 tahun kedua negara.




Raja Katiandagho
dan Sultan Mangindano

semakin tinggi ilmu,
semakin tinggi kesaktian
sultan pun menantang uji kesatriaan

Sultan Anlik menculik Nanding permata Siaw
dan pangeran Pahawuateng
ia menantang kesaktian datukdatuk selatan
apakah laut sudah menjadi guru

tantangan bersambut betapapun mangindano bukan musuh
Raja Katiandagho  berangkat dengan kora Bitapapero
empat puluh dua pendayung membawa kebesaran Manganitu
bukan mengganyang perompak Sulu
tapi beradu kasatriaan di istana mindanaow

sesampai dikibaskannya lenso
menerbangkan Nanding Pahawuateng ke perahu
Sultan pun mengutus Liungseke pertontonkan ilmu
menggentarkan hati empat puluh pemberani

Katiandagho, berarif tau matei
melihat ilmu bukan sekadar permainan sesuka hati
ilmu tertinggi membajak lahan menjadi kebun hijau
menjaga bandar agar semua pelayar bebas bersinggah
menghormati perempuan, karena hatinya
tak dapat kita ambil dengan paksa
memimpin kerajaan seperti ibu bapa menjaga anaknya

bertandang ia ke istana Sultan
dijamu beras dan air dingin
ia pun menanak nasi di atas piring
dengan api di kelima jari
tapi sultan belum mau mengakui

di sore hari Sultan mengajaknya mandi
di berinya sungai waktu kering
Katiandagho merapal mantra air pun mengalirkan derasnya
karena ingin beri pelajaran diubahnya remah lumasan
jadi lebah penyerang Sultan

Sultan ternyata tak jua jerah
di tantangnya baginda laga terbuka
ia meminta dua pasang pendekar tanding  di arena
Sultan melawan baginda
Liungseke melawan Lakauwang Bahaning Nusa

babak pertama, Sultan melecutkan api membakar segala
baginda menenggelamkan kota dan istana sebatas dagu manusia
babak kedua, tak berlangsung lama
Liungseke di belah Lakauwang menjadi dua

Sultan Anlik berserah kalah
dijawab baginda dalam perang tak ada menang
semua menjadi abu dan arang

2009
*) Katiandagho Liuntuhaseng, raja kerajaan Manganitu yang memerintah di tahun 1740-1770.  Pada tahun 1750, Kantiandagho menyanggupi permintaan  bantuan raja Siaw, Yacobus Hahontondali, untuk membebaskan putri Siaw, Nanding dan Putera Pahawuateng  yang di tawan Sultan Anlik di Mindanao.  Sultan Antik menantang Raja Katiandagho adu kasaktian sebagai syarat pembebasan, yang berakhir dengan kemenangan Raja Katiandagho.







Sambo Ghenggona*)

Tuhan sajak bungabunga, bungabunga sajak Tuhan
Dalo dalo ia medalo mesuba Ruata
sembah  syairsyair   nafas, nafas syairsyair sembah
Ghenggona Langi Duatang Saruruang
kelip bintang tepi duka, duka di kelip bintang
Iamang ianang Fattimah magenda putung
amuk ombak samuderasamudera, samudera amuk ombakombak
Su hiwang Baginda Aling
pujaan sajaksajak laut, laut sajaksajak pujaan
Dalo dalo ia medalo
Keperkasaan semesta mata ibu, ibu mata semesta keperkasaan
Ghenggonalangi medadingan su gaghenggang
hati lepuh cair di ratap mantra, mantra ratap di lepuh hati
Iamang ianang Fattimah magenda putung
ya Esa… esakan duniaku, dunia esa ya…Esa
Su hiwang Baginda Aling
dari arasaras jalan menikung, menikung jalan arasaras
Dumaleng suapeng nanging
menuju denting surga, surga harapan denting hati
Manendeng mbanua mbanua Duatalangi
menuju kupu menapsir cahya, dan cahya menafsir kupu
Sole tama sole buntuang taku makibang
yang mencari pagi punya matahari, kerena matahari punya pagi
0, Biahe sukakendagu Ruata, e

2008

*) Sambo (Sasambo) adalah syair pemujaan dan pengajaran (sasasa). Sejak Nusalawo masa purba sasambo dinyanyikan dengan mengunakan Tagonggong (alat tetabuhan). Ghenggona (Ghenggonalagi=Ruata) adalah ilahi pencipta semesta dan pemimpin para moyang tertinggi (dewa). Pesambo (orang yang menyanyikan sasambo) biasanya mengubah syairnya secara spontan mengikuti cita rasa hatinya. Syair itu dibawakan secara berbalasan antara beberapa pesambo. Estetika sasambo terletak pada ornamentasi kanon dan rima bunyi bukan pada makna diksi.

Tatimongan *)

 

Naiang batubatu

o, Medorong si upung dellu

o, penembali
penembali su wanua

wahai penguasapenguasa
doakan rakyatmu
doakan doa di atas doa  
ia yang beri kau kuasa
doakan kesusahannya

wahai para arif bijaksana
beri rakyat kehidupan
beri kehidupan hidup di atas hidup
pada dia yang beri kau kehidupan
beri jalan ia bertemu kesejahteraan

kepada siapa rakyat berkeluh kesah
kepada siapa rakyat memohon keadilan
kepada siapa rakyat meminta tuntunan
bila kehidupan diambil dan dipinggirkan
dipinggirkan dipinggirnya pinggir

o, penguasapenguasa, e
o, para arif bijaksana, e

bila rakyat risau
bila rakyat hampa
bila negara dianggap bencana
ia akan pergi meski tak tahu entah ke mana
pergi entah kemana pergi

o, mohon yang di langit, e
o, besertalah
bersertalah penyertaan
berpuncaklah doa di langit doa
di puncak sembahyang
kiranya meniti di air asin
kencana di lautan  emas

2008


*) Tatimongan adalah syair doa pengharapan (penolak bala) orang Nusalawo. Tatimongan biasanya dinyanyikan saat hati merasa putus asa. Sastra Titimongan yang terindah dari abad XIII karya putri Kulano Wowontehu, Uringsangiang berjudul: “Tatimongan Umbolangi”. Syair itu dituturkannya saat Bininta (perahu) kerajaan yang ditumpanginya hanyut terbawa arus angin selatan. Dalam  Tatimongan-nya  ia memohon agar ayah ibunya serta rakyat kerajaan mendoakan keselamatannya.

 



Syair Tangisan Uringsangiang

ya aduh kasihan
sekiranya aku burung gerangan
ya aduh kasihan
aku terbang ke pulau hakekat
ya aduh kasihan
aku tak dapat menimbang pikiran
ya aduh kasihan
aku dipangku sang keasingan

ya aduh kasihan
aku tinggal di sini
ya kamu
ya aduh kasihan
kamu tak bawa aku bersama
ya kamu
ya aduh kasihan
berharap aku angin pendorong
ya kamu
ya aduh kasihan
jangan tinggal aku sebatang kara
ya kamu
ya aduh kasihan
aku tidak menghendaki rumah
ya kamu
ya aduh kasihan
aku hendak berumah di perahu
ya kamu

2008

*) Uringsangiang, putri dari datuk Mokoduludugh, raja kerajaan Wowontehu. Ia dan perahunya  hanyut di abad XIII dan terdampar di pulau Sangihe. Dari syair tangisannya itu juga  diperkirakan nama Sangihe di ambil (Sangi=Tangis). Namun yang terpenting dalam kebudayaan tua Nusalawo, menangis punya tradisinya sendiri. Baik itu tangisan kesakitan, pedih dan putus asa serta tangisan duka, sudah ditata dalam bentuk sastra yang teratur. Jadi siapa pun yang menangis mengikuti tradisi itu. Tak heran kalau ada duka, orang yang menangis, ratapnya kedengaran  seperti nyanyian. Di Nusalawo purba tangisan adalah nyanyian.



Kakumbaede Lohong Kadadima

laut gunung tahta budaya
menyimpan wangian pusaka lama
diberi sang langit
diberi sang moyang
dapatkan untung di dalamnya

o, ambil leluhur guntur
o, ambil leluhur cahaya

jadilah untung selamat
jadikan ajaran kebaikan
menguncup di sekalian kaum kerabat
seasal seturunan sekeliling pun
ya…seasal seturunan sekeliling pun

2008

*) Kakumbaede adalah syair pemujaan dan pengajaran. Lohong Kadadima (kekayaan negeri). Berupa ajaran bertuah, hikmat ilahi, ajaran moyang-moyang suci. Bisa berupa benda berharga seperti emas, perak dan intan permata yang tersimpan dalam bumi.
 
Pantun Lokongbanua II *)

hidup tolongmenolong
jangan dilolonglolong
meratap siang malam
bikin hati jadi kelam
nasib bertakdir sulit disangkal
kau kan terpencil  sukar tak berpengharapan
hidup sengsara pasti berlara
makan cukup maka segala tak kurang
bila kau jadi raja bikin rakyat tak susah
sebab waktu tak lama, sebelum kematian bersinggah
seindahnya cantik manusia, tak semulia gunde kerajaan
gemulai dalam ketulusan mengajar hidup berkesantunan
berjalan di pantai purnama hendaknya mengingat ajaran tetua
lapar haus dan dahaga tak membuat kau kalah menyerah
jangan hidup seperti ayam berak di cabang tidurnya
kau diperjalanan tak seorang menghiraukannya
bila mendayung mendayunglah bersama
sebab yang sampai hanya yang setujuan

2008

*) Lokongbanua II, raja pertama kerajaan Siaw. Memerintah tahun 1510-1540. Ia anak dari Pahawonsuluge-Hiabe Lombun Duata. Lokongbanua II dikenal sebagai raja bijaksana dan ahli sastra purba. Bentuk pantun semacam ini termasuk dalam sastra “Sasasa” atau petuah.  Sebagai catatan: Dalam sejarah Nusalawo, tercatat ada tiga orang yang memiliki nama Lokongbanua yakni; Lokongbanua I anak dari datuk Binsulangi dengan istrinya Sitty Bay (putri kerajaan Ternate) Mereka tinggal di Bolaang Mangondow. Lokongbanua I kawin dengan Sinangiang (anak Kulano Mokoduludugh-Baunia)dan melahirkan beberapa orang anak, diantaranya Binangkang (Datuk Binangkang) dan Kasiliadi. Sedang Lokongbanua III anak dari datuk Mokoduludug dengan istrinya Baunia Pinontoan.  Lokongbanua III menetap di Manganitu. Lokongbanua III dikenal sebagai ahli sastra penghiburan.

 



Suguli Bininta *)



Menondong pato wulaeng
Dalukang komerong intang

dari alamina menuju dunia terbuka
ahung melayarkan laksamana
ingangingang laut menemui benua
upung dellu sangiangkila menaiki naga
buat bertemu sahandarumang

mebua bou hangke
benteng beong pangiladeng

o… nulasawo
kamu anakanak laut bebas
rumahmu ombak
hidupmu arus
jalanmu bintang
kamu bininta
dibangun sejak moyangmoyang
di atas batu alasan
di atas batu tumpuang
di atas doadoa mantra kemenangan
karena hidup adalah kehormatan

dalai tuluden darong
papia pudding gahagho
soletamasole

maka tak kau ambil bukan yang kau punya
sebab yang kau punya kebaikan
rencahlah ombak
rencahlah ombak
rencahlah ombak
kiri di kanan
depan di belakang
di atas di bawah
karena pucuk itu hidupnya di akar

2008

*) Saguli adalah syair pembuatan bininta (perahu). Menurut ajaran moyang-moyang (narang) setiap bininta yang dibuat harus diberi jiwa bahagia. Karena laut adalah kehidupan yang dijaga seorang dewi Ahung, maka yang bergerak di atasnya hanyalah kehidupan. Sebab yang tanpa jiwa akan dibenamkan.  Tak ada kehidupan tanpa penyatuan kosmik manusia dengan alam (Filosofi Sasahara dan Sasalili). Sejak zaman purba Nusalawo terkenal dengan sejarah bahari yang adiluhung. Orang Nusalawo dikenal sebagai para pelaut yang berani. Ini sebabnya negeri itu memiliki kekayaan khazanah sastra bahari (sasahara) yang luar biasa. Kesaksian paling dipercaya tentang kebaharian Nusalawo diungkap Ferdinand de Magelhaes yang datang ke Nusalawo pada tahun 1521, mengisahkan dimana kerajaan-kerajaan di Nusalawo telah menjalin hubungan dengan dunia barat, Amerika dan Arab ketika itu. Kesaksian yang sama muncul seabab kemudian (Tahun 1689) oleh  Pieter Alstein dan David Haak yang mengunjungi pulau-pulau Talaud.     



Bawowo*)

buat anak kekasih… Tuhan
mubarak  doadoa
mubarak doadoa
diucap syair air mata

doa berpucuk…
doa berpucuk…Tuhan
seperti pohon berdaun
o, pohon berdaun

jangan menangis…
jangan menangis… Tuhan
keindahan takkan berbagai
nyanyian takkan mengarib

tumbuhlah tinggi
jadilah pemimpin
seperti di syairkan intan
seperti dinyanyikan intan

anak doa. anak kekasih
anak Tuhan, anak terpilih
hati kuberi, impian kuberi
bertahta harapan, bermahkota kemuliaan

2008
*) Bawowo adalah sastra dendangan buat menidurkan anak.



Kakalumpang *)


kukur kelapa terkukur hatiku
anakanak gadis melepas selendang pergi ke dapur
menunggang kakiraeng  senandungkan puisi agar cinta bersampai
perjaka datang meremas minyak menanti cinta melambailambai

berdendanglah tradisi upung tautkan cinta merindurindu
puisi berganti kerlingan,  menari di mata  meresap ke impian
pabila bulan sampai ke tanggal hitungan, datanglah kasili berkahi nikah
pesta di gelar tujuh malam, pertanda berkah berkelimpahan

kakalumpang lagi dipentaskan berisi syair goda menggoda
di pelaminan raja dan ratu bersanding rasa
elok pesta diukur pantun tak habis-habisnya
pabila bulan sampai ke tanggal hitungan
inang bersandung tidurkan cucunya

kakalumpang seribu tahun mengkukur hatiku
dari dongengan ibunda mengajar memerah santan
menjadi minyak memoles uniknya peradaban
pabila bulan sampai ke tanggal hitungan, kurindu istriku bersyair
  serupa inanginang:
“menyatakan cintanya senantiasa terentang”


2008

*) Kakalumpang adalah tradisi sastra lisan Nusalawo purba yang dinyanyikan saat mengukur kelapa. Musik yang mengiringi nyanyian itu adalah bunyi yang ditimbulkan saat mengukur kelapa. Berisi syair-syair kelakar (Syair nalang) yang menghibur serta syair-syair cinta yang menggoda hati. Tradisi ini dimaksudkan agar para pekerja pengukur kelapa melupakan rasa penatnya menghadapi pekerjaannya. Dalam perkembangannya Kakalumpang menjadi seni pertunjukan  di kerajaan dan kenduri di masyarakat.



Gunde *)


gemerisik berbisik bayu wewangian lima perawan
gemulai sambutan bagi tamo kerajaan
lambang kehormatan tak habishabisnya
agar negeri aman dari kutuk dan kekhilafan

gemerisik berbisik bayu wewangian tujuh perawan
gemulai sambutan bagi pengantin suci pualam
lambang kehormatan tak habis-habisnya
agar turunan terbekahi kearifan dan kecakapan

gemerisik berbisik bayu wewangian sembilan perawan
gemulai sambutan bagi datu dan para dermawan
lambang kehormatan tak habis-habisnya
agar negeri tersanjung di mata segala peradaban

tagonggong rancak beriringan sambo
bersyair pujian sembah datu dan rakyat
kehormatan diberi  hanya kepada yang terpilih
kerena sekali disujud hidup mati dihormati

2008
*) Gunde (Tarian Gunde) adalah tarian adat Nusalawo untuk  penjemputan tamu kehormatan di kerajaan. Tarian ini diiringi musik Tagonggong dan nyanyian syair sasambo. Sebagai tarian magis dan sakral, tarian Gunde  pada masa purba dan dimasa kerajaan hanya boleh ditarikan oleh para perempuan suci. Di masa lalu, para penari gunde bisa menari dalam keadaan terangkat dari atas tanah (melayang) karena kemagisan dan kesakralannya.   Tarian Gunde adalah seni tradisi yang teragung dalam sejarah seni tradisi Nusalawo.


Maselihe *)

di bawahnya pancawarna betapa dalam
kota lama tenggelam di Samansialang
menara keemasan menghujam wajah perawan
bangkitkan birahi hiuhiu penjaga gerbang kerajaan

dan air menyaput batubatu dalam dongeng perih sejarah
mengalirkan hatiku ke selatan menemui pulau
dipuncaknya putri dan Jibril bersendagurau
menatap dukaku tersangkut di pucuk bakau

di pinggang Awu itu tapaku mendaki
berkehendak menggali magma
dibalik lahar  mengering
moga empung memberi sebuah batu nyala
akan kubawa buat api bara anak cucu di pulau sana

maselihe,
hidup memang terapung terombang ambing
tapi yang muncul: munculah
       yang tumbuh: tumbuhlah
       yang terapung hidup
       yang terombangambing bercahaya

2008

*) Maselihe( Laut Berarus)  adalah sebutan lain untuk kerajaan Kendar (Kendahe-Kandahar). Di masa raja ke III kerajaan kendar bernama  Samansialang(Samsu Alam) yang memerintah pada tahun 1585-1711, Istana kerajaan kendar yang berada di tepi pantai tenggelam dan  amblas ke dalam laut bersama daratan Kendar lama akibat letusan gunung Awu pada tahun 1711 dan letusan susulan pada beberapa masa berikutnya. Dalam legenda Nusalawo, kejadian ini dipercaya sebagai hukuman para dewa Moyang tertinggi atas perbuatan dosa (Nedosa) yang dilakukan raja. Dikisahkan raja Samansialang mengawini  anaknya.  

 




Putri Porodisa *)



laut karang
gunung karang
cinta haram
di laut tenggelam

di atasnya mentari
di atasnya langit
di bawahnya pasang
di bawahnya surut

angin  berkabar
Woi merindu Wando datang dari abadabad

anak laut pun bernyanyi:
upungupung baroa
anggile uwae
wae i pa ura
i pandamu ghati

seekor bangau menatap dengan ibah:
sio rotowe
tuarinu edoi we

ribuan tahun lewat  Wando baru tiba
ia gaib  pelangi diselip badai sesudah hujan
bukit manongga matanya kelana
rengkuh gunung puncak tiga
menanti kora gedang
dikayu, dipukul seribu hulubalang porodisa

terangkailah wangi lawa  seribu bintang
andai kau tak bimbang, biar kusuntingkan
sebelum malam sembunyikan  kecantikan
engkau  menantiku dalam  setiap detakkan

ribuan tahun tiga wowon membelukar binatang liar
karang matahari masih serupa kawan
jumpa pagi pisah senja
lama menanti ribuan bayang  mati
putri menyepi pulau odi tak bersua Wando
rindu setengah mati

alkisah ini biarlah tutup sampai di sini !
o… jangan! kata perempuan  dari waktu lain
cintaku tak perlu bertukar seribu planit
seribu  tahun tapa apa guna tak bersua kekasih disayang

“perjaka memilih menghilang
daripada cinta bertukar tapi adat tak kenan”

saat cerita itu sampai putri tak jua putus asa
dari seutas rambut dibentangkan jembatan pulau odi
siapa tahu, seribu tahun lagi
dari seribu bintang Wando  datang kembali
merangkai lawa buat cinta abadi
“serupa karang mentari 
dua kawan setia berbagi”

2008

*) Legenda Pohon Lawa (pohon mistik, yang berbau wangi, berbunga uang, berdaun kain, berbatang emas, berakar tembaga). Lenggenda purba ini mengisahkan seorang putri Talaud (Porodisa) yang jatuh cinta pada seorang dewa (Wando) penjaga pohon lawa yang bertumbuh di bukit Manongga pulau Kakorotan. Karena cinta itu melawan adat, maka Wando dan pohon lawa lenyap. Sementara putri dihukum dibenamkan ke laut. Di dalam laut ia membangun sebuah kota bernama Odi. Hingga kini masyarakat Kakorotan pada masa air surut bisa melihat ada jalan dari daratan menuju kota Odi di dalam laut. Beberapa tetua di tempat itu pernah melakukan perjalanan mistis ke negeri Odi dan berjumpa dengan putri. Kota Odi adalah tempat putri menanti Wando menjemputnya kembali.
   


Pahawo  Suluge*)


di Kanang gadis cantik lama tak berkabar
sejak ibu melayang ke khayangan
ayah pun (stresssssss buanget) terusterusan negak sipa
(katanya sih, babe) mau bunuh khayalan
kecantikan ibu terbayangbayang
andai ayah patuh aturan
bulu ayam tak perlu dibakar bersama hutan
karena hati selalu butuh pujian
semenamena ia buat kekejian
ketika ibu  diangkat awan
menangis ayah kehilangan putri khayangan (sedih de gue)
aku bertanya pada cendawan kemana jalan menuju khayangan
katanya harus aku manjat tali hutan lewati awan tujuh lapisan
berangkatlah aku ke negeri awan dipandu lalat dewa dermawan
akhirnya (wah seneng buanget)
berjumpa ibunda tersayang
netek padanya selama tujuh malam
tapi ayah tak tahan ujian (nih bacot lagi khan)
berdusta ia pada Ghenggona
Ghenggona tau segala isi hati ciptaan
hukuman kembali ditimpahkan dilempar kami ke negeri buangan

(Sebagai catatan kaki: negeri buangan itu kota Manado
Kami jadi kaki lima di sekitar pasar empat lima
Itu orangorang yang digusur itu
Menggenaskan dikenang)

sedang di Kanang gadis cantik sudah lama tak berkabar
betapa rindu aku pulang  meraih selendang di  pemandian
menangkap satu bidadari  bertandang
dan aku takkan membakar hutan 
biar cintaku tak melayang terbang

2008

*) Legenda kulano Tua Sengse Madunde dari Siaw yang mengawini putri khayangan yang di tangkapnya saat mandi di air sembilan (Ake Siow). Dari perkawinan mereka mendapatkan seorang putra yang diberinama Pahawo. Karena Madunde lupa terhadap larangan membakar bulu ayam. Suatu ketika ia menyapu halaman dan membakar rumput terbakarlah bulu ayam yang asapnya mengangkat istrinya kembali ke khayangan. Pahawo yang terus menangis mencari ibunya menimbulkan ibah seekor lalat, maka ditutuntunlah mereka ke kayangan dengan memanjat tali hutan. Sesampai dikhayangan dan berjumpa dengan istrinya, Madunde kembali melakukan kesalahan yakni berdusta pada dewa. Maka mereka di lempar dewa ke bumi dan jatuh di pulau Sulu. Ini sebabya nama Pahawo (jatuh) di tambah Sulughe (pulau suluh) yang artinya orang yang jatuh di pulau Suluh.



Watahi Maemuna*)


pucukpucuk api
nyalakan cinta puncak tinggi
tercurah lidalida lava membara
merengkuh laut menjadi kabut hujan
dahan-dahan pala
karangetang seperti paporong kemegahan
dalam hikayathikayat cinta kedatuan;

dan kora Tabukan bersinggah di siaw
dikawal bininta pasukan datuk
itu armada Delero sepulang menjemput Maemuna
putri Tabukan yang berubah telur
buat menolak tipuan cinta sultan Maluku

o, memandang negeri elok  subur, e
e, Maimuna berkenan mandi di pancuran datuk, o
dari gunung air memancur
mendinginkan hati Maemuna  sedang hancur

cantik  wangi tubuh putri berjiwa luhur
luluhkan hati Watahi diraja Siaw
dilempar cincin titah cinta leluhur
tersanjung Maemuna bersedia hidup sekamar sedapur

Dalero senang adiknya dipinang raja Siaw
perkawinan  mendamaikan dua seteru
dua kerajaan upungseupung
biar bersama hadapi musuh dari Sulu dan Maluku

Sultan Maluku tak senang dengar kabar itu
digandengnya Belanda menghajar Siaw
Watahi Maemuna ikut bertempur
karena cinta kehormatan leluhur
mereka tak mundur
meski beribu serdadu gugur
negeri Siaw ikut hancur

2007

*) Watahi (Don Fransisco Batahi) adalah raja kerajaan Siaw  yang ke V memerintah pada tahun 1640-1678. Ia menikah dengan Maemuna seorang putri kerajaan Tabukan (Sahabe).  Perkawinan mereka mendamaikan persengketaan dan dendam lama  dua kerajaan atas terbunuhnya raja Makaampo Wewengehe  (raja Tabukan yang pertama) tahun 1575 oleh Panglima perang kerajaan Siaw, Hengkeng Naung (Hengkengngunaung) dan Ambara seorang bahaning dari Tamako.  Anak mereka dinamakan Daramenusa (Pendamai Negeri). Dilain sisi perkawinan Watahi-Maemuna menimbulkan dendam bagi  Kesultanan Ternate. Karena sebelumnya Maemuna menolak cinta Sultan yang memintanya menjadi isteri. Meski sudah dibawa ke Ternate tapi Maemuna dengan kesaktiannya mengubah dirinya jadi telur. Maka perkawinan pun tak bisa dilaksanakan. Setelah dijemput Dalero saudaranya untuk pulang ia kembali berubah jadi manusia.  Atas peristiwa itu Sultan Ternate menggandeng Belanda menggempur kerajaan Siaw.  Perang ini merupakan perang terbesar kerajaan Siaw yang memakan banyak korban jiwa. 



Hengkeng Naung *)


laksamana gagah diraja Siau
pemimpin ribuan bahaning nusalaut
di atas puluhan kora, berjaya ia sampai ke laut Goa
menempur Belanda datang mencuri rempah

Hengkeng Naung seperti Hang Tua
legenda samudera ditakuti  bajak laut
dentam genderang petanda ia pulang 
berkabar negeri aman dari perusuh seberang

tersebar namanya sampai Madagaskar
dibincangkan kadet Portugis, Spanyol, dan Belanda
tak sekadar ia laksamana biasa 
titisan datuk moyang keberanian
baneha berkibar mantra terapal
di bininta depan ia memimpin perang

Walak Minahasa meminta ia
menggempur musuh di negeri Toar
mengingat ikatan saudara  Makasiow
dihancurkannya ratusan musuh
di lembahlembah kasuang

di Tanalawo,  Makaampo  undang  tanding perang
tak gentar Hengkeng Naung  bertandang
Makaampo boleh mengangkat ikan jadi bara
dipukul Hengkeng Naung  lari ia ke batu persembunyian

Hengkeng Naung dihormati Tabukan, Manganitu dan Kendar
bersahabat Ambara bahaning Tamako
bersama mereka tumpas Makaampo
bebaskan Tanalawo dari raja barbar

Hengkeng Naung sakti berperang di lautan
seakan Taghaloang bunda melahirkan
ia mengajar keperkasaan pelaut kerajaan
biar berani melayar hingga ke kutup utara dan selatan
2007

*) Hengkeng Naung (Hengkengngunaung), adalah panglima perang kerajaan Siaw sejak masa kekuasaan raja ke III, Pontowuisang tahun 1575-1612 hingga raja-raja berikutnya.  Ia  bertempur dalam sejumlah perang besar kerajaan Siaw melawan Kusultanan Ternate dan Belanda, serta melawan Kerajaan-kerajaan Mindanaow. Ia pemberani dan ahli strategi perang laut. Bersama Ambara bahaning Tamako tahun 1575 mereka mengalahkan Raja Tabukan, Makaampo yang terkenal bengis dan kejam. Tahun 1640, Minahasa menghadiahkan pulau lembeh kepada Hengkeng Naung karena jasanya membantu Walak-walak Minahasa memenangkan perang dengan musuh-musuhnya. Tahun 1643  ia menewaskan raja Bukalakombang dari Maiwogung dan Makaalo dari Talawaan.  Tahun 1644, ia memenangkan perang melawan pasukan Angkola putera dari raja Mocoagouw, dalam peristiwa itu daerah Singkil Sindulang menjadi daerah pampasan perang kerajaan Siaw. Tahun 1645 ia menaklukan Kedatuan Kaidipang dan Bolangitang hingga menjadi bagian dari kerajaan Siaw hingga tahun 1665.


Tuang Jotulung *)



Takaengetang raja Manganitu
saudara Mahengkalangi raja Tabukan
gelar Jotulung tak sembarangan 
bijak fikiran bisa ia hentikan perang

mangkat Mahengkalangi bikin dua saudara berebut kerajaan
nafsu kuasa menutup jalan keselarasan
Dalero Pandialang pecahkan tabukan jadi utara selatan
berperang siang malam  untuk tujuan tak berkejelasan

mendengar Tabukan di rundung malang
Takaengetang datang melerai persengketaan
menawar ia daripada perang lebih baik adu kesaktian
Dalero pandialang pun sepakat ke medan uji keperkasaan

kesaktian adalah kekuatan  kecekatan dan kearifan
kesaktian berasal dari Ghenggona kata Takaengetang menjelaskan
mengelilingi tanah lawo dengan kora itu persyaratan
siapa menang jadi rajanya, yang kalah jadi jogugunya
biar tabukan bebas dari bencananya

bertarunglah kedua anak raja menangkan mahkota singgasana
dua kora di dayung iringan rancak gendang
sakti Dalero memotong tanjung dengan kora hingga terbelah
menanglah ia karena direstu Ghenggona mengenakan mahkota

Tabukan tak lagi bergelimang darah
dari perang antar saudara
Takaengetang sudah membuktikan
ia Jotulung bukan sembarangan

2007

*) Jotulung (Tuan Penolong) adalah gelar dari Kerajaan Tabukan (Sahabe) yang diberikan kepada raja Kerajaan Manganitu Takaengetang atas jasanya memadamkan dan melerai perang saudara berebut tahta kerajaan antara Dalero dan Pandialang. Ia menawarkan dari pada perang sebaiknya kedua pewaris tahta  melakukan adu kesaktian lewat tanding perahu kora-kora mengelilingi pulau Sangihe. Tanding itu akhirnya dimenangkan Dalero (Markus Jacobus Dalero)  yang kemudian dinobatkan sebagai raja Tabukan yang ke VI, berkuasa pada tahun 1718-1724.  Dalam tanding itulah Raja Dalero dilegendakan sebagai manusia sakti yang bisa menabrakkan kora-koranya ke tanjung Batunang di Batunderang yang membuat tanjung itu terpisah dan membentuk  terusan. Kejadian yang sebenarnya, Dalero secara diam-diam meminta bantuan seorang bernama Daeraengkonda dari Batunderang untuk menggali terusan di tanjung Batunang, agar dalam tanding perahu tersebut ia bisa memotong jalan yang lebih cepat. Karena pekerjaan penggalian  itu dilakukan secara diam-diam oleh Daraengkonda, maka semua orang percaya bahwa Perahu Kora-kora Dalero-lah yang memotong tanjung itu hingga terbelah.


Raja Bataha *)



di bawah senja
puluhan kora tenggelam
membawa keberanian
amanah

api menjilati lautan
telah lenyap dihisap ganggang
terserap karang

Batu Mbakara
benteng terakhir itu
bertoreh bangga
putraputri Manganitu
perkasa membela tanah airnya

sebutlah Bataha… 
bila engkau ingin belajar kearifan raja
duka rakyat duka baginda
luka rakyat luka hatinya
manganitu bukan sekadar nama
di dalamnya bertahta jiwanya

jangan rampas sejengkal tanah
sebelum langkahi mayat raja dan  rakyatnya

kora bininta lambang Manganitu berjaya
berkali mampu memukul kapal Belanda
di Batu Mbakara Manganitu menang gemilang
bahaning nusa  seperti barah 
ditempa seribu dewata

menangis tanjung memandang raja
ditipu sanak saudara
taktik penjajah pecah belah Manganitu dan keluarga
bahaning beo diupah mengkhianat baginda
di bawahnya Bataha ke mahkama belanda
sekali maju Bataha pantang mundur selangkah
sekalipun merenggang nyawa di gantungan
ditolaknya ampunan
Manganitu dibelanya dengan darah dan jiwanya
meski penghianatan patahkan perlawanannya

Bataha memahat nusa dengan cinta
di bawah langit di lihatnya samudera
dititipnya rahasia pada gelombang dan cakrawala
moga di suatu pagi
ditemukan cucu cicitnya menjadi nyala jiwa

2007
*) Bataha ( Bataha Santiago) adalah putera raja Tompoliu. Ia menjadi raja Kerajaan Manganitu ke III berkuasa tahun 1670-1675. Ia raja pemberani yang mengalahkan Belanda dalam perang Batumbakara di pantai Manganitu dengan berhasil menenggelamkan kapal-kapal perang Belanda. Tapi ia kemudian ditangkap Belanda  dan dihukum gantung di tanjung Tahuna tahun 1675. Dalam persidangan di mahkamah Belanda ia menolak pemberian ampunan dari Ratu. Ia memilih mati dari pada menyerah pada Belanda. Oleh pemerintah Indonesia ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan namanya diabadikan pada Korem 131 Santiago.



Larenggam *)

ina ina o
yau ite tuwo mbatue
te tuwo mbatu wulaeng  o

dan darahmu cerita negeri itu
Porodisa Wowon  Duata di sayapsayap  air mata
mite kabut asap karangkarang Makatara
seperti nadi memompa darah sejarah
jadi syair para kapita ratu mbanua
mengantar kau perang di Arangkaa, Larenggam…
lalu di tangan Inanginang tambor di pukul kulano berdiri
woiwoi  menari menyulam cinta
di atas tanah  senantiasa tersembeli
kebiadaban barbar  Spanyol,  Portugis
menangkap lelaki dijual
ke tuan-tuan kebun kopi Madagaskar hingga Brasillia

dan kau namai “Porodisa”, Larenggam…
menamai tiangtiang arang di atas jasad rakyat perkasa
bersama erang bau kemenyan menyetubuhi mantra-mantra
di mata para lelaki yang tangannya terkulai dipatahkan Belanda
kearifan leluhur dibakar dipancung Jepang
lalu… sepuluh ribu lelaki  kembali ditangkap
stigma kebengisan orba
semuanya mengalir di setiap percikan darahmu
di sudut “Arangkaa” kau pun menafsir, Larenggam…
berapa pucuk api agar raung negerimu mendidih
biar pemberanipemberani kembali mengancungkan sambeang
merebut kemuliaan kakumbaeda sang Wando
karena perang tidak saja diArangkaa
juga dalam setiap keping hati terluka
elang rajawali
uda makat raya
tinonda napombalu
“arangkaa” makatara
sulit dicari dalam peta sejarah nusantara
Larenggam…beratus putra gugur di sana
dalam kisah syair manusia nusa
yang berikhtiar meraih kemenangan

2006
*) Larenggam (Larenggang) adalah pahlawan gagah berani dari Arangkaa, Talaud. Ia memimpin rakyat Talaud berperang dengan Belanda. Ia kemudian gugur dalam perang besar di Arangkaa bersamanya dibumihanguskan Arangkaa oleh Belanda. Wilayah kepulauan Talaud sejak masa Kedatuan di Nusalawo yang dipimpin para Kulano dan masa Kerajaan yang dipimpin oleh Raja, pemimpin rakyat setempat(raja setempat) di wilayah itu secara bergantian berafiliasi dengan kekuasaan Kedatuan Siaw  serta Kedatuan Tabukan. Baru pada Tahun 1922 Talaud memiliki kerajaan, dengan raja pertama Johanis Tamawiwy berkuasa pada tahun 1922-1930. Selanjutnya raja Cornelius Tamawiwy tahun 1930-1936. Wakil Raja A, Mokoagow 1936-1945. Dimasa penjajahan Belanda banyak orang dari negeri ini di tangkap dan di jadikan budak di Brasil dan  Madagaskar, termasuk raja Kerajaan Manganitu Matheos Don Lazaru 1725-1740 yang diasingkan Belanda ke Madagaskar, Afrika Selatan.
                  

 



Sastrawan Tatengkeng*)


kadet spanyol portugis dan belanda
mendengar nyanyian resik nelayan Sangihe
di kegelapan samudera
mereka gembira dalam kerja
mereka berpengharapan di tanah lautnya
dan kau menulis tangisannya dua abad kemudian
sebuah kesaksian sajaksajak melepuh
di atas tanah airnya
syairsayair berdarah dalam perampokkan bersenjata
kompeni mengambil tanah laut kita
buat hosti yang mulia ratu dan pangeranpangeran eropa

dan sajakmu berperang seperti kasatria moyangmoyang
seperti Chairil diangkatan berikutnya
yang memilih jadi binatang jalang daripada hidup terjajah
lalu di pegangsaan pukul 10 pagi, ketika itu 17 Agustus di tahun 45
proklamasi diangkasakan, memerdekakan tanah dan laut kita
dari empat ratus tahun yang terus kalah

tapi kemudian  kau tulis lagi;
“kita penumpang kelas tiga di kapal bangsa”
seperti politik belanda, kemerdekaan melahirkan kasta
merobek sejarah bahari moyang kita
yang berlayar, mengemudikan kora dengan gagah berani
ke malaka, pasai, batavia, hingga afrika

dan sajakmu berperang lagi dalam rindu dan dendam
mendobrak feodalisme Indonesia lama
seperti Taufiq Ismail dan Rendra menggedor pintu kemuliaan palsu
para pemimpin pemerintahan yang hanya pandai berorasi
bodoh berdemokrasi tapi keranjingan berkorupsi

di ulu dulu kau guru
mengajar kearifan negeri laut
hingga nelayan berbagi dendang
kini runtuh jadi dongeng kekayaan laut
kapalkapal asing menangkap ikan
empat puluh ribu ton ikan di curi pertahun
dan konon tentara nasional kita tak berdaya
menjaga luasnya negara
karena keterbatasan peralatan
dan lumpuhnya kebijakan
yang menyokong program pertahanan kedaulatan
lalu pulaupulau kita menjadi negeri ringgit yang meringgis
harga pala, cengkeh, kopra dimainkan bayers
dan anakanak yang dulu kau bangga
kini tinggal menjual hak dan martabatnya
pada para politisi yang membayarnya lebih murah dari harga
seekor bibit babi untuk mendapatkan kursih
dalam pilkada dan pemilu negeri ini.

J. E. Tatengkeng…
lihatlah Tardji ia menangis dalam sajak luka…
dan seorang anak membaca puisinya di podium
perayaan hari kemerdekaan: “Tanah air mata,
tanah tumpah dukaku”

“di sinilah kami berdiri
menyanyikan air mata kami”

2006

*) Sasterawan J. E. Tatengkeng, lahir di kota Ulu Siau, Sangihe Talaud, 19 Oktober 1907. Meninggal di Ujungpandang, 6 Maret 1968. Ia salah seorang pendiri Universitas Hasanuddin.  Menjabat Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT) tahun 1949. Buku sastranya yang termasyur adalah “Rindu Dendam” terbit pada tahun 1934.





KEMBAKU*)

(sebuah sajak  perang)

kepak kembaku
kepak aum
aum gunung
aum lembah
aum tanjung
aum taghaloang
aum lukaku
di pucukpucuk pala, di pucukpucuk ombak
aum meraung
Lohoraung Melikunusa Madellu Wandoruata
aku bertanya; siapa usik  kembaku

seribu laut
seribu gelombang
seribu pesisir
seribu bimbang
seribu hampa
aku bertanya; Siapa remuk lautku

siapa ikat aku hingga aku tak bisa pulang upungku
pulang padamu memukul gendang kemenangan
mandolokang karangetang nusalawo porodisa
dengan kora berkawal bininta
nyala doa berkesiuran
keringkan lepuh perih
agar kupunya jalan pulang ke-peradabanku

aku bukan orang asing di negeri leluhurku
aku lahir dari rahim nafas pulau lautku
senantiasa mendebur, menghempas, mendentam
jangan rampas ini dariku
sekali kau ambil kembaku mengaum

                   jupung pangangumbalerang, e
                   o, timalentu mangapia

Wahai… ingangingan, o
biar  kembahatiku mengaum, e
rancakrancak tagonggong
gelegargur guruhgemuruh lava
jiwa mesambo…hati sasambo
beribu bininta
mesasahara
mesasalili
mesalo…mepasasalo
sasalo perang
perang ini perang kita
perang nusa terluka
“Dumaleng ia dumaleng
Lumempang ia lumempang

Kere lempang i wahani

Maning setang
Maning datu
Sumata ia kawasa”
kembaku  terbang dititiskan upung bara
amuk liang  wajah-wajah pecah
entah oleh apa dan kerena apa
laut tanahku  bianglala  kabut
 jiwa menguap entah oleh maksud apa
aku marah upung
marah kembaku
marah kembaku
suara kembaku
gemerincing dusun
membela lembah
amuk taghaloang
amukmengamuk  ombak  bininta
aku datang; restui aku Gengghona
menyeru  Awu ke Karangetang
berlompatan ke Wowon Mandeeta
menjaga Napombaru
ia kai nabi
ia kai Kristus
patiku kawasa
maning setang

maning datu

su mata ia kawasa
merapal ini upung
merapal kemiskinan Nusaku
seperti persemaian  disirami, ditanami
bersemi tangis gubuk pelosok mengulai

kupanggil engkau upungupungku, o
dalam kembaku, o
dalam suara kembaku, o
kembaku kini terbang, e
mengepak kuat di atas tangis bangsaku
ual patah ual
kau patah siri
ual patah ual

kau patah siri

ual patah ual
kau pata siri
beri aku kekuatan kembaku
Lasiri kukangkangi gunung
Bebalang kumandi sari patuku
Bantane kupanggil wando
bangunlah anak laut
dendang sambo; mesasalili mesasahara
dentum Tagonggong; mesasalai mesasasalo
kelung diangkat; pelonihaka sarang paka haka
baneha mengelegak seribu bininta dalam dada
kita sedang perang
perang hati  terluka
perang nasib  terbiar
Perang nusa ini  perang kemba
maiang suwowong ngalo
maentolang su tadetene
maning mekila medelu

dorongang ikami anging kansingang

kansingang tamalalawe bukide
ore lai mesasenggetang
mesengge kere apa
Wade kai weteng
tatendae witu kinalongsang duitang
nau masuhampa pesasirungan
pekekelungan selambungang
bininta di air naiklah
mamenongkati Ghengghona
anak-anak laksamana
bunda melepasmu wangi manuru dan patuku
di pintu
di jiwa
kamulah Hengkeng Nusa
putra utara anak laut
setibanya di pantai
hanya menggenggam kata menang
kerena bininta
sekali berenang
takkan pulang
tanpa
ketukan
gendang

2006

*)Kemba (Burung Kalalemba- Elang Laut). Bagi masyarakat Nusalawo purba dinamisme  hingga masa kedatuan dan kerajaan meyakini burung Kalalemba punya kehidupan mistis atau menjadi sarana para dewa atau moyang-moyang memberi pesan (kepercayaan man’na). Setiap gerak-gerik dan suaranya memberi petanda keadaan baik atau buruk.  Suaranya akan terdengar lantang dan resik jika memberi pentada malapetaka atau perang. Maka para pemimpin dan pemberani (Bahaning Nusa) segera menyiapkan diri menghadapi keadaan dengan menggelar ritual penolak bala atau ritual perang. Saat itu mantra-mantra sakti segera di turunkan.





Dukaku Duka Pingai Fansuri *)


dari laut perahu Fansuri datang ia ke dukaku
bersama airmata tigapuluhsatu sultan dan empatsultanah
dari empat  abad berkabar mereka tentang bencana:
Acehku berduka!
berduka Aceh dalam dukaku
matanya kelam
tak bercerita ia kecemerlangan Peureulak dan Pasai purba
rumah elok  sanjak memuja tarian burungburung pingai
seperti cerita datukku tentang para Syekh menulis tasawuf dan sufi
buat berbagi  cahya ke negerinegeri tersembunyi
ia memang  menangis

menangis ia dalam dukaku

sejak zaman Syiah Kuala selalu kubaca Aceh nan indah
datuk-datukku pernah bersinggah  di bandar-bandarnya
belajar kesatriaan dari kitab Teungku Chik Kuta Karang
tapi kini datang berita memilukan
ratusan ribu orang mati dihantam  tsunami di Acehku
ratusan ribu orang Acehku kumakam dalam dukaku                        
karena dukaku, duka Fansuri
bersama airmata tigapuluhsatusultan dan empatsultanah
doaku, doa Fansuri di sayapsayap pingai
terbang mengiringi perjalanan ribuan jiwa ke negeri abadi

2006
*) Puisi ini jenis kakumbaede duka. Syair penghormatan dan ucapan belasungkawa. Diajarkan pertamakali oleh Kulano tua Badolangi di abad ke XIII, dan dikembangkan oleh Mokoduludugh cucunya yang menjadi raja Wowontehu (Bowontehu). Kakumbaede jenis ini biasanya dinyanyikan dalam keadaan meratap atau menangis di depan jenazah. Peureulak dan Samudera Pasai, adalah negeri-negeri yang menjadi tempat tujuan para pelaut Nusalawo dahulu kala seiring pelayaran mereka menuju Malaka, Batavia, Manila dan Siam. Di peureulak dan pasai  mereka berdagang, belajar mantra, dan belajar agama Islam. Negeri itu memberi kekuatan pada siar Islam di Nusalawo sejak berabad-abad silam. Bahkan mantra-mantra tua dari khazanah Islam ikut memperkaya kosa sastra mantra di Nusalawo.

 



Ritus Toar Lumimuut *)

Opo Wananatase…

Laut utara berkisah Emung
berharum bunga sembilan penjuru
menguntum doa Karema 
di angkaangka keramat

senja naik senja turun
bulan naik bulan turun

e, royor…

bukit, gunung, lembah, sungai, laut, hutan, rimba, satwa
burung, kupu, anoa, ular, manguni, ikan, kerang.
melontarkan warna ke udara
menjadi kuba pelangi mengindahkan senyap
menyambut kereta langit mengantar seorang dewi
Lumimuut…
kamu datang
datang kamu
datang  sajaksajak Emung
dirapal Karema siang malam
dihadapan Empung Wangko
jadi ibu sejarah Minahasa 

E royor…

bersinar kecantikan elok bumi
detak Emung di jantung waktu
tidurlah di batu puncak gunung
tidurlah di batu puncak gunung
tidurlah di batu puncak gunung
muaikan rahim
syairsyair pernikahan purba
menjadi  Toar  yang kau lahir

Opo Wananatase…
Empung Wangko kau punya rahasia Agung
punya Kau kehendak waktu
berkisah tongkat tuis
tumbuhkan nafas Emung yang gaib
ToarLumimuut…
kamu dari satu menuju sembilan
ritus  Minahasa  puisi purba anak cucu

2004

*) Toar-Lumimuut adalah legenda Purba Minahasa yang mengisahkan kedatangan leluhur orang Minahasa. Leluhur ini melahirkan sembilan orang anak yang menjadi pemimpin Walak (Sub suku) Minahasa. Di Nusalawo dikisahkan seorang putri Minahasa keturunan Toar-Lumimuut bernama Abunia, dari klan Tonaas Pinontoan, menikah dengan putra Nusalawo, Mokoduludugh pada abad ke XIII. Dari pernikahan itu mereka mendapatkan tiga orang anak masing-masing:  Yoyubongkay (Raja Kerajaan Bolaang Mangondow pertama), Lokonbanua II (raja kerajaan Siaw pertama), Bulango (Perintis kerajaan Tagulandang, yang kemudian mendudukan anak perempuannya bernama Lohorauang, sebagai raja pertama). Pada beberapa fase kemudian, keturunan Mokoduludugh dan Abunia ini menjadi raja-raja di semua kerajaan di Nusalawo.



Alabadiri *)

tarian istana diciptakan baginda raja
buat membaca gerak hati rakyat

memanglah berbeda bila membaca kisah rajaraja Eropa
berbudak banyak berselir banyak, berkuasa tiada batas
berkuda melintas desa membuat malu debu mendekat

putriputrinya berkereta kencana dihela kuda ras dewa
menatap anggun ke depan seakan di sekitarnya tak ada kehidupan
gaunnya bersantin bersulam benang emas
karena bila dipinang jadi pengantin hanya oleh bangsawan berkelas

tersiarlah berita baginda Dalero mengelilingi desa
mau mendengar ia keluhkesah rakyatnya
didapatinya semua orang mengatup bicara
bersila taklim  dihadapannya serendah gulma

sekembalinya di istana hatinya diremas duka rasa bersalah
bagaimana bisa hidup ia di tengah rakyat tanpa suara
bagaimana bisa menimbang salah benar bila rakyat tunduk semata

di depan istana, baginda raja memandang laut tropis yang panas
mengenang datukdatuknya menantang gelombang angin selatan
bumi tua mewariskan ajaran keselarasan tanpa kelas bangsawan

datang malam ia memandang bintang bumi utara
moyangmoyang yang menjelma cahaya
menuntun pelayar bertemu pantai purnama

berhari berbulan tapa hati mendaki lampawanua
menyusur kecuraman sahandarumang yang lelah
burungburung menyimpan kicaunya di kegelapan hutan

beginda pun bermimpi moyangmoyang tinggi
memasuki istana memancung kepalanya
yang mengenakan topi besi berumbai bulu berwarna pelangi

malam itu baginda terjaga
diambilnya tinta dan alat penulis
di lembaran kertas putih diguratkannya kreografi

kerja semalaman menggetarkan kerabat kerajaan
karena baginda ternyata mengeluarkan titah
dalam gambargambar gerak hati rakyatnya

di kenduri kerajaan Alabadiri pun dipentaskan
kerabat raja dan pemerintah eropa tertunduk lemah
sebab baginda telah mengundangkan;
rakyat berhak menundukkan raja
bila hidupnya tak selurus garis lautan
bila kekuasaannya tak setulus keihklasan bintang

2004

*) Dalero, adalah raja kerajaan Tabukan. Memerintah di tahun 1892-1898. Ia mencipta tari “Alabadiri”. Tari Alabadiri adalah tari pemerintahan yang dilakukan di istana  Raja dimana rakyat menyampaikan kehendaknya melalui gerak tari dan alat – alat yang dipakai pada jari telunjuk, ditunjuk kelangit dengan pengertian bahwa seorang Raja atau pemimpin harus hidup putih bersih sebagaimana cicin yang dipakai pada jari talunjuk menunjuk ke langit sebagai suatu sumpah. Kemudian pisau yang ada di pinggang diangkat juga kearah langit untuk menyatakan bahwa jika Raja berlaku tidak adil maka rakyat akan melawan / memberontak. Gerakan tari ini mengikuti bunyi tambur. Tarian ini pun menjadi dasar inspirasi penghapusan perbudakan di kerajaan-kerajan Nusalawo, serta membangun semangat perlawan rakyat dan pemerintahan kerajaan-kerajaan terhadap kekuasaan Belanda yang feodalis, militeristik, menuju kemerdekaan bangsa Indonesia.




Talaud *)


puncak piapi menyimpan rahasia hutan
magma gunung telah lama mati tertimbun humus
melecutkan pucuk kayu hitam dan besi menjejar langit
dalam barisan pohon, batang rotan dan semak pakis
bertempur seperti serdadu kelembaban
mengalahkan angin kering melayukan urat

nyanyian luri di resik zaman
mengabar gemuruh lebat hujan tropis
mengkilapkan sayapsayap merah hijau birunya di labirin awan
memayungi kebun palawija, kacangkacangan yang gemuk
kelapa, cengkeh, cokelat, kopi, sagu, aren tegak bahagia
kegembiraan petani bertebar seperti sumur harta kaisar dan ratu
penuh manikam permata  tak habis terpakai seumur waktu

Maleo bertelur di gembur pasir
membiarkan matahari mengarami anaknya
menetas di pangku pengasihan alam
buat kemeriahan pesta langit
di tepi bumi yang alami

ketang kenari mengerat kelapa menyisahkan remah
buat satwa yang lemah
anaianai melobangi tiang rumah
bertengkar dengan semut hitam yang mencuri telurnya
di balik dentum ambora, tanjung ombak abadi
yang terus bergelora
menggairahkan anakanak penyu belajar berenang
melecut gairah semangat kebaharian anak nusa

o, di dataran pulaupulau indah ini…
harusnya tak menetas rinai geram perbudakan
luka terbuka abad silam menanah di gema nanaungan
pengudusan kenduri Mahadia Ponto-Pasilawewe
menjatuhkan Kabaruan seharga kepingan logam mas kawin
lalu memborgol kepak gagah bangsa raja Elang
menjadi tekukur taklukan di kerangkeng pasar jual beli
di mangsa makaampo, dihisap lintah kopeni 
persis di lekuk pantai molek menggeriapkan warnawarni ikan

tataplah dari Wowonduata pelampung air mengangkat pulau
seperti tangan Tuhan langsung membentuk lekuk tubuh anak gadis
meliuk gemulai membersitkan kecantikan sempurna hamparan karang
yang menebing dan datar atau menggembul
di dada benua berkilau perak pasir putih
pulaupulau tropis Pasifik yang dimasak dua musim
menjadi nona berpinggul padat memancar gairah
di ranjang beludru hijau pepohonan hutan
yang merebahkan tubuhnya membuka terusan jembatan pulau
dari tinonda sampai napombalu laksana kereta surga
menuju kutai, philipina, malaka, batavia
dan dunia baru di abad yang belum tiba

kelelawar terbang di tengah malam
suruk mengintai dengan gigi yang tajam
anakanak muda mabuk di gigir zaman
kakerlak mencari kesunyian di lemari pakaian
o, marilah keluar dari kamar kekhilafan
menjahit zaman yang disobek keangkuhan
bermalasan tak membuat kenyang
mencangkul ladang, menangkap ikan mencahayakan martabab
mengejar ilmu dan kearifan mendatangkan kebijaksanaan
hingga lantai bumi tak menjadi lebih tua dari umurnya
karena retak  oleh nafsu dan sesumbar kuasa

jangan biarkan anak dimangsa ular di tepi jalan
buayabuaya di sungai biarlah mereka memakan babi hutan
bukan perempuanperempuan kita yang dulu melangir rambutnya
buat keharuman peradaban

bukankah di nanusa samudera masih mendengar suara manusia
mengisi ikan di lumbung doa di cekukan karang
gelatik, beo dan elang masih menggetarkan angkasa
dalam nyanyian tambur di pentas manee dan sawakka
ini waktunya mabua ton,na zaman
udah makat raya bukan payung air mata
tapi benteng utara yang gagah
buat sejarah baru
setelah zaman kesatria Arangkaa

2004

*) Talaud adalah sebuah gugusan pulau di jazirah Nusalawo. Saat ini telah menjadi Kabupaten Talaud.  Tanahnya subur, lautnya kaya ikan. Hasil tambang yang berlimpah tapi belum dieksploitasi.Di zaman purba, sejarah orang-orang Talaud selain punya persinggungan erat dengan Mindanou, juga punya persentuhan yang dekat dengan kerajaan Kutai di Kalimatan dan Majapahit di tanah Jawa. Serta kesultanan Ternate dan Tidore. Bermula di akhir abad XIII, di masa raja-raja Nusalawo, kepulauan ini merupakan daerah taklukan. Baik dalam status pampasan perang atau takluk karena diserahkan raja setempat menjadi mas kawin (Laekeng). Pulau Kabaruan misalnya adalah mas kawin dari pangeran Talaud Mahadia Ponto kepada putri kerajaan Siau, Pasilawewe, anak dari Raja Lokonbanua II yang memerintah di tahun 1510-1540. Penaklukan itu memunculkan masa perbudakan di kawasan ini, dan terus berkembang seiring datangnya orang Eropa, terutama Spanyol, Portugis dan Belanda, yang ikut mengambil untung dalam bisnis perbudakan. Tapi perbudakan tidak saja terjadi di Talaud, juga di Sangihe dan Siau Tagulandang, akibat politik pecah-belah Kompeni Belanda.  Manee, adalah tradisi tua di pulau Kakorotan, menangkap ikan dengan daun kelapa. Sawakka, adalah upacara menolak bala. Mabua Ton’na adalah pesta adat buka tahun baru. 




Siau *)

meletus lobang magma
cahaya belerang merah
kepundan pongah
dua pangeran berebut tahta
melelehkan lava
menghanguskan darah
di lereng kebun pala

ini sejarah arang menyemburkan debu
menjadi kubah batu
menggilas Katutungan
melongsor dari puncak gunung
Karangetang yang terpancung
menembus Ulu menjadi padang pasir
mendidihkan hati tak jerah bertarung

darah siapa yang tergenang di Liwua Daha
kalau bukan sejarah tua yang lusuh
rakyat diperadu menggali sumur harta para datuk

abu turun dari angkasa
memberi makan akar pala
yang hanya menyisakan asam pekat
di hati para kuli yang terus meratap

pertapa tua itu bersila
dengan punggung yang letih dan luka
karena digali buat rumah bersembunyi
kota di bawahnya tak lagi tempat canda
anakanak dara, kecantikkan taman raja
orangorang asing menguasai kebun pala
menguasai kehidupan sudut kampung
yang dulu bermandikan kerlip kunang
yang menabung phosphor buat cahaya malam

Sempurnalah kegelapan di atas batubatu
yang terus digelindingkan gempah
menimbun cerita lama
yang naifnya
sekekar gelombang menggempur ulu
dibawa taufan abad
yang abadi melancarkan peperangan

2004
*) Siau adalah salah satu kerajaan besar di kawasan Nusalawo purba. Pengaruhnya tidak saja di wilayah Nusalawo, tapi menembus Mindanao Selatan, daratan Minahasa dan Bolaang Mangondow, serta pinggiran Gorontalo. Kerajaan ini termasyur dengan cerita peperangan laut yang banyak meraih kemenangan, terutama di zaman laksamana laut Hengkeng Naung. Berdiri pada tahun 1510, dengan raja pertamanya Lokongbanua II (1510-1540). Lalu digantikan putranya Posuma, lewat peperangan besar melawan saudaranya sendiri, Akumang. Dalam perang saudara ini ribuan orang mati dan kawasan peperangan yang terletak di sekitar desa Mbeong, Siau Barat menjadi kolam darah (Liwua Daha).  Memiliki gunung api yang aktif dengan ketinggian 1784 meter yang menjadi penyebab gempa sepanjang tahun. Tanaman pala bertumbuh subur di sini. Menjadi daerah pemasok terbesar kebutuhan pala dunia. Karena Kekayaan pala itu, dimasa penjajahan, daerah ini menjadi arena rebutan pengaruh antara Spanyol, Portugis dan Belanda. Peperangan pun terjadi dalam beberapa babak yang mengorbankan banyak nyawa.




Sehangbalira *)

betapa nista dayang wanita bila jatuh cinta
kepala raja bisa dipancung membayar asmara

Alahumbeli menidurkan raja Tolosang di pangkuannya
rebah pula langit Manganitu di gua purba
o, betapa mahal rias keindahan rupa perempuan ini
hingga wangi gunung lembahlembah Manganitu
tersuruk di pucuk dada dalam liar ombak teluk
yang penuh gairah menghujam liangliang batu
dan lelap bersama raja di punggung khianat Sehangbalira

raja Buntuang mengirim algojo
menebas batang leher raja Tolosang
tertebas pula batang tiang Manganitu
menampiaskan darah ke pipi adinda ratu dan pengeran
meleleh di kakikaki sejarah rakyatnya

orgasme penghianatan menghamilkan pikiran jadah
raja Buntuang dayang Alahumbeli berpesta rasa
kepala raja Tolosang telah dibawa ke Tahuna
dari medan perang tanpa keperkasaan

tersebutlah budak sahaya Salompito
mengambil pulang kepala rajanya
bukan karena ingin menjadi orang merdeka
semata pengabdian seorang hamba
mengubur tuannya dengan penuh kehormatan

Raja Buntuang geram kehilangan kepala tawanan
malu ia dicemooh seisi kerajaan
dikirimnya Pulungtumbage adiknya berperang
Lantemona menenggelamkannya di rawa Manganitu

hutan gunung Sehangbalira pun mengetarkan
nyanyian kekalahan yang resik di rimbun bambu
menebarkan merang memerahkan hati Buntuang
ditebasnya pula batang leher semua laskarnya
menutup kisah Sehangbalira penuh darah

2004

Sahangbalira, adalah sebuah gunung kecil di wilayah Manganitu, pulau Sangihe. Tempat ini sempat dipersengketakan antara kerajaan Manganitu dan kerajaan Tahuna.  Pasalnya, Raja Buntuang  (1625-1665) dari kerajaan Tahuna menjadikan Sahangbalira sebagai tempat persembunyiannya dari ancaman tentara VOC akibat tenggelamnya kapal perang VOC di pantai Kolongan, oleh pasukan kerajaan Tahuna dimasa ayahnya, Raja Tatehe Woba, berkuasa (1580-1625). Sebagai pemilik gunung Sahangbalira, kerajaan Manganitu di bawa raja Tolosang  (Liuntolosang) yang berkuasa pada 1600-1645, tentu tidak bisa menerima daerah kekuasaannya diambil begitu saja oleh raja Buntuang. Mereka pun berperang, dan berakhir dengan terbunuhnya raja Tolosang karena penghianatan Dayangnya sendiri (Alahumbeli) yang telah bekerjasama dengan raja Buntuang.  Kepala raja Tolosang di pancung algojo kerajaan Tahuna ketika ia tertidur lelap saat Alahumbeli dayangnya mencari kutu di kepalanya (tahun 1645). Kepala raja Tolosang pun di bawah ke Tahuna, tapi kemudian diambil secara diam-diam oleh Salempito (seorang budak raja Tolosang). Kejadian itu, membuat raja Buntuang mengirim adiknya  Pulungtumbage memimpin pertarungan di Manganitu. Tapi Lantemona, anak dari Raja Tolosang berhasil mengalahkannya di rawa Manganitu. Kekalahan itu membuat Raja Buntuang membunuh semua laskarnya yang tersisa. Semenatara raja Manganitu, Tompoliu  (anak dari raja Tolosang),yang memerintah tahun 1645-1670,  memberikan kemerdekaan pada Salempito dari posisinya sebagai budak.  







Tagulandang 1870 *)

raja fasik menghina langit
membangunkan ombak menyebar mautnya

rubuhlah tiangtiang kedatuan
oleh kata lancang rajanya
dalam bau amis kemabukan semalaman
yang paginya tumpah jadi serapah di depan gereja

lagi di senja berkabut ia menuding langit
seakan Tuhan seorang terpidana
bersujud kalah di depan kebesaran seorang raja
seperti sejarah sultansulatan menyembah leluhurnya

imam Kelling seduka Johanes  di gelegar ombak pulau patmos
melihat Roma memancar kemilau, lampu percabulan kuasa
di menaramenara kota yang menyilaukan langit
mengkaparkan doadoa para imam ke lantai becek kotoran zaman

dan wahyu mengetuk pintu samudera
menaikan pasang yang menumpakkan ombak
melompati ketinggian batang kelapa
menghujam ketinggian kuasa raja
hingga remuk bersama kotanya

450 ratap ditangisi rumah duka
di siang hari ketika orang rajin dan saleh
usai menyiangi kebunnya

2004

*) Kisah pelayanan Imam Zending F. Kelling di Kerajaan Tagulandang.  Dimana pada tahun 1870 daerah itu dihantam ombak pasang (tzunami) yang tingginya melebihi pohon kelapa tua (sekitar 25 meter lebih), yang menyaput habis kota Tagulandang dan pantai-pantai sekitarnya. Dalam kejadian ini 450 orang meninggal, ratusan rumah hancur, ratusan orang lainnya mengalami luka-luka. Ajaibnya, rumah Imam F.Keling yang hanya terletak 400 meter dari pantai tidak terkena gempuran ombak itu. Dikisahkan air bah itu seakan menghindar rumah sang imam dan keluarganya, Sementara di sekitar rumahnya semua bangunan dan kehidupan luluhlantak. Kejadian ini dikaitkan dengan sikap raja kerajaan Tagulandang pada waktu itu, yang sehari sebelum kejadian mengeluarkan serapah dan menghujat-hujat Tuhan di depan gereja.

Raksasa Bakeng

terkisahlah cerita lama di kabut mega
selaksana anak taufan menghamburkan pasir
menerjang mata para raja dan sultan
yang tak nanar menatap buana

begini ceritanya; ada keluarga raja raksasa
hidupnya pesta pora dan semenamena, Bakeng namanya
penyantap manusia dan peminum darah
tak hanya rakyat biasa atau pengelana
juga pegawai istana dan pembantunya dilahapnya

ini budaya, mungkin mengeritik raja atau penguasa
bisa di mana saja,  waktu kapan saja
atau di saat ini, penguasa di sini
ya…terserahlah, membuka fikiran kan ada faedahnya
ketersinggungan merendahkan kearifan
ketersinggungan pun bukan budaya orang lautan
apalagi kisah bijak ini datangnya
pasti dari rakyat yang hidupnya terhimpit kuasa
tak apalah mendengar keluh mereka:

tersebutlah Pangaia Pangelawang 
begitu nama si jelata bersaudara
mereka punya dua adik perempuan
yang masih kecil dan disayang
orang tua mereka telah lama menghilang
di telan perang mempertahankan kerajaan

kedua jelata mungkin bukan pahlawan
mereka hanya nelayan berumah gubuk di pesisir kerajaan
menjadikan laut sebagai ladang hidup dan kekayaan

senja datang dikayuh perahu ke lautan
di kailnya ikan untuk santapan pagi petang
sisanya ditukar dengan umbiumbian
melengkapi menu keseharian

begitulah gambaran orang sederhana
tak bermimpi memetik bintang
meski bintang tak lebih tinggi dari puncak sembayang
yang sehariharinya dicapai mereka dalam doadoa malam

tapi di manamana kekuasaan tak punya mata
mengisi gudang makanan, harta berlimpah menjadi  tujuan
Raksasa Bakeng tega menangkap kedua adik mereka
buat menu utama pembuka pesta malam istana

Panggelawang Pangaia sontak melawan
karena sekuningnya kulit pinang
bila dilumat akan memerahkan lidah
usai menyiapkan jebakan, menyamar mereka jadi koki kerajaan
menyuguhkan makanan berlauk daging anak tuannya

Bakeng dan istrinya naik pitam
bagaimana bisa ada yang berani membunuh pangeran
keduanya langsung mengejar Pangai Panggelawang
yang sedang berlari menuju jembatan jebakan

begitulah sifat penguasa, bila dikeritik langsung berang
semut sekalipun bila melawan akan dilindas dengan alat perang
hati berlumur kalap bagaimana mata mampu melihat jalan
di tengah jembatan mereka menggelongsor ke dasar jurang

akhir kisah, dari dasar jurang muncul gunung Awu berperangai garang
yang selalu memuntahkan amarah tak alang kepalang
di tahun 1892 memakan 2000 jiwa dalam serangan gas panas
dan memuntahkan lava meluluhlantakkan 3 kerajaan.

2004

*) Raksasa Bakeng, adalah legenda orang Nusalawo tentang terbentuknya gunung Awu di pulau Sangihe.  Raksasa Bakeng, seorang raja buas, karena ia dan keluarganya suka menyantap daging manusia dan meminum darahnya. Mereka akhirnya terbunuh dalam jebakan Pangaia dan Panggelawang, yang berjuang membebaskan kedua adiknya yang di tawan Raja Bakeng di kandang makanannya. Pangeran Batairo, anak Bakeng juga terbunuh saat Pangaia dan Panggelawang menyamar jadi koki di istana Bakeng. Keduanya menyembeli Batairo sebagai pengganti orang yang akan di sembeli saat itu. Bakeng dan istrinya yang mati di dasar jurang kemudian berubah menjadi gunung Awu Sangihe. Sebuah gunung api aktif yang dalam sejarahnya telah berkali-kali meletus dan memakan banyak korban jiwa, serta menenggelamkan beberapa sisi pulau Sangihe hingga membentuk pulau-pulau kecil di dekat daratan Sangihe. Letusan tahun 1892 meluluhlantakkan  kerajaan Tabukan, Tahuna dan Kendar, serta menebarkan debu panas ke berbagai penjuruh hingga ke pulau Siau dan Tagulandang. Korban jiwa karena awan panas dan lahar mencapi 2000 orang. Letusan sebelumnya, lebih dasyat dari letusan terakhir ini.





Manusia Pulau *)

ombak tempias di muka
mengasinkan sejarah manusia pulau

dan mengkristal garam keringat di pori pelayaran
mengilaukan rancak budaya burungburung lautan
doa, menghela matahari menggaris khatulistiwa
di batas wilayah terutara kita namai: Indonesia

di sini perahu merayapi wajah laut
mendaki keanggunan gunung pulau
tebing batu lincin, ketajaman karang
dengan keuletan arus mengajar kearifan

kearifan punya indra mata dan telinga
membaca pesan angin atau derap perahu perompak
agar mulut bisa merapal mantra keteguhan
diisyaratkan langit di uraturat badai

malam tiba, burung hantu memucatkan bulan
di dahandahan rimba, anjing tanah menggerisik
menggali ceruk dasar bumi mengeluarkan kengerian
perang tak berkesudahan para bahaning nusa

dan bayangan sejarah suram selalu tiba di pagi buta
dikisahkan pengkhianat menyeret raja ke tiang gantungan
menghancurkan rakyat dalam politik adudomba
buat segepok uang sekerat daging sebutir nasi
di belanga peperangan berseduh air ludah

berlarilah anakanak  di pasir kotor
sejarah buram yang terhempas ombak selatan
memunculkan kemelaratan di liar laut
angin kuat yang mematahkan batang kokoh tiang rumah

manusia pulau
selalu hitam dan ringkih
terbakar pergulatan nasib
seperti anak tiri yang menghuni rumah belakang
yang di depannya berdiri istanah megah Indonesia Raya

2004

*) Tradisi Sasahar (budaya Laut) dan tradisi Sasalili (budaya pulau) orang-orang Nusa Utara membentuk filsafat keseimbangan yang disebut “Jalan sasambo”. Filsafat Manusia Pulau ini terdiri dari lima unsur penting yakni: Pertama, tembo (kepala) atau wisdom. Kedua, seba kuaneng (dada kanan) humanity. Ketiga, seba kuihi (dada kiri) believe for god atau keimanan. Keempat, tiang (perut) power. Kelima, manu kadio (penis) regeneration. Dengan pelbagai syair dalam lagung (bentuk irama ,isi syair) sasambo manusia Nusa Utara diajarkan berbagai kearifan (wisdom) hingga apa yang dilihat, didengar, dan diucapkan adalah kebenaran. Proses pembentukan kearifan ini sudah dilakukan sejak seorang anak masih kecil dalam lagung Kakumbaeda atau Sasahola. Namun, kearifan belumlah sempurna jika manusia itu tidak memiliki rasa percaya diri (to be) dan berkembang menjadi humanity yang dilafaskan syair-syair lagung sesonda. Dua unsur sebelumnya harus pula diteruskan dengan unsur ketiga yaitu keimanan (Believe for God). Masyarakat Satal purba dinamisme meyakini adanya Tuhan (Ghenggonalagi, Duata). Unsur ini dilafaskan dalam lagung Duluhang/Balang. Unsur ke empat yakni tiang (perut) merupakan aspek ekonomi (kesejahteraan) atau power. Ketiga unsur sebelumnya akan distortif jika manusia tidak mampu menciptakan kesejahteraan bagi kehidupannya. Kearifan akan bengkok penerapannya, dan keimanan serta harga diri akan luntur. Maka aspek kesejahteraan menjadi penting untuk menopang jalannya tiga unsur terdahulu. Pengajaran ini ditemukan dalam syair Kakumbaeda dan Sasahola, yang diajarkan sejak masa kanak-kanak. Unsur terakhir adalah Manu Kadio (penis) merupakan aspek regenerasi dan cinta kasih. Dalam syair lagung Bawine, manusia Nusa Utara diajarkan pentingnya suatu upaya penyiapan generasi baru yang penuh rasa kasih sayang terhadap alam, lingkungan dan manusia, untuk melanjutkan jalannya peradaban.


 



Pertapaan Gunung

(mengenang E.T. Steller)

 


petakpetak kebun cabangcabang hutan manganitu

menyaksikan perjamuan asya matahari
mengubah setitik embun jadi mutiara, gema syukur
di rumah tawa sangkarsangkar yang dulu gelap

 

inilah tapa pendakian ilmu seperti anak burung

melepas tubuh dari cakangnya
dan terbang setinggi rajawali
dalam migrasi zaman mencari terang


ketika itu pintu  asrama gunung di buka di suatu pagi
seorang zending berjubah putih seperti nabi Daud
menyanyikan mazmur  anakanak tak beralas kaki
yang berbaris diakarakar laut senyap pulau

“marilah belajar membaca biar bisa menulis Nusa Utara-mu
karena di atas ladang lautmu akan melintas sejarah panjang
tanamlah pohon lurus untuk lunas perahu di hutan ini
hingga jelajahmu bisa sampai ke pantai luas yang baru”

sepertinya langit mendengar doa pucukpucuk bunga hutan
menurunkan hujan menggemburkan tanah kering buat kecamba
padepokan pertapaan gunung, ruang kelas mereka adalah kebun,
bengkel mesin, arsitektur rumah, kamar orang sakit,
marifat doa dan sebuah papan bertuliskan:
“ilmu adalah jendela dunia”

ratusan orang belajar di sana
membolak balik kitab injil sosial
dari seorang imam untuk dunia
yang kini menjadi jejak ziarah
bahwa dia bukan penjajah

zending memang bukan VOC
meski datangnya di kapal yang sama
satunya membuka cahaya lainnya mengejar laba
seperti racun dan obat berasal dari pohon yang sama

2004

*) Missionaris  Zending tukang E.T. Steller, seperti juga missionaries tukang lainnya, dalam pengabdiannya di Sangihe selama 40 tahun, menerima banyak anak pribumi di dalam rumahnya untuk dilatih dan belajar berbagai kemahiran kerja, seperti perbengkelan mesin, bercocok tanam dalam teknik modern, arsitektur, ilmu perawatan, dan guru. Usaha  ini dilakukan  karena keterbatasan kaum pribumi menyekolakan anaknya di sekolah pemerintah yang sangat mahal biayanya. Kegiatan ini dikemudian hari dilanjutkan anaknya Mr. K.G.F. Steller, dengan membuka model pendidikan padepokan yang disebut “Asrama Gunung”, yang berhasil melepaskan banyak lulusannya yang trampil di bidang masing-masing, dan mendorong kemajuan di Nusa Utara ketika itu, dan masih terasa manfaatnya hingga kini khususnya dibidang pertukangan.  E.T. Steller, adalah seorang Zending Gossner Jerman,  mengabdi di Sangihe sejak 25 Juni 1857 meninggal  pada 3 Januari 1897 dan dikuburkan di Manganitu, Sangihe, di samping makam istrinya. Ia adalah salah satu dari sekian orang Eropa yang berjasa besar dalam mencerdaskan kehidupan orang-orang Nusa Utara. Sejak kedatangannya pertama ia tak lagi melihat negerinya. Ia menganggap Sangihe adalah tanah airnya yang baru.

 

 



Tingkaru*)

aneh kelakuan binatang satu ini
mengangguk bijak setenang langit
seselidik buaya memancar aura kebuasan
lidah berliur selicik biludak

tapi bukan ia binatang berbahaya zaman hawa
seperti adam perawakannya lemah penuh sahaja
retakkan pohon tua rumahnya, sekadar serangga makananya
lucu ia ditanya segala, karena jawabnya mengangguk saja

apakah kau binatang perkasa?
ya… jawabnya.
apakah kau keturunan gotzila atau dinosaurus?
ya… jawabnya
bila berhadapan tentara takutkah kamu?
ya… jawabnya
matamu mebara seperti saga, beranikah kamu pada Tuhan?
ya… jawabnya
lidahmu bercabang, apakah kamu politisi?
ya… jawabnya

cicak tingkaru di cermin waktu
menorehkan tapak debu di hutan sisak batuline
kini merayap di tikar pandang di anyam bokiboki
mengoyak serat daun pesisir, bersujut kalah datudatu tampa
menyingkap ironi sejarah: Ambia, Kuma, Maririt, Essang, Lalue, Bulude,
Mamahan, Bambung, Taturan, Geme, Arangkaa, Bune, Malat, Banada,
Apan, Lahu, Ganalo, Amat, Dapalan, Riung, Binalang, Toabatu,
Tabang, Bantane, Rainis, Matahit, Tarohan, Niampak, Ruso,
Pampalu, Tarun, Sawang, Melonguane

tengkorak di totombatu, balangingi dengan perahu
tamawiwy jadi pesuruh, Mokoagow diculik sekutu
dari zaman spanyol, portugis, belanda hingga jakarta
mengapa talaud hanya mengangguk saja

kau pencuri, pencoleng, perompok, pembunuh, pesinah?
ya…jawabnya
kau guru, rasul, nabi, malaikat dan tuhan?
ya…jawabnya

ketika hutanhutan lenyap, kotakota baru berdiri
ia berhamburan ke manamana mencari rumah
kemudian menetap di gendung kantor pemerintah
di gedung DPR, di kantor desa, kepala lingkungan
mungkin juga di tempat ibadah

wahai binatang aneh siapa namamu?
ia diam sejenak, memiringkan kepala ke arahku
menatapku dengan tajam, lalu mengangguk
tak ada jawaban sedikit pun
kecuali lidahnya menjulur seperti biludak
mencibir kebenaran

namamu pasti iverdixon!
ya… jawabnya
mungkin namamu reiner?
ya…jawabnya
bukan… namamu pasti harry!
ya…jawabnya
jawabanmu selalu ya, berarti namamu bisa siapa saja
ya… jawabnya
bagaimana kalau namamu bambang, elly atau jacko?
ya… jawabnya

hem…kau memang binatang aneh
yang kau tahu hanya menganguk
siapa yang mengajar kau mengangguk?
ia menjulurkan lidahnya menyaput moncongnya dengan liurnya
mendongak dengan mata gelisah memandang langit tua
seakan kertas gersang menguapkan bau bangkai serangga 
“aku binatang purba ditetas laboratorium zaman Orba”
batang leherku telah engsel
bisanya bergerak ke atas dan ke bawah
tak bisa ke kiri ke kanan

syap… seekor serangga dilalapnya
dan menghilang di kegelapan rimba karakelang
yang menyembunyikan lumpur sejarah kekalahan
dianyam bokiboki menjadi ornamentasi tikar pandan

2006

*) Tingkaru, sejenis cicak yang habitatnya  di hutan-hutan pulau Karakelang, Talaud. Keunikan binatang ini adalah gerakan kepalanya yang mengangguk jika ditanyakan sesuatu padanya. Ini sebabnya di kepulauan itu bila ada orang tak punya sikap disebut dengan ejekan “tingkaru”.


Lohoraung *)


bila manusia tanpa legenda
hidup sedatar pulau tanpa hutan
tak ada ukuran menilai khilaf
maka perang menjadi hiburan ketangkasan

ini pulau persinggahan balangingi
daratan tada hujan dengan pesisir curam
kubah kawah gunung menetaskan duka
mengeraskan ketabahan tanah liat di kebun umbiumbian

menggonggonglah anjing zaman
perompak mandi di sungai minanga
menepihkan penat di mata gadis bulangan dan humingging
kapal berlabuh di buhias menukar miras dengan pala dan koprah
dirampas perompak lain di laut  utara dan selatan

lalu sejarah menegaskan sikapnya
seperti pagi membuka cahaya ke atas lautan
dan dahandahan cempaka mengeluarkan bunga
buat dikalungkan bagi abad yang segera tiba

berbijaklah datuk bulango mencipta legenda
biar kolokolo mandolokang punya tuan, punya kedatuan
karena negeri tanpa keteraturan bagaimana bisa mencapai tujuan
maka gemparlah para pemabuk
mendengar laut mengirimkan Lohoraung
putri berbaju daun, berkulit awan di bawa bulango
dari negeri khayangan di balik lautan
pesona kecantikan membius langit
menurunkan hujan hingga semak berkilauan
mentakbir mantramantra rahasia

ketika meninggalkan perahu ia melayang ke daratan
dan kerikilkerikil bergetar dalam pijakan sakti kelembutan
bersujudlah segala kemegahan teluk yang dulu bertepuk dada
seperti kisah kaisar yang takluk di ketiak perempuan
taklim rakyat pun dicurahkan, karena manusia
tak mungkin melawan dewa diutus Tuhan

bulango mendaulat ratu Lohoraung
diantar ribuan rakyat tagulandang
setelah perahu nawalandang
dari pantai mereka bergerak menuju istanah
beriring tambur nanaungan merancak langkah
derap lelaki berbaris di depan memikul hasil ladang
perempuanperempuan menari dengan gaun kofo
kukukuku memerah laka memagiskan udara berbau bataka
anakanak menatap dengan mata berbinar
seakan sejarah mulai menulis matarantai nasib
pada setiap jejak tapak sang dimulia ratu kencana

dan waktu terus menyeret kelokan kisah
kemaharayaan negeri atau lumpur menutup ganggang
di hamparan dataran karang di bawah puncak gunung ruang
meledak seperti pemabuk muntah di tengah malam buta
lalu diesok panginya kota tua kerajaan itu
telah jadi milik pedagang cina
derap lelaki berbaris di pelabuhan
menjadi buruh pengangkut
barang milik orang

2006

*) Ratu Lohoraung, ratu pertama kerajaan Tagulandang. Memerintah pada 1570-1609. Anak dari datuk Bulango, saudara raja kerajaan Siau, Lokonbanua II. Tapi dalam legenda masyarakat Tagulandang, ratu Lohoraung dikisahkan sebagai seorang dewi yang datang dari lautan. Ia berpakaian daun-daun kayu. Mimiliki kesaktian terbang. Ia perempuan yang sangat cantik. Kolokolo adalah nama Pulau Biaro dalam bahasa sasahara. Mandolokang juga nama sasahara dari Pulau Tagulandang. Balangingi adalah sebutan sasahara buat perompak dari Sulu Mindanao. Kerajaan Tagulandang berdiri sejak 1570 dan baru berakhir pada tahun 1945, karena melebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Tamo *)

bijibijian padi dierami bumi
disucikan air dipersatukan api
diwarnai gula dihidupkan minyak
dikerucutkan iguigu dibalik kuasa

dunia padang datar
sebelum gunung memuncak
kecamba menjadi hutan
yang dilepas rahim air
di masak matahari
memerahkan sejarah
di minyakminyak doa

dan datuk memasang bendera di puncak mesba
disusun rakyat dari kristal keringatnya
buat burung langit menetaskan telur berkat
menjadi kepala tongkat raja berahmat kuasa

raja bijaksana tahu kuasa itu air mata
zaman pedis di pekat sungai kesukaran
ia harus mengayam ketupat memotong puncak
karena rakyat punya bagian dari semesta sajian Tuhan

rapalah beberapa kata di ketajaman pisau
tikamlah pinggang gunung melingkar putus
beri jalan rakyat mendaki puncakpucak kesucian
maka sempurnalah tamo kehidupan
yang memuncak di atas dulang kekuasaan
yang ditarikan rakyat dengan bara
dalam doadoa sunyi orang lautan

2006

*) Tamo adalah kue adat masyarakat Nusa Utara. Tamo berarti: “Yang Diperhadapkan”. Mengandung makna simbolik mistik tentang kesejahteraan. Dalam pesta ada Tulude, pesta perkawinan, atau peluncuran perahu, kue adat ini menjadi simpul utama upacara. Ia harus dipotong oleh seorang arif bijaksana dan menguasai budaya dan  dibagi kepada khalayak yang hadir. Terbuat dari beras melambangkan manusia, air melambangkan kesucian, minyak lambang kemistikan (ke-Tuhan-an), gula lambang romantika hidup. Dimasak oleh api lambang semangat persatuan. Dibentuk piramida lambang gunung atau kerajaan (Negara). Didudukkan pada piring dulang, lambang bumi. Dihiasi bendera lambang kekuasaan, Telur lambang kesempurnaan, Rica lambang penyakit, udang lambang kesukaran, Ketupat burung lambang kejayaan, Ketupat dodutu lambang tongkat kerajaan. Igu-igu wadah dari bambu yang dianyam hingga berbentuk piramida sebagai tempat cetakan tamo (bentuknya sama dengan tempat ayam bertelur). Dulang adalah jenis piring besar dari tembaga. Bara adalah pedang perang tentara kerajaan di Nusa Utara.     



Taman Bunga

menomeno maki sembah

rahasia langit air murah
huabe delapan mata angin
menumpahkan minyak ke lautan, ombak menepi
dan gunung menurunkan klikitongnya

bergemuruhlah lembahlembah kedatuan siau
membangunkan ingangingan dan ompung
merasuki getaran tagonggong ditimpa nanaungan
melintasi jalan desa menuju taman bunga kerajaan

di sinilah bau wangi menuru menganti belerang gunung
ampuang aditinggi  menyala dan tersenyum
lakilaki berotot kawat menadahkan kaki ke tanah
menyusupkan keriangan pada penari perempuan

rancaklah semua dalam tarian rahmat
tanah mengarib, laut bermurah hati
menghibahkan hasil panenan berlimpah
dan saatnya membawa upeti istana buat raja bijaksana

taman bunga dibangun raja buat budaya
di depan istanah timur menangkap matahari muncul
di tengah kota ulu menghadap puncak gunung
begitu aturannya karena semesta pun punya tatanannya

di sini, anakanak boleh bermain layangan
para remaja berlatih ketangkasan
orangorang tua mendiskusikan kebajikan
para pelancong melepaskan letih di bawah pohon tua

tapi sejarah selalu punya cerita berlawanan
seperti leba kehilangan sarang menyeruduk ke manamana
politik jadi dewa, ekonomi jadi panglima, budaya jadi anak jadah
gunung pun melepaskan serapah, memuntahkan lava
menghancurkan kota dan bangunan kemegahan  pongah
2006
*) Taman Bunga, adalah taman kerajaan Siau. Terletak di pusat kota Ulu (Tarorane). Karena arealnya cukup luas, tempat ini menjadi pusat semua kegiatan seni budayadan dan ritual penyembahan, serta tempat bermain di masa kejayaan kerajaan Siau. Pada kisaran 1970-an, pemerintah kabupaten Sangihe Talaud mengalih fungsi taman ini dengan membangun gedung perkantoran pemerintah. Sejak itu secara beruntun Gunung Karangetang memuntahkan lahar dingin berupa pasir dan batu hingga semua kawasan Taman Bunga dan daerah sekitarnya hancur dan tertimbun sampai ke atap bangunan. Huabe adalah hitungan bulan yang tenang (dari tradisi penghitungan waktu). Klikitong merupakan orkestra musik gendang dipadu dengan “Nanauangan” (semacam gamelan Jawa). Ingan adalah peri daratan. Ompung (Atung) adalah dewa lautan.


Empat Wayer

hidup sepanjang lagu melerai letih sunyi
sepanjang doa diri melepas beku hati
bertukar pandang langit tiada berbatas
menghentak dalam rentak nyanyian bebas

mari menari, menari mari menari
mari menyanyi, menyanyi mari menyanyi
langka sama berpasangpasangan
melepas beban digantang badan

kaki kiri menghujam bumi
kaki kanan merayu matahari
pinggul bergayung dada membusung
o, polo…perasaanku berbunga berdaun

rekatkan badan lingkar patah sembilan
antar komando rancak selangkah
mendakilah damai ke puncak lampawanua
dikelincahan darah mengereksikan nikmat

kanon terus menghentak kabut malam
dalam gelas anggur memacu andrenalin
gugur semua segala sungut nestapa
diterkam kemeriahan irama
menyatukan manusia dengan Tuhannya

2006

*) Empat Wayer, adalah tarian rakyat Nusa Utara. Tarian ini bersifat spontan dan masal diiringi nyanyian dan musik. Gerakannya di atur oleh seorang pemimpin tarian (pangataseng-komando). Tarian ini terinspirasi dari peristiwa perang dunia ke II, dimana pesawat bomber pasukan sekutu dengan “empat baling-baling” (Empat Wayer), melintas di atas udara kepulauan Sangihe Talaud. Dalam perkembangannya tarian ini tidak hanya mengikuti gerakan pesawat tapi juga mengambil gerakan keseharian hidup masyarakat setempat, termasuk dansa ala Eropa. Filosofi tarian ini adalah pembebasan jiwa dan penyatuan kosmik manusia dengan Tuhan yang disebut dengan “puncak keindahan rasa”. Gerak dasarnya diambil dari pola gerak tari ritual purba, ini yang menyebabkan tarian ini bisa memicu seorang penari mengalami situasi trans. Polo, panggilan atau sebutan untuk orang disayang. Kanon, tradisi berbalasan suara dalam menyanyi dengan syair yang diulang berurut-urutan (Tradisi sasahara mengikuti pola gerak ombak dalam gerakan beruntun). Lingkar Patah Sembilan, semacam gerakan pesawat membelok. Lampawanua, gunung suci (surga).


Pulau Para
(buat istriku Adolfina Lusye Damura)


lautmu menidurkan kekasihnya
mempertemukan kita di atas gelombangnya
dan melabuhkan cinta ke pantai pasir putih
dari pecahan karang tergilas abad yang telah tua

kerang berumah di cakangnya
menyongsong ombak keras bagai ayunan
menggerisik keriangan misterius
di tengah peradaban kebuasan air

dan kita mengikuti arus dalam permainan gelombang
seperti kepeting dan ikanikan, gurita dan cumi
menangkap udara pada gelembung disusupkan angin
ke lantai samudera tak bercahaya

hidup adalah pelayaran menggembirakan
pulau alami tak mendustakan apaapa
seketika kita disini menyongsong angin
membawa esok di pulau yang lain

o, laut tak pernah berduka, kecuali bernyanyi
menghibur pelayar dan nelayan yang mengail
karena harapan tersembunyi di kedalaman
keinginan kita menguak kerahasiaannya
seperti peneke mengecipak laut
membuka kitab agung samudera
berbagi kehidupan

2006

*) Pulau Para, sebuah pulau yang masih alami dan kaya ikan. Terletak di antara pulau Siau dan pulau Sangihe.  Para (Paha), tempat menjemur ikan asin. Peneke, nelayan tradisional di pulau Para yang menangkap ikan dengan melingkar tali berumbai daun kelapa di laut buat tempat ikan berkumpul, kemudian sejumlah orang (peneke) menceburkan diri ke laut mengecipakkan air laut dalam lingkaran tali (seperti bermain bersama ikan), lalu dua perahu besar menebar jaring berbentuk saku (Soma Popoji) hingga semua ikan terjebak dalam kantung jaring. Tradisi menangkap ikan ini disebut Seke. Tradisi menangkap ini masih bersifat magi, karena tata caranya penuh syariatnya. Tradisi Seke di pulau Para berbeda dengan tradisi Mane’e di pulau Kakorotan Talaud, meski keduanya sama bersifat magi.


Tatehe Woba

Mawu i  Tatehe
tau nakatehe woba
nakamara taghaloang

terbanglah bangau putih di langit tahuna
perkawinan purba pontoralage dolongsego
melahirkan pangeran utusan musim tujuh
Tatehe Woba istana teluk benteng cahaya

air payaow ladang bakau
ganggang rawa teluk lumpur
buaya intan menyair raja
mantra pasir mengeringkan benua

hitunglah hari seperti datuk tua
tujuh saghe berkahi perkasa
tujuh huabe mengajar bijaksana
apa artinya harta istana
bila rakyat tak bersua air murah

bulan penuh mengantung di puncak tanjung
kebesaran daulat kerajaan Tahuna di tahbis waktu
menghalau letih zaman menggantang sunyi
yang dulu ditanam penjajah memagari mimpi

sinar tahuna pun memancar ke lautan
mengisi angkasa sejarah kerajaan lautan
paduka menghadang kapal belanda
karam dan tenggelam di pantai kolongan

ini sejarah kasatria dalam kitab laut kita
yang dulu diarak dengan bendera kemenangan
disepanjang pantai yang bersimbah darah peperangan
yang kini kita ancung dikepal bangga

tujuh saghe, tujuh huabe
menitik darah datuk tua
dalam pasir dilepas benua
berkilau tujuh kerajaan samudera

2006
*) Tatehe Woba, Raja, pertama kerajaan Tahuna. Memerintah pada 1580-1625.  Ia adalah cucu dari raja kerajaan Siau, Lokonbanua II dari putrinya, Dolongsego. Ayahnya Potoralage, seorang kulano di pulau Sangihe. Raja Tatehe, dikenang sebagai raja yang sakti yang mempu mengeringkan rawa teluk Tahuna dengan segenggam pasir, hingga menjadi daratan kota Tahuna saat ini. Ia juga seorang pemimpin perang laut yang tangguh, ketika menghadapi kapal perang VOC di pantai Kolongan. Armada laut VOC pun tenggelam di sana.




Kofo*)

gunung tak putih, laut tak merah
ampuang putih, ompung merah
menganyam sehelai kain kehidupan
meragi arus memuai ombak

begitu kitab melur di peta masir
bau asin terbawa angin
menghijaukan lembah batang hote
membuka pelepah melahirkan moyang

lihatlah urat kita
bagai karang penyangga pulau
berserat kuat mengikat lidi
di pangkal tombak kipung sakti

dan rajaraja mengenakan gaun
bersulam nyawa nafas bumi
di tenun moyang tua
di kaki sejarah kebringasan pesisir

2006

*) Kofo, pakaian adat tradisional Nusa Utara terbuat dari serat hote (pisang Abaka). Dalam legenda tua msyarakat Nusa Utara, dimana leluhur pertama orang Nusa Utara lahir dari pelepah hote. Kipung, pandai besi yang mebuat alat-alat perang kerajaan. Dewa gunung berjubah putih, Dewa laut berjubah merah. Ini sebabnya dalam budaya orang Nusa Utara, menjadi pantangan bila menaiki gunung mengenakan pakaian putih, demikian juga dilarang mengenakan pakaian merah saat melaut.




Maulana

Fatimah di mantra api
memancar siar suci selatan negeri
muadzin melantun adzan
sakralah langit kandahar
dalam sajaksajak maulana

Egaliwutang Taupanglawo
bersujud lima cahaya timur
menyingkap fajar istana Aling
di jejak tasauf sultan syarif
menyingsing pagi kaum fakir

membram surga bergetar di doa malam maulana
pucukpucuk daihango di kedalaman jurang
menyaksikan jibril berkuda kencana
berpacu dari arah qiblat
menjemput dzikir kandahar
di atas baitbait Al-Fateha

seorang lelaki bersorban putih
muncul di syair puncak Awu
di balik surau keramat
yang dijaga Islam tua

2006

*) Kandahar (Kendar) adalah kerajaan Islam terbesar di kepulauan Nusa Utara (Nusalawo). Siar Islam berkembang luas di kepulauan ini pada zaman raja Syarif Achmad Mansyur (Egaliwutang=Mehegalangi). Memerintah pada 1600-1640.  Raja ini adalah anak dari Sultan Syarif Maulana dari kesultanan Mindanao. Permaisyurinya anak dari raja Tahuna, Tatehe Woba bernama Taupanglawo. Wilayah kerajaan Kandahar membentang dari Kendar hingga pulau Saranggani Filipina.  Hingga kini, wilayah Kendar dan Tabukan Utara merupakan pusat kebudayaan Islam di kepulauan Nusa Utara. Syair-syair tua bernuansa Islam merupakan bagian dari kekayaan khazanah sastra purba Nusa Utara. Pengaruh Islam di Nusa Utara tidak saja berasal dari kawasan selatan Filipina, tapi juga dari kesultanan Ternate dan Tidore.



Bunga Alang-Alang *)

alangalang  terbang di bawah bulan
angin musim punya waktu dan jalan
lewati  igau memanjang di kenangan

suatu ketika, ia berjumpa serumpunnya
di sebuah padang:
“apa guna  gapai angkasa
sedang kau tak jalan ke sana
mencari hendaklah ke batas siang
di mana waktu selalu punya fajar”

rumpun itu pun melepas anaknya sambil berkata:
“terbanglah ke benua dan samudera
temui langit dan tanahmu
telaga-telaga tenang dan bergeriap
jejak dan  bening matahari
mereka yang memeluk pagi petang”

berjalanlah anak-anak itu dan dewasa
di susurinya langit  nyanyian mega dan sungai
hingga bertemu fajar dan suar terakhir
yang berkaskan isyarat nun tak jauh lagi

sebelum sampai di hitungan  habis ia berucap sendiri :
“anak-anak baru harus pergi  menembus abad
untuk dunia baru
di atas padang dan waktunya sendiri”

2006
 *) Pola kakumbaede religius dengan ornamentasi diksi dalam perlambangan dari zaman Nusalwo purba dinamisme. Banea dan Tangkule adalah dua penyair utama kerajaan Wowontehu yang mengembangkan  puisi jenis ini pada abad ke XIII.






Bunga Rumput

Dalam Mazmur Bahagia *)

 

Bungaku

Bungaku rumputku

sukmaku
sukma mazmurku

segalanya ada etalase  dan waktu
manusia butuh oase
sebab manusia senanatiasa dahaga
                        senantiasa mencari bahagia

dalam dzikir kucari guru bahagia
di hutan 
di kotakota
sama saja
bunga rumput di tanah
berjalar berburu embun
dan mata bunga salami kita, o… betapa damainya
dukakah yang mendamaikan kita
hingga manusia butuh ratapan
segala miliki entah mencari  entah
inikah kerenanya manusia butuh cermin
sebab selalu retak
dan mengubah  retak hingga mencapai entah
bungaku
bunga rumputku
sukmaku
sukma mazmurku
sebuah pelor
pelor sebuah
lelaki tua
tua keladi
menjadi tua bejat
tua tuhan
pelor itu
jiwa tua rapuh
o… bungaku terinjak
mazmur darah
milik siapa, entah?
mari kita lupakan ia untuk cinta

jika aku bisa menghitung banyaknya bunga
jika aku bisa merangkainya untuk dunia
o… betapa banyaknya keanekaan 
dari mazmurku hingga sejadah 
bungabunga airmata  tumbuh berjalar
mencari Ilah yang meridho  adzan bungabunga
memanggilmanggil dikau
memanggilmanggil dikau
melihat o…betapa indahnya warnawarni
betapa indahnya keragaman ini
bungabunga rumput di tanah
bungabunga rumput di belukar
bungabunga rumput di hutan
menyulam  ratap jadi senyum
seperti perempuan tua yang tabah
menjaga anakanaknya
hingga setiap orang bisa menyunting  cinta
o… bunga rumput mazmur bahagia ini
berkudalah seribu jibril  malaikat kebahagiaan
datanglah ke tanah ratap duka ini
duka bunga rumput menguncup
biar sempurnalah permata mazmur bagi nyanyian muadzin
ketika subu  petang
Bungaku
Bunga rumputku
Sukmaku
Sukma mazmurku

2006

*) Pola kakumbaede religius dengan ornamentasi diksi dalam perlambangan .  Banea dan Tangkule adalah dua penyair utama kerajaan Wowontehu yang mengembangkan  puisi jenis ini pada abad ke XIII. Mereka adalah para penghibur raja dan keluarganya. Pada perkembangan terakhir sastra jenis ini mengalami alkulturasi dengan budaya Islam dan Kristen.  



Sajak Penebang Bambu*)


segalanya ada ruas
ruang kosong dan air

tak ada lurus di bawah langit
berbuku tempat kehidupan bercabang
yang tumbuh selalu ingin ke langit
yang ke langit berjumpa angin
dari semilir hingga badai  terdengar gerisik
tebang- tebanglah sebatang buat serumpun tumbuh
tebang-tebanglah serumpun buat kehidupan merakit
dari kuala ke lautan kita berakit
setelah menepi jadi rumah atau bambu runcing
aku menebangnya lagi
ia tumbuh kembali
beruas
tak ada lurus

ruang kosong dan air meninggihkan ia ke langit
aku mesti menebangnya lagi

2006
*) Pola kakumbaede religius dengan ornamentasi diksi dalam perlambangan. Banea dan Tangkule adalah dua penyair utama kerajaan Wowontehu yang mengembangkan  puisi jenis ini pada abad ke XII.



Rahasia Alam *)

 

(1)

kunang-kunang membentuk bola api pada sebuah pohon
seperti stasiun dirindu penumpangpenumpang
manusia butuh aura seperti akar tunggang menyentuh magma
ambilah sepotong saat bulan penuh
agar dirimu memancar cahya
meski kelam dan kabut menyeruput
kelelawar dan hantu tak mendekat
pabila Tuhan bertahta di hati penuh hikmat

(2)

Tuhan menyimpan rahasia cinta
pada tujuh potong carang bunga mata terang
pada tujuh kata dirapal sisa nafas
pada tujuh hari milik siang dan petang
ambilah dengan tangan tanpa ratap
karena cinta selalu tersenyum meski langit gelap
dalam ikatan menyatu
hati merindu senantiasa bertemu
menyentuh

(3)

pohon  akarnya hanya satu
ia bekal  ke mendan perang
menang tak mungkin diraih
hati  bercabang-cabang

2006

*) Tradisi sastra magi menyimpan pesan rahasia (teka-teki). Biasanya disampaikan para moyang yang telah menjadi dewa lewat media manusia dalam keadaan trens (kemasukan roh leluhur).

 

 



Bekeng Mawu Jesus *)


Mawu mambeng metulung
sirung seng kasirung

orangorang merambat, bergeser, bergulir, merangkak, melejit, berkelebat, o…! pintu  sudah di sana. menanti setiap yang lewat. mengajak masuk atau mengusirnya seperti penjahat. bulan sepotong, matahari sepotong, bintang sepotong tertatih-tatih. bertobatlah karena kerajaan surga sudah dekat. katakata berkatakata. sepanjang waktu. tanpa henti. kesurupan, tergulingguling. berantakan jadi puing. Johanes kaukah itu. di sungai air mata.  ia membaptis. ia membaptis. ia membaptis. ia membaptis. ia membaptis. ia membaptis. ia membaptis mayatmayat.  ini tuwung surga. air dari sang Bapa. air mata sang ibu. sinar pengharapan berlaksalaksa generasi. kubaptis engkau. mayat bangun, menggeliat, merangkak, kesurupan, dan menemukan diriNya. ia lelaki.  jalanilah nestapamu hingga hari perjamuan kudus. lelaki menyiapkan adonan dan sosis bagi dirinya. dicampurnya seperti perempuan tua membuat roti. jika engkau menyiapkan roti dan menyantapnya di waktu pagi dengan segelas kopi. terasalah jiwamu bersemi berselang hari. dan ingatlah sang Bapa di surga menyiapkan roti dari dagingnya sendiri. lalu ia berkata: Akulah roti hidup. dan setiapkan orang datang menambahkan sosis menurut selera masingmasing diri. dan menyantapnya sendirisendiri. dan setiap orang  menamai sajian itu menurut citranya keinginnya masingmasing. Maria Magdalena dan seribu setan menari. Maria jatuh cinta. Maria memeluk menciumi cintanya.  berikan ia dunia Maria, kata setansetan. Maria menari kian panas. kian sesak. kian rindu. o…! lelaki masuk  adonan dan sosis. ia menjadi roti. Maria menangis, Maria sesal. Orang-orang dan siapapun datang memakannya. Maria ikut mencicipinya. semua kenyang. orangorang jadi  cerdas. ada jadi pendeta. jadi bupati. jadi gubernur, jadi presiden. jadi muadzin, jadi pertapa. jadi ini. jadi itu. jadijadian.. semuanya berkhotbah seperti dengung lebah. O…! lelaki kembali bergerak. betapapun sedunia orang memakannya, ia tak pernah habishabisnya.  dari mana, entah alasan apa. semua orang memanah dia. ya Bapa ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaKu. berkali-kali ia katakan itu dalam sunyi. dalam senyap. dalam kosong. dalam nol. astaga! orangorang  kembali dengan buas memakannya, mencabikcabiknya. lalu pergi, lalu kembali. pergi kembali. pergi kembali. pergi kembali. tak pernah habis. jika kamu semua masih ingin?  makanlah aku!

2005

*) Cerita Tuhan Jesus. Pola sastra tutur (bekeng= cerita pengajaran=sasasa). Jenis puisi liris yang bermaksud memberi petuah. Sastra bentuk  ini diperkenalkan sastrawan Toumatiti dari kerajaan Wowontehu. Dan berkembang pesat di masa ke-Kristen-an abad ke XV.




Bekeng Paramata *)

Ia bega mangarawang
Lensoku walae lido

antara dua sungai dimanakah jejak muara. di antara dua matahari ke senja manakah ia terbenam. di antara dua bunga pada musim manakah ia mekar. pada dua buah lubang luka  di manakah cinta menetes. tiada itu ada, abu ke debu, debu ke tanah, tanah ke pasir, pasir ke batu, batu ke bukit, bukit ke gunung, gunung ke awan, awan ke hujan, hujan ke laut, laut ke pantai, pantai ke tanjung, tanjung ke muara, muara ke kuala, kuala ke mata, mata ke air, air ke kabut, kabut, ke asap, asap ke api, api ke nafas, nafas menuju ke cinta, cinta ke hidup, hidup ke mati. Seperti telur hidup  menetas jatuh ke tanah jadi batang, batang jadi ranting, ranting jadi daun, daun jadi bunga, bunga jadi buah…itulah waktu. di tanah  kupijaki ini cinta bertumbuh selebat  semaut luka. waktu menjaga nafas berkatakata dalam bisu cinta. waktu  mempertemukan  memisahkan. waktu menghitung tanpa peduli ke mana nafas mengalir. waktu tak pernah berhenti menagih zaman dan sejarah. semua hendaklah berjalan mengikuti jejak ditinggalkannya. meski ia letih, ia tetap sabar berjalan menulis peta bumi karena ia tak pernah mati, meski sepi selalu menepi di tepi hari. mengapa waktu merantaiku dalam rasa haus teramat panjang. berapa lama lagi aku menanti. cinta seperti detik  pergi dan kembali. usia adalah menit  mengikuti jejak nafas. waktu adalah catatan menulis cinta dan maut di atas sebuah kertas bernama harapan. tubuh ini kering, tubuh ini haus, air mata membasu dingin dan petaka, dalam dua hujan  terbelah. cinta kapan engkau datang. penungguan kedinginan  dirawat  kemarau. sedang cinta membutakan aksara ditulis waktu. waktu menikam sepi sunyi ke dalam detakku. biarkan aku menanti dia sebelum air hidup mengering. agar sepasang merpati punya waktu kunjungi abadabad
aku mencari dia, dalam senja  merah
agar malam punya cahya, siang menjadi cerah

2005
) Cerita anak gadis yang menanti sang cintanya. Gadis disimbolkan permata (Paramata).Pola sastra tutur (Bekeng=sasasa). Jenis puisi liris yang bermaksud memberi petuah. Sastra bentuk  ini diperkenalkan sastrawan Toumatiti dari kerajaan Wowontehu.



 SERAT MAWAR*)

moyang memandikan manuru 
di pantai sembilan purnama 
pusaka cahaya peradaban tertinggi
air wangi sembilan lautan
buat sajak seratserat mawar

wahai kekasih  dipilihkan Tuhan
buat dukadukaku
bacalah kesedihanku  yang luhur
buat injil pagi senja
sebelum jalan pendek menikung
katakata berhenti
di batas malam
waktu beku
semenit seabad sama saja
jalanan selalu pendek buat cinta melintas
waktu beringsut cepat padahal kita butuh menit
berikutnya nepihkan kesah sebelum lisut
kita mesti melepas pelukkan
mengejar bayang keindahan pantai kenangan

angin mungkin berkabar sejumput kerinduan
tapi tak ada jalan bagiku  menuntunmu melewati milenia
seribu tahun selalu tak cukup bagi hati  mencinta
kecuali kelokan pendek di tanjung meruncing
ketika stom kapal menggemah
entah berhenti atau pergi
setidaknya kita punya saat
mengekalkan halhal  indah
dalam limit hidup kita
dan aku tak akan menulis apaapa
pada lembaran berikutnya
selain serat mawar ini 
pada lakon laut belum terpentaskan
pertunjukan itu hendaklah kisah abadi
bukan kisah Romi dan Juli
ditulis  Shakespeare untuk cinta yang pedih
kecemasan memang selalu ada dalam beberapa babakan
tanpa itu cinta semata angan
sebab air mata senantiasa bunga serpihan rindu
bila tiba saatnya serat mawar ini ditaburkan
kita butuh panggung lebih lebar dari dunia
karena epilognya berakhir di tengah surga

2005
*) tradisi Nusalawo purba, dimana sejak kecil seorang anak akan dimandikan air bunga-bunga, terutama bunga melati (Manuru) dan bunga mawar sembilan tangkai atau sembilan rupa pada sembilan kali purnama. Tradisi ini maksudkan agar kelak nanti, anak itu hidupnya akan membawa kedamaian dan keharuman karena kearifannya. Khusus perempuan yang mandi air mawar kehidupan cintanya pun akan terberkati.





WARISAN AYAH


yang diwariskan ayah tanah rumput itu
setelah pensiun ia dari masa perang revolusi
tanah rumput  subur air mata dan celotehnya
di sana impian, citacitanya di tegakkannya
                                            
ia tak memacak bendera
tanda kemenangan atau kemerdekaan
kecuali mengenang hutanhutan melebat
dan cabangcabang rimbun dedaunan
memayungi masa depan anakanak kecintaannya

kini, tinggal tanah rumput dan alang

ia pun berpesan; 
di atas tanah rumput itu bangunlah impian
bangunlah dengan sabar sambil belajar
merangkai kembali masa keemasan
ketika tak ada ratap anakanak desa  kedinginan
di tengah kotakota tak menghiraukannya

belajarlah menghitung kembali segala

yang hilang dari tanah air ini

agar di suatu hari tanah rumput itu
bersemi kembali
menjadi hutan dan padang bunga
negeri indah dimana cinta
dapat berteduh di bawahnya

2005



Dahan-Dahan Pala


ratusan kilometer baru aku sampai padanya
memandang dahandahan pala bergetar
bercerita kemegahan Ulu sebelum datang Belanda
derai air kuala mengusik sepi batubatu lava
suatu ketika aku membawamu ke sini
ke keindahan sunyi pulau
membaca sastra datukdatuk
yang menyala seperti magma
dialiran lempengan darah

kota itu bringas dan licin
ludah  air mata bercecer sepanjang jalan
lurus menikung

aku membawamu keluar
seperti elang  merantau
mencari negerinegeri di mana hujan selalu turun

hinggaplah kita di dedahan pala itu
seperti malaikat natal berkidung
agar di bawahnya
anakanak kita akan bertemu kado
yang kita bungkus
sebelum senja tersuruk di bilik malam

2005



Siau Bremen


Engkau  pergi dengan trem senja
bersama kenangan di kening ombak
terseret kereta cepat lewati Hanover
beku dalam dingin John Strasse
yang dulu dibangun dari rempah tanahku

bau salju bersalam: selamat pagi buatku
ketika angin nepikan rindu di akar laut
cengkramahi jejak arus yang dulu letih
mengziarahi dunia dan benua

adakah jawaban di Oldenburg buat prasangka
kecuali mencintai dan meraihnya meski pedih?

di Warpelough, embun merembes di pucuk bunga
bagi  getir matahari yang tiba esoknya
di lintasan jalanan Kassel 
hingga kotakota di depannya

o, baiklah…
hati  selalu mencari dan menguji
meski Tuhan sejak awal punya setumpuk kata
disalamkan hati selalu berasal dariNya
tapi kita harus mengejarnya di tepi sepi
yang selalu tanpa batas, tanpa benua

2005




Di Kepingan Malam Tahuna


kepingankepingan malam
pecah  di samudera sunyi adalah rindu
senyapnya mencakar kosong igau pergi
terluka  disayat diri sendiri

dunia hanya sebuah titik dalam rindu
tapi betapa pun itu Tahuna yang kosong
selalu ramai oleh bayangan tak bisa diraih
menggelinding di atas rumput rinai air mata

semenit betapa panjang bagi hampa
detiknya menggranat sisa senyum
dalam setiap ledakan itu kepingan malam jatuh
dan aku memungut potongannya
dalam getir laut yang selalu itu

2005



Negeri-Negeri Asing



di  Reinbeck hujan tak deras di rambutmu
ketika kau kibarkan kenangan kota kecil
tentang  cinta menantimu
konsermu pasti indah di  Pauli
stansastansa  mengalir liris  lantai pirus
santa santu mengabarku di  rinai gerimis

tapi cerita itu selalu asing
negerinegeri jauh  mendongengkan savanah
King Arthur mengacungkan pedang
menebas rinduku  di depan bayang kucintai

derailah malammalam sungsang air mata
aku di seberang negeri asing
menggelepar  dalam dentingan piano gesekan selo
tak bisa menangkapmu  pergi seperti merpati

dikau dan aku bisa dongengan itu
mite laut menghanyutkan putri ke negeri hantu
menjadi buku dibaca hening
pada suatu malam Tahuna yang kosong
dan engkau terus melangkah  menuju Berlin
bersembunyi di balik tembok
yang sesungguhnya telah runtuh

2005




YANG DIKATAKAN HENING


kini kutahu apa dikatakan hening padaku
di atas laut menenggelamkan dukaku
pusaran arus  merobek kenangan di buih getir
yang indah ini air mata  ombak 
yang tetap saja tak kuasa menghapus jejakmu
hesperos phosporos di waktu pagi dan senja
kau tetap cinta dan kematianku
pada setiap terbit  tenggelamnya matahari dan mimpi


2006

 




SENYAP DALAM KATA


senyap mengapungkan kata
bayangan kita
mendidih
di detak jantung angin
saat saga tak mengabar apa-apa

kemana ia bawa rinduku
memoar laut yang lepuh
yang meletus dalam sobekan kenangan kering
pada setiap lempengan sajak senja tua itu

hutan pun tak siapkan bunga
semak-semak jadi nakal
lalu apa  kita petik
pada tanjung  runcing
yang setia menikam gelombang

engkau tak lagi di sana
di Pauli melihat hati mengulai
tertelungkup di pagi bisu
tanpa kita
melesat menangkap gemawan pagi

diam ini  meledak di sayap-sayap hening
halilintar entah dari labirin mana
menggemah dalam hujan di kelompak mata
segalanya lepas
mengapung
dalam batas tanpa batas

kita  mencari
tak menemukan
kecuali perih dibawakan sekumpulan setan
tepat disayatkan di jantung doa  sisa nafas


2006

 



Di Bawah Valendam dan Pauli


di  Valendam Pauli kau mencari laut
buat bertemu pesan dalam angin
meski kau tahu penyair tak memiliki kata
ia menulis suara hatinya di dahan kenangan

sajaknya perahuperahu indah  mengapung
membawa pergi hatimu
di bayangan celedony negeri  bawah air
di lantai samudera itu sepotong hati retak
tak bisa direkatkan kerinduan

tapi, kau terus berjalan mengikuti sepi
berharap di bumi tak ada tempat tersebunyi
meski engkau yakin di bawah matahari yang sama
setiap manusia memang punya kisah sendiri

2005


 

GELEMBUNG AIR


ultra violet di atas lapangan kosong
bertanya rumputrumput kering
tahukah kau  makna hati merindu

gelembunggelembung air melepuh. Pecah…
melepas  gelisah hutan basah
air mata tak  menyaksikan sungai
hanyutkan potongan kangen melisut

manusia dalam gravitasi cinta
terbang tanpa sayap
mengepak dalam ilusi benda
apakah kau ingin memilih
bila pilihan tak beri jawaban
kepastian senantiasa di entah

gelembunggelembung air menguap 
dalam kenangan gelegar halilintar
membisikkan hujan di tepi doa

bilamana kau beredar dalam gravitasi dua dunia
bilamana kau tak kuasa rabah getaran hati melemah
gelembunggelembung air terus pecah
terus mengering
pecah lagi di tepi
mata

2005

 

KAU PANGGIL AIME


di laut hati yang luas
kau panggil aime
mengeja l’espoir  
bibir tak getar
karena hatimu tenang
kabung langit  pergi
ke pucuk angin
lewat malam

saat itu: aku membaca gelisah Pascal Riou
tentang:  in memoriam Nadia Collomb
berjalan gontai di atas pasirpasir sajak duka
buat bertemu dikau

moga kau tak bersua lariklarik perih:
(revant donc a nos vies
passantes entre I’adieu et le matin)
berpisah itu selalulah pedih

senja  menukik di pantai kau lewati
katamu indah, temantemanmu mengerti
kau panggil  lagi aime
maka kususur  beberapa bait
seperti ombak menyelusup jantung pesisir
(pesant a tout passage)
berharap tak ada catatan in memoriam
di segala yang  kau rentas
meski di kota pantai itu
mart, Boulevard, pohon catus tua angkuh
tinggal kenangan di abad  lain


2005

MENGENANG HUTAN



sulit mencari hutan di kota yang kilometernya sempit
pepohon di sudutsudut ratapi kenangan
anak pencari kayu bakar, bungabunga liar

kutulis hutan itu pada sebuah sajak
semacam surat  buat dia
agar ia selalu bisa ke sana

di hutan sajak itu 
dipungutnya potonganpotongan cabang
segala yang  tersisa
bertangkaitangkai bunga
semata  ingin pulang ke kenangan
seperti ditulis diari masa kanakkanak

dalam sajak itu, aku menemaninya
memasangi unggun
nyelipkan pasa di rambutnya
hati dan matanya lukisi telaga
dimana rindu berenang bertemu cinta
berjamjam kami duduk tanpa gelisah
memandang gerak api
hingga kobarannya membakar
semua kenangan kami


2005





DARI CEROBONG ANGIN BERTIUP


angin selatan  menderu landscape ini berdebu
Manado, kisah bandar dibangun budak tuan Belanda
cerobong-cerobong tua, gelap  menghitam
empatpuluhdua tahun aku melihatnya
kini tinggal satu dua  mengingatkan masa kemelaratan
diabadikan sejarah

setelah separoh abad dalam debu itu
siapa menyangka kita bertemu, segala  berbeda
kau  telah dewasa
meski jalanan selalu licin berhias lampu
membuat iri kunangkunang
dan tissue di tanganmu setia bersikan kulitmu
dari catatan kremus masa lalu

kita telah saling mencari di serpihan gelap
cerobong  angin kencang  jejak perjalanan
silam memang menyakitkan
tapi ia membuat kita kuat dan sama
memandang landscape kecil ini sebagai surga
bagi kenangan lebih panjang

2005

 

 

 

 

 









2 komentar:

  1. Selalu syahdu membaca syairsyairmu brother
    teruskan berkarya dan lestarikan budaya kita

    Salam hangat Q...Zy...~,*...

    BalasHapus
  2. Saya sangat tertarik dengan tulisan bapak, bisa saya minta kontak person untuk bisa diskusi dngn bapak?? Mohon balasannya atau di emailkan saja.. zulvichkar@gmail.com

    BalasHapus