Minggu, 06 Februari 2011

KEPAS (Novel: SASTRA CINTA)

(iverdixon tinungki)

 CATATAN PERMULAAN

Tahun 1995




“Upung-upung Baroa”

berekorekor Baroa meniti tanjung
impikan benua di balik samudera
meneduhkan saga di atas ombak
melukis rupa  lelaki
telanjang gila
Kepas tanpa kafan
kelaparan  di padang kematian :
“Carilah kebenaran dengan lentera
Di siang
Di tengah terik
Di  omongkosong
Hingga dari tumpukan itu
Kau dengar suaraNya
Suara  Dia
Lelaki yang sengsara”


(1)
            Siapa dia? Lelaki yang muncul pada setiap detakan nadi dengan kekuatan gaib manusia pulau di tengah hutan air itu. Ia yang senantiasa menyelusup hingga ke mimpi dan igau. Lalu menyedot keinginanku menemuinya.

Itu sudah puluhan tahun lamanya. Seperti jam indah yang disetel dengan benar. Terus bergerak dan mendetak.  Tapi aku tak bisa keluar dari panggilannya. Terkepung takjub, atau terperangkap misteria. Maka  kuputuskan meluangkan waktu untuknya.
Ini mungkin satu-satunya jalan membunuh risau setiap aku terpanggil olehnya. Dan untuk ini, aku harus menempuh perjuangan yang terbilang berat selama berbulan-bulan.
Ah… lelaki yang kulihat di senja yang murai. Lelaki yang setia memandang sayap-sayap hujan berkelindan di puncak ombak, hingga tiba waktu bianglala mengibarkan layar pelanginya. Lelaki yang menaru tangannya di hatiku, hingga aku senantiasa mengikutinya melintasi warna-warna perih. Dan dengan tangannya itu, ia terus mengetuk pintu surga yang gaungnya menjadi raungan menembus mimpi-mimpiku.
Akhirnya pula, Katamsi,  koordinator liputan  pada tabloid Kabar, tempat aku bekerja, mengeluarkan  rekomendasi permohonan cutiku yang sudah kuajukan berkali-kali.
Surat cuti di tanganku, yang kuterima saat menjelang pulang kantor membuat aku bisa bernafas lega di sore itu.  Sebab, aku telah lama dicekat oleh misteria yang terus menggumpal dan menghela ini. Masalah yang selalu meledak dalam otak dan keinginanku untuk menuntaskan beberapa hal yang masih tersembunyi dari lelaki itu.
Memang kupahami, amat berat bagi Katamsi, untuk menghentikan aktivitasku sebagai penanggung jawab reportase khas untuk tabloid yang kami bangun bersama-sama itu. Ia sangat mengandalkan aku, karena sekian waktu, seperti dikatakannya padaku, ia belum mampu melahirkan sosok wartawan yang punya kepekaan khusus untuk masalah-masalah khas, terutama human interest. Ia terus menunda-nunda permohonan cutiku dengan alasan yang masuk akal itu. Peradaban memang sedang mengering di tengah instrument media massa yang terperosok pada orientasi bisnis semata, dan abai pada pesan-pesan pengharapan. Ini sebabnya, Katamsi yang datang dari latar sebagai penyair membuka rubrikasi human interest sebagai oase bagi kedahagaan zaman. Dan memang benar, rubrikasi ini menjadi imej utama dari tabloid kami.   
Tapi, keinginan untuk bertemu Kepas sudah sangat membiusku. Sesungguhnya, apakah yang penting dari pertemuan dengan lelaki ini? 
Begitulah. Sekembalinya dari tugas khususku masuk ke sarang MNLF di Pulau Basilan hingga ke gunung Kararo yang menjadi kam pelatihan mereka, di Filipina, aku kembali mengajukan surat permohonan cutiku. Aku menjadi sangat berharap permohonanku itu dikabulkan. Apa pasalnya? Kisah lelaki itu tempo hari, sungguh telah menyedot keingintahuanku selanjutnya di tahun-tahun yang panjang. Syukurlah,  Katamsi, menjadi sedikit lunak dan meloloskan permintaanku, meski  hanya selama dua pekan.
Aku amat senang mendapatkan keluasan waktu dua pekan. Setidaknya, Kepas dapat kutemui. Itu saja.
Apakah Meria istrinya masih secantik saat kami bertemu?  Masihkah ia hidup? Tak ada kabar setelah puluhan tahun tidak bertemu dengan mereka. Lalu, siapakah di balik beberapa ledakkan bom yang telah menguncang beberapa tempat di tanah air? Apakah Herkanus, anak lelaki Kepas,  ikut bermain di tengah aksi teror ini? Yulin dan Dagos Jr suaminya masihkah  menjalankan bisnis senjata gelap ke MNLF dan MILF? Semua pertanyaan itu menggelantung, menggelembung dan jatuh seperti meteorit  di otakku.
Waktu di Basilan, Filipina,  aku sempat mendapatkan informasi dari beberapa sumber MNLF, di mana lingkaran pasokan senjata mereka masih dari Timur-Tengah.  Apakah Dagos, masih memainkan peranan dalam pemasokan senjata gelap  ke negeri Jose Abad Santos itu? Lalu siapa juga di balik pemasokan senjata yang berlogo PINDAT di tahun-tahun kemudian?
***

Juni 1995, aku sudah bulat berkeputusan bertolak dari pelabuhan samudera Bitung dengan kapal Perintis menuju Beo. Setidaknya aku harus berjumpa dengan Kepas. Aku harus melengkapi semua catatanku tentang dia, tentang kisah setetes air matanya dan aksi-aksi pembalasan oleh generasi-generasi berikutnya. 
Kepas, lelaki dengan sinar mata yang senantiasa membersitkan setumpuk penderitaan yang dilewati dan direnggut darinya. Dan jika ada waktu aku berkeinginan mengintip kenangan masa nakal-nakalku ketika remaja bersama Lian  di Goa Wetta. Mendengar simfony burung-burung ditingkah bunyi gerisik air yang leleh  di stalagtit. Jika masih bisa, aku mungkin ingin bersampan dengan Ben Liunsanda melintasi tanjung Ambora yang gelombangnya sangat dasyat.
Aku selalu ingin mengziarahi keberanian masa mudaku yang liar di atas amuk laut. Di atas ombak, di tengah gemuruh nan bringas  aku merasa bertemu waktu yang berharga dalam hidup. Di atas amuk ombak itu, aku laiknya kunang-kunang  merambahi rimba lebat dalam kesendirian. Seperti unggas dalam perjalanan migrasi melewati samudera menuju dunia nun tanpa ujung. Segala menjadi tersandar pada rahmatNya. Aku bertemu Tuhan yang ajaib itu dalam ketakberdayaanku pada alam. Saat-saat seperti itu betapa tulus, hati, jiwa dan rohku menaikan madah paling jujur yang meluncur bersama bisik-bisik doa yang kadar ketulussejatiannya seperti batu permata dimuntahkan magma dari jantung semesta  yang selalu rahasia. 
Disamping itu, masih banyak hal lain yang harus kutemui di sana setelah  sedarsawarsa aku tak lagi berkunjung ke sana. Mungkin mendaki punggung gunung Piapi atau menelusuri jejak buaya di beberapa andaara. Sungai-sungai yang selalu mengisahkan mitos yang takjub. Aku tidak tahu, apakah tengkorak manusia masa lalu masih berserak di goa Arangkaa dan Tatombatu?  Apakah mereka bagian dari anak seorang ibu di Afrika dalam sebuah periode migrasi yang tiba 20 ribu tahun silam, setelah melintasi Formosa? Atau manusia pagan yang keasalannya selalu gaib? Di sana, semuanya menarik dan senantiasa menghelaku ke sana.
Gugusan pulau-pulau karang Porodisa tak lain berupa jazirah misterius. Lagenda dan mite bercampur dalam kepercayaan agama Islam dan nasrani. Orang-orang yang hidup dalam singkretisme, dualisme, dan mistik tapi berbahasa  campuran milenesia-austronesia.
           Namun aku sudah berketetapan. Misi utama keberangkatanku  adalah menjumpai Kepas.  Kerena laiknya keyakinan Fromm, belajar pada gajah mati meninggalkan gading, maka setelah lahir, satu-satunya perjuangan besar seorang anak manusia adalah belajar untuk mati. Dan di sana, di kepulauan yang tertebar dalam jazirah perbatasan utara negeri ini, banyak anak bangsa tak diberi kesempatan menemui ajalnya dalam kehormatan. Mereka bagaikan buku tanpa isi, tanpa catatan, kecuali kesia-sian yang membekas di jejak air mata.
Sisi inilah yang menarik instingku sebagai jurnalis.  Konon mereka tak seperti daun gugur demi kegemburan tanah untuk kehidupan mendatang. Kematian mereka  seperti lenyap layaknya impian seorang bocah. Potensi diri mereka diambil dengan semena-mena oleh kaki tangan penguasa yang bermetamorfosis menjadi rezim tiranik. 
Dalam pelayaran yang melelahkan, di atas kapal yang dalam kiasan lama digambarkan; oleng-kemoleng oleh ombak gulung–gemulung, aku terus terhisap  persoalan yang belum berhasil kurampungkan itu. Aku selalu berada dalam suasana gelisah yang sedikit menegangkan. Tiba-tiba aku ingin bertanya kepada penumpang di sampingku:
 “Pernahkah engkau membunuh semut yang merayap di kulitmu?”
Tanpa ekspresi dari mulut lelaki berperangai tinggi besar itu segera meloncat jawaban pasti.
“Kita tak butuh setarikkan nafas untuk meremuknya! Dengan refleks tangan kita berkelebat menghimpitnya di antara kulit, lalu semut itu lenyap tergilas.”
“Adakah kau menengok bangkainya di mana?” tanyaku lagi.
“Kita hanya perlu mengibaskan telapak di tempat itu, dan segalanya selesai. Kita tak pernah bersoal dalam diskusi besar hakikat arwah-arwah semut, apalagi memperbincangkan perikebinatangan-nya. Semut hanyalah sesuatu yang semaunya kita bunuh. Seperti hal sepele yang datang dan perginya tak memiliki pengaruh pada keseimbangan semesta.”  Bernarkah? Ludahku tiba-tiba terasa pahit. Kukira itulah tabiat buruk manusia hasil pencekokan ideologi tanpa peri yang terekspresi di sana bahkan di mana-mana. Semua seakan tak perlu ritual, atau ekspresi khusus. Tak perlu lonceng untuk kabar kematiannya. Di hutan dan di kampung-kampung anjing-anjing tak perlu melolong untuk kematian itu. Tak ada kembang dan upacara pengantar menuju liang lahat. Semut yang dibunuh tak punya liang kematian. Entah ia punya tempat di surga, tak pernah dipersoalkan.
Di sana, kematian seperti itu telah ku dengar dari berbagai kesaksian dan kulihat dalam berbagai kurun waktu, sejak kecil ketika aku masih nakal-nakalnya memanjat pohon Mangga besar di balik dinding sel para tahanan PKI di Ullu Siau. Kenangan masa kecil itu terus melindap kemilau dan beterbangan dengan liarnya dalam cahaya bulan di relung ingatanku. Orang-orang yang tersekap diderah habis-habisan seperti memukul babi.
Aku harus mencari dan menemukan mereka. Begitu niatku hingga dalam kurun yang melelahkan, aku senantiasa dipanggil oleh peristiwa-peristiwa masa silam itu.   
Betapapun tak berharganya seorang manusia selalu mencita-citakan kematian yang layak. Kematian yang bisa dikenang anak cucu. Itu sebabnya setiap manusia berjuang membangun peradaban sebagai jalan menemukan kematian yang terhormat.   Ungkapan yang kudapat dari buku kecil seorang teolog pembebasan  yang dikirim profesor Carle dari Jerman padaku itu tanpa sengaja menjadi cermin yang teramat bening di pikiranku. Di situ sekaligus aku melihat mukaku yang coreng-moreng. Wajah yang mengkilap oleh keluh dan bayangan muslihat terselubung yang terpantul dari bingkai setiap pintu di mana aku coba mencari kebenaran di dalamnya. Di tengah mahalnya harga kebenaran, maka kabar  kebenaran itu harus kutulis sebagai kesaksian bagi generasi mendatang.
Kukira kematian-kematin di pulau-pulau sana adalah sesuatu yang lahir sebagai akibat pencekokan sistem nilai yang mengalir dalam kultur bangsa dan negaraku yang menurutku terus terpeleset dalam kegamangan dan chaos-chaos akibat memudarnya kearifan dalam diri para pemimpin. Pemimpin-pemimpin bangsa yang mungkin lupa bahwa negeri ini terdiri dari ratusan bahkan ribuan etnik, yang sekaligus menandahkan adanya ratusan potensi perbedaan. Bahwa perbedaan-perbedaan yang selalu disebut keragaman itu baru bisa dianggap sebagai kekayaan khas suatu negara jika para pemimpin mampu menempatkan pemerataan dan keadilan bagi semuanya.
Ternyata, mewujudkan keadilan yang merata itu tak semudah kita menyanyikan tembang perjuangan  “Indonesia Raya” atau “Bagimu Negeri” sambil mengibar sang saka Merah Putih seperti dalam film yang memuat berbagai kepentingan tertentu.  Kita punya satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, namun dalam perlakuan keadilan selalu ada saja perbedaan. Seperti pohon, negara ini berbuah diskriminasi-diskriminasi. Buah itu jatuh ke dada ibu pertiwi. Ibu yang terpaksa memeluk buah-buah penuh ulat. Buah yang menguapkan aroma busuk korupsi, kolusi, nepotisme. Bau itu menguap masuk dalam jiwa lebih dari dua ratus juta penduduk. Buah pohon yang disemai dari hutang luar negeri yang membumbung hingga ke pundak tujuh generasi yang belum lahir. Generasi yang akan segera mengidap penyakit rasa rendah diri di tengah paguyuban umat manusia antar bangsa, antar generasi. Generasi yang hanya bisa tersenyum dalam gorong-gorong gelap hatinya. Generasi yang segera berada di bawah tumit sepatu anak-anak negeri lain yang menginjaknya seperti kecoak busuk yang berseliweran di empar-emper kemegahan dunia abad dua satu.
Kesenjangan sosial tergelar seperti permadani. Kota-kota makmur berdiri di tengah tumpukan besar kaum miskin yang mendiami gubuk-gubuk reot yang setiap harinya dari sana terdengar teriakan lapar anak-anak. Kaum miskin gembel ini ternyata harus menyediakan banyak air mata agar mereka selalu bisa menangis.
Aku menangis di depan cermin di pintu-pintu lembaga  penegak keadilan kita hari-hari belakangan ini. Betapa sulit menjadi seorang manusia di negeri ini. Jalan menuju kematian di tanah-tanah merdeka ini pun harus melewati derita yang lebih dibanding kematian seorang manusia di negeri merdeka lainnya.
Gelombang laut Porodisa menggelegak di hatiku. Senantiasa menggelegak, seperti ayat-ayat gugatan surga pada jiwa dunia. Dengarlah… dengarlah, katanya; di segala pelosok terdengar teriakan, “Apa artinya bersatu jika hanya lainnya yang diuntungkan!” Meski di lain sisi, rasa cinta tanah air senantiasa melafalkan suara tak ingin berpisah. Suara-suara sederhana itu riuh pergi dan riuh lagi,  tanpa capek meneriakan nasionalisme yang ternyata lebih bermakna hegemoni. Mereka tak ingin jika negeri ini terpecah-pecah. Yang mereka cari adalah para pemimpin yang memiliki rasa keadilan bukan pemimpin yang datang mengunjungi lokasi bencana banjir dengan menggunakan mobil sedan import mewah. Atau, yang menyumbangkan bantuan amal untuk sekedar mendapatkan publikasi media massa.
Di negeri ini banyak orang melewati sejarah perang besar yang menakutkan dan mengerikan. Perang itu terjadi berkali-kali, berulang sepanjang zaman. Namun bagi sebagian orang, perang paling dasyat itu justru suatu pertempuran yang   terus berkecamuk setiap menit bahkan setiap detik dalam batin dan pikiran seorang anak manusia, ketika ia terdepak dari derajat kemanusiaannya. Siapa pun ia. Dan kini, peperangan itu ada di sana, dalam batin orang-orang tertindas, terpenjara, dan si miskin, yang ketakutan tanpa pengharapan. “Yang sebagian dari itu semua tersimpan di daratanmu!” Begitu kataku pada bebukit dan sehamparan daratan karang yang pelan-pelan didekati kapal yang kutumpangi.
Beo, sebuah kota kecil  yang kini harus kukunjungi, setelah bertahun-tahun terlupakan. Kecuali roman masa belasan tahun tentang cinta yang berakhir tak mengenakkan, yang tersimpan di sana, namun masih hidup dalam ingatan. Menjadi kenangan.
Kapal yang kutumpangi merayap pelan mendekat ke daratan itu. Angin panas bulan Juni menerpa mukaku. Kering dan asin. Mataku terkadang menjadi perih dan berair oleh debu yang terbawa angin. Aku menyekanya berkali-kali, tapi berkali lagi rasa tak nyaman itu menyerbuku. Aku kadang nerfous dan kacau. Kupikir ini mungkin ada hubungannya dengan sesuatu yang akan kujumpai di daratan sana. Tapi sangkaan itu selalu kuredahkan dengan kesadaran, bahwa mungkin aku terlalu terjerumus dalam sensitifitas yang berlebihan. Tapi semakin kutepikan perasaanku, gelombang sedasyat itu tak mungkin kuredahkan dengan hanya mengacungkan kebesaran hati. Aku bukan Yesus, yang bisa memerintahkan laut untuk teduh dengan sabda. Cerita menakutkan dan mengerikan dari Kepas, diam-diam mulai menghisapku, sehingga segalanya seakan memiliki ikatan psycologis dengan diriku.
 Daratan pulau Karakelang itu telah terlihat sangat jelas. Pohon-pohon kelapa menjulang bak lelaki lansia tanpa rambut. Angin laut samudra Fasifik  yang menyaput pohon itu hanya menggetarkan lidi-lidi yang tampak menghitam dengan bunyi gerisik yang resik dan kadang-kadang terdengar seperti suara arwah-arwah misterius yang muncul dari dalam tanah di rimbah pulau.
Daun-daun kelapa habis dilahap sexava. Kecuali cengkih dan pohon-pohon cocao yang tampak subur, tapi tak berharga. Harga cengkih jatuh di pasaran dimainkan sistem monopoli yang dilegitimasi negara untuk menguntungkan perusahaan-perusahaan yang dioperasikan kerabat dekat keluarga anak-anak presiden, menteri, gubernur, walikota dan bupati, camat, lurah dan kades, kepala jaga, hingga kurcaci –kurcaci kecil kaki tangan mereka yang bernama preman. Mereka itu bercokol dari dusun-dusun hingga ke pusat-pusat pemerintahan. Betapa benih-benih kegilaan itu telah merasuk menjadi sistem nilai yang tak kuasa ditepis seorang rasul sekalipun. Bahwa siapapun yang masuk kekubangan sistem pemerintahan yang busuk ini pasti bermetamorfosis menurut kehendak kegilaan-kegilaan itu.
 Petani-petani di tekan. Hak-hak mereka digorok. Jika stock cengkih berlebihan, petani-petani dianjurkan untuk membakar hasil panenannya. Di lain sisi, pemerintah terus meluaskan kebijakan import cengkih. Gila! Sedang Cacao yang dianjurkan pemerintah penanamannya, tidak memiliki pasar. Ah… negeri ini penuh sesak derita akibat tipu dan dusta yang justru dilegitimasi pemerintah.
Daratan ini  termasuk kawasan phery-phery. Kawasan pinggiran tingkat tiga dalam sistem pembangunan nasional dan kapitalisme global. Sebuah rantai penghisapan pusat terhadap daerah-daerah. Daerah yang hanya berharap hidup dari sisa remah-remah penghisapan itu, meski gerakan reformasi mulai dikobarkan. Begitulah setidaknya opini yang berkembang dalam tulisan berbagai media massa terbitan lokal. Tak heran, kawasan itu tampak sempurna potret kemiskinannya. Terisolir dan terpinggir. Kawasan pesisirnya diisi gubuk-gubuk reot para petani dan nelayan. Orang-orang yang kemaslahatan hidupnya tak dibela negara. Malahan, kemiskinan kaum pinggir ini dijadikan komoditi negara dan sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menggaet bantuan masyarakat internasional. Tapi bantuan itu tak pernah sampai ke tangan mereka. Tak menjadi nasi atau protein agar mereka tak busung lapar pada musim paceklik.  Apakah untuk ini hingga nabi sebesar Muhammad mesti mengingatkan umatnya; “Nasib suatu kaum hanya bisa berubah kalau kaum itu sendiri memperjuangkannya.”
Sebatang rokok sudah kuhisap sejak tadi. Perasaanku menjadi agak santai setelah itu. Sudah satu jam aku mensengajakan diri bersandar di sisi kiri pagar  anjungan kapal. Lamat-lamat, daratan itu dapat kulihat dengan jelas dan kukenali lagi. Seperti meneliti tiang-tiang masa silam yang masih memberkaskan sesuatu yang sulit terhapuskan dari ingatan. Beberapa orang dari penumpang yang memilih meninggalkan kabin, juga  melakukan hal yang sama. Mungkin sedang menandai kenangan. Mungkin tentang kepahitan, atau kisah heppy ending yang penuh rona keriangan yang pernah mereka alami pada waktu lampau di daratan itu. 
Laut begitu teduh menguapkan warna saga. Perahu-perahu penjemput tampak berbaris menunggu jangkar kapal meluncur seiring bunyi stom kapal yang memanjang. Stom keras yang mengusik istirah burung-burung kecil yang bersembunyi di reranting semak di sekitar tanjung yang menjorok ke laut itu. Persembunyian dari inceran batu ketepel anak-anak yang kini keseringan melatih keperkasaan naluri membunuh. Sebuah kultur kekerasan yang tersosialisasi bersama-sama sistem pendidikan yang oleh para pengeritik disebut sebagai otoriter, tidak demokratis, yang justru berujung pada penjerumusan, bukan penyadaran manusia atas kemanusiaanya.
“Aku sudah kembali,” bisikku pada keriuhan suara para buruh dan penjemput di pantai sana. Darahku sontak mendidih menyaksikan daratan ini lagi. Kembali mencari kesaksian dari peperangan itu. Kesaksian  yang teramat penting agar kehidupan ini tak sia-sia. Mungkin bukan cuma untukku, tapi kepada siapapun yang pernah lahir, atau yang sekedar mampir dalam kehidupan, menjadi warga negara sebuah bangsa, dan warga dunia.
Aku mungkin orang pertama yang paling banyak menyumbangkan air mata ketika mendengar kesaksian itu. Padahal, aku sebenarnya tak ingin kembali ke sana, ke kota kecil itu. Kota para pribumi yang terpencil, terpinggir dari apa yang bernama kemewahan masyarakat kota, atau perbincangan-perbincangan sengit tentang politik, perubahan sosial dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin, atau pergeseran nilai yang mencolok antar generasi.  Sebab jika aku ke sana apalah artinya. Aku tetap sang lain. Aku bukan seperti Susan yang begitu benci sikap lelaki dari kepulauan ini. “Pengecut,” kata Susan temanku. Ia menggeneralisir sifat manusia karena terbakar dendam. Pengorbanan keperawanannya yang kemudian tidak dihargai Agus telah memicu dendam itu. Agus memilih pergi dengan perempuan lain. Sementara Susan, terbiar di jalanan, di bawah matahari, dengan secuil sisa harga diri. Tapi itu tragedi tersendiri seiring munculnya kultur ambigu dalam diri generasi masyarakat kita.
Ini juga bukan karena pada akhirnya aku tidak berhasil menikahi Lian. Gadis keturunan Tionghoa, yang bibirnya selalu meranumkan kegembiraan. Yang selalu hangat ketika kukulum. Ah… Tidak sama sekali. Aku memang pernah mencintainya. Bahkan hingga saat ini aku masih mencintainya. Namun sebagai anak pribumi, aku harus menyerah pada adat. Anak-anak Tionghoa, bagaimana pun mereka berasimilasi di negeri ini, mereka tetap kelompok eksklusif. Perkawinan sebangsa tetap menjadi impian warga keturunan itu. Sungguh aku tidak membenci Lian cuma karena tabiat temurunnya. Bahkan aku telah belajar darinya dimana kesejatian cinta bukanlah dermaga bagi perkawinan. Meski cinta sejati sesungguhnya adalah perasaan yang senyawa. Kita tetap butuh keihklasan juga untuk melepaskannya. Itu hukum alam yang tak terbantahkan, begitu kataku tempo hari ketika menghibur diriku sendiri dari rasa ingin bunuh diri karena berpisah dengan Lian. 
Namun bukan kisah picisan masa remaja yang kanak-kanakkan itu lagi yang ingin kutemukan di kota kecil ini. Dan bukan kisah itu yang akan terpaparkan nanti. Cuma saja, di sisi lain, pemburuan cintaku di kota kecil yang sunyi itu, telah mempertemukan aku dengan Kepas. Sosok lelaki yang kemudian akan menjadi tokoh sentral dari kisah-kisah berikut.

***
(2)

Pertemuan yang tak disangka-sangka, di paroh 1970-an.
Pertemuan itu sebenarnya sesuatu yang tak di sengaja. Mungkin inilah namanya suatu pertemuan yang direncanakan Tuhan. 
Suatu sore, ketika senja memerah di lautan. Denyar keemasannya melukisi kaki langit yang terus meninggi dari batas horizon, hingga ke punggung mencekung di atasnya. Warna senja itu kemudian menikung halus  ke ufuk timur yang kebiruan seperti mengikuti garis kubah langit.  Ketika itu, laut serupa gambar lukisan naturalis. Bayang-bayang awan di atasnya bergerakgeriab mengkilap keemasmerahan. Negeri Fasifik yang terik.
Aku di sana sepulang mengantar Lian. Kami baru kembali dari kampung Rainis dengan mobil Mikro yang dikendarainya sendiri. Dari ketinggian sekitar delapan meter di atas permukaan laut, kira-kira lima ratus meter dari rumah dinas pamanku tempat aku menginap, di dataran yang persis mendekati pantai yang menjadi tempat berlabu kapal-kapal, tanpa cerocok, apalagi dermaga. Di depan bagian kiri kantor Koramil – sebuah kantor jaga para tentara yang dikonsentrasikan untuk pengamanan wilayah kecamatan – seorang lelaki tinggi kurus tampak berkeringat, padahal senja telah merentangkan sayap-sayap dinginnya.
Berkali-kali lelaki itu meludah ke rerumputan di pinggir parit. Ia memang sedang membersihkan parit saluran air. Parit yang  menghitam dan berbau di pinggir jalan yang tak jauh dari pasar ikan.  Lelaki itu kira-kira lima puluhan tahun lebih umurnya. Wajahnya, sekilas menyimpan perasaan letih yang juga menghitam.
Angin sore terasa basah memukul punggungku ketika lelaki itu menyeringai ke arahku. Sejurus kemudian  ia melemparkan lagi pandangannya ke parit. Ia kembali asyik memainkan cangkul kecilnya menerabas rerumputan yang meliar di sisi-sisi parit.  Rumput-rumput itu menutup jalan air yang menyemburatkan bau anyir. 
Beberapa mobil berkali-kali melintas di jalanan tanah di pinggir parit menerbangkan debu kering ke udara. Lelaki itu bersin beberapa kali setiap ada mobil yang melintas. 
Sebenarnya, telah beberapa kali pula aku berpapasan dengan lelaki ini. Setiap berpapasan, aku selalu terpana bila berbenturan mata dengan dia. Aku telah melihatnya beberapa kali juga di seputaran kota, dengan pekerjaan yang sama. Atau sesekali ia terlihat memikul sampah-sampah busuk dengan karung goni dari beberapa rumah agak mewah. Mungkin milik para pejabat, atau orang-orang penting. Aku sebenarnya bertanya-tanya dalam hati sejak itu, siapa lelaki dengan sinar mata teramat letih ini. Apakah ia manusia tergembel di dunia? Pangeran yang menyamar menjadi lelaki buruk rupa, hingga bisa akrab dengan rakyat? Atau seorang kriminal yang baru memperkosa seorang gadis anak pemilik rumah mewah yang baru ia tinggalkan itu, lalu menyamar seperti buruh sampah?  Banyak pertanyaan menggantung di benakku.
  Lelaki yang wajahnya selalu disaput debu kering jalanan. Lelaki dengan keringat yang menyemburkan aroma keras yang memualkan. Apakah ia punya isteri? Kalau punya, apa peran seorang isteri kalau tidak merawat suaminya? Dapatkah seorang isteri tidur dengan suami yang menyembunyikan penderitaan, tanpa diketahuinya sama sekali? Apakah ia punya anak? Kalau punya, bagaimana mungkin mereka menemukan kebanggaan di sinar mata sekelam itu? Bisakah ia menjadi cermin tempat anak-anaknya merefleksikan diri? Dimana familinya? Banyak pertanyaan muncul, pergi, dan muncul lagi. Atau apakah ia arwah orang mati yang berlalu-lalang dan hanya aku yang melihatnya karena mataku terang? Apakah masyarakat di sekitarnya telah buta, atau kehilangan bola penglihatan di kelopak matanya, sehingga tidak bisa melihat dan menangkap makna yang terpancar dari wajah penuh kesah ini? Ataukah tak ada tempat lagi bagi kesadaran akan rasa kemanusiaan di kota kecil itu? Sudah matikah rasa kemanusiaan?
Hari itu, di tengah  gerimis yang mulai merinai. Kulihat dia lagi-lagi di parit  depan Koramil dengan pekerjaan yang sama. Seperti sebuah lukisan dengan tema keburukan yang terpasang pada sebuah pigura tua  berdebu. Penyok-bonyok dan rongsokan oleh waktu.  Pakaiannya lusuh, menghampiri pakaian yang biasa dikenakan orang tak waras.
Mungkin karena sedemikian letih, lelaki yang kuperhatikan itu lalu mengasoh sejenak di bawah pohon Manggustan kecil di depan kantor tentara yang bercat hijau dengan kombinasi hitam. Kantor dengan tiang kayu dan dinding papan. Kantor ini merupakan tipe bangunan yang berbentuk barak. Konon dibangun pada masa awal Soerharto mengambil alih kepemimpinan nasional dari tangan presiden pertama Soekarno. 
Sesaat kemudian, gerimis menghilang. Lembayung mulai mengganti mega-mega mengisi warna  kekelaman ke gigir-gigir bukit dan kaki-kaki langit. Beberapa kali lelaki itu terlihat menguap dan mengerak-gerakkan badannya hingga terdengar bunyi derak dari tulang belakangnya. Setelah itu, ia memang tampak santai. Mungkin tulang-tulangnya yang kaku sudah terasa longgar dan nafasnya yang berat agak legaan. Tapi sorot mata itu, mata yang menghitam di antara tulang pipih yang mengering tak pernah terbersihkan dari gambaran beban yang menindih entah di beberapa tempat di bilik hatinya. Kubaca mata lelaki itu. Mata yang tak dapat mendustakan hikayat penuh perasaan sakit yang pernah lewat dan tersaksikan olehnya.
Tak berapa lama. Seperti juga secara sengaja, Tuhan mau menjelaskan makna dari sinar kegelapan wajah lelaki itu kepadaku. Seperti sebuah puisi sederhana yang maknanya betapa gampang terkisahkan.
Seorang tentara dari pos penjagaan   terus mengawasinya. Tentara yang kulihat berpangkat Koptu. Dari lengan bajunya berkilat dua garis merah darah yang sejajar ketika tertimpah lembayung. Tentara itu  dengan cepat meninggalkan posnya menuju ke arah si lelaki. Sesampainya di belakang si lelaki dengan sinar mata letih itu, ia langsung menendang punggung si lelaki diselingi beberapa ocehan yang tak jelas kudengar. Si lelaki  dengan cepat terjungkal, menukik ke parit. Air becek hitam  berdebam dan berhamburan ke atas tertimpah tubuh kurus yang jatuh seperti sebuah batang tua yang patah dihentak gigi guntur yang dasyat. Setelah menendang, sang Koptu, pergi begitu saja, masuk ke kantornya. Seperti tidak ada perasaan bersalah sama sekali di wajah sang Koptu. Hatiku tercekik menyaksikan kejadian biadab yang menakjubkan, yang berlalu begitu saja ditelan senyap kota kecil ini.
“Tuhanku, inikah puisi kongkritMu itu?  Dan itukah arti dari sinar letih mata lelaki ini? Tak ada jerit atau suara keluh dari si lelaki. Apakah ia tak punya suara lagi untuk mengekpresikan perasaan sakit? Ia seperti benda mati atau batu yang jika timbul keinginan kita untuk melemparkannya maka spontan kita melemparkannya, tanpa mempedulikan riwayat dari batu itu sendiri. Entah ia tenggelam di kolam, di bibir pantai yang berombak, atau menggelinding ke tebing curam. Bahkan pecah berkeping-kepin ketika menghantam batu yang lain jauh di bawah dasar jurang?  Ataukah di suatu hari batu itu telah menjadi inspirasi bagi pembangunan suatu menara gereja atau mungkin menara Babel? Sungguh suatu kejadian yang kian misterius untuk ukuran perasaanku.
Lelaki itu tak bersuara, apalagi sedikit menjeritkan rasa kesal. Siapa lelaki yang sedemikian sempurna menikmati indahnya rasa sakit itu?
Aku berkeputusan menghampirinya, ingin menyapanya dari dekat, biar dukanya yang kian merindingkan itu bisa berbagi denganku.  Ia berusaha naik dari parit yang dalamnya sekitar satu meter setengah. Tubuhnya bermandikan lumpur hitam. Ketika melihatku, ia dengan cepat  mengulurkan kedua tangannya memberi tanda mencegat jangan mendekat. Aku kaget melihat reaksinya. Setelah mencapai tepi parit, ia menatapku dengan sinar matanya yang aneh. 
“Kau pasti orang baru di sini,” katanya sambil berusaha menepis becek yang berbau busuk dari tubuhnya. Bau busuk itu tercium hidungku meski aku berdiri beberapa meter darinya. Sesaat kemudian ia berkata lagi, “Aku ini dituduh PKI.”. Suara yang keluar terdengar semacam gumam yang pahit dan datar.
“Ini sudah nasibku. Jangan menolongku, jika kau menyayangi dirimu,” sambung lelaki itu, dengan suara serak yang diselingi batuk keras yang kering.
“Apakah semua orang PKI di sini diperlakukan seperti ini?” tanyaku, sambil berusaha membuka ruang komunikasi dengannya. Lelaki itu mendongakkan kepalanya. Beberapa bagian bibirnya nampak pecah-pecah dan pucat. Mukanya yang rusak dengan beberapa bekas luka begitu jelas terlihat meski dilumuri becek yang terus merembes ke lehernya.
 ”Ini baru bentuk hukuman yang ringan. Masih banyak yang lebih berat. Kami sebenarnya sudah mati meski masih hidup,” ucapnya dingin. Aku menoleh ke langit agar tak larut melihat penderitaan dia yang tergambar di raut mengasihankan itu. Sementara dari arah pos jaga Koramil, sang Koptu menyeringai ke arahku dengan tatapan menghardikku. Tapi aku tak peduli dengan lelaki brengsek itu.  Kalau pun dia berani melakukan sesuatu akan kulawan dia. Toh, sebagai jurnalis aku punya hak dilindungi undang-undang untuk mengungkap semua tindakan ketidakadilan yang seperti baru dilakukannya pada lelaki itu.
“Jadi janganlah bersimpati, apalagi menolong kami,” kata lelaki itu lagi, yang mungkin memahami arti tatapan kerasku pada sang Koptu.
Perasaanku tiba-tiba kian perih, kian terenyuh. Apa yang kusaksikan di masa kanak-kanak di Ullu Siau, dari atas pohon Mangga di balik sel para tahanan PKI  di kantor Koramil, berkelebat sepeti klise-klise gambar yang disorot projector empat milli dari ingatanku.
“Merokok?” tanyaku.
Ia mengangguk. Ku lemparkan sebungkus rokok ke sampingnya ketika ia kembali berjongkok menuruni tepi parit. Tanpa bicara lagi kutinggalkan lelaki itu. Dari jauh berkali-kali kupalingkan kepala melihatnya. Di sana ia terlihat kembali mengerjakan pekerjaannya, hingga senja menelungkup, dan kegelapan menyembunyikan bayangannya di antara tepi parit bersama sunyi.
***
Sejak perkenalan penuh rona mengerikan itu, berhari-hari kemudian aku berhasil menemuinya lagi dan ia ternyata bersedia berkomunikasi denganku. Sejak itu, aku melakukan pertemuan secara intensif dengan lelaki yang kemudian kukenal namanya Kepas.
Rumahnya di desa Makatara. Sebuah desa yang terletak di arah kiri dari kota Beo bila kita melihatnya dari laut. Kepadaku Kepas mengisahkan, katanya, desa Makatara merupakan desa tua yang menyimpan sejarah Hindu purba. Desa yang konon dibangun seorang Mpu yang diutus patih Gajah Mada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit.  Sayang mite dari tanah Jawa itu tidak banyak menyisahkan bekas, selain alat-alat musik dari penguyuban tradisi Hindu Jawa seperti gong dan gamelan yang terbuat dari besi dan tembaga yang masih tersisa yang mereka namakan nanaungan. Simbol-simbol kekristenan terutama dari denominasi protestan seakan telah mengambil alih semuanya. Menjadi wujud peradaban baru di sana.
Berbincang-bincang di rumahnya sangat mengasyikkan. Kepas banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya, dan pengalaman rekan-rekannya korban-korban stigmatisasi PKI yang dilancarkan penguasa. Kadang kami ngobrol sambil mendaki gunung Piapi di belakang desa Pulutan. Di hutan-hutan kayu Sisak dan Batuline itu ia banyak memberikan aku catatan-catatan sekaligus membukakan pintu-pintu inspirasi bagi tulisan-tulisanku.
 Sayang pertemuan-pertemuan kami di rumah mereka di desa Makatara dan di tempat lain yang penuh sinfony itu, tercium oleh tentara.
Pada suatu hari, dari istrinya, aku mendapatkan kabar, Kepas telah dijemput tentara pada suatu malam. Ia dipukuli seperti anjing di depan istrinya. Lalu, di bawah entah kemana. Duka pun tiba-tiba menggelantung di hatiku, tapi apa yang dapat kulakukan. Aku berpikir keras. Tapi, memang sulit mencari jalan keluar di tengah sistem penindasan yang telah terpola sedemikian ini.
“Jadi jangan menemui dia lagi, atau menemui kami, agar kami tidak mendapat malapetaka,” ujar Meria, istri Kepas, memohon kepadaku dengan suaranya yang lirih di antara isak tangis dan linangan air mata yang menderas, ketika itu. Aku hanya bisa menunduk. 
”Kami dilarang berbicara kepada siapapun apalagi dengan seorang wartawan,” sambung Meria lagi. Kupahami semuanya, dan aku harus memilih tidak bertemu lagi dengan Kepas sampai aku meninggalkan Beo di bulan Mei tahun 1975.
Sebagai seorang jurnalis, aku kemudian sedemikian tergoda bahkan terobsesi untuk menulis kesaksian-kesaksiannya. Kesaksian-kesaksian yang kunamakan sebagai peperangan terdasyat yang terjadi di padang batin. Batin yang tak berdaya. Berserakkan di tanah yang di basahi air mata. Aku dan Kepas telah bersepakat untuk itu. Sayang pertemuan itu begitu singkat, dan kesaksiannya belum usai kusalin. Namun, cerita-cerita Kepas yang belum selesai dipaparkannya padaku telah mendorong aku berkesimpulan sementara dimana ia adalah seorang lelaki tua yang sarat pengalaman luar biasa untuk ukuran manusia normal. Pengalaman-pengalaman itu telah membuat ia cerdas memahami kehidupan. Ia telah bekenalan dengan banyak manusia di tiga negara dalam kurun hidupnya. Dan pengalaman getirnya telah sampai pada titik keabsurdan. Eksistensi kemanusiaannya telah dicabik-cabik cakar mengerikan penguasa tiranik yang bersinggasana di negeri Garuda Pancasila. Burung sakti simbol pelindung anak negeri, tak sedikit menoleh padanya dengan kasih. Malahan cakar-cakarnya yang tajam menjadi bayangan kematian bagi banyak anak negeri yang memujanya. Garuda dengan sayab-sayab yang terkembang, mata merahnya menoleh ke kanan, bak burung suruhan para tukang Songko dan Taharoti, yang siap-siap menanti perintah dari si tuannya untuk mematuk lawan-lawan. Kepas  adalah korban dari patukan bengis burung tukang santet itu. Ia telah dibanting oleh kegarudaan penguasa. Ia kehilangan ruang-ruang kemerdekaan untuk mewujudkan potensi-petensinya sebagai manusia sejati. Ia kehilangan oksigen kehidupan bagi pemekaran pribadinya. Perasaan sakit distigma sebagai PKI, membuat ia bukan lagi bagian dari koletiv anak bangsa. Bahkan penderitaan itu terus memanjang melintasi sekian generasi di belakangnya. Generasi tanpa cantelan harapan, dan masa depan.
Memang aku telah lama berkeinginan menulis outobiografi lelaki itu. Tapi karena kesibukanku di dunia jurnalistik, keingin itu hampir sirna begitu saja. Hingga pada suatu malam di ruang baca di rumaku, dalam keadaan antara tidur dan terjaga, aku mendapatkan surat aneh dari seorang perempuan misterius yang wujudnya tidak begitu jelas. Perempuan itu, tiba-tiba saja telah berdiri di depanku dan menyerahkan surat itu, lalu pergi. Saat kuikuti, ia lenyap di ujung gang. Dan surat aneh yang kuterima dari perempuan itu telah menyedot keinginanku untuk menjumpai Kepas lagi, meskipun di hatiku telah tumbuh rasa ketidaksukaan terhadap kota kecil yang tak ramah padaku. Surat yang kuterima itu berisi permitaan Kepas untuk menjumpainya di Makatara.
             Agaknya memang harus kupaparkan alasan dari ketidaksenanganku pada kota Beo. Dimana ada semacam kebencian tanpa alamat, yang tiba-tiba hidup dalam benakku. Kerinduan seorang lelaki yang birahi sekalipun jika telah dihinggapi kebencian semacam ini akan mengalami degradasi selera. Bukan juga karena tatapan  sungutan yang aneh, dan mungkin menjijikan dari orang-orang yang memandangku. Kebanyakan orang di kota kecil itu, seakan telah terbiasa melihat para pendatang  seperti melihat boneka plastik yang banyak mengapung di pantai mereka. Boneka-beneka yang telah berstatus limbah yang di buang negara-negara di  jazirah Fasifik. Mungkin dari Filipina, Hongkong, Jepang, atau dari seberang  Jiran. Boneka yang kemudian dipungut anak-anak dan menjadi mainan lempar-lemparan, sambil bergurau di pantai, di atas tandusang.
Tidak. Aku tidak membeci tanah air dari leluhur ibuku itu. Meski aku telah dibesarkan dalam kultur perantauan yang    cosmopolit. Aku tetap mencintainya. Bagaimanapun, ibuku berasal dari kepulauan ini. Perasaan ini semata-mata dikarenakan aku mengalami kesulitan memposisikan diri di tengah komunal yang kukira aneh tingkahnya jika ditimbang dari sudut kemanusiaan yang normal.
Beo, sebenarnya hanya kota kecil, yang lebih mirip perkampungan. Tidak ada dermaga laut. Padahal lalu lintas yang menghubungkan kota itu hanya paling bisa dilakukan dari laut. Sepanjang pantai hingga kira-kira limaratusan meter ke laut, hamparan karang membuat pesisir ini begitu dangkal pada masa air pasang sekalipun. Beo, bagaimana pun kecilnya, harus disebut sebagai kota karena pernah menjadi pusat kerajaan Makatara dimasa Hindu seperti dikisahkan Kepas dulu. Sejak lama mereka sudah menjalin hubungan dengan kerajaan Kutai dan Samudera Pasai.
Dataran pemukiman penduduknya—yang menjadi jantung kota-- tidak begitu luas. Hanya sekitar puluhan hektar. Gunung-gunung yang tidak begitu tinggi, mengepung dari arah utara dan memanjang keselatan. Di utara ada gunung Wowon Duata. Dari namanya, gunung ini dikenal agak keramat. Ada semacam mite yang berkembang sejak masa purba dinamisme, dimana gunung ini merupakan tempat persemayaman arwah-arwah leluhur yang sakti. Kekuatan sakti yang ikut berdinamika dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan menjadi sistem nilai masyarakat. Di Selatan ada gunung Piapi. Bentangan yang kurang lebih enam puluh kilometer ini masih diselingi beberapa gunung seperti Wowon Warawan, Wowon Mandeeta, yang puncaknya sekitar seribu tiga ratus meter di atas permukaan laut. Dimana- mana mengalir Andaraa. Sungai-sungai itu mengalirkan air  cukup bening, hingga menjadi sumber air minum masyarakat. Di sungai-sungai itu hidup banyak buaya. Buaya-buaya ini kadang merupakan bentuk dari mahkluk gaib dan mistik.
Meski sudah di pintu melenia ke tiga, Beo belum juga dirasuki bau kosmopolitan.  Ada orang yang masih hidup dengan tradisi  mereka yang oleh kaum samawi ortodoks dinilai menjijikan dan singkretis. Tundingan semacam itu sudah ada sejak masa penginjilan dan dicatat para misioneri dalam buku-buku mereka. Hingga kini pun, masih ada orang-orang yang hanya berbuat ramah kepada para pendatang karena ada maksud tertentu. Ada semacam insting tercelah yang telah mengendap dalam cara hidup sebagian dari mereka dalam menghadapi para pendatang, atau orang-orang yang baru menapaki kota itu. Orang seperti itu akan begitu bangga dan merasa superior jika berhasil membodohi para pendatang. Sifat itu juga sering mereka terapkan kepada sesama penduduk kota dan famili. Makanya perselisihan dan persengketaan antar famili sering terjadi. Namun, itu bukan sifat asli  dari kultur mereka.
            Secara historis, seperti kesaksian para misioneri, sifat masyarakat seperti itu lebih merupakan ekspresi perlawanan terhadap penindasan yang telah berlangsung ratusan tahun di negeri mereka. Sejak abad 16, harta dan tanaman-tanaman mereka selalu dirampok, oleh para perompak Mangindano dari kepulauan Sulu, di Filippina. Pada masa penjajahan Belanda, mereka hampir-hampir kehilangan hak mereka atas tanah dan harta-harta mereka lainnya. Di masa pendudukan Jepang, mereka menjadi para pekerja paksa dan  banyak yang dibunuh. Perempuan-perempuan diperkosa.
Semua kesakitan itu, telah membuat mereka menjadi manusia baru. Manusia dengan perangai kasar dan congkak. Kebiasaan menipu yang diam-diam berkembang menjadi kultur. Sikap malas yang menjadikan mereka miskin.  Kultur baru ini merupakan bentukan untuk melawan penindasan itu sendiri. Sebab untuk apa mereka menanam, kalau pada akhirnya mereka tak menikmati buah jeri payahnya. Mereka harus bisa menipu karena selama ini mereka tertipu. Mereka harus kasar dan congkak, karena mereka telah dikasari sekian ratus tahun.
Di sisi lain, ketertinggalan atau lebih layak disebut keterasingan kawasan itu adalah memang potret kebanyakan dusun-dusun di wilayah Timur Indonesia Raya, yang pada masa dari apa yang disebut sebagai fase kediktatoran, sengaja dibiar menjadi miskin, agar masyarakatnya bodoh, lalu mudah dieksploitasi. Mudah didikte.
Namun aku datang jua ke sana. Bertemu Kepas secara langsung untuk mewawancarai dia menjadi sesuatu yang lebih penting dari pada  kebencian yang mengalami musim semi di jiwaku.


***


(3)

Udara agak beku sore itu, ketika kutinggalkan dek kapal Perintis yang terkenal jalannya seperti keong, dan melompat ke perahu pamo yang akan mendaratkan seluruh penumpang kapal di kota kecil itu. Beo, masih saja seperti puluhan tahun kemarin. Tak ada pelabuhan. Sedangkan kapal yang merapat di sini hanya kapal-kapal tua milik Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia “Pelni”. Kapal-kapal tua yang bentuknya seperti kotak rongsokan. Dan juga ada beberapa kapal kayu buatan lokal yang bermesinkan Yanmar enam silinder. Untuk ke tempat ini, sebuah kapal harus berlayar dua sampai tiga hari, kalau musim tenang. Jika cuaca sedang musim angin Selatan, perjalanan ke tempat ini bisa memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu karena kapal harus mencari perlindungan dari badai dan ombak besar yang langsung menerjang dari lautan Fasifik. Di tanjung Ambora, ombak di sana bahkan menjadi ombak abadi. Maklumlah, kepulauan ini merupakan negeri di lingkaran ombak. Ombak yang senantiasa dipercik Taghaloang, dewa laut Fasifik. Tapi semua ini pun mengajarkan keperkasaan lain bagi anak-anak pribumi, serupa kearifan kultur maritim “Sansiote Sam Pate-Pate”, yang jika diartitafsirkan bermakna: ”Hidup adalah pergulatan tanpa henti”.
Buruh pemikul orang dan barang dari perahu pamo masih saja meriuhkan semacam bunyi percakapan dari bahasa ibu. Bahasa yang juga masih sering kugunakan ketika bercakap-cakap dengan ibuku. Wajah mereka keras dengan tulang-tulang yang kuat.  Mereka melakukan pekerjaan itu demi sesuap nasi buat keluarga mereka. 
Sesampainya di darat, dengan cepat aku membayar jasa seorang pemikul yang baru menurunkan aku. Dan dadaku tiba-tiba berdebar keras. Mungkin semacam guncangan yang digerakkan oleh gempa misterius ketika mataku membentur sorot mata yang aneh dari seorang lelaki tua yang pernah kukenal. Ia sedang mengawasiku. Ia tampaknya telah menantiku di sana.
Umur lelaki itu kira-kira tujuh puluhan atau delapan puluh tahun. Sebuah tongkat kayu hitam yang digenggam tangannya yang kurus seperti menopang tubuhnya agar tetap bisa berdiri. Raut wajah yang keras terpancar dari garis-garis mukanya yang keriput. Rambunya hampir seluruhnya menguban. Dari jarak sekitar lima puluh meter ia tampak bak arwah orang mati yang bergentayangan di siang bolong. Tinggingnya sekitar 185 centimeter. Lelaki  itu termasuk tinggi dari ukuran rata-rata orang Asia. Setelah puluhan tahun tidak bertemu, raut muka lelaki itu menjadi agak aneh. Keanehan itu seperti menyedot tubuhku untuk menghampirinya. Ia berdiri agak jauh dari kerumunan orang-orang. Hanya satu dua orang yang melintas di dekatnya, tapi tidak menoleh padanya sedikit pun. 
“Aku telah menunggumu anakku,” sapa lelaki itu dengan suara bariton yang datar ketika aku sudah agak dekat dengannya. Batuk keringnya yang dulu, sesekali memekik di dalam mulutnya yang mengatup.
“Bapak pasti Kepas ya!” tanyaku coba memastikan. Lelaki itu mengangguk.
“Aku sudah membaca suratmu. Makanya aku datang,” kataku, mencoba mengakrabinya lagi. Ia tersenyum getir. Kami berjabatan tangan. Hawa dingin  merayap dari tangannya ke sekujur tubuhku. Seperti sesuatu yang aneh.  Aku cepat-cepat menarik tanganku. Melihat tingkahku, ia tersenyum hambar. Aku membalasnya dengan senyuman yang agak ramah.
Langit mulai menurunkan anak-anak hujan ketika lelaki itu mengajakku ke sebuah warung kopi tak jauh dari terminal penumpang kapal.
“Kita menunggu sampai matahari masuk baru kita pulang ke Makatara,” kata Kepas, ketika menghampiri warung kopi. “Kau istirahatlah di sana agar tubuhmu segar ”sambungnya lagi. Ia menyuruhku mengaso sebentar di warung kopi sambil minikmati panasnya kopi Beo. Aku mengiyakannya. Memang aku sudah kangen juga dengan kopi warung itu.  Ia sendiri pamit sebentar, katanya ada keperluan di tempat lain.
Di warung kopi, aku bertemu beberapa kenalan lama. Mereka bercerita tentang Lian. Perempuan itu ternyata tidak bernasib baik. Ia mengalami kawin cerai sebanyak tiga kali. Tapi kemudian meningggal akibat tipus. Aku sedih juga mendengar kisah tragis yang menimpa orang yang cintanya masih bersemi di hatiku itu. Cinta sejati memang selalu sulit dibunuh, meski yang dicintai mungkin sudah mati. Cinta memang hanya mengabdi kepada perasaan cinta itu sendiri.
Saat senja mulai mengulurkan cahaya malam, Kepas memanggilku dari luar warung kopi.
“Kalau sudah siap, kita berangkat sekarang,” kata Kepas. Aku mengangguk mengiyahkannya lagi. Kami pun berangkat ke Makatara, dengan sebuah mobil Datsun tua yang menanti di bawah pohon Ketapang besar yang tak jauh dari warung kopi. Hanya kami berdua  penumpang mobil yang jalannya tertatih-tatih itu. Sopirnya, seorang lelaki yang jenggot dan rambutnya demikian lebat. Sesekali sopir itu menatapku. Wajah si sopir begitu jelek.  Menghampiri wajah hantu yang banyak kita temui dalam buku komik. Perjalanan berlalu dalam keheningan yang sedikit merindingkan. Di sepanjang jalan, kunang-kunang berseliweran di antara semak-semak hingga ke rindang pepohonan pisang.
“Betapa kelam, malam di sini,” kataku pada Kepas.
“Mahkluk lain membutuhkan malam seperti ini. Kunang-kunang, kelelawar dan hantu membutuhkan malam. Tanpa malam, mereka akan mati,” balas Kepas. Aku sedikit bergidik mendengar ungkapannya. 
Singkatnya, kurang dari sejam kemudian, tepat di bawah pohon jati besar, kami berhenti. Sekitar sepuluh meter ke kanan jalan, kulihat ada rumah kecil.
“Itu rumahku yang baru,” ujar Kepas padaku sambil mengarahkan telunjuknya ke arah gubuk kecil yang dari dalamnya ada denyar lampu yang agak redup. Setelah kami turun dari modil,  sesaat Kepas bicara dengan sopir. Percakapan mereka hanya berupa dengungngan yang tak kupahami. Aku menantinya tak jauh dari mereka. Tak berapa lama kemudian mobil itu pergi. Kepas menghampiriku dan mengajakku sambil menuntunku masuk ke rumahnya.
Rumah yang terletak di pinggiran desa Makatara ini bentuknya seperti gubuk. Terbuat dari tiang-tiang kayu hutan bulat diameternya seukuran betis kaki orang dewasa. Atapnya katu daun Rumbia. Seperti dasan penjaga kebun yang dindingnya dari belahan bambu yang dipaku rapat. Udara malam yang agak basah menerobos lewat celah-celah dinding membuat kakiku amat kedinginan.  Aku tidak melihat Meria istrinya.
“Meria lagi ke kampung sebelah,” ujar Kepas, seperti bisa membaca pikiranku. Sebuah lampu botol minyak tanah yang diletakkan pada sebuah bufet kecil yang terlihat tua menerangi ruang tamu yang sempit. Di situ hanya ada sebuah bale-bale dan sebuah mejah dari kayu yang sudah tua, dan dua buah kursi kayu yang umurnya kira-kira sudah setua meja itu. Disamping kiri ruang tamu, ada sebuah pintu yang langsung menuju kamar. Pintu itu hanya di batasi sampiran dari kain bercorak kasar berwarna gelap yang kelihatan lusu. Ketika angin menerobos dari jendela di samping kanan ruang tamu, kain sampiran itu terkuak ke belakang, tapi aku tak melihat apa-apa, karena kamar itu tidak dipasangi lampu. Dari jendela, aku melihat ke luar, lampu botol yang berfungsi sebagai lentera nampak juga tergantung di beberapa gubuk tak jauh dari rumah Kepas.
“Di sini tidak ada listrik. Semuanya menggunakan lampu botol minyak tanah. Tapi ada juga yang menggunakan minyak kelapa,” katanya, sambil mengeluarkan makanan dari bufet kecil di belakang bale-bale itu dan meletakkannya di meja. Codot-codot beterbangan di atas pelepah pisang di samping rumah, suaranya mencicit agak tajam masuk ketelingaku. Sedangkan kunang-kunang berkeliaran dalam jumlah yang banyak mengisi kekelaman di beranda dan jauh hingga kererimbunan pohon besar di punggung bukit.
 Aku tak berselerah menyantap makanan yang disuguhkannya. Baunya basi dan aneh. Bau itu membuat aku agak mual.
“Makanan ini memang sudah agak basi. Ini sisa makanan kemarin. Tapi cuma ini yang aku punya,” katanya lagi-lagi mengejutkanku. “Biarlah! Aku juga masih punya kue kering dan sebotol air mineral. Makanlah! Aku akan makan kue,” kataku padanya.  “ Ya. Kau pasti tak cocok dengan makanan kami,” ujarnya.
“Bukan begitu…’’
“Tak usah dipersoalkan. Tidak apa-apa,” potongnya cepat. Aku pun mengambil kue kering dan air mineral dalam tas gendongku, lalu makan bersamanya.
Setelah sarapan, malam itu Kepas banyak bercerita tentang pengalaman  hidupnya. Kami ngobrol memang agak panjang, dan aku berusaha mencatat banyak hal.  Kepas, juga berjanji akan menyerahkan sebuah buku yang pernah dia tulis besok. Buku itu disimpan Meria, jadi ia harus menunggu Meria untuk mengambil buku itu.
Sekitar pukul tiga subu aku tak bisa menahan kantuk dan perasaan letih, setelah selama tiga hari menjalani pelayaran laut dari pelabuhan Bitung. Aku pamit padanya untuk tidur di bale-bale  kecil di  sisi gubuk itu. Sementara Kepas masih saja asyik dengan rokok tembakaunya. Bau asapnya agak asing dan seram.
Siangnya, aku terbangun dikagetkan seorang porempuan tua yang membangunkan aku. Perempuan itu begitu misterius. Rambutnya panjang dan menguban tergerai begitu saja. Pakaian potongan terusan yang dikenakannya begitu kusut dan kotor. Aku tak bisa memastikan apakah pakaian yang dikenakannya berwarna abu-abu atau putih. Bau amat menyengat dari arah perempuan itu lamat-lamat tercium jelas olehku.  Semacam bau anyir yang mulai mengering.   Jam di arlojiku menunjukan pukul 09.00 pagi. Tapi, astaga! Aku amat kaget lagi ketika kudapati kenyataan dimana aku ternyata tidur di atas sebuah kubur.  Di samping kanan kubur pohon-pohon pisang tumbuh dengan rimbun. Daun-daun di atasnya menutup kepala kubur. Di atas kepala kubur, ada sebuah lampu botol minyak yang telah mengering dan berdebu. Lampu itu mungkin sudah cukup lama berada di sana. Batu nisan di kuburan itupun sudah tertutup lumut hingga sulit terbaca.
“Aku tahu kau akan datang. Suamiku telah meninggal setahun kemarin. Ia menitipkan buku ini untuk diserahkan padamu,” kata perempuan tua itu dengan tatapan dingin. Kemudian, ia menyodorkan kepadaku sebuah buku tulisan tangan yang indah yang tebalnya di atas seratusan halaman.  Tanpa banyak basa-basi, perempuan itu lalu pergi begitu saja meninggalkanku, sebelum aku bertanya apa-apa. Memang juga leherku seperti tercekat sesuatu hingga aku tak kuat berkata apapun kepada perempuan itu. Sesampainya di bawah pohon jati, ia lenyap seketika. Kudukku serentak berdiri. Aku menjadi gemetar dan takut.  Aku seperti mengenal raut perempuan misterius tadi, tapi siapakah dia? Otakku tiba-tiba bersikutat dengan teka-teki yang sulit dan menegangkan.   Dalam keadaan yang serbah aneh itu, aku berusaha membuka secara acak buku yang baru diserahkan padaku. Buku itu ditulis dalam bahasa Talaud. Aku sedikit bersyukur sebab setidaknya aku mengusai bahasa Talaud “pasar” yang sering digunakan di lingkungan keluarga kami.
Ibuku berasal dari Talaud, tepatnya dari pulau Kakorotan. Tapi, sejak usia lima tahun ia sudah diangkat anak oleh salah seorang cucu dari raja kerajaan Siau. Oma Kansil, konon membawa ibuku ke Siau pada tahun 1929. Untung, hubungan silaturahmi ibuku dengan saudara-saudaranya di Talaud, membuat ia tetap bisa memelihara bahasa tempat kelahirannya itu. Sejak kecil, kami telah diajari ibu bahasa Talaud, meski kami sudah lahir dan bermukim di Manado.
Singkatnya lagi, setelah pulang ke Manado, aku pikir sudah saatnya aku menerjemahkan berbagai catatan dalam buku itu, berupa kesaksian-kesaksian Kepas, kepada sidang pembaca, serta outobiografi yang diangkat langsung dari buku yang diserahkan perempuan tua yang lenyap di bawah pohon jati.
Memang dalam penerjemahan buku itu aku mengalami beragam kesulitan, terutama dalam menerjemahkan kosa kata sastra yang sering digunakan Kepas untuk memberikan perlambangan-perlambangan tertentu dalam pengungkapan perenungan-perenungannya. Tapi dengan kemampuan apa adanya, dan bantuan dari beberapa teman dari Talaud, akhirnya aku bisa merampungkannya untuk pembaca. Aku berkeyakinan, meski mungkin masih mengalami berbagai kekurangan dalam penerjemahan hingga memunculkan berbagai perbedaan penafsiran dikumudian hari, tapi, dalam kisah berikut ini, Kepas akan bertutur kepada sidang pembaca yang terhormat, tentang kejadian-kejadian nyata yang pernah ia alami, dan kepedihan panjang masyarakatnya, serta masa depan dari suatu generasi.

***
BAGIAN  : I

September 1965


“Upung-upung Baroa
Anggile u wae”
Tak ada! Kecuali air mata
Maka ditulisnya keluh kesah
Suara hati suatu generasi yang selalu terlupa


(4)

Ambang abad 21
Kepada Siapapun Yang Masih Punya Air Mata
Dan Serpih Belas kasihan

Saat menulis surat ini aku dalam keadaan telanjang. Tanpa seutas benang melilit tubuhku. Aku gila! Aku seperti anak bayi dalam gendongan alam.  Suatu sandiwara menyakitkan yang harus kulakoni dalam keadaan kesadaranku mengatakan ini tak lebih dari kekonyolan dalam ketakberdayaan seorang lelaki. Lelaki yang eksistensinya dimatikan. Lelaki yang harus menepikan semua cita-citanya demi mempertahankan hidupnya.
            Aku sedang bersandar di bawah pohon Manggustan ketika setiap kata dalam surat ini kurenungkan dan kutuliskan. Angin siang yang kering menyaput kulitku yang kotor, keriput, dan rentah. Angin yang lebih sempurna mengenali penderitaan kami, ketimbang hati kami sendiri yang sering mulai alpa, lupa menafsir hakikat dari pengertian dan makna-makna sebuah kehidupan. Di tengah waktu yang senantiasa berjuang mengalahkan sisa-sisa keberanianku.  Sebab, apa artinya itu semua bagi perasaan yang senantiasa tercecar ini.
Tak ada cerocok di sini bagi kami untuk mengeringkan air mata, atau nasib menambatkan harapan. Hati kami semata mata air dari hulu kepedihan hati antar generasi.   Hati dan jiwa yang melepuh di bawah kekuasaan sebuah rezim yang tak mengenal belas kasihan. Di hadapanku laut luas menganga seperti tangan raksasa yang begitu bersahaja menanti tubuhku merebahkan diri di pelukannya dalam kematian. Tapi aku belum, belum berikhtiar menemui sang kematian, sebelum  aku menemukan sedikit kebanggaan menjadi manusia. Secuwil kebanggaan yang kupikir dapat diraih dari buah kejujuranku mengungkap segala kesaksian tentang nasib kami.
Bersama sepuluh ribu bahkan berpuluh ribu  kepala keluarga di kepulauan ini, kami telah dimasukkan dalam program stigmatisasi PKI, oleh penguasa. Padahal kami tidak tahu apa-apa, dan buta politik.  Dan tentu kamu hanya mendengar desahan tangis yang samar-samar dalam lintas derita generasi kami. Yang pasti, dari angka itu, kami berkembang seperti parasit yang menjijikkan dalam sebuah pohon bangsa. Parasit yang menjadi ancaman bagi kehidupan bangsa itu sendiri. Tapi apakah keadaan ini harus ditimpahkan kepada kami dengan program pelenyapan secara sistematis pada periode-periode berikutnya? Sejak di stigma, dengan begitu kurang lebih  tujuh generasi kami menjadi kaum  gembel, tanpa masa depan, tanpa pengharapan. Selain, jika di negeri ini masih ada orang yang memiliki air mata dan serpihan belas kasihan. Tanpa itu, seperti juga kelupaanku pada kata damai, kita senantiasa dalam perang, oleh suatu dendam yang tak pernah selesai.

Kepas
.
             Semuanya berawal dari sini. Dari kepercayaan turun-temurun. Ketika pulau-pulau  tercipta dari air mata seorang perempuan. Mungkin ia peri, malaikat, atau bidadari. Lalu banyak orang beranggapan, cinta dan bencana berasal dari kegaibannya. Dan  isyarat kegaiban itu datang, maka segalanya akan bermula.
Suatu senja di bulan September yang kering. Isyarat itu tiba-tiba menampakkan diri. Sesuatu yang mengerikan. Datangnya dari dimensi alam gaib dengan kekuatan-kekuatan mekanis yang diyakini akan segera mempengaruhi kehidupan alam dan manusia di kepulauan kami. Lintas generasi mitos itu seakan isyarat menakutkan yang selalu menerjemah peristiwa-peristiwa tragedi yang panjang. Mendedah dan menakutkan.
  Aku masih di dasanku ketika itu, seusai memanen hasil ladang. Daun pohon Sisak dari ranting-rantingnya di atas cabang yang tinggi berguguran ke tebing, ke tempat di mana di bawahnya kayu-kayu Raja menghijau seperti permadani. Layaknya, permadani yang pernah kulihat di rumah saudagar keturunan Arab di kota Tahuna. Ketika itu, aku masih kecil. Umurku enam tahun saat diajak  ayahku menjual beberapa ekor kambing di ibu kota kabupaten, Tahuna.
Pemandangan menakjubkan ini mengukuhkan keangkeran gunung Tarapahan yang menyimpan hawa mistis yang sangat diyakini masyarakat kami.    
Sudah lama aku berkebun di sini. Sejak ayahku mewariskannya padaku. Ladang yang terletak di sisi barat yang langsung berhadapan dengan samudera Fasifik. Gunung Tarapahan, seperti gunung lainnya di pulau Karakelang, bukan gunung vulkanik. Tapi memiliki humus yang tebal. Jadi sangat bagus untuk berladang.  Karena kesuburannya, Tarapahan sudah lama menjadi tempat perladangan penduduk. Tanaman Padi, Singkong, Kacang, Batata, dan Bete Bentul tumbuh dengan subur.
Kesenanganku berladang di sini sesungguhnya didorong rasa hormatku pada almarhum ayahku.  Dari atas punggung tinggi ini pada waktu istirahat aku bisa melihat laut lepas di bawahnya. Menandai karang terjal di sayap kanan pulau di mana tempat itu telah merenggut ayahku bersama perahunya pada tiga dasawarsa yang lewat. Ombak besar yang memukul dengan cepat menghempaskan perahu yang kami tumpangi ke karang ketika itu. Ada sebelas orang tewas. Dan hanya lima orang yang selamat, termasuk diriku dalam peristiwa naas tersebut. Peristiwa mengerikan yang membuat aku dan ibuku harus melewati masa-masa yang pahit. Harus menjalani hidup penuh kesulitan.
Sejak umur delapan tahun aku selalu menemani ibu ke punggung tinggi ini. Sejak itu, aku menjadi senang ke sini menandai karang  dan ombak-ombak di depannya yang bergulungan menabrak karang. Dari sini pula aku suka melihat kapal dan perahu-perahu nelayan yang mengapung seperti permainan kapal-kapalan anak-anak dalam loyang besar. Sesekali aku berpikir, bagaimana indahnya Tuhan melihat keindahan ciptaanNya dari ketinggianNya. Pulau-pulau di sudut jazirah samudera Fasifik yang tersembul laiknya noktah-noktah hijau di tengah beludru perak warna samudera yang teramat luas.
Tapi, tak seperti senja di waktu yang lain. Senja hari ini menyeruak dengan ketakjubannya sendiri.  Matahari sekejab saja tak terlihat cahyanya. Sinarnya lenyap seperti lentera yang dipadam topan tiba-tiba. Topan yang menyaput dari dunia-dunia gaib yang tak terlihat. Sayup dari kesenyapan yang merindingkan, isyarat itu tiba-tiba datang. Datang begitu saja serupa awan hitam dengan mata hantunya yang memerah, kadang-kadang kelam. Menyeringai buas.   Itulah isyarat roh-roh alam yang melegenda dan diimani penduduk kepulauan kami. Tentang keimanan itu, sejak ribuan tahun leluhur kami memang meyakini legenda tua yang abadi dikisahkan dari generasi ke generasi bahwa negeri kami adalah surga. Padahal, kata surga baru dikenal disekitar abad ke 16, sejak  para guru agama Samawi menetakkan kaki di tanah kami bersama para bar-bar dari negeri penyair Garcia Lorca, Spanyol. Begitulah ibuku mengisahkannya padaku. Meski baru pertama kali kulihat keanehan yang menggentarkan itu, tapi kuyakini, inilah isyarat gaib. Kami telah belajar dari berbagai kisah turun-temuran baik yang lisan atau dalam tulisan sejumput misioneri yang pernah singgah, dan beberapa dari mereka menetap,  mengabdi di negeri kami hingga mati di tanah kami. Dari catatan-catatan tua yang berdebu, catatan yang tersimpan di kamar Opaku yang Pinolung, dikisahkan, masyarakat kami, dari generasi ke genarasi hidup dalam mitos dan ketakutan-ketakutan dari apa yang dinamakan sebagai kekuatan mekanis yang menguasai alam dan hajat hidup manusia. Dan kini, kekuatan mekanis itu mendesiskan isyarat bengisnya.
Bagaimana aku tak menyimpulkan demikian? Leluhur pertama yang konon menjadi perentas sejarah kehidupan manusia di tanah-tanah kepulauan ini, dari beberapa catatan kuno tertulis, berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis. Dengan demikian, mitos-mitos ini tak ada persinggungannya sama sekali dengan riwayat penciptaan dalam keyakinan kaum semitik. Tak ada kaitan dengan agama yang disebar para pendatang, lengkap dengan Tuhan dan para nabi yang bernama itu. Kesemuanya berasal dari kawasan mediterania yang jauh di sana, bermil-mil. Bahkan tak pernah dikenal, kecuali mengetahuinya dari khotbah atau sejarah yang terkisahkan dalam cerita Alkitab.
“Jika begitu, siapakah rasul dan penyelamat bagi kalian?” tanya Sasinduan, suatu ketika saat kami sama-sama di penjara. “Apakah Yesus, Muhammad, Sidarta, Khong Cu, Tao, dan sederetan nabi import itu?” kelakar Sasinduan waktu itu. Pertanyaan dan pernyataan semacam ini memang akan selalu muncul dalam benak siapapun jika berhadapan dengan mite dan keyakinan masyarakat di sini. Keyakinan akan tanda-tanda alam. Seperti awan hitam di langit sana. 
“Doeata!” ujarku ketika itu. Tapi aku sendiri ragu dengan Tuhan yang memiliki seribu nama, bahkan beribu-ribu identitas yang dipromosikan agama-agama. Tuhan yang dibela umat pengabdinya dengan jalan perang. Tuhan yang membuat komuni-komuni hidup dalam iri, curiga, dendam, dan nafsu membunuh yang teramat sangat. Tuhan yang membiarkan perang dunia meledak, dan korban-korban tak bersalah bergelimpangan. Aku hanya percaya akan esistensiNya.  Tuhan yang dalam eksistensiNya melahirkan keindahan dan rasa yang mengenakkan. Tuhan yang mengatur ciptaanNya dengan kasih. Tuhan itulah yang kuimani, kuhormati, dan kepadaNyalah roh, tubuh, jiwaku mengabdi. Untuk apa percaya pada Tuhan yang melahirkan aturan yang aneh-aneh dalam takaran kemanusiaan. Tuhan yang menjadikan ciptaanya sebagai kelinci percobaan. Tuhan yang mengisi manusia dalam kandang sempit atau tabung pendingin bersama beribu serum permasalahan. Tidak. Tuhanku adalah “Dia” yang membuat sekuntum bunga tampak indah di pagi berembun. Yang memberikan sejuk di tengah terik. Yang menghembuskan panas dalam beku malam.  Yang menyalakan api pengharapan di hati nelayan. Yang melipur tangis di tengah sedih. Yang membersitkan cinta di mata sepasang kekasih. Yang mendorong umatnya saling berbagi kesah dan kasih.
“Aku tak percaya pada nama”, sekali lagi kukatakan pada Sasinduan. Ketika itu Sansinduan menatapku dengan pikiran yang berat. Tapi harus kukatakan semua itu. Sebab, jangan-jangan, Tuhan itu sebuah bani, sehingga menyebut satu nama, tidak berarti perwakilan eksistensi bani itu sendiri. Maka aku lebih percaya eksistensi, sebab itu berarti melambangkan simbol dari bani itu sendiri atau ke-esa-an itu sendiri. Semua orang boleh menyebutku bodoh karena keyakinanku ini, tapi sungguh aku justru menemukan Tuhan yang indah dalam kebodohanku ini. Tuhan yang eksistensiNya kuimani, selalu berjumpa denganku dalam keindahan alam dan budaya yang membuat aku hidup, berjalan-jalan dalam kehidupanku. Meskipun di kemudian hari kemerdekaan pemberian Tuhanku itu dirampas oleh orang-orang yang menakdirkan dirinya sendiri menjadi kekuasaan absolut.
Mungkin kami angkatan terakhir dari generasi yang meyakini apa yang disebut oleh generasi masa kini sebagai mitos. Leluhur kami mengajarkan, sang maha kekuatan yang menciptakan dunia dan segala yang ada berhadirat di negeri kami. Apakah Dia itu bernama “Allah” ketika menjelma dalam kultur Mesir Arab. Mungkinkah juga dijuluki “Yahweh” oleh bani Ibarani. Kami menyebut “Dia”, yang maha kuasa itu, “Doeata atau Ruata”. Dia itu Sang Ghenggona. Sang Penyerta, Guru, dan Penjaga. DibawahNya, bertahta banyak roh Ompung,  dan Empung.  Berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, dan di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di segela tempat, ruang dan suasana. Berkelana dalam cinta dan rindu. Dia datang dalam wajah penuh kasih dalam doaku.
Ribuan tahun negeri kami hidup dalam kesejahteraan tanpa rasa sengsara karenaNya. Antara manusia dengan alam berdinamika dalam siklus yang sedemikian seimbang. Setiap ciptaan memiliki kedudukan terhormat di tengah ciptaan lainnya. Manusia, menjadi pusat penjaga keseimbangan semesta. Setiap ciptaan dilarang mengganggu keseimbangan hidup ciptaan lainnya. Semuanya berjalan dalam ragam kehidupan yang harmonis. Leluhur kami punya perladangan padi yang subur. Ikan yang berlimpah. Untuk menangkap ikan, kami tidak perlu memancing atau menjaringnya dari laut lepas. Tetua kami cukup berdiri di pantai dan memintanya pada Sang Laut. Ikan-ikan kiriman Sang Dewa Laut Taghaloang, akan segera merapat dan menanti untuk kami tangkap dengan tangan. Kami menyebutnya Mane’e.  Inilah ajaran Tuhan dalam mitos itu. Ajaran yang senantiasa terbukti dalam keseharian para peladang atau pencari ikan. Ajaran yang membuat fetis dan amulet memiliki kemagisan nan sakti. Manusia Songko dan manusia Suanggi bisa terbang. Taharoti dan dukun bisa membunuh dan mengobati. Semuanya menari, dan berdinamika dalam keseharian. Segalanya Magi. Magi yang nyata, senyata pengalaman orang Amerika dan kaum modern akan teknologi komputer dan pesawat angkasa, radio dan telepon.
Ketika kerajaan-kerajaan di Utara dan Selatan menemukan negeri kami, mereka terkejut. Sebab kami telah memiliki kebudayaan dari sebuah peradaban yang mereka bilang sangat tinggi. Kami tidak mengenal budaya telanjang seperti yang ditemui di banyak suku terasing di bumi. Untuk itu kami tidak perlu terlibat dalam perdebatan “puting susu” dalam perbedaan budaya Timur-Barat. Sejak leluhur kami pertama, telah menggunakan pakaian. Karena di negeri kami bertumbuh pohon bunga Lawa. Pohon yang berdaunkan kain, sehingga leluhur kami tak kekurangan bahan untuk pakaian. Semua itu ada sebelum masa kejatuhan dan kutuk. Pada masa kutuk, kami baru memulai tradisi kofo, pakaian yang ditenun dari batang pisang Abaka. Artinya pakaian itu harus diambil dari tempat keasalan manusia, seperti menenun urat leluhur buat pakaian buyut-cicitnya.
Ketika, bangsa pendatang memperkenalkan leluhur kami uang sebagai alat pembayaran, pohon bunga Lawa tiba-tiba menyembulkan bunganya berupa mata uang yang diperkenalkan pendatang itu. Maka leluhur kami bisa membeli apa saja yang diinginkan mereka. Tuhan adalah alam yang penuh kasih. Tuhan yang secara akrab bercakap-cakap dengan bahasa tersediri dalam kosmik budaya kami.
Para pendatang pun kaget di mana leluhur kami punya banyak kepingan emas. Pohon bunga Lawa, berbatangkan emas. Pohon itu bertumbuh di sebuah bukit yang bernama Manongga, di pulau Kakorotan. Pulau yang memiliki cerocok menuju dunia maya. Negeri para peri perempuan di pulau air Odi yang tersembunyi.  Di sanalah hadirat Ruata itu berada. Dari sana sang maha kekuatan itu mengatur keselarasan kehidupan di negeri kami. Para pendatang tak dapat melihat secara kasat mata pohon itu, kecuali anak negeri. Para pendatang cuma bisa mencium bau semerbak dari wewangian pohon bunga Lawa. Berabad-abad kerajaan-kerajaan di Utara dan Selatan berusaha menemukan rahasia di balik bau wangi yang aneh itu. Tapi mereka tak menemukannya. Di negeri ini, legenda turun-temurun kami bercerita; Bangsa Balangingi dengan berpuluh perahu kora-kora berusaha menyerbu negeri kami untuk mencari pohon itu. Mereka orang-orang Selatan Mindanao. Perompak-perompak yang kejam dan bengis. Tapi Ruata menyembunyikan pulau-pulau kami. Leluhur kami bisa melihat mereka, tapi, mereka tak bisa melihat kami. Perang antar armada kora-kora dengan Bininta selalu terjadi di pantai-pantai kami.  Musuh-musuh negeri terbunuh seperti menyembeli hewan yang tak berakal pikiran. Untuk membuat mereka jerah menyerang negeri ini, para leluhur  menangkapi mereka dan menguliti kepala mereka, dan memulangkannya sebagai peringatan adanya perlawanan atas penindasan mereka.  Sejak itu Balangingi tak datang lagi.
            Namun tiba juga masa kutuk, seperti tanda hari ini. Suatu masa yang bermula dari kejadian yang memalukan menimpa negeri kami. Seeorang perempuan cantik, anak Datu,  jatuh cinta kepada sang penjaga pohon bunga Lawa. Ia, pergi membawa makanan yang berisi mantra kepada penjaga bunga Lawa  Wando Ruata. Maksud kedatangan itu adalah untuk memikat sang Wando.  Dan akhirnya perbuatan diluar tata krama itu membuat pohon bunga Lawa lenyap bersama penjaganya.   Sejak itu, negeri kami dilanda kutuk yang sungguh mengerikan dan memilukan. Suasana surga berganti padang penderitaan. Leluhur kami terusir seperti dua manusia di Taman Eden yang harus berkeringat menempah bumi agar bisa hidup. Menjadi orang telanjang dengan pemikiran maksiat yang menggebu. Kehidupan yang membaur bersama dunia setan dan iblis-iblis. Manusia yang harus menjaga tumitnya dari patukan ular. Ular yang senantiasa melata bukan saja di tanah, tapi juga dalan pikiran dan perasaan.  Entah sampai kapan kutuk itu baru berakhir. Yang pasti isyarat-isyarat dari adanya kutukan itu kini kembali menyeruak dan menempel di seputar jagat di negeri kami. Segumpal awan hitam aneh dengan bebunyian yang mengerikan.
Setan itu datang bersama awan. Awan yang  melepas segerombolan burung Sampiri, burung Elang, dan burung lainnya dari berbagai jenis.
Burung-burung itu beterbangan seperti mempertontonkan atraksi aneh. Semacam akrobat payung kematian. Menghitami langit. Memayungi hutan pulau Karakelang. Kemudian menukik cepat seperti mau merambah lembah. Dan, lagi mengangkasa, ke gunung, lalu berjatuhan di sana.  Ini suatu keanehan yang menakjubkan. Keanehan yang sebelumnya cuma kukenal dalam mitos.  Keanehan yang membiuskan. Kutatap langit  di mana kabut hitam itu bersemayam. Setan itu seperti  bergelantungan di kawat-kawat emas  senja yang kian terhimpit dalam kegelapan. 
“Ada  apa Ruata”, tanyaku pada Tuhan yang kuimani.  Ingin mencari jawaban. Tidak! Tidak ada jawaban. Apakah kini Ia meninggalkan kami? Ruata yang dulu nyata, kini seakan mitos dan bahkan terperosok menjadi legenda saja. Yang ada hanya segumpal awan hitam legam lainnya dengan cepat berarak dari lautan menuju daratan. Kian kemari. Dalam gerakan yang liar. Laksana raksasa yang dilanda mabuk dan rasa lapar teramat sangat.  Tak biasanya, wajah langit seperti perempuan menangis. Sembab dan muram. Tangisan perempuan muda yang belum menikah, ketika mahkota keperawanan direnggut di malam hari. Wajah yang diiris rasa sesal. Duka yang menggantung tanpa penghiburan. Kecuali kekelaman yang menggelegak dalam setiap tarikan nafas yang sesak entah oleh pedih apa. 
Jantungku berdebar keras. Di udara, ada semacam gemerincing bunyi yang aneh. Bukan simfoni alam, tapi bunyi  berderit yang menyeruak di setiap reranting pohon. Suara itu kadang-kadang meninggi. Resik, seperti mata silet yang tajam yang mau menguliti kegelapan. Lalu, lenyap seketika, Tak lama kemudian bergemerincing lagi. Apakah ini isyarat leluhur yang bermukim di lembah-lembah hutan ini? Kalau memang itu suatu isyarat, apa gerangan makna dari pertanda ini?
Aku masuk ke dasan. Sebuah gubuk kecil yang dibangun dari tiang-tiang kayu Mas seukuran betis kaki orang dewasa. Atapnya dari katu daun Rotan. Setiap peladang di pulau Karakelang, biasanya kami akan membangun tempat mengaso yang disebut “dasan” di setiap kebun yang baru dibuka.  Dasan, adalah rumah para penjaga kebun atau ladang. Biasanya para peladang untuk menjaga tanamannya dari serangan babi hutan. Mereka akan tinggal di dasan itu sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga musim panen tiba. Dan hasil ladang di bawah pulang, dimana sebagiannya yang terbaik diperuntukan bagi ritual adat syukuran. Syukuran bagi roh-roh itu agar senang. Tidak bergentayangan seperti hari ini. Sedangkan Tuhan tak perlu diberi sesaji. Karena Tuhan tak meminta. Tuhan selalu cuma memberi.
Sungguh aku sudah terbiasa dengan keanehan hutan di negeri kami, kecuali keanehan hari ini. Bagi para peladang, setiap keanehan alam akan ditangkal dengan semacam ritual atau melakukan Sawakka. Dengan sawakka, bisa kembali menormalkan kehidupan untuk menjadi biasa lagi. Biasanya keanehan itu muncul karena para peladang atau pemburu, telah melanggar tata krama keseimbangan alam. Maka perlu ada ritual pelurusannya. Atau semacam permintaan maaf kepada Empung dan Ompung yang lagi terusik dan murka. Namun keanehan kali ini tidak seperti biasanya. Sungguh keanehan mendadak ini membuat aku agak kecut dan takut. Sebab kejadian yang mungkin persis sama pernah terjadi seperti yang diutarakan leluhurku secara turun-temurun pada sekitar abad ke-18 di mana terjadi penangkapan secara besar-besaran rakyat negeri kami oleh bangsa asing untuk dijual, dijadikan budak.
Kini, baru kali ini, kejadian yang seperti dikisahkan itu muncul lagi. Apakah kejadian memalukan itu akan terjadi lagi? Sehingga orang-orang Sangir di Selatan kian percaya bahwa kami memang bangsa budak, yang dalam sindiran mereka yang menyakitkan dikatakan Elang? Padahal sebutan Elang, tak lain adalah tanda dari suatu kebesaran dalam kedikdayaan historis, yang kemudian menyusut maknanya menjadi babu, atau manusia kelas akar rumput?
Di masa perbudakan, para lelaki dan perempuan dalam jumlah ribuan telah ditangkap untuk diperdagangkan ke Madagaskar hingga ke tuan-tuan tanah di Spanyol. Harga perorang sekitar 49 golden saja. Atau bisa ditukar dengan ikan Malalugis sebanyak dua ribu ekor. Itulah harga warga kami dalam perbudakan di masa lalu. Lalu, apa sebenarnya  isyarat alam ini? Apakah akan terjadi perbudakan lagi di tengah alam kemerdekaan yang direbut  dengan tebusan darah dan nyawa para pahlawan, dari para penjajah-penjajah asing itu? Apakah makna darah pahlawan Larenggam bersama beratus laskar rakyat yang gugur bersama daratan desa Arangkaa yang terbakar demi kata merdeka hanya episode sia-sia yang tak meninggalkan artefak historis, untuk menyaput anggapan dinah yang terstempel di setiap wajah kami? Yang pasti, awan itu, sesuatu yang datang bersama bayangan hitam ini petanda dari kutuk yang akan kembali menyaput negeriku, kataku pada diri sendiri. Aku menjadi keluh di tengah udara terbuka hutan Sisak dan Batuline ini.
Di luar sana dedaunan terus berguguran bersama isyarat  yang datang dari mitos yang kian bergemerincing, bersama hembusan bau tumbuhan  bunga Laka dan tanaman Kinsule yang tajam menusuk hidung. 
 Dari dasan terus kuawasi keadaan di luar. Pucuk-pucuk ilalang yang menghampar tak jauh dari kebunku, tampak  bergeriap seperti digerakkan  tenaga sakti yang aneh. Apakah ini ula setan Kabanasa yang sedang menari-nari. Atau Mohang yang sedang kesurupan menyantap jiwa-jiwa orang mati.
 Kuambil segelas Cap Tikus, kuteguk dengan cepat. Minuman tradisional beralkohol tinggi ini dengan cepat memanaskan dada dan urat-uratku. Kemudian aku keluar lagi dari dasanku. Jangan-jangan di rerumpun ilalang itu ada segerombolan babi hutan yang siap mengobrak-abrik tanaman padi ladang, singkong, batata dan bete yang kini siap panen. Di tangan kananku  telah siap sebuah sambeang, tombak khas yang biasa dipakai pemburu babi hutan. Tombak itu sudah tersohor keampuhannya melumpuhkan babi hutan tua yang besarnya sudah seperti anak sapi remaja. Tapi anehnya, penciumanku yang terlatih tidak mencium ada tanda-tanda hewan hama itu. Selain bau asing yang magis dari Laka dan Kinsule yang memaksa kudukku berdiri. Jika demikian, lalu apa sebenarnya yang bergerak-gerak di sana?
Aku tidak pernah takut pada babi hutan, meskipun binatang yang satu ini menjadi sumber ketakutan penduduk kampung. Pernah suatu ketika, segerombolan babi hutan memporak-porandakan kampung dan membunuh banyak orang dengan sadis. Aku saja yang bertahan dan berhasil melumpuhkan penyerangan serdadu babi itu. Biasanya kejadian itu akan terjadi jika ada seorang pemburu yang sempat melukai seekor babi hutan namun tidak berhasil membunuhnya dan menangkapnya. Maka babi itu akan memanggil kelompoknya untuk menyerang manusia, dan meluluhlantakkan perkampungan. Namun keahlianku adalah pemburuh babi yang telah menimbulkan perasaan sangat dihormati penduduk.  Banyak orang menyebutku sebagai “suhu” para pemburu yang bisa melumpuhkan babi-babi hutan yang dianggap memiliki kekuatan gaib sekalipun.  Babi-babi di hutan ini kadang-kadang adalah sosok hantu yang menyerupai babi.
Ia kai nabi
Ia kai Kristus
Patiku kuasa
Maning setang
Maning datu
Su matang ia kawasa
Mantra  puhiase itu terapal dari bibirku yang mulai gemetar dengan setarikan nafas dan menguncinya. Suasana magis tiba-tiba kian membungkus jagat di sekelilingku. Aku harus melakukan tindakan magi ini agar hawa halus itu tidak berpengaruh pada diriku, dan tidak mencelakakanku, jika memang mereka di sana.
 Jika di sana babi hutan, sambeang di tanganku telah siap. Di pulau Karakelang, jumlah babi hantu ini begitu banyak. Jadi berhati-hatilah jika melukai seekor babi hutan. Jangan-jangan yang dilukai itu adalah babi hantu. Jika benar itu babi hantu, maka malapetaka besar segera mengintaimu di hari-hari kemudian. Hantu-hantu itu tidak akan pernah berhenti sampai sakit hatinya terbalaskan. Seseorang yang telah berhasil melukai babi hantu haruslah berusaha membunuhnya sampai mati agar pengaruh roh jahatnya tidak balas mengganggu. Jika hanya dilukai saja, maka roh babi hantu yang marah bakal mengajak kawan-kawannya untuk balas dedam. Dan aku telah berhasil membunuh beberapa ekor di antaranya. Yang setelah babi itu tergeletak mati, tiba-tiba lenyap begitu saja.
Udara anjlok seperti di titik nol, dingin dan seram. Kukumpulkan beberapa potong kayu bakaran dan menyalakan api di depan dasanku. Aku berpikir, kalau keadaan yang membingungkan ini adalah pekerjaan roh-roh jahat yang mau menakutiku. Api adalah penangkal lainnya yang telah menjadi tradisi masyarakat kepulauan ini untuk menghilangkan pengaruh roh jahat. Tradisi ini sudah sebegitu tua, sehingga setiap orang kalau melakukan perjalanan malam mesti membawa korek api atau menghisap rokok. Pada setiap tikungan atau ada pohon besar, para pejalan malam biasanya menyalakan api. Konon, hantu-hantu atau roh-roh jahat akan segera menjauh jika melihat api. Sebab diyakini api murni berasal dari Tuhan. Sedangkan api roh-roh halus hanyalah ilusi. Api Tuhan membakar api ilusi roh-roh halus.
Sudah sejam berlalu. Api yang kunyalakan sudah membara. Keadaan masih tetap aneh. Langit masih saja kelam. Tapi tiba-tiba dari berbagai arah, burung-burung hutan beterbangan ke sana ke mari dengan liarnya. Seperti diburu seekor burung raksasa yang menakutkan, yang siap menelan mereka semua.
Burung-burung itu mulai mengeluarkan suaranya. Semacam jeritan risau burung-burung. Pertama perlahan, kemudian mengeras. Hutan itu menjadi ramai dan riuh suara burung dan suara aneh di udara. Suara-suara  itu kemudian terdengar seperti suara jeritan manusia yang sekarat. Aku agak gemetar, meski aku yakin semua itu tidak ada pengaruhnya lagi bagi diriku. Sudah tiga puluh tahun aku berkebun di hutan Karakelang. Baru kali ini ada keanehan yang menggemetarkanku. Dari arah Selatan sekelompok burung Sampiri, atau kakatua Talaud, bersama Elang-Elang hitam  beterbangan menuju bukit di dekatnya. Kelompok burung itu lalu hinggap di pohon Linggua besar. Anehnya. Burung-burung itu kemudian berjatuhan satu-satu. “Ini pertanda apa Ruata?”, gumamku gelisah kepada hatiku sendiri.
Kucari tanda-tanda lain di sekitar hutan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”. Sebuah pertanyaan yang terus mendedah otakku. Tak ada jawaban. Senja akhirnya menelungkup di hutan itu. Setelah mengikat karung yang berisi ubi dan bete, aku pun memutuskan untuk pulang. Setelah berjarak agak jauh meninggalkan dasanku. Dari kejauhan, kulihat dasanku menjadi semacam tempat yang mengerikan yang dikerubuti hantu serta roh-roh yang liar. Bengis.

***
(5)
Bunyi gemerincing itu masih terdengar. Seperti mengikutiku. Tapi aku tak peduli. Hantu memang selalu berusaha mempengaruhi pikiran manusia. Untuk mengalahkannya, jangan beri dia tempat dalam pikiran, kataku pada diriku untuk menguatkan hatiku. 
Sepanjang jalan pulang, kutemui banyak burung-burung yang terkapar di celah  rerumputan dan semak. Burung-burung yang belum mati tampak gemetar seperti kehilangan tenaga untuk terbang. Dan banyak yang telah menjadi bangkai di sepanjang jalan hutan. Jalan yang di mana-mana menyembul batu-batu kapur tajam yang melukakan kaki jika diijak tanpa alas kaki. 
Sekitar dua jam, aku telah sampai di perbatasan kampung. Dari ujung jalan yang beralaskan batu-batu kapur yang memutih dan berbau keras  memualkan ini, kudengar ada semacam keramaian di sana, di tengah perkampungan penduduk. Keramaian yang mendekati keriuhan dari percakapan  warga desa. Ada yang  berdiri, dan ada yang duduk dalam kelompoknya masing-masing. Setelah agak dekat, di wajah orang-orang itu terpancar semacam ketegangan atau mungkin perasaan cemas yang sedemikian dasyat menyayat-nyayat. Dengan cepat kuhampiri, salah satu kelompok yang paling dekat. Mereka dengan cepat pula menoleh padaku. Tolehan aneh secara bersamaan itu tak pelak, menimbulkan tanda tanya yang menggemetarkan hatiku. 
“Ate ere a?”, seruku dalam sapaan khas warga kami untuk menanyakan kejadian apa yang terjadi. Mereka serentak menatapku. Ada sinar berharap di jejeran mata mereka.
“Kita akan ditimpah bencana besar!”, ujar opa Hopny Ratungalo, salah seorang tetua adat yang kebetulan berada di kelompok itu, yang dengan cepat menyongsongku.
“Kau harus siap-siap anakku!”, sambung lelaki yang biasa dipanggil dengan sebutan Papatua itu. Beberapa orang dengan cepat mendekati kami dengan wajah risau.
 “Apa yang terjadi, Papatua?”, tanyaku, mencoba mengetahui apa makna gegap yang menggemparkan suluruh warga kampung ini. Apakah ini kabar tentang burung-burung itu? Atau ada bencana mengerikan yang telah terjadi. Mungkin seorang bayi dimakan babi hutan. Atau seorang wanita sundal yang ketangkap berbugil dengan suami orang? Mungkin, seorang lelaki tua kedapatan sedang meraba payudara kemenakannya. Kejadian semacam ini memang sering terjadi di sini. Dan menggemparkan! Kepulauan ini seperti dipengaruhi roh perzinahan dari zaman bunga Lawa. Dan semua kejadian itu menjadi penyebab utama kemarahan alam. Kemarahan dalam bentuk bencana dan malapetaka.
“Kau melihat burung-burung itu di hutan?”
“Ya!”
“Ruata berisyarat. Kepulauan kita akan tertimpah malapetaka!”
“Oh”. Ternyata tentang burung. Sedikitnya aku bersyukur karena bukan soal dosa keturunan yang terjadi.
“Petaka apa gerangan?”
“Itu rahasia Ruata!”, ujar Papatua, sambil menyapu dadanya yang kelihatan berdebar keras. Kupikir jelas sudah. Burung-burung itu isyarat. Tapi bencana apa?
“Pastinya, mengerikan!”, ujar Papatua lagi. Tak berlama-lama, kutinggalkan mereka dalam percakapan yang kian serius.
Di sepanjang jalan kampung yang kulewati, percakapan tentang burung dan isyarat menakutkan itu terus riuh dibicarakan warga. Para penduduk tampak berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil sesama famili. Dari suara percakapan mereka terdengar suara-suara kepahitan hati yang membersit. Mungkin kecemasan mereka sudah pada tingkat yang sebegitu berlebihan, sehingga tidak ada lagi pikiran rasional yang tersisa.
Kampung ini meski telah dikunjungi puluhan misioneri tukang dari Zendelling yang mengajarkan cara-cara hidup yang menggunakan akal dan pikiran, namun pola hidup alamiah  yang membentuk karakter masyarakat sangat sulit ditinggalkan. Telah menjadi tradisi yang sedemikian mengakar. Orang-orang di sini dalam segala hal hampir-hampir mengabaikan rasio. Mereka sangat percaya, dimana segala sesuatu dalam kehidupan ini digerakan oleh satu kekuatan sakti yang dasyat. Jadi upaya apapun yang dilakukan manusia, jika tidak mendapatkan perkenanan sang kekuatan ini, maka semuanya tidak ada artinya. Untuk berhasil dalam pekerjaan, masyarakat biasanya meminta keterlibatan dan pengasihan sang kekuatan mekanis itu. Semuanya tergantung roh itu. Dan kami akan tidak begitu menyesal jika misalnya terjadi gagal panen atau pekerjaan dilakukan kemudian tidak mendatangkan hasil. Sebab, menurut kami, itu semata-mata karena tidak dikehendaki sang maha kekuatan. Atau kegagalan itu sebagai implementasi dari amarah sang maha kekuatan yang menegur adanya sikap-sikap hidup yang kurang berkenan di hadapanNya. Biasanya, sumber-sumber kegagalan itu disebabkan adanya perbuatan cabul perzinahan yang tersembunyi, atau kejahatan lain yang tidak terpuji.
Aku sampai di rumah pas matahari amblas ke laut. Warna merah keemasan masih tersisa di kaki langit dihimpit awan hitam. Namun warna keberanian itu seperti tak kuasa membakar kegelapan yang terus berarak di atas sana menuju daratan pulau ini. Kegelapan yang mengintaiku dengan tatapan yang marah dan misterius.
Rumah kami, seperti juga rumah penduduk pedesaan lainnya, terbuat dari ramuan kayu. Sedangkan lantainya di cor dengan campuran pasir, kapur dan batu kerikil. Penduduk kampung kami belum terbiasa menggunakan semen, selain bahan itu masih langkah untuk mendapatkannya, juga sangat mahal harganya. Atapnya dari katu daun rumbia. Penduduk yang atap rumahnya mengunakan seng hanyalah keluarga para penyeludup. Mereka membelinya dari Saranggani atau Maluku.
Sore itu, sambil menghirup segelas kopi pahit yang telah disiapkan Meria istriku, aku duduk di dego di beranda rumahku. Herkanus, anak lelakiku dengan cepat melompat ke punggungku. Dengan cepat pula tangan nakalnya mengais-ngais rambutku. 
“Ware papa, ikan nyare yang kupiti bahewa-hewa”, ujar Herkanus, dalam bahasa Melayu yang dicampurnya dengan bahasa Talaud.  “Cuapa ikan yang kamu piti?”, tanyaku.
“Itu sudah dibakar mama, nanti Kanu kase ekornya sama papa we!”, kata anakku. Herkanus, umurnya baru 11 tahun. Di kampung kami ini, anak-anak sejak usia 7 tahun sudah mulai diajari cara-cara menangkap ikan. Terutama cara menangkap dengan panah ikan atau yang biasa disebut mamiti. Kalau panahnya sendiri disebut papiti. Pada usia 9 tahun anak-anak lelaki sudah mulai mahir mamiti. Hasil tangkapan mereka pun ikan-ikan sebesar betis tangan orang dewasa.  Mereka sudah bisa menyelam sampai kedalaman dua meter untuk mengintai ikan-ikan yang bersembunyi di lubang batu-batu karang. Orang-orang dewasa di kampung kami dalam hal mamiti tidak lagi pakai istilah menyelam, namun lebih baik disebut berjalan di dalam air. Sebab orang dewasa bisa bertahan 3 sampai 5 menit untuk mengendap di kedalaman 5 sampai 7 meter di dalam air untuk mamiti ikan-ikan besar.  Bahkan jika seseorang telah menguasai teknik bernafas dalam air – yaitu dengan cara melepas gelembung udara dari mulut dan menangkapnya kembali dengan hidung – maka ia bisa berada relatif lama di dalam air dengan pola sirkulasi mulut hidung lewat gelembung itu.  Tapi ada juga orang-orang sakti yang bisa berjam-jam di dalam air. Mereka itu biasanya para dukun dan ahli sihir. Seorang pamiti yang hebat bisa mampu menangkap ikan yang besarnya sampai 2 meter panjangnya.  Untuk melumpuhkan ikan-ikan sebesar itu, sasarannya adalah menghajar dengan papiti bagian otak di kepala ikan hingga tembus. Papitinya juga harus berukuran besar agar tidak patah jika ikan itu mengamuk. Ikan sebesar itu kadang-kadang harus dilawan oleh dua atau tiga orang. Herkanus memang telah kulatih khusus untuk mewarisi kemampuanku di bidang mamiti ini. Seorang lelaki Talaud yang tidak tahu mamiti rasanya tidak lengkap menjadi manusia Talaud.
Sejak kepulanganku, Meria, terlihat begitu risau. Meski aku sudah berusaha menenangkannya tapi ketegangannya belum juga menyusut.
“Yulin. Mana itu garam. Apa sudah dibeli”, tanya istriku kepada anakku yang sulung.
“Sudah di toples. Tidak beli di warung. Warung tutup. Aku minta ke om Charles Eda”, kata Yulin yang lagi duduk di pinggir jendela sambil menatap ke luar, ke arah langit. Meria, dengan cepat mengambil garam dan menghamburkannya segenggam di seputaran rumah. Istriku sangat percaya dengan suatu kebiasaan lain dalam pandangan tradisional untuk mengusir roh yang diperkirakan memiliki pengaruh dan bahaya.
“Burung-burung itu akan habis jika semuanya mati”, kata Yulin, kepada Dian adiknya. Mereka masih di jendela itu mengamati langit.
“Apa ada setan yang membunuhnya, kaka?”, tanya Dian.
“Mungkin”, jawab Yulin.
“Apa setan tidak buat kita mati?”
“Tidak. Papa kita bisa usir setan.”
“Apa setan bisa ditombak dengan sambeang?”
“Tidak perlu pakai sambaeng. Mereka melihat muka papa kita saja, setan pasti lari”.
“Papa jago, ya!”
Aku tersenyum saja mendengar percakapan anak-anakku. Mereka sungguh membanggakanku. Ayah menjadi lambang keteladanan mereka. Jika itu cermin, anak-anak akan melihat rupa mereka di sana. Itulah peristiwa yang terasa teramat khusus dalam hidupku sebagai seorang ayah. 
“Kita disuruh menabur garam. Kata Datu, harus dilakukan selama seminggu”, jelas Meria padaku sambil terus melintas ke dapur dengan mangkok garammya.

***

Seperti biasanya, sehabis makan malam, Oma tua memanggil kami berkumpul di dego-dego besar di ruang dapur. Ini tradisi Kakumbaeda namanya. Tradisi memapar kisah-kisah menjelang tidur buat anak-anak.  Dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding papan di belakangnya, oma tua itu lalu mulai bercerita. “Ini tentang kisah Mpu Nala,” buka Oma Tua sambil mengatakan kisah ini ada hubungannya dengan kejadian hari ini.
Aku ikut mendengar cerita Oma tua, ibu dari istriku, menafsirkan isyarat yang baru terjadi yang menggelisahkan penduduk kampung ini. Ini tema yang menarik, pikirku.
“Ratusan tahun lalu, negeri ini dipimpin oleh seorang Raja Elang. Namanya Mpu Nala. Ia memiliki seekor burung Elang sakti yang menjadi kendaraannya untuk terbang mengitari seluruh negeri ini. Dan Elang besar itu merupakan penjaga negeri dari serangan manusia luar, atau gangguan hewan-hewan buas”, papar Oma Tua dengan suaranya yang parau. Umurnya sudah 75 tahun. Tapi ia masih kuat untuk memikul bika yang berisi ubi. Matanya masih terang untuk menepis padi dari beras. Mereka sisa dari generasi yang memelihara tradisi Matei. Sikap memelihara keselarasan dalam hidupnya. Karenanya, mereka menjadi manusia arif yang memiliki kemampuan dan kepekaan membaca tanda-tanda alam.
Mulutnya seakan tanpa henti berkomat-kamit mengunyah siri pinang. Sesekali membuang ludahnya yang telah memerah sebagai limbah dari siri pinang itu ke dalam bokong penampungnya. Siri pinang itu yang membuat gigi wanita tua ini tetap kuat.
“Burung itu pasti besar sekali, Oma?”, sela Herkanus, bertanya.
“Ya, Sangat besar”, jawab Oma Tua.
“Lalu bagaimana Kanu harus menangkapnya?”
“Burung itu tak bisa ditangkap”, potong Yulin kakaknya.
“Harus bisa ditangkap ah!”
“Tidak bisa!”
“Nanti papa bikin kandangnya, ya”, pinta Herkanus padaku. Mata hitam kecilnya nampak penuh kilap berharap. Aku mengangguk. Herkanus tampak  puas.
“Sudah kita dengar dulu cerita Oma”, tegur Meria.
Wanita tua itu kemudian membelai kepala Herkanus cucu lelaki satu-satunya itu, sambil berkisah lagi, “Mpu Nala memiliki seorang putra dari perkawinannya dengan Woi Taloda, yang mereka namakan Porodisa. Dari nama anak lelaki itulah, negeri Talaud ini dinamakan. Sementara rakyat negeri ini disebut bangsa Elang. Itu sebutan penghormatan terhadap raja Elang yang menjadi leluhur kita. Leluhur kita itu meninggal dalam usia ratusan tahun. Setelah kematian mereka, burung elang raksasa  ikut lenyap. Namun, sejak itu negeri ini kedatangan banyak burung Elang biasa yang menjadi pemimpin burung-burung di negeri ini. Setiap ada kejadian besar yang akan menimpa negeri, burung-burung itu akan memberikan isyarat, dengan melakukan terbang bunuh diri. Kejadian hari ini, pernah terjadi di masa lalu menjelang datangnya orang-orang kulit putih ke negeri kita. Ketika itu, sebuah malapetaka yang mengerikan pun terjadi. Kaum kulit putih yang datang dengan perahu layar bertiang tinggi,  menangkapi para penduduk untuk di jual sebagai budak. Banyak yang melawan, tapi ditembaki. Ribuan orang mati akibat malapetaka itu. Para pendatang itu mungkin orang Spanyol atau Portugis, dan mukin juga para saudagar VOC yang datang memburu rempah-rempah di tanah Timur”.
Ada denyar lembut yang tiba-tiba meliput bola mata wanita tua itu. Ada rasa pedih merona di sana.  Raut tua yang kenyang oleh pengalaman dan kejadian-kejadian yang menyedihkan. Setelah mengunyah kembali siri pinang yang baru dicampurnya dengan kapur barus, ia kembali bercerita, “Penderitaan itu berlangsung begitu lama, sampai pada tahun 1943, daerah ini di hujani bom oleh pasukan sekutu”. 
“Dari mana Oma tahu cerita itu?”, selah Yulin lagi.
“Sebagiannya Oma baca dari buku, dan sebagiannya lagi Oma alami sendiri”, tutur Oma Tua menjelaskan.
Oma Tua seakan tak kenal lelah menggali ingatannya yang mulai rapuh. Sesekali ia kembali membuang ludahnya yang memerah dan kental ke dalam bokong. Aku diam saja mendengar kisahnya. Di dekatku duduk ketiga orang anakku. Istriku juga ikut bergabung setelah membuatkan minuman untuk kami yang disuguhkannya dengan gorengan panggi.
Kisah oma tua ini mungkin menarik minat mereka. Yulin terutama, ia begitu antusias. Anakku yang tertua kadang menyelah neneknya untuk mengejar penjelasan neneknya hingga mendetail. Si bungsu Dian, meski masih balita, tampak mangut-mangut melihat ekspresi neneknya yang serius. Kadang-kadang ia tertawa melihat mulut neneknya yang belepotan kuah sirih pinang. Merah dan lucu.
“Di jaman penjajahan Belanda dan Jepang, rakyat kita ikut menderita, karena kekayaan dan harta penduduk dirampas kaum penjajah. Rakyat negeri kita banyak yang dibunuh, dan perempuan-perempuannya di perkosa”, ujar Oma Tua sambil berjuang menekan perasaan batinnya. Ramuan sirih pinang halus dan memerah di depannya kembali disuapnya ke mulutnya. Setelah beberapa kali mengunyah, ia berkata lagi. “Di tahun 1943, ada sebuah pesawat terbang kecil jatuh di daerah kita. Pesawat itu diterbangkan oleh seorang anak muda kebangsaan Amerika. Pesawat kecil itu jatuh ditembaki Jepang. Anak muda yang setelah diketahui merupakan anak salah seorang pembesar di Amerika itu, ditolong oleh Opa kalian. Pesawatnya jatuh di tepi pantai kita ini. Anak muda itu selamat dan disembunyikan Opa kalian di hutan. Namun sayang, ada warga kampung ini yang melaporkannya kepada tentara Jepang. Anak itu dijemput oleh tentara Jepang dan mereka bunuh. Opa kalian dipukul oleh Jepang karena menolong anak dari musuh mereka. Rusuk Opa kalian patah. Dan ia mengalami infeksi berat. Penyakit itulah yang membuat ia menderita lama dan kemudian meninggal dunia.” Perempuan tua itu sedikit membathin. Kenangan masa silam yang pahit seperti berlalu-lalang di pikirannya. Di sana, di tepian garis matanya terbersit air mata. Kami semua memilih diam, dan membiarkan ia mengungkapkan kisah dan kesaksian hidupnya. “Jadi kalian harus tahu, perbuatan baik belum tentu akan membawa kebaikan. Tapi Opamu begitu bahagia karena telah berbuat baik, meskipun ia harus menanggung derita. Jadi, carilah kebahagian, meskipun untuk mendapatkannya kamu harus mengeluarkan banyak air mata. Dan tentang sifat orang-orang di sini yang suka melapor, adalah sifat buruk. Apakah penting jika itu kalian tiru? Di masyarakat kita memang telah tumbuh semacam sifat pengkhianat. Orang-orang yang suka cari muka. Congkak dan sombong, sekalipun ia sebenarnya miskin dan bodoh”. Ia diam sejurus, lalu berkata lagi,  “Setelah kita merdeka dari penjajahan, baru kali ini, isyarat menakutkan itu muncul lagi. Kalian harus segera siap-siap, sebab penderitaan baru, akan segera menimpa kita,” kata perempuan tua itu. Di wajahnya kian membersit air mata tuanya. Ada kekelaman yang semburat kulihat di mata yang sedemikian sabar itu. Untuk melukai hati wanita tua ini, sesungguhnya tidak diperlukan lagi kata-kata kasar, atau tamparan keras. Dengan menghidupkan imajinasinya membayangkan malapetaka yang pernah ia alami di masa penjajahan, yang dikemudian hari akan menimpa anak-anaknya serta cucu-cicitnya, sesungguhnya telah mengangah luka yang teramat memerihkan hatinya.
Seperti juga ayahku, Oma Tua  adalah bagian dari generasi yang dibesarkan dalam tradisi Pinolung. Pinolung, adalah para warga pribumi yang dilatih oleh  misioneri-misioneri tukang asal Jerman, untuk menjadi tenaga yang cakap di bidang pertukangan dan pertanian. Selain itu, mereka merupakan murid-murid langsung para misioneri itu dalam hal pelajaran agama Kristen. Tugas mereka adalah menolong kaum pribumi dengan mengajarkan berbagai pengetahuan yang sudah mereka kuasai dari para misioneri itu. Orang-orang tua dari Oma Tua ini adalah para pembantu dan pelayan pekerja zending yang bertugas di daerah kami. Meskipun mereka tidak bersekolah, tapi pengetahuan mereka akan pelajaran agama, dan filsafat cukup tinggi.  Mereka menerima langsung pengajaran para misioneri yang berasal dari dunia Barat.
Aku sendiri, hanya lulusan sekolah rakyat. Tapi aku tidak asing dengan pemikiran-pemikiran filsafat dunia Barat. Aku mengenal meskipun tidak banyak, aliran pemikiran eksistensialisme para filsuf seperti Soren dari Denmark, atau Rene Descartes, dari Jerman. Akupun tahu kisah Shysipos, karangan Albert Camus. Orang tuaku mengajarkan itu lewat cerita dan lewat syair kakumbaeda kepada kami dari masa remaja.
Malahan aku tidak asing dengan nama Plato, Socrates, atau Aristoteles. Ajaran-ajaran moral Rasul Paulus dalam kitab perjanjian baru adalah hafalan kami di gereja sejak kecil. Akupun menguasai secara benar kisah-kisah dalam kitab Genesis. Apalagi soal peristiwa penciptaan manusia. Aku memang tidak bisa membaca buku-buku berbahasa Belanda, atau Jerman. Tapi ayah dan ibuku menyimpan banyak buku dari kedua bangsa itu yang konon ditinggalkan orang-orang misi seperti A.C.Van Essen, P.Gunther, Richter, Vonk, Ottow, Bovenkamp, Houter. Dan masih banyak lagi. Mereka adalah para penebar Injil, sekaligus rasul-rasul pembawa pencerahan dan modernisasi bagi negeri kami. Mereka yang mengajarkan teknik pertanian modern dengan mengunakan tehnologi, meskipun pada saat itu masih mengunakan teknik konvensional. Demikian juga di bidang arsitektur.
Oma Tua bercerita panjang lebar dan baru berakhir ketika ia melihat anak-anak sudah mengantuk. Kebiasaan bercerita yang dilakukan Oma Tua itu memang sudah merupakan tradisi  dalam masyarakat kami. Sebagai salah satu bentuk pengajaran yang dilakukan orang-orang tua kepada generasi berikutnya. Semacam upaya menanamkan kearifan.

***
Semalam suntuk aku tidak bisa tidur.  Badai keras disertai hujan mengguyur lebat. Langit seperti selembar kain hitam di kegelapan. Kopi pahit yang di buat Meria satu mok sudah hampir habis. Tapi kantukku belum jua muncul. Meria telah lelap bersama ketiga anakku. Petir dan kilat menggelegar dan menyambar-nyambar seperti mau merobek dan membakar perkampungan. Cerita Oma Tua membuat aku berpikir dimana kehidupan itu sendiri ternyata tak lebih dari kesiasiaan atau kenihilan. Ternyata benar para filsuf gila itu. Tidak ada yang istimewa ketika seseorang menyadari ia hidup. Manusia hanyalah Sisyphos dalam dagelan komunitas maha kuasa. Jadi untuk apa kita berjuang mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dapat kita pertahankan, tak dapat kita raih. Kelahiran dan kematian bukanlah kehendak kita. Itu semata kehendak Dia yang mengadakannya. Nasib manusia tak lebih dari nasib setumpukan boneka yang sedang dimainkan anak-anak. Tak lebih dari itu? Dalam hal keimanan ini banyak orang mengatakan aku sebagai manusia peragu. Kadang-kadang aku membenarkan tuduhan itu.
Sekitar pukul tiga dini hari, Meria terbangun. Ia menghampiriku dan bergelayut di punggungku. Aku tahu ia kedinginan. Rasa dingin alamiah yang selalu dialami seorang istri atau seorang suami yang tubuhnya membutuhkan api kejantanan. Apalagi dalam keadaan penuh ketegangan seperti ini. Dadanya yang menempel di belakangku seperti mengisyaratkan getaran purba seorang perempuan yang ingin. Bibirnya merekah seperti buah manggis yang hampir ranum. Bibir itu sesekali seperti sengaja dioles di punggung. Olesan ini memercikkan nyala di dadaku. Tiang kayu di selangkanganku mengeras. Ku hela istriku ke pembaringan. Matanya memancarkan sinar berharap yang panas. Harap itu menggelijang di antara paha dan pusarnya. Dingin yang sedemikian menggigilkan itupun membangun puisi purba di antara kami. Di sinar matanya  ia seperti mau mengatakan, “tikamlah aku. Tikamlah berkali-kali!”  Terobosan yang cepat dan liar menghempaskan tabir surga. Kepenatan dan letih berlarian, berganti keindahan puisi yang meleleh dari setiap api yang menjilati perasaan kami. Seperti anggur di cawan perjamuan, yang setiap tegukkannya melahirkan rasa enak yang membebaskan. Ah… lalu pengalaman persanggamahan seperti ini adakah juga hanya sebuah adegan dalam pertunjukan di panggung Mahakuasa? Tidak! Ini sesuatu yang misterius. Kita menjadi penentu di sini. Adakah pengalaman persenggamahan yang menginspirasikan para penulis Injil yang dengan berani menulis; bahwa ketakutan pada Tuhan, adalah ikhwal dari penemuan kebenaran sejati? Suatu ketakutan yang mendorong pemberian diri tanpa perhitungan.
 Sekitar pukul lima pagi, kecapaianku memikirkan tanda-tanda alam yang aneh mencapai puncaknya, Menjadi sempurna, dan membimbingku ke alam mimpi.
***
 (6)
Sudah agak kesiangan aku terjaga. Dibangunkan  semacam kegaduhan orang-orang di sekitar kampung. Dengan cepat aku menuju belakang rumah untuk mencuci muka di bak air. Mataku terasa begitu perih terkena air. Tak jauh dari bak air, aku melihat si kecil Herkanus mengapit dua ekor burung Talumisi. Meski sudah jam sepuluh siang, udara tidak begitu panas seperti biasanya. Di langit, awan hitam itu masih saja menyimpan jejak badai malam hari.
“Papa…papa ini Kanu tangkap dua ekor burung,” ujar anakku dengan riang, sambil berlari mendekatiku. Herkanus nampak lincah dan kuat. Ia memang potret anak pulau yang bertubuh padat, lentur dan liat. Burung yang dipegangnya dengan penuh rasa kasihan itu masih hidup, tapi sinar matanya terlihat mulai pudar. Aku tahu, sebentar lagi burung itu akan segera mati. Burung-burung indah yang menjadi korban dari isyarat agung Sang Maha Kekuatan.
Burung memang menjadi binatang yang paling sering digunakan sebagai pembawa isyarat. Kadang-kadang untuk melakukan tugasnya itu, burung-burung telah dipersiapkan untuk mati. Lagi suatu simbol pemberian diri tanpa perhitungan. Ah! Sejak masa nabi Nuh, burung menjadi binatang pertama yang ditugaskan untuk mencari tanda-tanda jika telah ada daratan yang muncul. Beberapa ekor dari burung pertama yang dilepas yang tidak kembali, berarti mati karena tidak mendapatkan daratan untuk istirahat. Pada masa Yesus Kristus, seperti tertulis dalam kitab injil, burung juga menjadi tanda dari Roh Kudus, pada saat pembaptisan yang dilakukan Yohanes Pembaptis. Dalam bentuk burung juga ketika Tuhan memberi tanda ketuangan Roh Kudus bagi umat Israel pilihanNya. Entah bagaimana tautannya, aku tidak tahu. Yang pasti di kampung dan di seluruh kepulauan Talaud, burung merupakan simbol dari sesuatu yang ada hubungannya dengan apa-apa yang akan terjadi dalam kehidupan manusia serta alam semesta. Dan kemarin tanda itu telah muncul dalam rupa yang sedemikian menakutkan.
“Papa nanti Kanu ikat we ini burung biar wica terbang lagi,” kata si kecil sambil berlari masuk ke rumah.
“Jaga jangan dia mati. Kanu kasi makan dia ya!”
“Ore papa!” teriaknya dari dalam rumah.
Seusai membersikan badan, kudengar, kegaduhan yang membangunkanku tadi kian waktu kian menjadi-jadi dan kedengaran seru. Dengan cepat aku bergegas mendekati kerumunan penduduk yang tak jauh dari rumah kami. Meria istriku berada di sana. Mereka tampak serius mempercakapkan sesuatu, dengan saling memperlihatkan sebuah piring putih yang dipegang tangan masing-masing.
Setelah bergabung dengan kerumunan itu, baru kutahu, kegemparan itu dikarenakan munculnya tanda aneh di setiap rumah. Tanda aneh itu adalah sebuah gambar palu yang bersilangan dengan arit berwarna merah darah terukir di setiap piring “Malukku” di rumah-rumah para penduduk.
“Ini mustahil. Piring ini aku simpan di dalam lemari,” kata salah seorang perempuan.
“Sama. Lemariku malah di selot,” ujar yang lainnya.
“Lalu siapa yang menggambar semua ini?”
“Ya. Mungkin ada orang di rumah kita yang diam-diam diperintahkan untuk menggambarnya,” analisa seseorang di antara kerumunan itu.
Kuambil piring di tangan istriku dan kuperhatikan dengan teliti. Gambar ini tampak mustahil jika dikerjakan orang biasa, yang tidak punya kemahiran dan peralatan yang memadai untuk itu.
“Gambar ini sepertinya terpahat,” ujarku.
“Ini pasti pekerjaan setan!” sambung yang lainnya.
Percakapan itu kemudian kian ramai. Dari beberapa tempat bermunculan orang-orang yang juga membawa dan memperlihatkan piring mereka.
Piring malukku di rumah kami memang tak terkecuali. Gambar misterius ini seperti diukir oleh sebuah benda panas yang bisa melelehkan keramik. Piring malukku, adalah  piring porselin antik  kuno yang berwarnah putih. Setiap rumah di desa kami selalu memiliki minimal setu piring malukku. Piring itu biasanya merupakan warisan yang dibagi-bagikan orang tua ketika anak-anaknya sudah menikah. Piring itu tidak dipakai untuk menjadi tempat makan sehari-hari. Namun khusus dipakai untuk keperluan ritual adat, seperti pada pesta perkawinan, menjadi tempat air suci yang akan dipercikkan kepada pengantin. Atau untuk kebutuhan magi lainnya.
Banyak orang meyakini bahwa piring putih malukku bukan piring buatan bangsa Cina pada ribuan tahun silam. Sebab konon piring-piring ini justru berasal dari dunia maya yang misterius. Para leluhur kami, menemukannya setelah melakukan pertapaan dan ritual. Artinya, piring-piring malukku bukanlah buatan tangan manusia. Tapi berasal dari dunia gaib. Mereka menemukannya di tempat-tempat yang telah ditunjuk oleh roh sakti lewat mimpi seseorang. Kepercayaan ini ada kaitannya dengan mite dimana penduduk Talaud adalah anak dari seorang putri kayangan. Tapi ada juga yang meyakini, piring-piring itu berasal dari Cina, terbawa bersama persebaran ribuan tahun yang lalu, ketika orang Polinesia yang datang ke daratan Asia zaman purba. Orang–orang itu kemudian melalui kepulauan Hindia menuju arah timur dan lautan teduh. Ada pendapat lain mengatakan piring itu adalah perahu  dua pangeran sakti dari wilayah timur Malukku yang kemudian menjadi guru spiritual di kawasan kepulauan ini.  Yang pasti, bagi masyarakat  Talaud, piring malukku telah menjadi benda cagar budaya, yang memiliki nilai dan kekuatan magis.
“Ini gambar partai komunis!” ujar salah seorang.
“Apa itu komunis?” tanya yang lain.
“Partai anti Tuhan! Kumpulan orang-orang tidak beragama,” seru seorang wanita yang tubuhnya gemuk.
‘Berarti ini peringatan Tuhan.”
“Tuhan sedang marah!”
“Ini mujizat !”
“Tapi mujizat apa?”
“Ini tanda malapetaka.”
“Tapi malapetaka apa?”
Semuanya kemudian kian seru terlibat debat dan tanya. Kian ramai. Kian merindingkan. Kian menakutkan. Yang pasti kian membingungkan.
Sebuah pertanyaan kembali mendedah pikiran para penduduk.  Apa gerangan yang dimaksud dari isyarat aneh di piring adat itu?. Pada semua piring malukku di desa kami gambar merah itu seperti terukir begitu saja. Entah dilakukan siapa. Entah siapa yang mengerjakannya. Entah siapa yang memerintahkannya. Entah kapan hal itu dilakukan. Kenyataannya di dalam piring-piring malukku ini telah ada gambar palu arit berwarna merah darah.
Aku curiga ada orang-orang tertentu yang berkeliling desa sepanjang malam untuk mengukir gambar itu di setiap piring malukku. Namun hal ini kupikir tak mungkin. Sebab ketika aku tertidur semalam, istriku sudah bangun membersikan rumah. Itu artinya tak mungkin ada orang yang masuk ke rumah kami. Lalu siapa yang menggambar semua ini? Apakah ada semacam hantu yang bekerja secara misterius menggambar palu arit ini? Atau kilat dan petir yang bergemuruh dan menyambar-nyambar semalam adalah pekerjaan roh-roh sakti yang berseliweran mendatangi rumah-rumah penduduk, dan diam-diam membuat ukiran palu arit itu? Sulit mencari jawaban yang pasti.
“Apakah ini bukan pekerjaan orang-orang partai komunis?”
“ Tidak mungkin. Di kampung ini kan tidak ada orang partai itu!” jawab Meria, sambil menyodorkan kopi hangat kesukaanku.  Sementara batata kuning yang telah direbus ikut juga dihidangkan dengan ikan bakar yang baunya masih harum. Ada aroma segar terpancar dari raut Meria. Aku tahu ia begitu puas dalam percintaan kami semalam. Sebab bagaimanpun, persetubuhan yang sempurna akan menguraikan niatan kasih sayang yang membiuskan. Namun kadang-kadang wajah bagus itu agak berubah kalau kami mulai membicarakan kejadian aneh yang beruntun terjadi itu.
“Pasti ada orang komunis di sini. Sebab tidak mungkin ada hantu yang bisa menggambar palu dan arit di piring-piring malukku. Pasti ini pekerjaan manusia,” kataku.
“Kalau itu pekerjaan orang kumunis. Bagaimana caranya mereka bisa mengambil piring-piring di rumah penduduk, lalu mengembalikannya kembali setelah gambar itu selesai mereka buat, namun tanpa diketahui dan kepergok pemiliknya. Aku kira ini sesuatu yang mustahil jika dikerjakan manusia,” bantah Meria seperti memaksaku untuk meyakini argumentasinya.
Memang sudah tabiat di negeri kami, dimana berbagai kejadian yang misterius, yang irasional, menjadi sesuatu yang dirasionalkan. Eksistensi setan-setan, roh-roh orang mati, serta kekuatan yang berasal dari segala dunia abstrak yang absurd, kadang-kadang menjadi sesuatu yang nyata dan realistik. Maka jangan heran jika dalam banyak hal, penduduk kami sering merasionalkan sesuatu yang justru begitu irasional bagi kaum modern. Sesuatu yang tidak masuk akal, dimasukkan menjadi sesuatu yang dapat diterima umum dengan alasan dimana eksistensi dunia halus juga bisa menjadi nyata, karena kedekatan kultur masyarakat ini dengan wilayah kaum halus.
Kanu tiba-tiba muncul di depan pintu dengan wajah yang pedih. “Burung itu sudah mati papa,” katanya sambil berjalan mendekatiku.
“Ya…sudahlah, burung itu sudah bahagia bertemu Tuhan. Kau sudah menguburkannya kan?” kataku sambil memeluk Kanu kemudian mengangkatnya ke pangkuanku.
“Sudah papa. Tapi…apa burung juga punya Tuhan?” Tanya Kanu dengan tatapannya yang polos.
“Semua ciptaan punya Tuhan,” kataku sambil menggelitik kepalanya. Hari itu juga, aku harus menghibur  Kanu dengan mengajaknya makan kelapa muda di tepi pantai. Anak lelakiku itu begitu sedih atas kematian burungnya, sebelum aku sempat membuatkan kandangnya.

***

Selepas makan siang, Datu dan Inang Mbanua tampaknya sudah sepakat untuk menggelar pertemuan adat.  Warga desa pun dengan cepat dikumpul di “Wale Lawo”. Bunyi tambor besar dari Wale Lawo menandai panggilan itu.
Wale Lawo adalah rumah besar yang menjadi tempat berkumpul warga desa untuk membahas segala masalah di desa yang dipimpin oleh tetua adat yang dikenal sebagai Datu Mbanua dan Inang Wanua.
Orang-orang berdatangan seperti di bawah arus sihir bunyi tambor yang dipukul dalam irama pemanggilan. Tak berapa lama, semua orang tua, terutama kaum lelaki di kampung ini telah berkumpul di ruang tengah. Bau kemenyan menyebar di ruangan itu. Bokor yang terbuat dari tanah liat di depan Inang dan Datu Mbanua masih terlihat nyala api dan asap kemenyannya. Ini pertanda dua pentua adat itu baru usai mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur.
Tradisi ini merupakan warisan kebudayaan “Manna”. Sebuah kepercayaan pada roh-roh sakti yang telah dilakukan masyarakat sejak masa purba dinamisme di abad- abad pertama. Para misioneri Corington telah mencatat tradisi budaya ini sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama Samawi yang mereka sebarkan. Pagan, kata mereka. Hingga pada suatu masa, pihak Zendeling yang didukung Compeny Belanda melakukan pembakaran budaya masyarakat setempat. Namun bagaimanapun perjuangan pembakaran budaya oleh gerakan penginjilan Kristen itu, tradisi ini telah menjadi darah dalam setiap nadi orang Talaud. Dan aku sendiri memiliki kebanggaan tersendiri akan tradisi-tradisi luhur kami ini. Sebab menurutku tradisi kami secara subtansial tidak bertentangan dengan Injil.
Memang dalam ritualnya kami berbeda dengan dogma-dogma Kristiani. Tapi kami seperti juga orang-orang Israel, mempercayai adanya suatu sumber kekuatan yang mencipta dan mengendalikan kehidupan manusia. Apakah kekuatan yang kami imani ini, bukankah yang bernama Tuhan, seperti yang diimani kaum Samawi? Jika keimanan Samawi dan keimanan tradisonal kami mengacu kepada suatu substansi yang sama, mengapa lantas para misioneri menyebut tradisi ini sebagai suatu kekafiran? Ini memang suatu yang sulit terjangkau pikiran kecuali didaki dari tikungan jalan  iman. Dan aku tak ingin mempertengkarkannya. Bukankah mempertengkarkan keimanan tak lebih dari sebuah pementasan komedi yang lucu di atas panggung Sang Maha Pencipta? Bukankah pula tindakan ini merupakan suatu intervensi ke wilayah eksistensi Tuhan? Tidak ! Aku tidak mau mendebatkannya, meski sebenarnya hal ini begitu mengusik keingintahuanku.
Angin laut masuk dari jendela yang semuanya terbuka. Aku memilih duduk di bawah jendela, bersila di tikar yang dianyam dari daun pandan.
Dari jendela itu, aku leluasa melihat ke halaman. Di sana banyak orang berkumpul. Wajah mereka nampak diwarnai kegusaran. Di depan kami, Datu dan Inang Mbanua begitu tegang. Di wajah kedua lelaki tua itu tergambar perasaan getir. Suatu rasa keprihatinan yang menyelubungi sanubari mereka. Tidak biasanya dua lelaki yang punya kekuatan magis ini memperlihatkan rasa was-was yang mendalam. Sesekali keduanya menarik nafas panjang seakan-akan mau membuka rongga paru-paru mereka yang tersumbat.
            “Anak-anakku, hari ini kembali kita mendapatkan isyarat dari alam. Aku dan Inang Mbanua, setelah semalaman memikirkan isyarat ini, di tambah lagi dengan menculnya tanda aneh pada pagi tadi. Kami makin yakin, akan ada masalah besar di kampung kita,” ujar Datu Mbanua, dengan suaranya yang khas, berat dan mistis. Suasana seketika menjadi begitu hening mencekam. Kecuali bunyi gemerisik daun bambu di samping balai pertemuan yang diterpa angin mengisi suasana kekosongan.  Keadaan beku itu baru cair ketika seseorang memberanikan diri melontarkan pertanyaan.
“Apakah kami bisa mendapatkan penjelasnya datu?” tanya orang itu. Semua mata menoleh ke arah suara yang mendadak muncul itu. Datu dan Inang tak terkecuali. Yang bertanya itu adalah seorang perempuan yang wajahnya sedemikian pucat dan gemetar. Sejurus kemudian, tatapan orang-orang tertuju kembali kepada kedua sosok pentua adat yang memimpin pertemuan. Mata-mata itu seperti menanti datangnya penjelasan yang pasti.
“Baiklah! Tapi kuminta kalian jangan terlalu risau dan takut. Sebab sesuatu yang paling menakutkan sesungguhnya adalah perasaan takut itu sendiri. Manusia yang terlalu terbawa rasa takut, akan dihantui oleh perasaan takut itu,” ujar Datu.
Datu yang berumur tujuh puluh tahun ini kemudian mengungkapkan berbagai penafsirannya.  Jenggot panjangnya berkibar-kibar ditiup angin dari jendela. Suara bisik-bisik sesekali terdengar dari kolong Wale. Di bawah telah berkumpul anak-anak muda yang menanti-nanti dengan berdebar-debar penjelasan Datu dan Inang Mbanua.
“Menurut penafsiran saya  ada suatu kekuatan jahat yang akan segera mengendalikan negeri kita ini. Dan dia akan mengunakan banyak orang untuk menyengsarakan rakyat. Itulah tanda dari burung-burung,” papar Datu.
“Siapa mereka Datu?” tanya seseorang.
“Ya, jika kita tahu, kita bisa segera mengambil tindakan,” ujar yang lainnya.
“betul itu!”.
“Kami siap melawan mereka jika Datu dan Inang berkenan”.
“Tenanglah! Kalian harus sabar dulu. Dengar dulu,” ujar Datu dengan suara yang agar keras.
 Semua yang hadir serentak terdiam,  mangut-mangut dan saling tatap. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Melihat ketegangan yang mulai merayap ke semua yang hadir, Datu berdehem. Semua orang mengarahkan perhatian mereka lagi ke Datu.
“Tanda palu arit di piring malukku, seperti kita ketahui, itu adalah lambang dari sebuah partai politik di negara kita. Maka ada kemungkinan kejadian ini punya hubungan dengan partai itu!” papar Datu lagi. Suasana menjadi hening. Semua wajah tertunduk. Seperti ada ketakutan yang maha hebat tiba-tiba menghantam pikiran para penduduk yang menghadiri pertemuan adat. Keheningan itu kian mencekam.
“Keeeeeooook…..Keeeeoooook…..Keeeeeoooook”. Seekor burung Banti hitam hinggap di atas bubungan rumah pertemuan. Burung itu melengkingkan suaranya yang keras sebanyak tiga kali. Semua orang yang berada di luar Wale Lawo cepat-cepat menatap  ke atas, ke arah dimana burung itu hinggap,  kemudian satu-satu menunduk lagi dengan diam. Sedangkan yang berada di dalam ruang pertemuan tak bergeming. Semua seperti menahan nafas masing-masing.
“Leluhur kita sudah memberi tanda, dimana penafsiran kita benar!” ujar Inang Mbanua mengartikan bunyi burung itu. Spontan di mana-mana terdengar lagi suara berisik dari suara bisik-bisik orang-orang.
“Apakah malapetaka itu tak dapat kita hindari?” tanya seseorang.
Inang dan datu menggeleng. “Ini takdir!” kata Datu.
“Kita bikin upacara penyucian negeri saja Datu!” kata salah seorang lagi.
“Banyaklah berdoa. Minta pengampunan Ruata!” kata Inang.
“Mengapa negeri kita selalu dilanda petaka?”
“Petaka tidak ada kalau tidak karena ulah manusia!”
“Manusia itulah yang harus kita temukan. Kita cari!”
“Kita lenyapkan!”
“Melenyapkan seseorang, itu juga malapetaka. Itu dosa. Ruata yang berhak atas nyawa manusia. Jika kita yang melenyapkannya, berarti kita telah merampas hak Ruata. Atas tindakan itu, Ruata marah!” jelas Datu.
“Tapi mengapa kita semua yang harus menanggung dosa seseorang?”
“Ruata tidak pernah akan mempertanggungkan dosa orang lain kepada seseorang. Tidak pernah. Jadi jika petaka ini akan menimpa kita semua, itu tandanya kita semua akan diperingatkan dari dosa-dosa kita juga,” tambah Inang. 
 Datu dan Inang Banua, adalah orang-orang sakti yang menguasai berbagai ilmu magi, dan aji-aji, namun hidupnya saleh. Mereka dipilih dari para tetua yang memiliki kemampuan itu. Mereka biasanya adalah pribadi-pribadi yang karena ilmunya, bisa melakukan berbagai hal seperti kebal terhadap segala senjata, atau bisa masuk ke dunia orang mati. Ujian bagi mereka adalah kalau mereka mampu membawa bukti, bahwa mereka telah sampai ke pulau khayangan yang bernama Odi. Sebuah pulau misterius yang tidak kelihatan dengan mata biasa. Namun, banyak juga dari penduduk yang punya “mata terang”, atau oleh kaum Kristiani disebut sebagai “memiliki karunia penglihatan” yang bisa melihat pulau Odi dan rupa penghuninya. Tapi juga, tidak semua orang yang meskipun punya kemampuan melihat pulau dan penghuni Odi yang bisa masuk ke sana. Pulau itu tak jauh dari desa kami. Konon menurut cerita para orang tua, pulau itu berpenghunikan para bidadari yang cantik jelita. Jika orang yang sampai ke tempat itu dan tidak diluluskan oleh para bidadari untuk memimpin negeri, maka ia akan tersesat, ke alam maya, dan tidak akan kembali ke dunia nyata, kecuali jasatnya jika sudah mati. Datu dan Inang Mbanua, karena kesaktiannya bisa membaca nasib orang. Mereka bisa menerka seseorang itu akan segera mati atau mengalami bencana.
            Jadi setiap perkataan mereka, bagi masyarakat desa kami adalah aturan. Malahan sering dianggap sebagai kebenaran mutlak. Setiap sengketa anak negeri akan diurus mereka dengan keadilan yang mereka pahami.
            Karena Datu dan Inang, telah mengisyaratkan adanya bencana, setiap warga desa sudah sepenuhnya yakin, dan menanti dengan sabar datangnya malapetaka itu. Sebuah kepasrahan kolektiv yang absurd menurutku. Tapi inilah dunia dimana kami menemukan pemekaran pribadi.
***
Untuk mengusir kepenatan memikirkan isyarat dari peristiwa-peristiwa yang menakutkan itu, aku memilih untuk melaut mencari ikan. Dengan perlengkapan Papiti aku berjalan menuju pantai. Di sepanjang jalan aku bertemu dengan orang-orang yang masih tak henti-hentinya membicarakan hal-hal menakjubkan yang terus berlangsung.
“Sudalah! Jangan melaut!” kata Hadi. Kawanku itu lagi duduk berkumpul di dego dengan beberapa kawan lainnya. Ia seorang tokoh budaya yang terbilang masih muda usianya. Hanya saja, tingkahnya sedikit aneh dan mendekati gila. Perselingkuhan istrinya dengan lelaki lain membuat ia sangat terpukul.
“Hidup harus diteruskan,” jawabku agak berkelakar.
“Kau terlalu memikirkan perut!”
“Kalau sudah mati, aku akan berhenti memikirkannya!” 
“Kalau sudah mati bagimana bisa berpikir?”
“Karena masih hidup maka aku berpikir!”
“Sudalah. Pergi…cari banyak, nanti aku minta ikan bakar!” katanya lagi. Aku melambaikan tangan ke mereka, petanda ya.
Tak berapa lama, aku telah berada di tepi laut. Dengan cepat kusiapkan perahu londe milikku. Laut yang semalamnya garang, kini sudah meredah. Hanya ombak-ombak kecil yang memecah di atas hamparan berkarang yang tersisa mengirimi buih-buih putih ke pesisir. Hari memang sudah agak senja. Tapi kupikir satu dua jam akan cukup bagiku mendapatkan beberapa ekor ikan. Artinya aku masih bisa pulang saat matahari belum terbenam.
Setelah sekitar satu jam aku menyelam di kedalaman empat sampai tujuh meter, beberapa ekor ikan sebesar paha orang dewasa telah berhasil aku piti. Terutama jenis ikan “Maming” yang berwarna kebiru-biruan dengan sedikit bercak merah dan hijau di bagian punggung dan kepalanya. Ikan ini merupakan kesukaanku, apalagi jika dimasak kua asam. Sejenak aku naik ke londe untuk istirahat. Rokok oskar dengan cepat kusulut. Rasa segar langsung menyerang tubuhku yang sedikit kedinginan diterpa angin darat yang agak basah.  Di langit, awan hitam itu seperti setan yang tidak pernah capek mengintai perkampungan penduduk di daratan sana. Setelah menghabiskan sebatang, aku menyelam lagi. Beberapa ekor lagi berhasil kutangkap. Sialnya, tak terduga seekor hiu dengan cepat meringsek ke arahku. Serangan yang tiba-tiba itu nyaris tak terhindarkan. Untung, refleks aku mengacungkan papitiku ke depan, hingga menghujam kepala Hiu. Namun terjangan tiba-tiba ini membuat aku ikut terhempas. Dengan cepat aku berusaha bersandar di dinding karang, sebab dengan begitu ikan ini  tidak akan menerjang dari depan, dan aku punya waktu untuk menyiapkan papitiku lagi. Tampaknya ia kelaparan. Beberapa ekor ikan kulepas untuk mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat disambarnya ikan-ikan itu. Pada saat ia menyambar seekor yang berada dalam sasaran papiti, langsung kusasar kepalanya. Anak panah itu terlihat menembus moncong hiu itu hingga di kedua sisi. Ia dengan cepat menghentak tali pengikat papitihku hingga putus dan lari. Inilah kesempatan aku harus cepat berenang ke arah londeku. Sebab, hiu biasanya datang tidak sendirian. Teman-temannya bakal segera tiba dan mengamuk. Dari atas londeku, kulihat beberapa ekor yang lebih besar  nampak mengintaiku dengan gerakkan yang liar dan marah. Dan di atas langit sana, awan hitam itu juga mengawasiku dengan tatapan kebencian yang sama.
  Sekitar pukul lima sore, aku sudah mengangkat sau perahu londeku, dan kembali pulang ke darat. Cenore, salah seorang sahabatku yang tinggal di tepi pantai itu, menjemputku untuk menepihkan dan membantu menarik londeku ke darat.
“Kami sudah mendengar beritanya Kepas. Apa yang dikatakan Datu dan Inang ternyata memiliki kebenaran. Di ibukota negara, di Jakarta, dikabarkan  terjadi pembunuhan terhadap tujuh orang Jenderal. Pembunuhan itu dilakukan orang-orang PKI,” ungkap Cenore.
“Kau dengar dari mana?”
“Dari siaran radio!”
“Lalu kabar selanjutnya?”
“Sudah pulanglah dulu, nanti sebentar malam ada siaran berita lagi. Kau dengar sendiri,” kata Cenore, lalu membantu aku memikul peralatan papiti.

Hari sudah mendekati malam, terdengar lagi kasak-kusuk para pemilik radio memanggil-manggil para tentangga. Rumah kami didatangi salah seorang dari para pemilik radio. Biasanya para pemilik radio untuk ukuran desa kami, adalah orang-orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Keadaan ekonomi mereka terbilang berkecukupan. Mereka adalah para pengawai pemerintah. Dan juga para pedagang antar pulau yang sering menyeludup ke Saranggani, Balut, atau Cotabato di Mindanao. Di sana mereka menukar hasil-hasil bumi seperti pala dan kopra dengan berbagai keperluan masyarakat, termasuk barang-barang elektronik seperti radio dua ban.
            Setelah dikabarkan ada siaran penting dari Jakarta, dengan cepat aku ikut mendatangi rumah yang punya radio itu. Siaran berita dari Jakarta itu mengudara lagi setelah dinanti sekian waktu. Siaran radio itu memberitakan kejadian pembunuhan 7 Jenderal oleh orang-orang dari Partai Komunis Indonesia. Dikabarkan, ke 7 Jenderal yang dibunuh itu adalah kelompok Dewan Jenderal yang akan melancarkan kup terhadap Presiden Soekarno, sang pemimpin besar revolusi.
Berhari-hari kemudian kami hampir tiada henti-hentinya membicarakan peristiwa itu dari mulut ke mulut dan terus memantau perkembangan yang terjadi. Sepekan kemudian, siaran radio makin gencar memberitakan hadirnya seorang pahlawan sejati yang berhasil mematahkan gerakan yang mereka sebut sebagai  pemberontakan G30S PKI. Pahlawan itu adalah Soeharto.
            Berita mengerikan itu bagaimana pun, bagi kami adalah suatu kejadian yang rasanya berada jauh sekali dari desa kami. Apalagi ketika dikabarkan akan ada penangkapan besar-besar para anggota Partai Komunis dari siaran radio itu. Kami merasa aman-aman saja. Sebab, di desa kami tak ada seorang pun yang kami ketahui menjadi anggota Partai itu. Di desa kami mayoritas adalah anggota  Partai Nasional Indonesia “PNI”, atau Partai Kristen Indonesia “Parkindo”. Dua partai itu saja yang dikenal luas di desa kami.
            Setelah kejadian itu, hari-hari berlangsung seperti biasa. Tak ada kejadian luar biasa yang mengejutkan. Namun awan hitam aneh terus saja menempel di langit di atas kampung kami. Awan tersebut seperti sedang mempersiapkan suatu rencana penggempuran dasyat ke perkampungan desa ini.

***
            Suatu malam, oma tua memanggilku. Ia dalam keadaan sakit tua yang kian hari kian parah.
            “Apapun yang terjadi. Jagalah cucu-cucuku dengan baik!” kata oma tua,
            “Memangnya, apa yang akan terjadi?” tanyaku, melihat keprihatinan yang membersit dari wajahnya yang kian pucat itu.
            “Kau harus ingat. Burung-burung itu telah memberikan isyarat. Kupikir tak lama lagi, kejadian itu akan sampai di sini,” ujarnya.
            “Jadi apa yang harus kulakukan?”
            “Keluar dari kampung ini! Sebaiknya berangkatlah ke Filipina”.
            “Apakah dengan begitu kami akan terhindar dari kutukan?”
            “Tidak ada yang bisa menghindar kehendak Ruata. Tapi minimal dengan berangkat ke Filipina, kalian akan mendapatkan waktu, hingga kalian siap untuk menjalani kutukan itu.”
            Perkataan oma tua, membuat aku semalaman tidak bisa tidur. Aku terus merenung dan merenung.

***
(7)
Awan hitam  menerjemahkan kutukannya. Pulau Karakelang dan Salibabu dilanda musim kering. Pulau-pulau lain yang tertebar di bibir utara lautan Fasifik seperti biji sesawi ini juga mulai dijejali kemelaratan. Penduduknya melewati hari-harinya dalam larik-larik kepedihan yang ditulis Ruata.
Musim kemarau panjang ini memanggang pulau-pulau kami. Berbulan-bulan kepulauan ini tak pernah disirami hujan. Keadaan menjadi kian parah. Tanaman-tanaman mengering. Tanah menjadi kerontang dan tandus. Sumber makanan yang tersisa tinggal umbi-umbian Bete yang biasanya hidup di kaki-kaki gunung. Sumur-sumur desa menjadi kering. Untuk mendapatkan air minum, kami harus mengambilnya dari Andaara yang jauh dari permukiman penduduk.
Bukan sedikit pula para penduduk mengalami musibah diserang babi hutan. Sedangkan Andaara di pulau kami, yang menjadi tempat pengambilan air, memiliki banyak buaya. Beberapa orang tewas di mangsa buaya. Malapetaka kekeringan itu tiba-tiba  mengakibatkan munculnya berbagai jenis buaya  mematikan. Hajat hidup warga merosot ke lembah kemiskinan yang teramat menyedihkan.  Hewan-hewan piaraan seperti babi juga mati karena kekurangan makanan. Ternak ayam habis diserang penyakit.
Setiap pekan, gereja seakan tak pernah sepi dari dentingan lonceng kematian. Akibat banyaknya peristiwa kematian itu, hampir seluruh warga kampung pada akhirnya mengenakan pakai hitam perkabungan. Warna merah dan warna natur yang mencolok hampir tak digunakan dalam setiap kesempatan. Semuanya hitam mengekspresikan kelam. 
Ikan-ikan yang dulunya berlimpah, kini harus di buru ke tempat-tempat yang dalam dengan papiti. Babi-babi hutan seakan bermetamorfosis ujud jadi hantu-hantu ganas yang setiap harinya menjadi sumber ketakutan para pencari bete dan anak sekolah.  Burung-burung yang dulunya ramai berkicau di waktu pagi dan senja, seperti lenyap begitu saja. Burung-burung itu kembali ke sarang-sarangnya di dunia kematian. Semua itu nyata, dan seakan terjadi begitu saja.
Daratan ini tak ubahnya dunia kematian yang penuh isak tangis. Tangisan itu bukan saja milik kaum tak beriman, atau setengah beriman. Seorang pendeta, yang dipandang sebagai guru dan panutan, juga tak luput dari siraman air mata pedih itu.
Akhir-akhir ini aku selalu memperhatikan dengan seksama ekspresi lelaki itu. Hari ini pun aku melihatnya. Ia boleh berkhotbah dengan gagah perkasa.  Tapi, kelopak matanya tak pernah kering dari tangisan.
“Jemaatku yang terkasih! Inilah saatnya Tuhan menguji iman kita,” kata pendeta dalam khotbahnya. Khotbah dalam ibadah di rumahnya sendiri. Rumah yang sejak kemarin dipenuhi bunga-bunga kepedihan.
Lelaki berpakaian jubah hitam yang berdiri di mimbar itu dengan senyuman tabah seperti tak kehilangan semangat menyalakan api pengharapan yang mulai mengecil dalam jiwa setiap penduduk. Berhari-hari sebelumnya juga, pada setiap khotbah perkabungan seperti ini, lelaki itu seakan mau mengatakan, “kita harus bertahan dalam perahu nasib yang sudah rapuh ini!” Dan kali ini, ia mengucapkan khotbah itu lagi, meskipun yang terkapar dalam tidur abadi itu adalah  istrinya sendiri. Ia berusaha mengucapkan khotbahnya dengan gemilang. Tapi hati nuraninya tak mungkin terbohongi. Hati nurani kemanusiaannya mengucap dalam bahasa lain yang jujur dalam setiap serpih air mata yang tak henti meloncat dari kelopak matanya saat khotbah yang terasa mubasir itu diucapkannya lagi. Orang-orang menangis melihatnya.  Tapi ia terus berkata seperti irama hujan dalam badai yang mengguncang di lubuk hatinya.
“Kepulauan ini tercipta dari rasa cinta Tuhan. Tuhan sendiri yang memercikkan rahmatnya ke laut hingga muncul segala daratan di sini. Karena Tuhan bermurah kepada malaikat tanah Porodisa yang berlayar dalam Pato sendiri tanpa negeri tujuan. Daratan ini negeri tujuan sang malaikat itu. Ia beranak pinak di sini, dalam legenda itu. Dan seharusnya kita adalah putra-putra rahmat Duata. Kita tak pernah terhancurkan dan terkalahkan kecuali kita sendiri yang menyerahkan diri kita pada  kehancuran dan kekalahan itu sendiri.”  Udara menjadi dingin. Dingin oleh sembab air mata.
Aku turut mengantar jenazah istrinya ke tempat pemakaman. Dan aku menjumpainya di tempat pemakaman itu ketika keadaan sudah sedikit sunyi. Para pelayat sudah pergi, kecuali beberapa orang pembuat kubur yang masih menuntaskan pekerjaan mereka.
“Kami sekeluarga turut berduka Tuan Pendeta,” kataku sambil menjabat tangannya.  Tangannya terasa dingin dan sinar matanya tampak kelam.
“Banyak yang sudah pergi oleh malapetaka ini,” gumamnya, sambil menatap ke bongkahan tanah yang di bawahnya istrinya tercinta  sedang tidur dalam keabadian.
“Kami sangat kehilangan nyonya!”
“Moga kebaikannya tak pernah pergi dari hati kalian,” balasnya. Aku mengangguk dan menepuk bahunya memberi kekuatan.
Setelah pamitan kepada para pekerja kuburan, pendeta mengajakku pulang. Sepanjang jalan menuju rumahnya, ia masih terus mengkhotbahi aku dengan nasehat-nasehat yang indah.  Padahal aku pun tahu, bagaimana suasana hatinya sendiri yang baru mengantar jenazah istrinya ke liang lahat.  Diam-diam aku begitu kagum pada ketabahan lelaki ini. Ia seperti nabi Daud, namun di bawah sedikit dari ketabahan Ayub seperti yang dikisahkan Bible.

***
 Si  gumpalan hitam yang berarak seperti setan bermata gelap di langit itu, kemudian mulai mengirim jutaan bahkan miliaran binatang yang menjijikan. Binatang itu memangsa pohon-pohon kelapa. Hama Sexava, kiriman awan hitam  menggunduli daun-daun. Mereka seakan binatang paling kelaparan di dunia ini. Hama belalang hijau itu, seperti tula yang tersesat dari zaman nabi Musa ke kepulauan kami. Menjijikan dan menakutkan. Buah-buah kecil kelapa ikut dimakannya juga. 
Kelapa di hutan Karakelang hingga ke pulau-pulau sekitar menjadi gundul. Jika dipandang di waktu bulan purnama tampak seperti hantu Kabanasa dengan bulu-bulu kasar di kepalanya yang menjulang tinggi. Keadaan ini membuat orang-orang makin resah.  Orang-orang mendesak Datu Mbanua menggelar Sawakka. Tapi tradisi profan magi itu sudah lama tak di gelar di kepulauan ini. Para misionery pada awal abad 19 menuding tradisi itu sebagai kekafiran.  Kalangan gereja pun  menentang ritual itu. Tapi meskipun dapat penentangan, Sawakka akhirnya digelar.

Saatnya pun tiba. Aku di sana ketika bunyi tambor dan breng-breng bertingkah-tingkah mungusik malam dalam rimba. Ini hari pertama. Perkemahan sudah di bangun. Mesbah ritual pun sudah tersedia. Semua itu disiapkan selama berhari-hari dengan mengikuti aturan-aturan tradisi yang ketat. Tak ada yang boleh keliru. Sebagian besar penduduk pulau ini pun ada di sana. Dari pulau-pulau lain perwakilannya juga hadir.
Upacara ritual pengusir bala ini terpaksa di gelar. Datu dan Inang telah melarang hal itu karena menghormati tradisi kekristenan yang mulai mengakar dalam kehidupan penduduk. Tapi masyarakat mendesak kedua pemimpin itu untuk melaksanakannya.  Aku dan Meria juga mengambil bagian dalam upacara ini.
“Mahkluk-mahkluk halus itu memang harus di bujuk,” kata Meria saat menemuiku di lokasi pembukaan ritual. Di arena yang cukup luas di depan mesbah utama, perempuan-perempuan tua yang sakti mulai menari. Mereka ada sekitar enam orang.
“Kau percaya cara ini ampuh?”
“Jika tinggal ini satu-satunya jalan yang masih bisa dipercaya.”
“Bagaimana dengan Tuhan?”
Meria membelalakkan matanya padaku. Ia terperanga mendengar pertanyaanku. Aku menyeruput kopi di depanku setelah membuang puntung rokok dari tanganku. Aku sadar, aku terlalu gegabah membenturkan pertanyaan yang sulit itu padanya.
“Dari pada kita terbelengguh dalam kepasrahan. Apapun hasil dari ritual ini, minimal kita sedang melakukan sesuatu untuk mengalahkan kutuk itu,” ujar Meria, yang kemudian pamit menuju dapur umum perkemahan ritual.
Kian larut bunyi mistis magi ini terus meresik rincing-gerincing. Semuanya sedang berjuang menentramkan makhluk-makhluk halus, maupun untuk menghilangkan amarahnya yang kini menimpa kepulauan.
Berjenis-jenis korban telah tersaji di mesbah khusus di tengah kurumunan orang-orang. Bunga, buah-buahan dan makanan di sajikan di sana bagi roh-roh halus itu. Semuanya ditata apik dalam piring-piring khusus berwarna putih serta keranjang-keranjang ayaman Rotan dan Ginto. “Meja itu laiknya mesbah persembahan Abraham kalau kita membaca Bible,” bisikku pada Pendeta yang duduk di sapingku. Pendeta itu tak bergeming. Ia menatap terus ke arena.  Ada duka menggelantung di mata pelayan Tuhan itu. Pohon-pohon besar dan angker di sekitarnya bergetar.             “Bersama darah mengalirlah kehidupan!”  Teriakan Datu  yang memimpin ritual itu terdengar melengking. Orang-orang pun bersorak. Para penari perempuan kian rancak. “Oleh aliran darah  terbebaskanlah sesuatu kuasa yang kuat yang menjadi arus-lawan terhadap pelbagai kejahatan,” desis dingin dan pelan yang tiba-tiba meluncur dari mulut pendeta.
Di arena, seorang lelaki telah disiapkan sebagai korban puncak. Lelaki itu kemudian dipukul di kepalanya. Ia seorang pesinah yang telah menyerahkan dirinya menjadi bagian dari korban ritual.  Aku melihat mata lelaki itu berkelinjatan dalam perih, saat balok yang dihatam kepadanya membentur kepalanya. Ini benar-benar pembunuhan yang dilegalkan tradisi. “Entah bagaimana hubungannya dengan kejadian penyaliban lelaki yang bernama Kristus di bebukit Golgota,” desisku agak gemetar. Aku berharap pendeta di sampingku menanggapinya.
“Tidak ada hubungan dengan kejadian pembebasan dalam drama penyelamatan yang dilakukan Tuhan Yesus,” kata pendeta. “Ini tradisi kafir,” sambung lelaki yang memperlihatkan pandangan yang teramat terluka menyaksikan kejadian yang baru berlangsung di depan matanya.
“Tapi tuan pendeta, Allah Bapa juga melegalkan AnakNya dibunuh untuk menyempurnakan ritus penyelamatan dunia,” kataku padanya.
“Peristiwa golgota adalah sesuatu yang pasti. Sedangkan ini, sesuatu yang tidak pasti,” jawabnya.
“Tuan pendeta, semua ini bermakna pembebasan dengan jalan pemberian tumbal manusia. Hasilnya, adalah suatu kepastian yang hanya bisa dilihat dengan mata iman. Jika kematian Kristus adalah skenario pembebasan dalam versi Kristiani, maka kematian lelaki itu, adalah scenario yang bermakna sama hanya menurut fersi tradisi profan magi,” tantangku.
Pendeta itu, kembali menatapku, kemudian berlalu ke tempat yang sedikit sunyi. Ia tampaknya menghindari perdebatan denganku. Tapi ia berada di sini seperti diriku yang terus menyaksikan setiap kejadian dalam perjamuan magi ini.
Malam itu, aku mendapatkan penjelasan dari Datu, katanya,  “dengan memukul keras seseorang di kepalanya, nyawanya dapat melayang, sekalipun tanpa pertumpahan darah.  Kepala itu adalah pembawa suatu kuasa tersembunyi. Mengaktifkan tenaga-tenaga yang tersembunyi di dalam aliran darah. Dan kepala itu untuk menolak malapetaka. Itulah maksud upacara membawa korban ini.”

Hari-hari berikutnya wanita-wanita tua penangkap roh terus saja menari dan menari hingga satu-satu mulai kerasukan, dan roh-roh  mulai berkata-kata lewat wanita-wanita itu.
            Sementara di sisi kerumunan yang lain ada beberapa wanita melakukan sembahyang kepada roh-roh lain dan Ompung-Ompung. Mereka bagaikan sedang berhalusinasi mengeluarkan serentetan kata ditujukan kepada orang yang ia sangkakan hadir di situ. Dan makin lama, makin bertambah gejolak semangatnya. Kedua mata mereka tidak dikatupkan, tetapi dibiarkan berputar-putar dalam lobangnya. Mereka berbicara sementara berdiri dan secara berganti-ganti mereka memanggil roh-roh, jiwa-jiwa leluhur. Kadang-kadang mereka menjerit-jerit mengeluarkan serentetan kata-kata yang dihubung-hubungkan menjadi kalimat-kalimat yang panjang sekali, hingga mereka seakan tidak mempunyai waktu untuk bernafas dan busa keluar dari mulut mereka. Pada permulaan setiap kalimat yang baru diucapkan secara berganti-ganti, kekiri dan kekanan mereka menghentakkan kaki di tanah untuk  menambah kekuatan kata-katanya. Tidak banyak orang sanggup bersembahyang dengan cara ini. Sebab, bahasa yang digunakan adalah sastra tinggi, yang  tidak diketahui umum. Hanya para dukun dan golongan tertentu yang menguasainya. Roh-roh  konon tidak merasa malu bergaul dengan orang-orang ini. Mereka adalah bangsawan tinggi dengan sejarah hidup yang hebat.
            Pesta persembahan umum ini  berlangsung selama  sembilan hari. Dari segala pelosok orang datang membanjirinya. Hutan ini telah dipenuhi orang-orang. Perkemahan dibangun di mana-mana. Semua orang seperti menanti harapan hari baik setelah upacara ini lewat.
            Di sana juga dibuat sebuah pondok daun-daunan besar. Itu rumah persembahan yang sebenarnya yang di sekeliling  beberapa yang lebih kecil, menjadi tempat bernaung untuk peserta yang banyak itu. Peserta-peserta mengambil bagian dalam santap bersama. Mendengarkan sembahyang-sembahyang, bercakalele, bersasalo, atau menonton tarinya yang dilakukan oleh wanita-wanita, lalu sebagai selingan makan lagi untuk kemudian mulai lagi. Siang atau malam kurang diacuhkan. Siapa kelelahan bisa mencari suatu tempat sepi untuk tidur sebentar. Sesudah bangun, orang bergabung lagi dengan yang berpesta. Seluruh pesta persembahan berakhir, biasanya karena banyak minum saguer, ada yang mabuk dan terjadi perkelahian.
Ini pesta kurban terbesar setelah kejadian yang sama seperti kesaksian Peter Antonio Marta, pada tahun 1563. Pater Antonio Marta telah menulis tentang orang-orang di kepulauan ini ketika melakukan penyembahan kurban kepada roh, yang mereka namakan Monham. Mereka memberinya makan daging babi atau ikan sebagai lauk, dan tuak sebagai minuman, yang disajikan dengan menari-nari sambil memukul genderang dan membunyikan lonceng-lonceng. Semua itu dikerjakan kaum wanita. Wanita-wanita ini telah mempelajarinya dan melatih diri untuk melakukannya. Kaum laki-laki tidak mencampuri hal itu. Mereka hanya makan daging babi dan menaruh kepala babi dengan tuak, sagu dan nasi atau bete di para-para kecil, yang dibuat dari bambu dan dihiasi untuk maksud itu sebagai tanda, bahwa mereka mengakui roh jahat itu sebagai kepala dan tuannya.
            Tentang pesta ini misioneri Brilman pernah menuliskannya dalam sebuah buku dari cerita turun-temurun dimana,  masyarakat kami, selain dukun dan dukun wanita resmi, orang juga menghormati tukang sihir dan petenung. Kekuatan fetis-fetisnya ada kalanya dapat membawa pertolongan. Jika pertolongan dukun ternyata tidak mempan, orang pergi kepada si “Bikawika”, tukang sihir yang dapat meramal. Kepada si “Tahapamitua” yang dapat menerangkan mimpi. Meminta pertolongan si Tahapebikawera yang dapat menghilangkan khasiatnya kutukan. Meminta pertolongan pada si “Tahatariang” atau si “Tahapebitung” yang hampir selalu dapat mengetahui roh mana yang menyebabkan penderitaan. Jika hal ini diketahui, maka orang lalu pergi pada dukun untuk menghilangkan pengaruh roh itu. Tetapi sesekali tukang sihir itu dapat langsung menolong untuk menghilangkan penderitaan atau menyembuhkan seseorang yang sakit.
Yang mengherankan, obat sihir untuk menyembuhkan atau membunuh diambil dari pohon yang sama. Hal itu bergantung pada kayu yang dipotong apakah dari arah timur atau dari barat. Kepercayaan pada tukang sihir ini masih banyak terdapat pada penduduk kami hingga kini.
Belum lama berselang seorang kepala desa Kristen yang menderita sakit yang hebat pada bagian punggungnya, karena putus asa, meminta pertolongan dari seorang “dokter” macam itu. Dokter ini meraba-rabai seluruh tubuh pasiennya dan mendapatkan dimana-mana ada sesuatu. Ia kemudian menyapu-nyapu   sesuatu di tubuh si sakit itu ke arah tulang belakangnya. Sesudah segala sesuatu yang dimaksud telah terkumpul di sekitar tulang belakang, maka tanpa membuat luka, dikeluarkannya sepotong pecahan kerang dari tubuh pasiennya. Benda itu diyakini sebagai yang menyebabkan rasa sakit seperti diiris-iris itu. Di sini pemikirannya adalah – sakit seperti kerang pecah yang mengiris – bukan saja disangkakan sebagai kenyataan, melainkan ditunjukkan sebagai kenyataan.
Menurut kepercayaan magis yang asli,  pengumpulan dan kemudian pengeluaran penyakit itu dari tubuh oleh tukang sihir cukup untuk menghasilkan penyembuhan. Tetapi baik si penderita maupun orang-orang di sekelilingnya tidak puas dengan hal itu, mereka ingin melihat sesuatu, dan tukang sihir memenuhi keinginan itu dengan mengeluarkan secara ajaib kerang yang pecah.
            Jika seorang dukun atau tukang sihir tidak berhasil dengan cara mereka yang biasa untuk menghilangkan suatu penyakit atau malapetaka, maka dicobalah dengan menggunakan praktek-praktek syamanis mencari hubungan dengan roh seseorang yang sudah mati. Bila melihat orang tidak waras otaknya, maka keadaan ini dianggap terjadi karena sesuatu roh. Kebanyakan disebabkan roh-roh alam yang rendah. Roh itu telah memasuki tubuh  dan menyebabkan sakit.
Histeri, penyakit ayan, katalepsi, letargi dan sonambulisme yang juga terdapat pada orang primitif maupun pada kita, tidak dapat diterangkan selain mempercayai bahwa suatu roh jahat telah menempati tubuh.
Masyarakat kami juga mengenal “Doro” sebagai roh yang dapat memasuki seseorang dan menempati dia untuk sementara waktu atau disebut Sumawang. Mereka mengenal juga “tau piadoro” seorang yang dapat menyuruh roh masuk ke dalamnya dan mengenal juga “medaroro” yaitu upacara untuk dukun-dukun wanita mendatangkan roh-roh dalam dirinya. Untuk memperlancar hubungan langsung dengan makhluk-makhluk halus ini dipakailah pelbagai cara.
            Cara yang paling sederhana untuk mencapai maksud ini sebagaimana kusaksikan dalam kurun yang panjang yaitu, dukun wanita meninggalkan salah seorang dari muridnya dalam rumah orang sakit yang kesembuhannya diusahakan bersama dengan keluarga si sakit itu. Ia sendiri pergi ke kubur seorang kepala keluarga yang terakhir meninggal. Sementara semua orang yang terkumpul di sana menangis, maka dukun wanita itu membentangkan sapu tangannya di atas kubur itu, menempatkan tangannya di bawah sapu tangan itu, kemudian mengumpulkan keempat ujungnya bersama-sama dan dengan demikian membawa roh yang sudah meninggal itu ke rumah si sakit. Isi sapu tangan itu dikebaskan di atas kepala murid yang ditinggalkan. Sang murid kemudian mulai meliuk-lampai dan mengeluarkan bermacam-macam bunyi yang tidak dapat dimengerti. Tetapi dukun wanita itu mendengar dengan teliti dengan telinga pada mulut muridnya, sampai ia dapat menyatakan kepada keluarga si sakit, bahwa roh yang dicari itu telah hadir. Hal ini selalu terjadi dengan isyarat lemah, dan tidak pernah menyebut suatu nama, karena hal terakhir ini akan berakibat buruk bagi si sakit. Orang-orang yang di sekelilingnya diperingatkan oleh dukun wanita untuk diam, karena roh itu hendak menyampaikan suatu pesan. Perantara itu sesungguhnya mengeluarkan beberapa bunyi, tetapi hanya si dukun wanita mengerti maksudnya dan menyampaikan keinginan roh itu kepada keluarga dan mereka ini berjanji akan memenuhinya. Sesudahnya, roh itu dikembalikan ke kubur dengan upacara yang sama.
Suatu metode yang lain untuk mencari hubungan langsung dengan roh, adalah membuat orang, juga di luar golongan dukun, berada dalam keadaan “ekstase” (emosi yang berlebih-lebihan). Dengan jalan sambil duduk membiarkan dia menghirup asap kemenyan. Sementara itu orang-orang memukul breng-breng (ceracap atau alat pukul dari tembaga) dalam irama cepat. Sesudah beberapa waktu mulailah nampak kekejangan pada si perantara. Ia meloncat ke atas  diiringi oleh pukulan breng-breng yang sama. Kemudian ia  meloncat-loncat dari belakang ke muka, sambil mengibas-ngibaskan tangan dan kaki, sampai ia jatuh karena kekejangan. Inilah tanda, bahwa roh telah memasuki dia. Dari bunyi-bunyi yang tidak beraturan itu yang dicetuskan oleh si perantara, orang mencoba menangkap keinginan roh.
Dalam keadaan-keadaan yang gawat atau roh mengamuk lewat perantara, bertindaklah tiga atau empat orang dukun wanita. Maka bukan saja di serambi depan rumah itu disiapkan satu tempat tidur berhias, dimana orang coba bertemu dengan roh, tetapi juga di halaman didirikan baginya sebuah rumah penginapan sementara.
Dukun-dukun wanita itu tujuh malam berturut-turut datang dan tinggal sampai jauh malam untuk menarikan beberapa jenis tari-tarian, juga tari-tarian perang – dengan dilengkapi pedang kayu – dalam tempo yang memanaskan semangat diiringi oleh breng-breng. Tiap kali seorang dari dukun-dukun wanita itu jatuh bagaikan tidak sadarkan diri, segera ditanyakan oleh yang lain dekat pada telinganya  nama dari roh yang memasuki dia.
Tetapi di sini, keinginan roh harus dicari dari bunyi-bunyi yang tidak beraturan itu. Dan jika sesudah beberapa waktu si pengantara itu sadar lagi maka orang-orang sekelilingnya tidak dapat mendengar apa-apa, kecuali dari keterangan bunyi-bunyi yang diberikan oleh dukun-dukun wanita yang lain.
Pada malam ketujuh suasana ramai memuncak baik dari dukun-dukun wanita maupun dari para penonton. Disembelihlah binatang kurban, yang darahnya diminum oleh dukun-dukun wanita dan daging-dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang yang hadir. Akhir upacara untuk memanggil makhluk-makhluk halus ini adalah membasuh diri di laut.
Baik si dukun maupun si tukang sihir diberikan upah besar untuk pelayanan yang telah dilakukan, Kerapkali berupa pakaian atau beberapa keranjang penuh bahan makanan. Dari uraian Brilman boleh menjadi nyata, bahwa penduduk pulau-pulau ini sejak dulu, dalam semua usaha untuk memperoleh penyelamatan, menaruh pengharapannya hanya pada kemampuan sendiri atau pada sesamanya. Dalam bermacam-macam kemalangan orang mengakui amarah makhluk-makhluk halus disebabkan oleh perbuatan-perbuatan buruk manusia secara sadar atau tidak.
Orang harus selalu berjaga menghindari pengaruh-pengaruh yang merugikan dari amarah mahluk halus itu dan hal ini bisa tercapai dengan jalan melakukan tindakan-tindakan tertentu yang akibat seluruhnya dipikirkan secara magis, sehingga orang merasa diri aman lagi terhadap pembalasan dendam dewa-dewa.                                               
Setelah pesta kurban itu, berminggu-minggu kemudian keadaan seakan tidak berubah. Dalam situasi yang sedemikian ini, kehidupan warga pun terlihat sangat  menggenaskan. Kehidupan kami sekeluarga  tak terkecuali. Ditambah lagi kondisi sakit Oma Tua yang kian parah, membuat aku harus mencari ekstra pekerjaan untuk mendapatkan obat. Aku menjadi buruh tambangan di pelabuhan Beo. Franseska Matiti, orang tua yang penuh kasih sayang itu akhirnya meninggal dunia juga di suatu subuh yang  dinginnya begitu menyengat.

***



BAGIAN : II

Tahun 1967

“Upung-upung Baroa
Anggile u wae
Wae I paura”
Kepas terus bertambur
Meledakkan gelisah ke pantai
Tapi, tak ada kapal
Membawa kabar para nabi
Tak ada yang selamat di sini
Baroa berdiri di tanjung
Menyaksikan ompung meniduri dewi
“Hidup tak seperti angin
bisa lari sesuka hati”





(8)
Setelah menyelesaikan pekerjaannya membersikan rerumputan liar yang menutup beberapa rumpun bunga Oliander di empat sudut kuburan itu,  Meria tampaknya lega. Ia pun tak lupa menyiram beberapa baskom air ke batang-batangnya yang langsung membasahi tanah di mana akar Oliander tampak tersembul.  “Ia akan tumbuh dan subur lagi,” desis Meria. Aku tahu, ia begitu merindukan ibunya.
“Moga! Tapi ini musim kering,”  kataku.
“Tapi aku menanamnya dengan cinta,” sela Meria,  sambil menyaput air matanya yang tiba-tiba meleleh ke pipinya. Matanya masih saja menghujam ke arah batu nisan yang masih bersih yang menempel di kepala kuburan. Ia mungkin ingin mengeja beberapa kali nama ibunya yang terpahat di sana.  Ini mungkin waktu terakhir kami mengziarahi makam ini. Dan dalam waktu yang panjang makam ini akan tertutup rerumputan,  seiring perjalanan kami ke negeri perantauan di Filipina.
“Semoga kita masih punya waktu seperti hari ini, membersihkannya,” desis Meria lagi.  “Aku yakin kita selalu punya waktu, bukan saja menziarahi makamnya, tapi mengenangnya,” kataku. Meria menatapku dan tersenyum.
Setelah meninggalkan makam yang terletak di ujung kampung itu, aku terkenang banyak hal tentangnya. Franseska Matiti. Wanita yang dipanggil dengan nama Oma Tua itu telah memberikan perkiraan yang benar.  Sebelum meninggal, ia telah berkali-kali berpesan agar aku melarikan keluargaku dari kepulauan ini.  Harapan memang kian menipis di sini. Berguguran seperti daun-daun terhempas musim panas ke daratan. Daratan dengan hamparan kutuk yang bersemi seperti jamur di musim basah. Kutuk itu tak jua pergi meski kurban-kurban telah dipersembahkan. Ritual-ritual telah dilaksanakan.
Dari Marumun melingkar ke kanan hingga Resduk, kampung-kampung itu berwarna duka. Ada saja orang menangis kerena suatu malapetaka. Buaya gaib muncul di andaara Bantik, Malat Essang. Hingga akhir Juli, di andaara Lu,a puluhan orang telah dimangsa buaya. Ini benar-benar mengerikan.
Di Beo, orang-orang dengan wajah pedih setiap saat muncul menyongsong datangnya perahu-perahu dari pulau lain. Mereka berharap, dan selalu berharap, siapa tahu perahu-perahu itu memuat bahan makanan. Mereka siap menukarkan apapun dengan para pemilik bahan makanan itu, asalkan mereka boleh mendapatkan bahan makanan. Tapi, perahu-perahu itu kemudian pergi tanpa membawa apapun. Karena mereka juga datang dalam keperluan mencari makanan di daratan besar ini. 
Pulau Salibabu, dan pulau-pulau di Nanusa juga tak luput dari kekeringan yang memerihkan.  Lereng gunung Piapi dengan pohon-pohon yang meranggas tak lagi mampu mengirimkan air ke kampung-kampung di bawahnya. Bantik, Makatara, Lobo, Rae, Awit, Sambuara, Enzem, Batumbalango, bak kuburan yang dihuni hantu-hantu di malam hari. Lampu-lampu minyak tanah atau minyak kelapa yang dibuat dari botol atau kaleng susu yang tergantung di setiap rumah seperti memberkaskan cahya kunang-kunang dari rimba kesepian orang-orang yang lapar. 
Beberapa pekan kemarin, aku diajak pendeta Simon Andrian menelusur kampung-kampung di pesisir pulau Karakelang. Dalam perjalanan panjang itu, kukira jika pendeta Simon Andrian menulis berbagai keluhan dan peristiwa-peristiwa tragis yang ditemuinya di-- Ambia, Kuma, Maririt, Essang, Lalue, Bulude, Mamahan, Bambung, Taturan, Geme, Arangkaa, Bune, Malat, Banada, Apan, Lahu, Ganalo, Amat, Dapalan, Riung, Binalang, Toabatu, Tabang, Bantane, Rainis, Matahit, Tarohan, Niampak, Ruso, Pampalu, Tarun, Sawang, Melonguane-- dalam catatan hariannya, maka diperlukan beberapa buku untuk menuliskan semua itu.
“Setelah menyaksikan semuah kepedihan ini, Pendeta masih percaya Tuhan itu penolong?” tanyaku pada Pendeta Simon ketika itu.  Wajahnya menjadi galau, tapi ia punya jawaban, “masyarakat telah menggelar Sawakka, lalu di mana roh-roh berpengasihan yang kalian yakini itu?”.  Kami terlibat diskusi yang mengarah pada debat. Tapi tak ada simpulan. Malahan, pendeta memintaku menemani ia berdoa semalaman di rumahnya. Aku masih amat lelah. Tapi permintaan seorang pendenta sangat sulit aku tolak. Doa itu dilaksanakan di kamar doa keluarga yang terletak di ruang tengah rumah. Ruang kosong itu hanya berisi meja kecil tempat kitab suci. Kami berlutut di lantai yang beralas tikar. Meski tersuruk-suruk akibat kantuk, aku terus mengikuti doa panjang tanpa ujung itu, hingga aku benar-benar tak tahu. Esoknya, aku begitu malu pada pendeta. “Rasul pun tak tahan berdoa semalaman. Padahal Yesus yang mengajak mereka. Apalagi kamu!” seru pendeta. Aku hanya bisa tersenyum getir. Sementara ia sudah menyediakan kopi buat kami berdua di ruang tamu. Setelah membasu muka dan menyisir rambutku, aku menemui dia lagi di ruang tamu.
“Keadaan memang kian berat ya!” katanya ketika aku duduk di dekatnya kemudian menyesap kopi yang disediakannya. 
“Sudah berbulan-bulan, bantuan dari pemerintah pusat belum juga datang, meski semua kepala kampung telah mengirimkan surat permohonan bantuan pangan dari pemerintah di provinsi. Dari bebagai kabar, sebenarnya bantuan itu telah di kirim pemerintah provinsi, hanya saja bantuan itu tidak sampai, karena kandas di tangan oknum-oknum tertentu di pemerintahan kabupaten dan di lego ke pasar gelap,” kataku pada Pendeta, mencoba mengalihkan topik pembicaraan
 “Astaga!  Jika itu benar, masihkah orang-orang seperti itu layak disebut manusia?” gumamnya pedih.
 “Namun, desas-desus penggelapan semacam itu memang telah menjadi hal biasa dalam kultur pemerintahan di sini. Sebelum malapetaka kelaparan ini pun banyak hak-hak orang diambil oleh fihak-fihak tertentu untuk memperkaya diri mereka.   Tapi, orang takut mempersoalkannya. Tindakan menuntut hak di negeri ini sama dengan kita mencari persoalan dan musuh,” jelasku padanya. Pendeta mengangguk-anggukan kepalanya, lalu berkata, “bunyi lonceng senantiasi mendenting kabarkan perkabungan orang-orang yang kalah membijaksanai hidup.   Perkabungan itu seakan terus bernyanyi-nyanyi mengiringi pergi serta datangnya waktu dan matahari. Suatu keadaan yang bisa menjerumuskan orang pada penyangkalan kehadiran eksistensi Tuhan.” 
“Keadaan frustrasi yang menempatkan manusia tercengkram tentakel emosinya. Manusia menjadi sang pengeluh dan penuding. Dalam kemerosotan rasio seperti itu, orang lebih mudah mengatakan Tuhan adalah sesuatu yang tak lagi bisa disapa lewat ritual-ritual. Tuhan yang tidak memiliki rasa kompromi dengan permintaan umat ciptaannya. Lalu ada yang mempertanyakan dimana kabar pengharapan yang diseru-serukan para misionery sekian abad itu. Apakah itu bukan cuma sebuah omong kosong. Orang-orang mulai bosan mencari kabar suka cita yang terselip seperti jarum di tumpukkan jerami,” sambungku panjang lebar.  Pendeta tersenyum pahit. 
Di gereja, setiap kali kulihat tuan Pendeta Simon Andrian berkeringat saat menyampaikan khotbah. Kupikir ia selalu gamang dengan setiap kata yang diucapkannya dari atas mimbar. Mimbar melengkung setengah lingkaran yang terbuat dari kayu Raja dan Batuline itu tampak tak mampu menahan beban hati sang pendeta.  Salib kecil di belakang mimbar yang diapit rapi gording kain tenunan berwarna orange seperti ikut menambah catatan hati yang terluka yang memandangnya dengan suatu harapan tanpa jawaban.  Pendeta itu seperti seseorang yang tak kuat lagi menyampaikan sesuatu kepada jemaatnya yang mulai mual dengan kabar-kabar suka cita yang hanya berhenti sebagai “kata” yang mati, yang tidak terbukti kemaslahatannya, kedikdayaannya. Sedang dalam kenyataan, tanah-tanah mereka retak dan keras oleh terik matahari yang memanggang pulau-pulau. Dusun-dusun mengering disaksikan wajah-wajah yang berlepot debu tanah yang senantiasa diterbangkan angin. Ke laut mereka berharap. Namun kutuk itu telah menjauhkan ikan-ikan dari mata kail dan buruan para pamiti.
 Di kampung Ganalo, aku dan pendeta Simon dalam percakapan dengan seorang penduduk, sangat terperangah menerimah bantahan-bantahan manusiawi dari seseorang yang dirundung kelaparan itu.
“Memang benar, manusia dicipta oleh suatu kekuatan yang asalnya dari Sang Maha Kekuatan, Sang Maha Tahu yang keberadaanNya tetap nyata dalam menjaga kehidupan manusia  dan berlangsungnya perputaran semesta. Tapi siapa mesias di tengah kelaparan ini? Mengapa Dia tak mendengar teriakan parau minta tolong dari umatnya ini? Mengapa tak ada jawaban, kecuali keluh kesah yang kian membumbung dalam setiap pikiran. Kesah yang mendengung seperti lebah dalam sarang yang bernama gereja itu,” ujar warga yang berumur setengah baya itu.
Pendeta Simon Andrian, hanya bisa menatap lelaki itu dengan wajah terlukanya. Ada rasa pahit yang sengit mencekat di lehernya.
Di Maririt, Wardi, adalah salah satu dari sekian banyak penduduk pulau-pulau ini yang mulutnya berlepotan umpatan. Ia tidak hanya memaki pemimpin-peminpin negara yang ternyata tak bisa berbuat apa-apa ketika seorang anaknya harus menemui ajal karena penyakit busung lapar. Tapi kepada Tuhan pun ia berkeluh–kesah.
“Iman sebesar biji kelapa pun tak bisa menolong keadaan kita saat ini,” teriak Wardi. Lelaki itu dalam keadaan mabuk selalu melepaskan keluh yang menurut orang banyak penuh kesesatan itu. Kegetiran di hatinya telah menjadi trauma yang sudah mulai beringsut kepada keadaan gila.
Karena umpatannya itu, ia ditangkap aparat keamanan dan disel beberapa pekan. Namun segalanya tak mengubah dia.  Lelaki itu kemudian menjadi salah satu dari penumpang perahu kora-kora yang pergi dari sini mencari penghidupan di tempat lain.
Dalam keadaan lapar tak ada seorang manusia bisa berfikir etis. Pertimbangan salah dan benar tidak lagi memiliki tempat dalam rasio. Tidak ada kekerabatan dan persaudaraan yang berlangsung secara sehat. Pertengkaran berebut kebun dan sisa-sisa tanaman yang bisa menjadi makanan terjadi dimana-mana. Di beberapa dusun, ada sanak famili  harus menyelesaikan sengketa seperti itu dengan bunuh-bunuhan. Seakan-akan muncul pikiran dimana untuk bisa bertahan hidup kita harus membunuh yang lainnya. Di sini, dalam kelaparan ini, kehidupan mental manusia mulai terperosok ketingkah laku hewani.  
Siapa yang mau bertahan di tengah gempuran kutuk yang mengerikan ini. Kulihat padang kehidupan di sini sudah menyempit. Orang-orang mulai pergi meninggalkan pulau. Setiap pekan, ada saja perahu kora-kora meninggalkan pantai memuat beberapa sanak keluarga. Ada yang pergi ke pulau-pulau di selatan Filipina. Sedang yang lain menuju daratan besar pulau Sulawesi. Perahu kora-kora dengan layar tunggal yang tergantung di tiang tinggi itu seperti menegaskan betapa sulit bertahan hidup di daratan ini. Maka dicarilah pantai-pantai lain yang masih menyimpan pengharapan bagi generasi pendatang itu. Generasi yang diusir oleh nasib dari tanah-tanah miliknya.

***
Beo, akhir Juli yang kering.  Aku bertemu pendeta muda itu pagi-pagi benar. Sebagai salah satu umatnya, aku harus pamit padanya. Ia menyambutku di pintu setelah mendengar salamku dan ketukan pintu.
Seperti biasanya Simon Andrian akan mengajak tamunya duduk di ruang tamu. Ruang tamu yang telah kenyang mencatat keluh kesah para umat yang dilayaninya. Di situ, di ruang tamu itu, semua perabotnya dari kayu Sisak dan Batuline. Ada beberapa foto tua yang tergantung dalam pigura yang mulai rapuh tanpa cat. Foto-foto itu mungkin berasal dari zaman para misionery.  Mungkin kenang-kenangan para penginjil itu. Di atas bufet kecil di sudut ruangan, terpasang foto almarhuma istrinya. Wanita Minahasa yang cantik, yang senantiasa penuh keramahan. Ia selalu dikenang warga kerena pergaulannya yang baik. Kulitnya bersih, putih, laksana boneka malaikat yang selalu dipasang di pucuk-pucuk pohon natal pada bulan Desember. Di jalanan ia kadang seperti peri putih di antara gadis-gadis dusun yang bekulit kuning kelam. Di foto dalam bingkai itu, ia mengenakan topi tikar buatan penduduk di sini. Meria istriku sangat dekat dengan istri tuan Pendeta Simon, mereka sering hingga larut menganyam tikar pandan di pantai di bawah bulan terang. Tikar-tikar buatan mereka kemudian di jual di Minahasa. Orang Minahasa sangat suka dengan tikar buatan Talaud karena selain halus anyamannya, juga memiliki motif warna-warni.
“Kau pergi juga Kepas?” tanya pendeta Simon, setelah menyuguhkan aku secangkir kopi.
“Ya pendeta,” jawabku singkat. Pendeta Simon mengajakku minum. Mata lelaki itu kemudian menatapku dengan sinar yang lemah. Kubaca rasa iba muncul di bola matanya.
“Aku akan berdoa untuk keluargamu. Ya…semoga semuanya baik-baik,” katanya dengan suara yang diusahakannya terdengar menyejukan. Sandaran kursi kayu terdengar berderit ketika lelaki itu sedikit beringsut menegakkan tubuhnya. Seperti derit hati yang kulihat terpancar dari wajahnya yang membiaskan geliat resah.
“Terima kasih tuan pendeta,” kataku dengan gumam. Sesaat kemudian, pendeta keturunan Minahasa itu berdiri dan berjalan ke halaman rumahnya. Pandanganku mengikuti begitu saja ke mana lelaki berkulit putih dengan kumis tipis itu pergi. Kupikir ia akan mengambilkan sesuatu untukku. Tapi di sana ia tak menyentuh apa-apa. Apa yang akan dilakukannya? Mengapa ia meninggalkan tamunya sendirian?  Aku menatapnya terus dari jeruji kayu jendela rumahnya.  Rumah pastorinya  sederhana terbuat dari ramuan kayu. Di beberapa sudut ruang hingga ke halaman beberapa rumpun bunga tumbuh subur dalam beberapa pot. Bunga-bunga itu mengeluarkan kembang warna-warni. Ada mawar dengan warna ungu legam. Bunga Patuku yang dilumuri kembang putih bersih. Bayam-bayam dengan aneka jenis yang daunnya lebar dengan rona warna-warni.
Tak berapa lama, pendeta Simon melambaikan tangannya memanggilku. Aku langsung menyusulnya ke halaman yang lebih tepat disebut taman bunga itu.
“Aku seperti kehilangan bahasa untuk khotbah bagi umatku. Aku seperti kehilangan kata untuk menghibur dan menumbuhkan iman kalian di sini setiap misah. Tapi syukurlah kau masih datang padaku sebelum pergi,” kata pendeta Simon.
“Mengapa bisa begitu tuan pendeta?” tanyaku seenaknya. Mencairkan kerisauannya.
“Aku tahu, orang-orang di sini sudah kehilangan pengharapan.”
“Istri tuan pendeta juga pergi karenanya,” desisku. Ia mengangguk. Rasa pedih berpendaran di matanya.  “Ia masih sangat muda. Aku mencintainya,” ujarnya. Ada rasa kehilangan yang menikam uluh hatinya. Kematian istrinya tempo hari mungkin melengkapi rona pilu yang tergambar di raut pendeta itu.
“Tuan pendeta tidak ada rencana keluar dari tempat penuh kutuk ini?” tanyaku.
“Selagi bunga-bunga masih bisa mengeluarkan kembangnya, aku percaya tak ada kutuk di negeri ini. Untuk apa lari jika semua ini hanya sebuah ujian,” jawabnya. Sejenak kami terdiam, lalu ia berujar lagi; “lihatlah tanaman-tanaman ini tampak subur. Itu artinya tak ada kutuk jika kita mau memahami semua ini hanya suatu ujian akan kesetiaan manusia,” jelas lelaki dengan sorot mata teduh itu.
“Tapi tuan pendeta telah mengeluarkan banyak keringat untuk merawat tanaman-tanaman ini. Pendeta harus bekerja keras mengambil air untuk menyiraminya setiap pagi dan petang. Itu artinya kesuburan tanaman-tanaman ini semata karena diusahakan tuan pendeta sendiri,” bantahku.
“Tuhan menganugerahkan sesuatu yang teramat berharga dalam diri seorang manusia yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran itulah manusia diperkenankan melakukan berbagai hal untuk bisa melampaui segala masalah dan tantangan yang dihadapinya,” tutur pendeta.
“Bagaimana dengan istri pendeta yang juga diambil Tuhan dari sisi tuan?”
“Ia yang punya, maka Dia punya hak penuh mengambilnya diriku, termasuk tubuh, roh dan jiwaku sendiri. Aku tak punya kuasa atas diriku sendiri jika berhadapan dengan Dia,” urai pendeta itu lagi. Aku mengangguk saja. Kurasa iman lelaki di hadapanku ini benar –benar menghampiri besar biji sesawi. 
Di pastori yang ukurannya sekitar tujuh kali sembilan meter ini seperti tak ada tanda-tanda dari keganasan alam yang memanggang pulau-pulau kami. Di sana-sini, di halaman pastori yang memanjang sekitar sepuluh meter ke depan, tanaman-tanaman menyubur. Musim kemarau seakan tak pernah singgah ke halaman kecil itu. “Tanaman-tanaman  inilah khotbah sejatiku saat ini Kepas!” serunya.
“Kepergianku juga hanya mengikuti isyarat kehidupan dari Tuhan. Moga di tanah-tanah pelarianku, kami boleh mendapatkan kebahagiaan.”
“Aku senang kau berpikir begitu. Kemanapun kita pergi, meskilah dipahami sebagai tuntunan Dia. Dia yang menuntun kita ke air tenang, ke padang hijau. Dia gada dan tongkat kehidupan.  Dia membuka jalan kita menuju kebenaran,” katanya dengan suara berpengasihan. Aku tak kuasa lagi menanggapi pernyataan tuan pendeta Simon sampai aku pamit padanya. 
***
 Dua bulan sepeninggal Oma Tua, aku pikir, untuk menghindari bahaya kelaparan yang kian hari kian mengangah, lebih baik aku ajak istriku dan kedua anakku –seperti saran oma tua-- ke Cotabato, Filipina.  Sedangkan Yulin, anakku yang tertua sudah disepakati istriku akan kutitip bersekolah di Tahuna dengan seorang famili dekat. Aku pun sudah menyurat kenalan di Cotabato melalui para penyeludup. Boas nama kenalanku itu. Boas sudah menantiku di sana.
Awalnya Meria  khawatir karena kawasan Selatan Filipina itu merupakan daerah yang tak lepas dari pergolakkan bersenjata. Tapi aku berhasil meyakinkannya, dimana untuk hidup, untuk tetap bisa bertahan, kita harus mampu masuk dalam suasana apapun.
“Kita harus punya daya kelit, bukannya pasif dan pasrah,” kataku. Kukatakan, hidup sesungguhnya adalah perang terbuka yang terus bergolak dalam berbagai bentuk, berbagai sifat. Dan setiap golakkan itu adalah hulu dari bahaya-bahaya yang segera akan ditemukan setiap orang di sebuah muara.  Tempat yang aman untuk mengelak dari persoalan dalam kehidupan cuma bunuh diri. Meria akhirnya bisa memahaminya.
“Kalau itu yang terbaik, bagaimana aku membatahnya.”

Filipina Selatan, meskipun tidak lepas dari pergolakkan senjata, tapi di sana  lahan pekerjaan masih begitu terbuka. Sementara, di dalam negeri, gejolak politik terus memanas. Kemungkinan perang antar sesama anak bangsa kian mengangah. Perang seperti ini lebih buruk akibatnya dibanding dengan perang antar negara. Sebab, kita tak bisa mengenali siapa lawan dan siapa kawan. Kabar revolusi dalam negeri itu kian santer disiarkan radio.   
Dalam situasi serba buruk itu, pada bulan Agustus 1967, kami sekeluarga bertolak menuju Filipina, kecuali Yulin, anak perempuanku yang sulung, yang telah berangkat lebih dahulu ke Tahuna. Aku mengantar si sulung hingga pelabuhan beberapa hari sebelumnya. Ia masih belasan tahun, tapi aku harus melepasnya sendirian mencari jalan hidupnya di ibukota kabupaten itu.
“Inilah hidup nak. Kau harus tegar di sana. Semoga kau menjadi sesuatu di kemudian hari.” Hanya itu pesan yang bisa kukatakan padanya. Anak itu hanya bisa menangis. Terlalu muda ia kulepas keluar dari lingkungan bimbingan langsung ibu bapaknya. Ia pergi bersama kapal yang membawanya laksana matahari yang terbenam di senja. “Kami menantimu terbit di suatu pagi nak!” teriakku padanya, ketika ia melambaikan tanganya dari kapal itu.

***
Dengan menumpangi perahu Pambut milik warga kampung yang pergi menyeludup, kami berangkat dengan tujuan  pulau Saranggani island. Kulihat wajah isteriku teramat berat melepaskan daratan kecil yang pelan-pelan kami tinggalkan. Daratan, yang di langit-langitnya bertengger awan hitam yang menggumpal seperti serombongan hantu yang tubuhnya lekat antara satu dengan lainnya. Hantu yang siap dan terus bergelayut, merengut siapapun di sana.
“Awan itu!” sungut Meria.
“Isteri Lot, menjadi tiang garam karena menengok ke belakang. Orang yang selalu mengeluh dan menyesal akan menjadi patung garam di atas bukit. Tidak asin dan tidak bergerak,” kataku. Ia menatapku. Aku tersenyum.
“Kau selalu punya kata untuk membuatku takut,” celutuknya.
Herkanus dan Dian, nampak keasyikan melihat lumba-lumba yang muncul di dekat perahu. Ikan-ikan yang kaya mitos kebaikan ini sudah sejak tadi muncul mengiringi perahu kami.
“Mereka mengantar kita,” ujarku pada Herkanus.
“Kapan aku bisa naik lumba-lumba papa?” teriak Herkanus.
“Nanti kalau kau sudah bisa menaklukannya,” jelasku.
Herkanus menjadi girang mendengar jawabanku. “Aku akan mengalahkan dua ekor, agar kedua kakiku bisa berdiri di kedua punggungnya,” teriaknya lagi.
“Kau harus kuat. Anak yang kuat bisa mengalahkan apapun. Jika lemah, semut pun tak bisa dikalahkan.” Herkanus mengangguk. Mata anak lelaki itu, tampak memancarkan semangat kejantanan anak-anak pulau. Perahu terus melaju. Daratan yang kami tinggalkan kian mengecil.
“Jika perahu tenggelam, lumbah-lumba akan mengantar kita ke daratan papa?”
“Ya!” Mata Herkanus mengkilap mendengar jawabanku. “Kita tak perlu takut. Ikan-ikan itu memang bertugas menyelamatkan manusia,” ujarku lagi.
“Guru sekolah ahad bilang Nabi Yunus juga diselamatkan ikan. Ia disimpan dalam perutnya, lalu dimuntahkan ke daratan,” kisah  Herkanus pada Dian  adiknya.  Betapa berkesan ajaran-ajaran pengharapan para misionery itu dalam benak para penduduk di kepulauan ini. Anak-anak pun sangat meyakini akan datangnya pertolongan yang ajaib dari Sang Pencipta. Tapi, dari kepulauan ini pula perahu-perahu kora-kora itu pergi. Banyak yang tak menemukan pembuktian dari kabar suka cita itu, dan mereka harus pergi menyelamatkan diri mereka sendiri.
“Semoga Ruata tak meninggalkan kita,” ujar Meria.
“Ia selalu ada dengan kita. Kalau tidak, kita sudah mati!” tegasku.
Ini perjalanan lintas negara ilegal. Memang, selama ini, warga kampung kami untuk ke Filipina tidak membutuhkan persuratan apa-apa. Atau lebih tepat disebut mengabaikan tatakrama lintas negara. Alasannya, di negeri ini, segala sesuatu begitu terpusat di Jakarta. Dan untuk mengurus surat apapun, kami selalu dihadapkan oleh birokrasi pemerintah yang korup. Jadi, untuk apa sebuah surat, jika kita harus mendapatkannya dengan jalan kejahatan seperti itu. Jika pelayaran ini juga bermakna pelanggaran pada hukum bernegara, maka untuk mendapatkan surat legal pun merupakan kejahatan yang sama.  Warga Filipina pun begitu bebas mengunjungi kampung kami.  Di masa lalu, kami adalah saudara sekerajaan. Kepulauan Sangihe Talaud dan kawasan Selatan Filipina  pernah dipersatukan dalam kerajaan Candahar. Jadi negeri itu tak asing bagi kami. Bahkan penduduknya pun masih mengunakan bahasa Sangil yang sama dengan bahasa Sangihe. Pihak penjajah yang membuat kami terpecah. Dan keterpisahan kami itu telah mengalir dalam ritus sejarah yang panjang.
Kami berangkat sekitar pukul 14.00. Cuaca begitu ramah. Tak biasanya, terang dan teduh. Laut licin seperti minyak dalam baskom. Mungkin arwah Oma Tua ada di sana bersama Ompung Taghaloang. Ompung yang senantiasa menengadahkan jari-jemarinya meneduhkan gelombang hingga menjadi sekadar buih yang memecah laksana permadani sutera penuh pernik emas ketika tertimpah cahya matahari. Dewa Fasifik yang ganas mungkin sedang senang melihat pelayaran kami. Mungkin ia merestui doa orang-orang yang senantiasa memperjuangkan kehidupan. Kehidupan anak pulau yang senantiasa pula dikerubuti keganasan-keganasan yang harus ditaklukan dengan keuletan membijaksanai hidup. Begitulah aku merumuskan makna perjalanan ini.
Pelayaran kami tidak banyak menemui masalah, meskipun ini adalah perjalanan ilegal penyeludupan. Pemilik perahu yang telah mahir mengunakan bahasa Tagaloc, berhasil mengesankan para nelayan Filipina ketika Fusu-Fusu mereka berpapasan dengan Pambut kami.
“Aku bilang ke mereka, kita orang Zamboanga,” jelas pemilik perahu tentang apa yang baru dikatakannya kepada nahkoda sebuah kapal  nelayan berbendera Filipina yang baru berpapasan dengan perahu kami.
“Kalau kita mengaku orang Indonesia?” tanya Meria. Dondo, pemilik perahu yang lagi menegak kopinya berpaling ke Meria. “Ya…bisa saja mereka akan merampok kita!” jelas Dondo. Meria sedikit bergidik mendengar penjelasan itu. “Tapi tak usah takut. Kami sudah biasa berlayar di jalur ini,” kata Dondo menenangkan hati Meria.
Perahu yang kami tumpangi tidak begitu besar. Ukuran lunasnya kira-kira dua belas meter. Lebarnya sekitar dua meter setengah. Perahu ini didorong sekaligus dua mesin merek Johnson masing-masing 40 PK.  Di perut perahu,  penuh dengan karung koprah.  
“Bagaimana kalau ada perompak?” bisik istriku padaku. Aku tahu, ia sangat ketakutan selama perjalanan.
“Tenanglah. Ini memang perjalanan berbahaya. Kita hanya butuh tenang. Selama aku di samping kalian, perompak sedunia pun akan ku lawan,” kataku menenangkan hati Meria. Meria mencubit pahaku. 
Mendengar percakapanku dengan Meria, Dondo, lelaki pemilik perahu itu tertawa keras. “Kita ini juga perompak. Sesama perompak biasanya saling menghargai. Itu hukumnya. Tapi jika mereka coba-coba, tanyakan kepada suamimu, berapa AK (AK-47, senjata laras panjang buatan Soviet) milik kita. Jika itu tak cukup, kita bisa membuat mereka menangis dengan lemparan nenas (granat),” ujar Dondo. Meria seketika merinding. Tubuhnya diingsutkannya menempel dengan pinggangku. Kugapai bahunya, agar ia tenang. Kedua anakku sudah tertidur pulas ketika itu.        
“Sudahlah, tak ada perompak. Pandangi laut sana, sangat bersih dan tak ada perahu perompak, kecuali nelayan-nelayan itu,” ujarku menenangkannya. Meria mengarahkan pandangan lurus ke hamparan laut, dan sesaat kemudian ia kelihatan tenang. Kecuali hatiku, yang sedikit pun tak pernah lolos dari rasa was-was dan khawatir yang berkepanjangan. Sebab bagaimanapun pelarian ini tak lebih dari salah satu alur dalam drama besar kutukan yang sedang menjelmakan diri di daratan yang baru kami tinggalkan di sana. Apakah kami bisa lari dari takdir kutuk, yang justru begitu diimani dalam kultur tradisi kami? Hatiku berderit setiap dilintasi pikiran itu. 
Beberapa orang anak buah Dondo, mereka lebih memilih duduk di buritan, belakang kurungan perahu.  Mereka terdengar bernyanyi-nyanyi diiringi petikan gitar. Mereka sekitar enam orang. Sedangkan Dondo duduk sendirian di haluan. Perjalanan seperti ini biasanya membuat mereka senang. Laut adalah dunia para penyeludup ini. Daratan hanyalah tempat persinggahan mengaso. Melepas penat, atau sekedar perhentian mengisi kebutuhan perjalanan, sekaligus memetik tawa dan desah perempuan.
Sejak bertolak dari kampung, kulihat mereka telah memuat juga se kist Kulafu. Minuman beralkohol buatan Filipina yang bergambar seorang lelaki perkasa yang mengacungkan busur dan anak panah. Ada semacam anggapan, dimana meminum minuman Kulafu akan membuat seorang pria menjadi lelaki sejati. Perkasa jika meniduri seorang perempuan, pelacur sekalipun. Begitulah, setiap penyeludup biasanya menegak dulu Kulafu sebelum sampai ke daratan Filipina, biar di sana mereka bisa menikmati permainan malam dengan perempuan-perempuan, kata seseorang diantara mereka, saat sejenak aku bergabung dengan mereka.
“Kau harus mencoba gaya goyang mereka Kepas.”
“Enak?”
“Seperti gempa.”
“Seperti babi hutan kena sambeang. Melenguh, tapi hentakannya kuat.”
“Lembut tidak?”
“Manis. Wangi!”
“Semalam bisa berapa kali?”
“Mereka haus untuk diperkosa!”
“Ha ?”
“Cobalah kalau kau sampai di sana!”
“Gila!”
***
Hari mulai gelap. Perahu yang kami tumpangi sudah merapat di Saranggani. Kami tidak singgah di pulau Balut, kata Dondo, di sana lagi ramai patroli keamanan. Dondo memerintahkan anak buahnya untuk siaga. Berapa dari mereka dengan cepat membuka sebuah kas. Tak berapa lama mereka telah mengambil posisi masing-masing dengan siaga. Di tangan mereka tergenggam AK-47. Dondo, telah menyarungkan refolfer, di pinggangnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Meria.
“Tidak apa-apa. Hanya persiapan. Inilah gaya para penyeludup,” jelasku.
Jalan perahu diperlambat. Kemudian secara bertahap kedua mesinnya di matikan. Dengan mengunakan gala dari bambu, perahu didorong mendekati tepi pantai. Dondo dengan lampu senternya memberikan isyarat ke daratan. Dari daratan, berkelebat cahaya isyarat balasan. “Kita aman!” ujar Dondo. Perahu terus di dekatkan ke darat. Sesampainya, kami telah dijemput beberapa orang di pesisir pantai yang agak sepi itu.
Oleh Dondo aku diberi tahu, dimana yang menjemput kami adalah orang Cotabato. Aku memang sudah meminta Dondo untuk mengatur perjalanan kami ke Cotabato. Di Cotabato, seorang sahabat lamaku telah kusurati sebelumnya, tentang kedatangan kami ini. Sahabatku itu juga sudah membalas suratku, di mana ia akan menanti kami di sana. Alamatnya, sudah ditulisnya di surat yang dikirimkannya padaku.
Setelah membongkar muatan yang langsung dipindahkan ke perahu para penjemput itu, Dondo telah meminta kenalannya dari Cotabato itu untuk menumpangkan kami. Pemilik perahu yang merupakan kenalan Dondo, ternyata tidak keberatan. Malam itu juga, kami melanjutkan perjalanan dengan perahu milik kenalan Dondo ke Cotabato.
Belum satu mil dari darat, kami dikejutkan  serentetan bunyi tembakan di pantai sana. “Kita balik,” seru pemilik perahu. Dengan cepat anak buahnya membalikan arah perahu menuju pantai lagi. Beberapa diantaranya dengan cepat menyiapkan persenjataan.  Di pantai yang tadi begitu sepi itu, kini terdengar ramai bunyi letusan. Pemilik perahu terlihat memberikan kode senter ke darat. Dari arah selatan berkelebat cahaya senter balasan.
“Tembak bagian utara!” teriak pemilik perahu.
Anak buahnya, yang siap dengan sejenis senjata Basoka melepaskan tembakannya ke arah yang diminta. Sekali, dua kali, dan berkali lagi. Senjata berat itu memuntahkan peluru. Setelah senjata berat ini berhenti, di pantai sana tak ada lagi bunyi tembakan.
Perahu yang kami tumpangi terus merapat ke pantai mengikuti isyarat sinar senter. Sesampainya,  terdengar suara kaki-kaki mendekat.
“Dondo tewas!” teriak salah seorang. Beberapa anak buah perahu yang kami tumpangi dengan cepat turun dan mendekati kerumunan kecil di balik semak-semak pantai itu. Istri dan anakku begitu ketakutan. Aku hanya bisa memeluk mereka dan menenangkan mereka. Pemilik perahu meminta kami untuk tetap di perahu bersama tiga orang anak buahnya. Sedangkan dia pergi menyusul anak buahnya yang lain. Ada sekitar dua jam kami menunggu di perahu, baru mereka muncul lagi, dan melanjutkan perjalanan kembali.
“Kalian tidak perlu cemas. Ini hanya permainan kecil,” ujar pemilik perahu. “Sudah aman,” tambahnya. Mendengar itu, Meria menarik nafas panjang. Ia terlihat lega kembali. Aku berusaha membujuk kedua anakku untuk tidur. Meria masih saja duduk tak bergeming. Aku tahu ia sangat ketakutan dengan kejadian tadi.
“Tidurlah, biar kau agak tenang,” kataku membujuknya. Meria mengangguk, kemudian merebahkan dirinya di sampingku. Setelah mereka terlelap, aku pindah ke haluan. Pemilik perahu di sana sendirian.
“Apakah ini perjalanan anda pertama kali ke Filipina?”
“Ya!”
“Banyak pekerjaan di sini!”
“Tujuanku memang mau cari kerja.”
“Lelaki seperti engkau, mudah mendapatkan pekerjaan!”
“Sebabnya?”
“Kau terlihat kuat. Badanmu kekar. Kalau kau mau, kau bisa jadi tentara di sini.”
“Tapi aku warga asing di negeri kalian ini.”
“Itu tidak penting. Yang terpenting kesetiaan. Dulu pun kita satu kerajaan. Jadi kau bukan orang asing.”
“Kesetiaan? Hanya dengan itu?”
“Manusia dihormati karena kesetiaannya!”
“Kau juga tentara?”
“Kebanyakan penyeludup adalah tentara. Tapi kami disebut pemberontak oleh pemerintah pusat, di Manila.”
“Ow…”
Ia menyodorkanku sebatang Eskort. Rokok itu kusulut. Tubuhku menjadi agak hangat meski dingin malam menyengat.
“Mereka sudah tidur?”
“Ya!”
“Kejadian tadi itu biasa. Jangan terlalu dipikirkan,” katanya.
“Istri dan anakku agak shok,” kataku.
“Perempuan dan anak-anak selalu begitu.”
“Bagaimana nasib Dondo?”
“Tidak apa-apa. Ia hanya terluka.”
“Jadi tidak mati?”
“Tidak. Cuma lukanya memang agak serius. Aku telah menyuruh mereka ke dokter kami. Pasti bisa sembuh.” 
“Semua anak buahmu ini tentara?”
“Ya. Kami pejuang.”
“Kalian negara merdeka. Mengapa mesti ada pemberontakan?”
“Pemberontakan itu ada karena tidak ada keadilan. Jika ada keadilan, apa gunanya pemberontakan.” Kami terdiam sesaat.  Dari belakang perahu kami ada boat yang agak besar memberikan isyarat lampu senter. Disusul suara ledakan senjata dan kembang api mengudara menerangi laut di sekitar kami.   Lelaki di sampingku dengan cepat memintakan senter ke anak buahnya lagi. Beberapa dari mereka dengan cepat meraih senjata masing –masing. Suasana seketika mencekam. Kedua anakku kaget, terbangun, dan menjerit. Meria sudah di sisi keduanya sambil mendekap mereka. Sebuah brend dengan cepat terpasang di haluan perahu. Seorang lelaki sudah menjaganya dengan sigap di sana. Aku sendiri kebagian sebuah senjata laras panjang.
“Ini otomatic,” ujar orang yang memberikan senjata itu. “Kau tinggal menarik pelatuknya saja,” tambahnya.  Setelah beberapa kali terjadi kontak isyarat, boat itu kemudian membalikan arah perjalanannya. Suasana tegang yang datang mendadak itu, akhirnya cair begitu saja.
“Kawan!” ujar lelaki itu. Semuanya seperti serentak melepaskan nafas yang bunyinya terdengar memanjang. Tak terkecuali istri dan anak-anakku. Lelaki itu kemudian merapat dan duduk kembali disampingku. Sementara anak buahnya kembali mengaso.
“Tadi itu hanya ledakan mercon!” katanya, seraya membagikan rokoknya padaku. Aku menyulutnya, setelah mengembalikan senjata yang kupegang.
“Pernah mengunakan senjata?” tanya lelaki itu. Aku menggeleng.
“Kau harus bisa!” ujarnya lagi. Kemudian ia dengan senang hati menerangkan padaku teknik serta cara mengunakan senjata. Setelah ia memperagakannya, aku dimintahkannya untuk menembak ke laut lepas. Aku pikir ini pengalaman baru yang sangat menarik. Beberapa peluru kumuntahkan ke arah kegelapan laut. Melihat aku menembak, istriku nampak ketakutan. Tapi Herkanus, mata anak lelaki itu, tampak memancarkan sinar kebanggaan yang lain.
“Hidup ini adalah padang pertempuran yang tak pernah selesai. Jadi, kau harus bisa menggunakan senjata!” kata lelaki itu lagi ketika aku usai melakukan latihan singkat itu.
“Sering terjadi kontak senjata di laut?”
“Dalam sepekan bisa berkali-kali.”
“Pekerjaan kalian penuh resiko.”
“Yang aman itu cuma di surga.”
“Sudah menikah?”
“Aku tidak tahu apa itu menikah. Aku banyak perempuan. Tapi aku tidak mau mereka menderita.”
“Maksudmu?”
“Kalau menikah, lalu punya anak, kemudian aku mati. Itu namanya bikin susah orang lain.” Ia terdiam sejurus. “Dulu aku punya istri. Ia tewas saat kontak senjata, ketika ia ikut aku menyeberangkan barang ke Singapura. Sekarang aku memilih untuk tidak melibatkan orang yang bernama istri dalam hidupku.” Ada perasaan getir yang terlepas ketika lelaki bertubuh kekar ini mengatakan itu.       
“Kalau suatu hari kau mau jadi tentara, kau bisa menghubungiku.”
“Aku akan ingat tawaranmu,” kataku. 
Kami tiba masih gelap di Cotabato. Kenalan Dondo yang setelah perkenalannya denganku kuketahui bernama Paulus Barahama itu, ternyata bermurah hati mengantar kami hingga ke rumah kenalanku yang terterah di alamat suratnya.  Rumahnya tidak jauh dari pantai. “Boas banyak membantu kami. Kami sangat kenal dengannya,” ujar Paulus.
“Kau begitu mahir bahasa Indonesia!”
“Semua penyeludup, harus menguasai bahasa tempat tujuannya. Kalau tidak, itu namanya cari mati,” jelas Paulus.
***
(9)
Paulus Barahama mengantar kami. Lelaki Filipina ini tampak gagah dalam pakaian semi militer dengan sebuah refolfer yang tidak ketinggalan terselip di pinggangnya. Dari raut mukanya, ia adalah lelaki dengan pendirian keras yang kukuh. Tapi, sebagai manusia, di balik tampang kerasnya bersemayam sikap manusiawi yang mendalam. Meski hanya sesaat menumpang perahunya, tapi kami sudah menjadi sedikit akrab.
“Saya mengerti bagaimana pergumulan orang-orang yang mencari tempat hidup yang baru. Aku sendiri untuk bisa meraih kehidupan itu bukan saja dengan akal sehat, namun mesti dilewati dengan pertaruhan-pertaruhan nyawa,” kisahnya.
Hanya melewati sekitar tiga tikungan pendek, akhirnya kami sampai di rumah Boas.  Mendengar kedatangan kami, kenalanku  dan istrinya tampak gembira.
“Paulus… rupanya kau yang mengantar kawanku,” ujar Boas, setelah melihat kami semua.
“Bukan cuma kawanmu. Kini kawanku juga,” balas Paulus. Aku tersenyum. Diam-diam aku kagum melihat eratnya persahabatan mereka. Mereka berpelukan seperti dua orang saudara yang sudah lama tidak bertemu. Boas dan istrinya kemudian menyalami kami semua. “Ini anakmu Kepas?” tanya Paulus yang telah memeluk Herkanus. “Satu-satunya anak lelakiku,” jawabku. 
“Seharusnya kau bilang mau datang kapan, biar aku yang langsung ikut menjemput kalian di Saranggani,” ujar Boas.
“Ah, ini saja sudah merepotkan,” ujarku.
“Anakmu sudah berapa?” tanya Paulus pada Boas.
“Dua. Lelaki semua,” jawab Boas.
“Satu saat mereka harus kau serahkan padaku. Biar mereka jadi tentara,” ujar Paulus berkelakar.
“Terserah kau sajalah,” jawab Boas. Mereka terbahak gembira. 
“Kepas ini bagus jadi tentara. Kalau ia mau akan kutempatkan sebagai pemegang altileri berat,” kata Paulus.
“Kalau lihat badannya, ia bagus dibagian pelontar mortir,” timpal Boas.
“Ah… aku jadi petani saja,” ujarku menyambung kelakar mereka.
“Boas, kawanmu ini tipe manusia senang damai!” kata Paulus.
“Di kampungnya, sejak remaja ia sudah dikenal sebagai orang kuat yang bisa mematahkan batang leher babi hutan,” kilah Boas.
“Kekuatan semacam itulah yang memang kuperlukan. Tapi, kita harus menghargai pilihan hidupnya,” ujar Paulus. Aku tersenyum saja. Aku tahu mereka sedang membangun suasana akrab dalam pertemuan kami ini.
Istri Boas tampak bercakap serius dengan istriku. Mereka lebih memilih duduk di dapur. Terdengar sesekali tawa mereka. “Istriku sudah rindu ketemu orang dari kampung kita!” ujar Boas. Tak berapa lama, istri Boas dan Meria telah membawakan kami kopi. Kami pun terlibat percakapan yang menyenangkan. Paulus yang mengantar kami, tampaknya ikut juga senang, karena telah berhasil dengan selamat menunaikan tugas yang dipesankan Dondo, mengantar kami. Paulus tidak lama dengan kami, karena harus pamit melihat perahunya.
Malam itu, aku dan Boas terlibat percakapan yang panjang, hingga dini hari. Boas telah lama bermukin di Cotabato. Beberapa pekan kami sekeluarga di tampung kenalanku itu,  di rumahnya. Istrinya berasal dari pulau Tagulandang. Sebuah pulau yang letaknya dekat dengan ibukota provinsi, Manado. Boas dan istrinya Ndio, melayani kami layaknya keluarga sendiri. Padahal aku dan Boas tidak ada hubungan darah sama sekali. Ia hanyalah temanku sejak kecil di Makatara. Dia memang orang Filipina yang diangkat anak oleh satu keluarga di Makatara. Ia anak yatim. Cuma itu yang kuketahui tentang latar belakang karibku ini. 
Dua minggu kemudian, atas bantuan Boas,   aku mendapatkan pekerjaan di  perkebunan kopi dan kelapa. Pekerjaan itu sangat memuaskan, karena bisa mencukupi kebutuhan hidup dan bisa menyisikan uang buat dikirim ke Yulin  di Tahuna untuk biaya sekolahnya. Oleh pemilik perkebunan, kami diperkenankan tinggal di salah satu rumah penjaga kebun di perkebunan itu.
Pekerjaan ini terbilang ringan, dan menyenangkan. Setelah sekian bulan bekerja,  aku dan keluargaku menjadi akrab dengan pemilik perkebunan. Sesekali aku dan keluargaku diliburkan tuan kebun untuk pesiar ke General Santos atau ke Davao City.  Dilain waktu, kami sekeluarga diajak Jack Dagos Jr, anak tuan kebun kopi itu  ke Manila. Aku suka melihat keindahan kota buatan Jose Rizal itu. Aku pun suka membaca kisah-kisah patriotik dari orang yang di kampung kami, gambarnya terpasang di kotak macis buatan Filipina itu. Talaud, bagaimanapun menjadi Indonesia, kami lebih dekat dengan Filipina, baik secara kultural  maupun emosional historis. Sebab dari negeri inilah para leluhur kami menimba pendidikan dunia Barat. Dan kami melihat kejahatan dunia Barat justru dari negeri ini pula. Tapi apakah perubahan indah yang kami sekeluarga alami di tanah perantauan ini juga bermakna  bebasnya kami dari kutuk di negeri sana?  Ternyata ini tak lebih dari sebuah pengantar lain menuju padang-padang penderitaan yang lebih dasyat di kemudian hari.
***





BAGIAN : III

Cotabato 1971

(Upung-upung waroa
angile u wae
wae I pa ura
I pandamu gati
Aku di sini
Di waktu yang terlewat penuh pergulatan dan pengalaman batin.
Hari-hari yang pergi menyimpan kenangan hutan-hutan perkebunan Mindanao.
Lembah dan ngarai yang berkisah seuntai kesaksian.
Mungkin tentang cicit burung-burung nuri di pohon-pohon kopi, atau seekor anak ayam yang diterkam elang, lalu diterbangkannya entah ke mana,  yang menorehkan sejarah, seperti sebuah cermin)




(10)
Waktu melesat seperti anak panah. Cepat dan berkelebat menyinggahi setiap peristiwa. Di sana, di halaman rumah kebun, Mahoni tak seperti Cemara, tapi keduanya telah menjejarkan cabangnya ke udara. Ketika pagi, angin yang menyusup bersama bau bunga kopi ke hidung menyudahi sisa mimpi di pinggir penat. Begitu pula, setiap aku bangun, kutilang-kutilang kecil  di sana, seperti anak nakal bergelayut dan melompat, melindap-lindup di reranting mahoni dan bersembunyi di cemara. Semuanya memang berubah, kecuali matahari, ia tetap dari Timur ke Barat mengubah waktu siang dan malam dan menggeser bayangan cemara di dinding rumah ke kiri dan ke kanan setiap enam bulan, menandai dua musim di tanah-tanah khatulistiwa. Tapi apakah awan hitam penanda kutuk itu sudah beringsut dari langit di atas negeriku yang sudah kutinggalkan bertahun-tahun?  Ataukah ia berhasil pula menyelusup ke sini, ke negeri pelarian ini, sebagai pemburu manusia-manusia terkutuk, lalu melampiaskan takdir mengerikan bagi kami? Apakah pendeta Simon Andrian masih berdoa di taman bunganya untuk memohon keterlibatan Tuhan dalam penyelesaian melapetaka itu? Apakah ia juga masih kuat melantunkan doa semalam suntuk? Di sini segalanya sudah berubah, kecuali bayangan awan hitam yang terus membuntutiku hingga ke dalam mimpi-mimpiku.
Untung bagi anak dan istriku, segala yang mengerikan itu seakan telah menjadi masa silam. Meria pun demikian. Dukanya atas kematian Franseska Matiti ibunya sudah lama terhapus dari wajahnya. Belakangan ini ia lebih ceria.  Kulitnya tampak bersih dan terawat. Dulunya ia mengikat rambutnya dalam kepang sejajar. Gaya kepang wanita-wanita desa yang lugu.  Kini ketika membangunkanku, rambutnya berhiaskan bandou yang lekat memipih rambutnya ke kulit kepala. Antingnya berkilat dan berumbai dari batu giok pirus seperti embun yang siap meleleh di pinggir daun talas. Aku hanya tersenyum memaknai perbedaan di cermin waktu. Wajahku, wajah siapapun, dan segalanya beringsut menampilkan kebaruan.
“Kau suka gayaku?” katanya, sambil merenggut peyamaku dengan lembut.
“Segala yang membuat kau bahagia pasti aku  suka,” kataku, sambil membiarkan ia menanggalkan piyamaku dan menggantikannya dengan kaos tanpa lengan. Setelah menyerahkan aku segelas air putih ia berkata lagi, “kalau aku seperti ini di Talaud, aneh tidak?”  Meria menatapku dengan bola matanya yang terlihat jenaka, lalu meraih peyamaku yang diletakkannya di atas sandara kursi rias dan memasukkannya ke keranjang pakaian kotor berwarnah merah dekat pintu masuk kamar.
“Sesuatu yang baru pasti memberikan kejutan!” kataku.
“Aku berharap di sana juga ada perubahan,” katanya, lalu meraih keranjang pakaian kotor dan membawanya ke luar. “Kalau ke kota jangan lupa beli daging sapi!” katanya lagi.
“Iya!” jawabku, lalu menyulut sebatang Eskortku yang kuraih dari kantong baju hujan yang tergantung di belakang pintu. Semalam aku kehujanan sekembalinya dari rumah Dagos Argava. Tapi tak apalah, karena majikanku itu telah membicarakan secara serius rencananya mengangkat aku jadi mandor.
Tiga tahun sudah aku berkerja di perkebunan tuan Dagos Argava. Keadaan ekonomi keluargaku sudah cukup maju dibanding masa awal-awalnya. Kendati begitu masih banyak hal yang belum kuraih dan mungkin juga tak pernah akan kudapatkan. Tapi  apa yang kudapatkan saat ini sudah membuat kami bersyukur.
Tiga tahun memang waktu yang tidak singkat bagi seorang pekerja kasar, yang sehari-harinya berkeringat, terperah, yang jika ditampung sekaligus dalam drum, bisa satu atau dua drum. Tiga tahun, adalah waktu yang cukup lama bagi orang yang membiarkan diri di alam terbuka, terpanggang matahari, berceloteh dengan keluh kesah di pinggir tawa yang masih tersisa. 
Memang adalah sangat berbeda jika pergeseran waktu ini dialami oleh seorang pengusaha yang sehari-harinya memburu target pendapatan. Beberapa kali aku mendengar tuan Dagos Argava, mengeluhkan putaran jam yang singkat di arloji Rolex yang melingkar tangannya. “Time is money”, begitu tuan-tuan itu mengartikan waktu. Selalu terlalu sempit bagi mereka. Pagi dan sore seakan ritus alam yang memangkas upaya mereka merenggut sebanyak-banyak kapital. Kekayaan yang harus di buruh hingga ke liang-liang bergenang darah  orang-orang yang harus dikorbankan demi gunung martabat yang ikut melangitkan derajat mereka sebagai manusia akibat pertambahan harta itu.  Tapi bagi seorang buruh kasar, senja hari menjadi peristiwa alam yang paling dirindukan. Senja seperti tangan sang cinta yang membelai batin dengan lembut di saat rindu terbakar. Di sana mereka penepihkan penat dalam istirah dengan semangkuk kopi atau setegukan wine murah di sebuah kedai yang masih tersisa di pinggir pasar. Manusia-manusia sederhana itu selalu berada di  waktu yang terasa bergerak lambat. Karena itu, aku selalu ingat kakek tua yang berjalan terseok-seok yang selalu kujumpai di depan port Davao City.
Kebetulan  hari ini Sabtu,  adalah jadwalku menjemput Koprah milik Dagos dari Saranggani.  “Aku harus menemui dia,” janjiku pada diri sendiri. Aku merindukan lelaki tua itu.
Sesampainya di Port,  Benyamin, lelaki yang ditunjuk Dagos untuk mengatur usahanya di Saranggani island langsung menyodorkan nota muatan beberapa pambut yang di bawanya.
“Muatan koprah hanya sekitar 40 ton,” lapornya.
“Barang-barang lain?” tanyaku.
“Dua peti! Dan ada beberapa barang campuran,” sahutnya, sambil memberi isyarat tangan dengan membengkokkan telunjuknya ke dalam. Aku mengangguk paham. Isyarat itu menandahkan ada pasokan dua peti senjata ringan jenis Long River 28 dan colt 45 yang di seludupkan dari Saranggani Island.
“Semuanya masuk gudang!” kataku pada Benyamin.
Benyamin menyerahkan hadiahnya sebungkusan kecil cerutu Brasil padaku.
“Cari kurir mengantar dua petih itu ke rumah Dagos sebentar malam,” bisikku kemudian pada Benyamin. Lelaki itu mengangguk, kemudian berjalan lagi menuju pambutnya.
 Karena muatan sedikit, berarti aku masih punya banyak waktu bercakap-cakap dengan lelaki tua itu. Pukul 11.00 siang  semua muatan yang di bawa  pambut-pambut milik Dagos sudah masuk gudang.
Seperti biasanya aku harus mencarinya di depan port. Memang benar, ia ada di sana.  Lelaki itu duduk di atas sebuah  kas.  di pinggir tembok pintu masuk port yang atapnya menjorok keluar hingga ia terlindung dari terik matahari yang panas. Ia tampak murung dan matanya jelajatan memandang orang-orang lewat keluar masuk port. Ia tampak seperti mau menghitung semua detakkan kaki yang membentur jalanan di depan port itu. Apakah ia sedang mencari-cari ilham di tengah kebisingan port ini untuk karya-karyanya? Ia memang selalu begitu ketika kutemui.
“Hallo pak tua,” sapaku setelah dekat dengannya. Ia berpaling ke arahku. Setelah mengenaliku ia tersenyum. Beberapa giginya telah tanggal hingga menciptakan beberapa rongga kecil ke dalam mulutnya. Rautnya masih seperti kemarin tampak keras namun telah mengeriput. Kumisnya yang melebat di atas bibirnya sudah mulai memutih. Sedang jenggotnya yang tidak begitu subur, beberapa utasnya memanjang hingga ke separoh leher. Kulitnya kelam, tapi senyum indah yang senantiasa memercik ketegaran yang terpacak di relung hatinya.
“Aku berharap kau datang Goodman!” katanya dalam bahasa Tagaloc, sambil meraih tangganku untuk duduk di kas yang satu, persis berhadapan dengannya.
“Aku sudah rindu pula!” seruhku sambil menyodorkan beberapa batang cerutu pemberian Benyamin kepadanya.
Satu-dua gigi hitamnya yang tersisa kembali terlihat ketika ia tersenyum. “Akhirnya aku bisa lagi mengisap Brazil,” katanya, lalu mematik korek api di tangannya dan disulutkannya ke cerutu yang telah diapit bibirnya yang bergetar. “Ini seperti memandang dunia dari Matutum. Semuanya indah dalam asap Brasil,” kilahnya gembira. Orang-orang memandangi kami, kemudian berlalu tak peduli.
Setelah itu, kuajak ia ke kedai makan tak jauh dari situ, dan tak lupa memesan sebotol wisky  kesukaannya.
“Masih menulis lagi seperti waktu kemarin?” tanyaku, setelah kami mendapatkan meja yang pas dan duduk di bangku yang terpasang saling berhadapan di meja itu.
“Yang kulakukan adalah menyelesaikan waktu, Melihat orang-orang yang datang dan pergi sebelum malam muncul di port ini,” kata lelaki tua itu lalu menyambung, “itu puisi-puisiku saat ini.”  Ia membatuk, kemudian membuang ludahnya keluar lewat jendela kedai persis berada di belakang punggungnya.
Aku kagum lagi mendengar kata-katanya yang indah dan penuh makna. Ia memang seorang penyair, dan penulis sastra. Aku tak bertanya apakah ia sastrawan terkenal, ataukah hanya seniman jalanan yang menutup diri lapat-lapat dari publisitas. Aku tahu, ia tak butuh pertanyaan leceh semacam itu. Bagi dia, seperti yang selalu dikatakannya; Manusia adalah mahkluk yang ditadirkan untuk merespons segala yang merapat dalam pengalaman dirinya.
Suatu ketika ia berkata padaku; seharusnya aku sudah mati, nyatanya aku masih hidup, maka kujalani hidup sebelum Tuhan menghentikannya.
“Hidup itu bagai kekasih sang angin, ada musim badai dan sepoi,” ujarnya lagi memecah keheningan yang tiba-tiba menyelimuti kami. Apalagi kedai masih kosong, hanya pemilik dan dua orang pembantunya yang lagi sibuk di dapur yang terletak sekitar empat meter dari meja kami.
“Hidup itu bagai kekasih sang angin, ada musim badai dan sepoi,” ejaku pelan-pelan, agar aku bisa menghafal kalimat puitis itu. Kadang-kadang sulit memahami kata-kata lelaki tua itu, tapi bagiku ia adalah sesuatu yang merapat padaku bersama waktu.
Setelah meneguk segelas wisky-nya, “sudah jadi mandor?” tanyanya.
“Sebentar lagi,” jelasku.
“Moga musim sepoi!”
“Moga kamu pula panjang umur!”
“Kita ini dua kekasih sang angin, bisa berkabar meski sudah mati,” potongnya.
“Bagaimana bisa?” tanyaku
“Kenangan tak mungkin terbunuh. Meski kemarin selalu tak ada. Ia serupa kebenaran, selalu ada mesti terbungkem!” Aku hanya bisa berdecak, kagum.
Kami bercakap banyak, tapi kemudian aku pamit setelah mengantar dia ke kas tempat duduknya di dekat pintu port saat aku menemui dia tadi.
“Aku akan membeli daging pesanan istriku!” kataku padanya.
“Salamku untuk dia!” katanya diiringi senyumnya yang khas dan tabah.
Aku memang selalu merindukan pertemuan dengan lelaki tua itu. Lelaki yang menjadi teman berceritaku setiap aku menyinggahi port ini. Kami bisa sama-sama meratap dan tertawa sebagai dua orang kekasih sang angin, seperti selalu dikatakannya. Si tua yang selalu membagikan wisky padaku untuk menghangatkan tubuh dari dingin malam, dan dengan tabah ia bercerita kisah-kisah patriotisme Joze Rizal, Atau Jose Abad Santos, bapak bangsa Filipina yang ia banggakan. Atau hal-hal lucu dari para pedagang Spanyol yang membuat banyak wanita pribumi menjadi janda, karena ditinggalkan pergi dalam keadaan hamil. Di Port ini, aku pernah mematahkan tangan seorang pemabuk karena menggangu lelaki tua itu. Waktu telah membuat kami bersahabat. Ia lelaki dari kawasan Sultan Kudarat. Impiannya, katanya, setinggi gunung Matutum yang indah.
Tiba-tiba aku ingin ada yang tak berubah di port ini. Aku tak ingin pelabuhan ini tak lagi dihiasi langkah seok-seok lelaki tua, dengan garis muka yang kenyang pergulatan hidup yang keras.  Atau pemandangan berseliwerannya perempuan-peremuan muda cantik dalam pakaian seronok yang setia menunggu para pelaut di beberapa pojok. Pelaut yang segera turun dengan segepok peso atau dollar setelah mereka melintasi beberapa samudera yang jauh.
 Selalu ada yang berubah tapi semoga ada yang abadi. Yang satunya membuat sejarah dan satunya lagi mengekalkannya. Tapi aku banyak belajar, dan menimbah pengalaman dalam setiap peristiwa yang dilalui itu.
***
Dari Tahuna, Yulin menulis surat mengabarkan dimana ia sebentar lagi ujian akhir. Surat yang di antar tukang pos itu membuat aku jadi rindu tanah air. Apakah kota kabupaten itu juga ikut berubah? Tak ada yang dikabarkan Yulin. Tapi aku senang, anak itu akhirnya bisa melewati waktu. Seperti kecamba yang bertahan melampau musim terik sebelum menjadi pohon. Diam-diam aku merasa sangat pantas mensyukuri, jika Tuhan membimbing seseorang dari suatu negeri ke negeri yang lain semata karena maksud-maksud suci yang rahasia. Tuhan membimbing manusia untuk menyaksikan waktu memperagakan berbagai kesaksian. Dalam kesaksian itu, aku selalu bertemu maksud-maksud suci  yang baru kita ketahui setelah kita menjalaninya. Aku berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan pengalaman batin apabila ia membiarkan dirinya dalam diam. Ternyata manusia harus dan wajib memasuki waktu dan mencipta pengalaman.
Tiga tahun, sungguh banyak perubahan yang terjadi di Filipina. Tradisi kaum pribumi Asia yang dengan cepat tersepak entah ke mana, dan berganti model-model Eropa-Amerika. Rock and Roll, Hipies, Punk,  merajalela anak-anak muda. Kedai-kedai dengan aroma masakan tradisional berganti restourant dengan bau Eropa yang manis.  Gadis-gadis remaja dengan berani memperlihatkan lubang pusar. Anak-anak sekolah terlibat alkohol dan obat terlarang. Mereka ada di mana-mana, di jalanan, di hotel dan di kedai-kedai. Obat perangsang di jual bebas memacu kesemarakan free sex.  Bangunan-bangunan baru  mulai menggapai langit. Atau cerita kriminal yang menjadi bahan berita sehari-hari media massa. Semuanya berubah. Cepat, dan saling bergegas. Sekali lagi, kecuali matahari yang setia melintasi jalannya dari timur ke barat, dan timur-barat lagi di esok, dan esoknya lagi dalam putaran 24 jam.
Setelah satu bulan aku ditugaskan ke Saranggani atas perintah Dagos Argava untuk melakukan sebuah misi rahasia yaitu mengatur pengiriman senjata ke beberapa titik di kawasan selatan, baru hari ini aku punya waktu, sejak aku kembali mampir ke port Davao City. Aku masih di Port itu, padahal waktu sudah pukul 23.00. Tadi siang, aku menyempatkan diri mencari lelaki tua sang penyair itu, tapi ia tak kutemui. 
Malam agak basah meski hujan sudah redah sejam lalu. Aku baru berpisah dengan Paulus dari dalam kedai disamping gerbang. Lelaki itu terus berhubungan denganku karena ternyata ia punya ikatan bisnis dengan perusahaan tuan Dagos Argava.
Perahunya melabuh sejak sore dan membongkar muatan dari Pulau Basilan. Ia menjumputku di perkebunan dengan landrover-nya. Beberapa ayam jagoku diopernya untuk di bawah ke Thailand. Tak lupa ia menghadiahiku sebuah senjata kecil otomatic buatan Amerika. Ia memang sudah berkali-kali membujukku untuk jadi tentara bersama kelompoknya di Basilan, tapi aku menolak. Meskipun aku tak mengiyakan ajakannya tapi ia selalu baik padaku dan keluargaku. Malahan aku sudah merasa ia saudaraku sendiri.  Ia memang menawarkan diri untuk mengantarku lagi keperkebunan, tapi aku menolak. Aku ingin sendiri menikmati malam Davao City. Melihat lampu-lampu penuh pernik di kota yang lagi tumbuh menjadi metropolitan.  Namun sebetulnya aku ingin bertemu dia. Perempuan yang sempat dikenalkan Paulus ketika kami sama-sama dikedai tadi.
“You like pam pam?” Aku terperanjat. Suara itu muncul tak jauh di sisi kanan gerbang.  Malam menjadi bernyanyi-nyanyi. Gadis itu mendekat dan bergelayut di pundakku.  Matanya bersih dan remaja dengan tubuh yang menggemaskan. Aku jadi ingat anak buah Dondo. Ku ingat isyarat panas di mata gadis Filipina seperti cerita mereka. Ah…kuhela ia ke sebuah hotel dua blok dari gerbang port dan kutiduri beberapa jam. Dan di kemaren-kemaren,  berkali-kali aku mendapatkan ajakan yang sama dari gadis yang bermacam ragam, bermacam kelembutan dan aroma. Benar kata anak buah Dondo. Mereka cekatan dan mahir di ranjang. Tapi adakah percakapan cinta? Tidak. Kami hanya menikmatinya. Lalu aku membayarnya. Selesai. Memang benar, cinta adalah perasaan yang senyawa.
Apakah ini berarti juga penghianatan pada perkawinan? “Tidak!” bujukku pada diri sendiri, dalam pembenaran yang kurumuskan sendiri. Di Filipina, gadis-gadis itu, laiknya sebuah perusahaan. Mereka telah menjadikan dirinya sebagai komoditi, bisnis dan profesi. Tapi bagaimana pun, Meria tak mungkin menerima berhala-berhala baru ini. Tapi  inilah perubahan itu, perubahan yang membuat ia tak canggung mengenakan anting-anting berumbai dan melupakan tabiat ikatan rambutnya yang sejajar.  Waktu memang selalu punya wajah sendiri.  Tiga tahun yang beringsut dalam perhitungan yang melelahkan. Tapi kemana lelaki tua sang penyair itu? Aku sebenarnya ingin mengabarkan kepada sesama kawan kekasih sang angin dimana kini aku sudah diangkat menjadi mandor perkebunan. Ia pasti senag dengar kabar itu, dan aku mau mentraktirnya kembali minum beberapa botol wisky. Sampai aku pulang mendekati subuh, aku tak berhasil mencari kabar tentang lelaki itu.

***
Perkebunan kopi dan kelapa tuan Dagos Argava, luasnya ratusan hektar. Meliputi kawasan dataran datar dan bebukitan, memanjang dari tepi pantai utara Cotabato ke selatan yang cukup luas. Konon, tanah perkebunan itu peninggalan saudagar Portugis sejak perang dunia kedua. Tanah-tanah ini dibeli tuan Dagos sebelum masuknya tentara Amerika Serikat ke Subic dan Clark untuk memperkuat pengaruh adidaya itu di Asia Tenggara. Tuan Dagos sendiri sebenarnya sudah punya hubungan bisnis dengan pihak pribumi jauh sebelum masa itu. Inilah cerita-cerita yang kuketahui setelah sekian waktu bekerja di perkebunan Dagos.
Banyak yang menarik selang tahun-tahun yang kulewati yang jika punya sedikit waktu, akan kupaparkan dikemudian hari.
Tapi yang pasti, tuan Dagos menunjuk beberapa mandor untuk mengatur setiap wilayah perkebunan yang sudah ditentukan bagi masing-masing mandor. Seorang mandor adalah penguasa atas lahan yang dijaganya. Ia memiliki hak-hak khusus dalam mengatur para pekerja. Hidup keluarga para mandor sangat berkecukupan. Rata-rata keluarga mandor dibekali rumah yang bagus serta fasilitas mobil keluarga, dan beberapa ekor kuda yang dipakai untuk mengawasi para pekerja. Seorang mandor diperkenankan mengadakan penanaman tanaman pangan secara tumpang sari, yang hasilnya diatur oleh mandor untuk kesejahteraan bersama dengan para pekerja perkebunan.
Dagos Argava, lelaki tua blasteran Amerika-Jahudi pemilik perkebunan kopi dan kelapa ini, merupakan warga terhormat di Cotabato. Ia termasuk miliarder yang memiliki banyak jaringan bisnis. Bisnisnya di dunia perikanan yang sedemikian menguntungkan membuat ia teramat kaya raya. Ia memiliki banyak perahu Fusu dan Pambut. Perahu-perahu itu kadang-kadang ikut dioperasikan pada aksi penyeludupan antara segi tiga Indonesia, Malasya, Filipina.  Kegiatan perahu-perahu itu kuketahui ketika sekali waktu aku berkesempatan mengikuti penyeludupan ke Sangihe Talaud lewat basisnya di pulau Tinakareng dan Petta. Waktu itu aku diperkenankan ikut karena aku ingin mengunjungi Yulin anakku yang masih bersekolah di Tahuna.
Rumah tuan Dagos berbentuk puri gaya Eropa klasik, terletak di bawah lembah perkebunan kopi. Puri itu bak istanah. Luas, dan tertata indah. Bunga, unggas-unggas peliharaan, dan anjing-anjing impor yang besar dan gemuk ikut memberi tanda kesemarakan di tempat itu.
Kompleks puri ini selalu dijaga ketat oleh tentara bayaran. Mereka mungkin yang dikemudian hari menjadi tentara Moro. Tentara-tentara bayaran itu  bersenjatakan AK-47. Dagos termasuk salah satu miliarder Filipina yang leluasa berkeliaran di kawasan panas Mindanao Selatan. Atau juga secara resmi pemerintah Filipina tidak begitu mengenal lelaki kaya ini. Karena ternyata, tak banyak orang tahu kalau Dagos tua itu, adalah salah seorang pendana gerakan yang mengorganiser pembentukan kecamba tentara Moro Nationality Liberation Front (MNLF) yang kemudian dikenal dipimpin Nur Misouari, kecuali orang-orang dekatnya.
Aku beruntung menjadi salah satu orang kepercayaan dia. Aku sendiri pernah  bertemu dengan Selamat Husein, salah seorang pentolan Moro yang dikemudian hari dikenal sebagai salah seorang petinggi pasukan Moro Islamic Leberation Front (MILF). Lelaki itu masih sangat muda. Tapi keberaniannya luar biasa. Aku berkenalan dengan Selamat Husein,  ketika diadakan pesta di puri tuan Dagos waktu itu. Pentolan lain yang juga kukenal seperti Utu Salim. Ia mungkin seumur dengan Selamat. Seorang yang menangani logistik Moro. Aku beberapa kali bertemu dengannya ketika mengantar kiriman tuan Dagos untuk bantuan logistik.
 Dagos tua adalah lelaki bertubuh tambun dengan suara bariton yang datar. Tubuhnya jangkung dengan sorot mata yang dingin. Rokoknya cerutu. Cerutu itu mungkin buatan Brazil dalam racikan yang istimewa. Aromanya wangi dan padat.
Kepercayaan lelaki berjenggot putih keemasan yang memanjang --bak rambut jagung  yang mulai menua --di bawah kepalanya yang botak itu, kepadaku, dikarenakan kejadian  penembakan yang menakutkan di sebuah gereja kecil di atas bebukitan kota General Santos yang lebih enak di singkat Gen San. Gereja itu letaknya tak jauh dari salah satu villa keluarga Dagos. Jaraknya hanya dua kilometer dari sana.
Hari itu Minggu paskah. Dagos tua, dengan limosin hitamnya pagi-pagi telah menuju gereja untuk menghadiri misa paskah. Ia juga mengajak para pekerja yang kebetulan datang dari Cotabato yang mengawal pengiriman kopi, dan koprah ke Gen San. Aku berada di antara para pekerja itu. Dengan menumpangi Landrover milik keluarga Dagos yang dikendarai seorang Filipina, kami sampai bersamaan dengan Dagos Tua di gereja. Setelah memarkir mobil, kami sama-sama melebur dalam kerumunan orang yang hendak masuk gereja.
Gereja itu berukuran kecil.  Sekitar lima belas kali dua puluh meter saja. Bangunannya agak tua, dengan arsitektur masa renaisance, ditopang banyak pilar-pilar yang kokoh. Ini mungkin salah satu gereja peninggalan Portugis atau Spanyol. Halamannya luas. Tempat parkir mobil berada sekitar seratus meter dari bangunan induk gereja.  Pohon-pohon pinang raja tampak berjejer tertata rapi, bak malaikat-malaikat hijau yang merentangkan tangannya untuk memayungi gereja kecil indah itu. Di sebelah kanan gereja, ada sebatang pohon kamboja besar. Pohon itu mungkin sudah berumur ratusan tahun, hingga ia tampak begitu besar. Pohon kemboja memayungi sebuah bagunan kecil berdinding marmer berwarna kuning antik. Menurut kawan sekerjaku, seorang pribumi,  bangunan antik ini adalah kuburan seorang misionery yang membangun gereja kecil itu. Bangunan kecil yang begitu menarik perhatianku, karena mengingatkanku akan bangunan-bangunan kuburan antik di kepulauan Sangir. Kuburan dengan jeruji besi baja yang kuat, yang sering dicuri warga untuk dijadikan sambeang dan linggis. Bangunan kubur semacam ini biasanya milik para keluarga kerajaan.
Hari itu, terjadi kejadian yang hampir merengut hidup tuan Dagos. Sekaligus hari yang merupakan ikwal dari keberuntungan lain yang kuraih. Ceritanya,  dari balik dinding kuburan, aku tanpa sengaja melihat ada moncong senjata yang diarahkan ke arah kami. Moncong senjata yang aku kira dari jenis AK-47 itu tiba-tiba memuntahkan peluruh berkali-kali secara berentetan. Sebelum terdengar bunyi tembakan aku telah menabrak Dagos Tua hingga terjerembab. Naluri seorang pemburu yang sudah kian lama tidur di tubuhku bangkit tiba-tiba untuk menghindarkan tembakan itu dari tubuh Dagaos Tua.  Sebutir peluruh merobek lengan kiriku. Yang tepat melindungi kepala Dagos Tua. Para pengawal tuan Dagos dengan cepat bergerak memburu para penembak misterius itu. Setelah keadaan sudah tenang, aku baru tahu, sekitar sepuluh orang meninggal dalam penembakan gelap tersebut. Tapi Dagos Tua, kepalanya terselamatkan oleh lenganku.
Kejadian penembakan tersebut begitu membekas di hati Dagos Tua. Setelah dioperasi, lengan kiriku kembali pulih seperti sediakala. Sebagai terima kasihnya ia mengangkatku sebagai mandor perkebunan kopi dan kelapa miliknya.
Tuan Dagos adalah lelaki yang begitu menghargai kejantanan dan ketulusan hati. Sikap-sikap seperti itu membuat ia begitu membanggakan seseorang. Aku ingat apa yang dikatakan tuan Dagos ketika itu, “Kepas,” panggil lelaki dengan tubuh sebesar raksasa itu. “You  goodman!” katanya. Sejak itu, orang-orang sekitar Dagos Tua, termasuk para pengawal pribadinya, memanggilku dengan sebutan Goodman.

***
(11)
            Hari ini Yulin akan datang. Kabar kedatangannya sudah beberapa hari kami terima lewat suratnya yang dibawa Paulus Barahama. Ia katanya akan menumpang Fusu milik keluarga Dagos dari Peta. Jack Dagos sendiri datang memastikan bahwa Fusu mereka akan datang hari ini di port Cotabato.  Kabar itu membuat kami sekeluarga agak surprise.
Dian dan Herkanus sangat senang mendengar kakaknya akan datang. Mereka sudah menyiapkan hadiah khusus sebagai kejutan buat kakaknya yaitu seekor tupai kelapa yang telah mereka pelihara selama dua Tahun. Meria merasa  tak tahan jika tak menjemputnya langsung ke port. Port di Cotabato tak jauh dari perkebunan. Hanya ada sekitar 8 kilometer.
Jack putra majikan saya  menawarkan diri untuk ikut menjemput Yulin. Atas permintaannya kami semua menumpang Landrovernya. Melihat gerak-gerik anak muda itu, aku yakin ada sesuatu dalam pikirannya.
“Aku sudah pernah jumpa Yulin tuan Kepas,” ungkap Jack, saat kami meninggalkan kebun dengan Landrovernya. Dian dan Herkanus tidak ikut karena mereka lebih sibuk mengurus hadiah yang bakal mereka berikan ke kakaknya.
“Di mana ?” tanya Meria.
“Di Petta. Kebetulan aku di sana ketika ia menitipkan surat tempo hari. Boas yang memperkenalkannya padaku,” kata Jack.
“Memangnya sering melakukan perjalanan ke Satal?” tanyaku.
“Sesekali. Tapi aku suka Satal. Bowombaru bisa jadi basis bisnis perikanan di masa depan,” ujarnya.
“Bagaimana keadaan Yulin menurut anda?” tanya Meria lebih memfokus pembicaraan.
Jack memperlambat jalan mobilnya. “Ia cantik. Sopan, dan memiliki wawasan yang bagus!” kata Jack.
“Sudah pernah bicara panjang lebar dengannya?” kejar Meria.
“Aku sempat makan malam bersamanya di Tahuna. Kami sudah sering berkirim surat pula,” kata Jack menerangkan. Sejenak kami terdiam.   Kulihat muka istriku sedikit berkerut, mungkin ada selintas pikiran lain menyusupnya. Aku sendiri sulit menyambung percakapan, sebab bagaimana pun lelaki di sampingku ini anak majikanku, jadi aku sangat menaruh hormat padanya.
“Hubungan kami sangat baik! Tuan dan nyonya jangan terlalu memikirkannya,” kata Jack lagi seperti membaca pikiran kami.
“Bukan…Tidak apa-apa…malahan kami bersyukur kalian sudah saling kenal. Tapi aku tahu Yulin sangat nakal, ia agresif dan kadang kurang sopan,” kataku menetralisir.
“Ya… dia memang sedikit bandel. Sejak kecil dia begitu,” sambung istriku.
“Ia sudah dewasa. Tidak kecil lagi. Aku melihat kecantikannya nyonya di wajah putri nyonya,” kata Jack.
“Ow..Jangan dilebih-lebihkan!” sahut Meria.
“Tidak…tidak. Ia memang cantik,” ujar Jack, memotong.
“Kenapa tidak cerita sebelumnya kalau sudah kenal Yulin,” kataku basa-basi.
“Yulin minta agar semuanya jadi surprise. Tapi aku lancang mengatakannya sebelum semuanya jadi suprise. Aku tak enak menyimpan sesuatu pada tuan dan nyonya yang sudah seperti orang tuaku pula,” kata Jack.
“Ow,” sahut istriku.
“Terima kasih. Kau selalu baik pada keluarga kami,” kataku.
“Tuan menyelamatkan ayahku. Apakah aku harus berpaling dari hutang nyawa itu?” sahut Jack.
“Itu kewajibanku. Ia majikanku. Nyawanya lebih penting dari nyawaku!” jelasku.
“Itu tradisi aneh dalam peradaban kami. Dan seperti juga ayahku, aku menghormati pengabdian  yang aneh itu tuan,” kata Jack.
“Kesetiaan seorang hamba pada majikannya dalam tradisimu tuan, dalam budaya kami tidak begitu dikenal. Pengabdian dalam budaya kami selalu senilai uang yang diberikan kepada mereka. Tugasmu bukan pengawal ayahku, tapi kau justru orang yang dengan berani bertaruh nyawa untuk menyelamatkan ayahku. Ini kemustahilan yang membuat kami segeluarga menghormati tuan dan nyonya,” tutur Jack.
Setelah memasuki kota, kami memilih tak mengganggu Jack.  Seketika hatiku teringat anak itu. Yulin memang telah menjadi gadis remaja yang cantik. Ketika aku mengunjungi Tahuna tahun kemarin pun sudah kulihat sinar kecantikan ibunya begitu lekat di wajah anak itu. Lupa kuceritakan bahwa, di tubuh istriku masih mengalir darah biru, dari Wawu Tua mereka yang kebetulan anak di luar nikah seorang pelaut Portugis. Tak heran, anak-anakku ikut mewarisi pertautan kecantikan dari dunia dingin di seberang sana dan keeksotikan manusia timur.  
Di port, setelah pertemuan yang penuh keharuan dengan aku dan ibunya, Yulin langsung bercakap-cakap dalam bahasa Inggris yang lancar dengan Jack. Mereka tampak sangat akrab dan sudah saling kenal. Tapi tak lama, kami langsung pulang. Yulin katanya sudah sangat rindu melihat Dian dan Herkanus adiknya.

Yulin telah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas  (SLTA) di Tahuna. Karena kemampuannya berbahasa Inggris cukup bagus, aku mendorongnya untuk masuk universitas atau semacan extension course di Gen San. Dorongan itu juga dikarenakan membaiknya keadaan keuangan kami, berkat ketelatenan  istriku dalam hal menabung. Tapi sayang maksud itu kemudian urung. Putra Dagos tua rupanya telah terpikat pada Yulin. Atas permintaan Jack Dagos Jr, lelaki muda pewaris satu-satunya kekayaan keluarga Dagos Argava, Yulin akhirnya tidak meneruskan niatannya melanjutkan studi. Jack Dagos Jr kemudian meminang Yulin untuk menjadi istrinya. Tentu maksud baik itu, membuat aku dan istriku tidak memiliki pilihan. Apalagi, mengingat kebaikan hati keluarga Dagos selama ini. Hal ini juga diperkuat melihat kondisi kedua anak muda itu yang sudah saling jatuh hati. Kami pun sepakat untuk melangsungkan saja pernikahan mereka. Singkatnya, setelah melakukan berbagai persiapan sekitar tiga bulan, akhirnya, pernikahan mereka berlangsung meriah dan mewah di sebuah hotel di Manila.
Perkawinan Yulin dengan miliarder muda itu, dengan sendirinya mengangkat derajat ekonomi keluargaku. Keluarga kami dipindahkan dari rumah penjaga kebun ke sebuah bangunan besar dengan halaman yang luas tak jauh dari perkebunan. Meskipun begitu, aku tetap bertugas sebagai mandor perkebunan kopi dan kelapa keluarga Dagos.
            Yulin dan Dagos Jr, suaminya ternyata memilih menetap di Los Angeles, California, di tempat asal leluhur keluarga besar Dagos. Mereka di sana mengembangkan usaha perhotelan, dan beberapa bisnis lainnya yang tak kuketahui dengan pasti.

***
            Kutukan yang datang dari negeri mitos itu ternyata telah memakan segalanya di Talaud. Kutatap wajah Boas. Lelaki itu baru kembali dari Bowombaru, Talaud.  Ia telah menceritakan semuanya. Ada beberapa pucuk surat dari family di Talaud di serahkannya padaku. Surat-surat itu menceritakan adanya penyerobotan tanah-tanah milik keluarga kami oleh pihak penguasa setempat.
            “Kukira kau beruntung, telah meninggalkan kampungmu sebelum penguasa-penguasa di sana menerapkan strategi stigmatisasi  PKI !”
            “Tradisi kami mengatakan jika seseorang berada dalam lingkaran kutuk, kemanapun ia tak akan mampu menghindarinya,” kataku.
            “Kupikir kau di luar kutuk itu kini,” kata Boas, menularkan semacam keyakinan. Aku hanya bisa mengawasi mukanya yang sebenarnya menyimpan keprihatinan yang tersembunyi. Sementara bayangan hitam itu tiba-tiba menyerbu pikiranku, dan menghantuiku. Hatiku berdebar, dan meloncatkan gelisah yang tiba-tiba sontak tanpa alasan.
            “Aku dalam lingkaran kutuk itu. Aku merasakannya.”
            “ Kau berada jauh dari negeri itu sekarang!”
            “Di langit sekalipun, hantu hitam itu akan mengejar kami,” kataku meyakinkannya. Mungkin memahami perasaan gelisah yang terus bermekaran dalam pikiranku, Boas lalu mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
“Sudah bertemu Paulus Barahama?” tanya Boas.
“Beberapa bulan ini belum.”
“Ia lagi konsentrasi di Basilan, melatih pemuda-pemuda bersenjata.”
“Mereka akan melancarkan perang?”
“Kukira begitu! Moro yang dulunya sebagai sebutan lecehan buat kaum Muslim di sini, kini berubah jadi perekat perjuangan mereka.”
“Berarti ini bakal jadi perang agama?”
“Tidak. Islam yang kami anut, seperti juga kekeristenan yang kau anut, adalah agama yang mengajar perdamaian dan cinta kasih.  Hanya saja bagi Islam, ketidak adilan adalah musuh. Islam memerangi ketidak-adilan. Itu semangat Paulus dan kawan-kawannya,” jelas Boas.
“Saya kira semua agama punya semangat seperti itu,” ujarku.
Kami banyak bercerita hingga hari agak siang ketika kawan baikku itu pamit dari rumahku.
Hari ini udara agak panas.  Seperginya Boas, aku memilih berkeliling perkebunan dengan kuda. Cerita Boas tadi pagi membuat perasaan gerah mengguyup tubuhku. Kata Boas, Pendeta Simon Andrian juga sudah meninggalkan Karakelang. Ia kembali ke Minahasa. Kabar itu bisa berarti betapa dasyatnya persoalan yang dihadapi penduduk di kepulauanku sehingga orang setabah pendeta Simon akhirnya pergi dari sana. Banyak hal yang muncul dan pergi dalam pikiranku yang disebabkan cerita  teman masa kecilku itu. Selebihnya, aku baru tahu kalau anak-anaknya sudah bergabung dengan Paulus menjadi tentara di Basilan. Suhu politik memang agak memanas di Filipina akhir-akhir ini. Tapi aku tak suka mencakapkan itu. Aku benar-benar tidak tahu –menahu dengan urusan politik. Jadi untuk apa memperbincangkannya.
Beberapa orang tentara bersenjata lewat di jalan kecil di antara perkebunan kopi. Di belakang mereka terlihat beberapa orang kuli memikul karung yang terlihat cukup berat. Mereka, orang-orang kepercayaan tuan Dagos. Di antara rombongan kecil itu ada seorang perempuan. Ia mungkin gadis Indo berasal dari Singapura. Tubuhnya semampai, cantik dengan rambut memanjang. Kedatangan perempuan cantik ke puri tuan Dagos, termasuk hal yang lumrah. Mereka gadis-gadis bayaran untuk memuaskan para tentara yang sehari-harinya tersimpan di hutan dan perkebunan ini. Padahal kalau dipikir, di sini banyak gadis-gadis pribumi yang cantik-cantik. “Kami tidak mau bermain dengan gadis baik-baik,” kata salah seorang tentara menjelaskan sikap mereka, pada suatu ketika padaku. Jadi bagaimana pun mereka disebut sebagai pemberontak, tapi mereka sangat dihormati rakyat di sini. Mereka tidak mau mengambil apa yang menjadi milik rakyat. Mereka tidak mau disebut sebagai pengganggu keamanan. Sebab cita-cita luhur mereka menjadi seorang pahlawan yang membela hak dan martabat rakyat serta kemanusiaan, yang selama ini menurut pendapat mereka tersumpal di tangan penguasa pusat yang rakus dan korup. Meskipun untuk mendapatkan semua itu, mereka memilih jalan perang.
Lalu perempuan ini? Dari gaya jalannya ia nampak sebagai wanita muda modern. Perempuan itu berjalan sambil bergelayut di pundak salah seorang berseragam loreng yang merupakan komendan dari kelompok itu. Komendan itu sangat kukenal dan akrab denganku.
            “Hoi….Goodman!” teriak komendan itu setelah melihatku.
            “Hoi…How are you?” balasku.
            “ Great!  And  You. ” jawabnya.
            “I am fine. Thank you.  Who is beside you?”
            “My girl friend! “
            “ Komendan…If you don’t mind,” pancingku berkelakar.
            “What can I do for you friend?”
            “ May I have a kiss from her?”
            “ Hoi…Don’t be silly!”
            Mendengar kelakarku wanita cantik itu mengerling padaku. Tawanya sedikit meledak, mungkin dikarenakan kelakarku yang bodoh.
            “That’s allright,” ujarnya. “Please just closse your eyes, and you think I am kissing you…ok?” tambahnya dengan nada suara yang manis. Sejenak aku langsung diserbu perasaan enak yang iseng. Menyenangkan.
            “Ok…I’ll do it. I am happy. And you are pretty, convius and…perfect,” ujarku.
            “Don’t thingk  about it, friend! That’s just a joke,” teriak komandan. Kami terbahak bersama.
            “ I am glad to see you. I have time for you some time, goodman!” ujar si cantik.
            “Ouw…Thanks,” ujarku sambil membalas senyum keakraban mereka, sebelum mereka berlalu.
            Perkebunan ini memang agak terpencil. Tapi kami tak kekurangan pemandangan menarik seperti tadi. Wanita-wanita cantik dari berbagai negara sering berganti berdatangan ke perkebunan, menginap di villa tuan Dagos. Sesekali terbayang, jika seandainya aku punya kesempatan lagi menikmati aroma percintaan modern dari wanita-wanita secantik itu. Ah…suatu pikiran kotor yang menggoda. Dosa yang rasanya enak.

            Selama menjadi mandor, banyak kejadian menarik serta yang menakutkan aku alami. Mengurus manusia ternyata adalah hal yang paling sulit di lakukan. Mengatur satu dua orang saja masih lebih baik kita mengembalakan seribu ekor sapi.  Perkelahian antar buruh perkebunan sering terjadi. Tapi jika perkelahian itu melibatkan para pekerja asing dengan pihak pribumi, itu merupakan sesuatu yang merepotkan, karena sudah menyangkut gengsi antar bangsa.
Hari ini perkelahian seperti itu terjadi lagi.  Perkelahian antara dua buruh perkebunan, satu asal Sangir, dan satunya penduduk pribumi Cotabato  Perkelahian ini membuat aku harus terlambat pulang, padahal aku sudah kangen melihat Meria istriku. Apalagi tongkat kecil di selengkanganku yang selalu mengeras ketika digoda perempuan tadi. Tongkat kecil yang menuntut untuk segera di pacak.
  Sampai tengah malam aku harus mengurusi mereka. Si Sangir, telah menebaskan parangnya ke lengan si pribumi. Lengan lelaki yang tertebas itu hampir putus. Alasan si opo Sangir menebas si pribumi terdengar begitu sepeleh, karena si pribumi Filepus, mengejek Opo, dengan mengatakan,  “dasar bangsa kuli”.  Sebagai orang Indonesia, aku sendiri akan sedemikian sakit jika disindir, apalagi diejek sebagai bangsa kuli.  Memang bangsa Indonesia saat ini kabarnya menjadi bangsa pengutang terbesar di dunia, tapi jika diejek demikian, perasaan nasionalisme, akan segera mengajak keberpihakan. Di lain sisi, tindakan Opo, yang menebas si Filepus, merupakan tindakan anarkhis, yang melewati batas-batas kemanusiaan dan hukum. Meskipun aku terbilang buta dalam urusan hukum, namun sebagai mandor, aku dituntut untuk adil. Sayang sebuah tembakan pestol telah mengakhiri pertikaian itu. Istri Filepus yang kalap menembaki Opo. Lelaki itu tewas tepat di depanku. Kalau sudah begini, itu sudah urusan Dagos Argava Tua. Yang pasti, dari tempatku yang tak jauh dari puri Dagos, aku hanya mendengar dua kali bunyi tembakan yang lain. Aku yakin, Filepus dan istrinya telah dieksekusi tentara-tentara Dagos, di tebing di samping puri itu. Tebing itu sudah sejak lama menjadi tebing penghukuman.
Filipina bagaimana pun ia berada di Asia, ia telah kehilangan perasaan religiositas Asia-nya. Perdagangan senjata yang bebas tak terkendali, telah menempatkan penegakkan hukum menjadi cerita yang kadang-kadang sebuah omong kosong. Siapapun dapat dieksekusi di sini lewat hukum yang terselip dalam setiap saku seorang penguasa dan mereka yang memiliki uang. Uang menjadi sesuatu yang terpenting dan segalanya di sini. Tapi itu, semata-mata tafsiranku sendiri, dan belum tentu jika dipandang dari sudut yang berbeda. 
            Mendekati subuh, aku baru sampai di rumahku. Rumah itu, sebuah bangunan semi permanen, yang dilengkapi peralatan serba modern. Dari  tehnologi air conditioning, hingga kompor gas. Tempat tidur kami pun telah dilengkapi kasur yang empuk, kiriman Yulin dari California.
            Meria istriku menjemputku di pintu. Ia sangat mengenali langka kudaku. Kuda itu sudah lama kami pelihara, sejak diserahkan tuan Dagos  tiga tahun silam. Kuda itulah kendaraanku dalam mengawasi para pekerja di perkebunan kopi dan kelapa. Di pintu, aku agak kaget melihat Meria. Ia agak berobah malam ini. Kemarin ia baru kembali dari belanja beberapa keperluan keluarga di Gen.San. Selang sebulan ia berada di Gen.San, bersama istri Dagos tua, wanita Filipina Irlandia yang cantik.
“Kau memandangku seperti mengintai babi hutan?” kelakar istriku.
“ Tidak! Hanya suka saja,” jawabku, menutupi perasaan terperangahku.
“ Kau jangan berdusta!” kata Meria sambil mengandeng aku masuk.
“Aku melihat tatapan aneh di matamu,” katanya lagi.
“Oke aku mengaku. Kau kini makin cantik. Sudah menjadi wanita modern”.
“Apa aku tak boleh begini?”
“Siapa bilang? Malah aku senang,” ujarku sambil menyeruduk bibirnya yang ranum memerah. Tongkat kecilku kian mengencang. Meria meraihnya dengan cepat dan memberi beberapa remasan. Aku melenguh nikmat.
“Syukurlah jika kau suka,” ujarnya kemudian, sambil berlalu mengambilkan aku segelas kopi.
 “Aku sudah menyediakan air panas untuk kau mandi,” katanya lagi.  Setelah menghabiskan kopiku, aku langsung mandi.
Meria telah menantiku.  Kuakui aku memang agak takjub melihat istriku. Kulitnya menjadi putih dan kentara terawat. Wajahnya memendarkan sinar kecantikan yang belum pernah kulihat pada saat ia masih perawan sekalipun. Kecantikan ini, bukan kecantikan masa silam saat kucium ia ketika melintasi andaara Essang. Atau ketika berpeluk di bawah pohon sisak di belakang rumah mereka di Ganalo. Ini sangat lain. Sangat baru.  Meria memelukku dan menciumiku. Perasaanku tiba-tiba hanyut kemasa percintaan pertama.  Kengerian membayangkan nasib Filepus dan istrinya  sejenak terlewatkan begitu saja. Tak ada bunyi tembakan yang mengerikan itu. Selain deguban jantung yang kudengar seperti shimphony  yang sering dibunyikan opaku pada sebuah gharmaphon buatan Jerman. Dan bunyi itu kian  indah. Melenting-lenting. Meninggi resik,  pada saat aku menyetubuhi istriku.
            “Kita jadi muda lagi?” bisikku ke telinga Meria.
            “Tidak. Kita sedang dalam situasi yang berbeda,” jawab Meria lembut. Kami pun terus masuk ke arus yang kian mengasyikan. Dan berhenti di pantai yang hijau menyegarkan.
“Ang mahal kita,” ujarku dalam bahasa Tagaloc.
“Ang mahal kita,” balasnya. Tak lama kemudian istriku terlelap pulas. Wajahnya seperti rembulan di atas gunung. Seperti puisi kongkrit yang dilekatkan Tuhan di langit jiwaku. Sebuah puisi indah yang seindah puisi dibacakan  penyair tua di port Davao City  saat senja menyembunyikan kami bersama botol-botol wisky.
            Kuhabiskan sisa waktu hingga matahari membersit di Timur. Waktu-waktu itu, kupergunakan untuk meresapi kejadian yang baru berlangsung. Apakah benar, emosi manusia akan ikut menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, seperti perubahan status ekonomi keluarga?  Yang pasti, gaun tipis yang harganya pasti mahal itu, telah membangkitkan selera seksualku, ketika pertama kali aku melihat istriku malam ini. Bau parfum yang entah apa namanya yang dikenakan istriku, telah menarik kesadaranku untuk masuk ke dadanya yang masih menyimpan kerucut yang indah. Ah Meria, kau telah banyak belajar dari peradaban yang sedang kau jalani. Jika demikian, lalu dimana sesungguhnya keindahan kemiskinan yang banyak diagungkan para sastrawan itu.
            Seekor codot tua yang hinggap di pelepah pisang mengagetkanku. Binatang hitam itu lalu merambat ke atas, dan membenamkan diri di pucuk daun pisang yang baru mau terbuka. Sebuah bentuk kehidupan yang teramat sederhana. Apakah mereka bahagia? Aku baru menemukannya. Kebahagian menjadi sulit di capai jika kita menakarnya dengan fikiran. Kebahagiaan memang milik perasaan, bukan logika.

***
            Perkawinan Yulin dengan miliarder Jack Dagos Jr, telah mengubah pola hidup keluargaku. Bau harum ubi dan bete, serta nikmatnya dabu-dabu ikan bakar, tinggal dapat aku temui di warung-warung makan pinggiran pasar Cotabato. Jika aku punya waktu mengunjungi Davao City, aku mencarinya di sana.
Istriku diam-diam mulai terbiasa dengan bentuk kehidupan Barat yang modern. Aku sering ke sana setiap akhir pekan untuk menikmati makanan pujaan leluhurku itu. Aku harus tetap menjaga kepribadianku sebagai orang Talaud, dengan terus memelihara kedekatanku dengan beragam kultur yang pernah membesarkan, dan mengajariku jadi manusia. Tapi apakah ini petanda bahwa aku memang tetap dijaga hukum alam agar tak keluar dari rencana besar alam yaitu kutukan awan hitam itu? Sedangkan Filipina, seakan suatu kekuatan lain yang tiada henti menyihir siapa saja untuk berubah menjadi manusia baru. Budaya Amerika yang individualistis dengan sayap-sayap materialismenya yang kokoh. Tidak! Aku harus terus membuka wilayah sadarku, untuk menemukan bentuk-bentuk asli dari perikehidupan negeriku. Meskipun aku pernah menganggap proses kesadaran atau ke-tahu-an seorang manusia adalah sebuah pemberontakan bagi Allah.  Hal itu kualami ketika membaca beberapa buku tulisan para misioneri yang menceritakan kembali tentang penciptaan manusia. Kalau benar memang manusia pertama Adam dan Hawa itu baru mengalami proses kesadaran bahwa ia sedang telanjang, pada saat setelah mereka melakukan dosa dengan memakan buah larangan Tuhan. Berarti sebelumnya, mereka diciptakan dalam keadaan yang tidak memiliki kesadaran atau ke-tahu-an. Dengan demikian usaha manusia untuk menemukan kesadaran dan pengetahuan, adalah suatu usaha penjerumusan diri ke dalam dosa.
            Makin banyak pengetahuan seseorang, makin besarlah dosa yang diperbuatnya. Kalau begitu berbahagialah orang yang bodoh dan miskin, karena mereka kurang memiliki dosa. Dan seorang yang bisa masuk sorga itu, cuma anak kecil. Karena mereka memang tidak sadar, dan tidak tahu.
            Ah, sudahlah. Itu tock bukan urusanku. Saat ini aku lebih memikirkan menjadi orang Talaud yang tidak pernah melupakan tradisi. Seperti ingatanku terhadap peringatan burung-burung yang mati berjatuhan, atau awan hitam yang mendatangkan kutuk sexava di hutan-hutan pulau Karakelang. Masihkah peringatan itu menjadi bagian yang terus membuntutiku?
            Terus terang, aku baru mulai belajar memakai stelan jas. Kesulitanku menyesuaikan tubuh dan terutama jiwa  emosiku terhadap pakaian para tuan-tuan kebun dan orang-orang kaya itu, membuat aku keringatan seharian. Meria telah membeli beberapa stelan untukku. Sebagai mertua seorang miliarder muda, aku harus tampak gagah untuk tidak membuat sang menantu malu. Meria karena ia begitu dekat dengan Sandiana, istri Dagos tua yang kini menjadi besannya, ia mulai menanjak jadi manusia modern. Ia mulai mahir berbahasa Inggris. Aku sendiri, meskipun tidak begitu lancar, tapi bahasa Inggrisku kian hari kian dapat digunakan untuk berkomunikasi.  Padahal di kebun aku lebih suka belajar bahasa Tagaloc, dan Bisaya dan menggunakannya sesekali. Tentang pakaian, Meria, sudah mulai terbiasa menggunakan gaun kiriman Yulin yang mewah. Kain-kain halus, atau brokat, dan beberapa jenis katun mahal, sudah sering digunakannya ke gereja. Ia pun sudah pandai memasak dan meramu Sanwice Chiess. Sesekali ia memasak untukku dan kedua anakku. Tapi bagaimana pun enak dan harumnya bau makanan itu, tak lebih enak dari bete dan ikan bakar bagi leherku.
***



BAGIAN : IV

1973


(Upung-upung baroa
angile u wae
wae I pa ura
I pandamu gati
Sio roto we
Tuarinu edoi we
Bulan wajahnya muram
Sinarnya membersit di gemawan
Bergerak
Dan bergegas
Entah
Ke mana)




(12)
            Southern California, sebagaimana negeri-negeri lain di Amerika, telah menjadi negeri impian. Adidaya yang dirakit dari suatu exodus para migram Eropa baik sebelum dan sesudah perang Napoleon pada tahun 1815. Aku membaca semua itu dari buku kiriman Yulin kepada Herkanus adiknya. Kini sepenggal hati kami tersimpan di sana, menjadi muara kerinduan keluarga.
Negeri itu kini seakan datang memperkenalkan diri dalam riwat hidupku. Kian bertambah, menjadi tempat persingahan dalam pengembaran kehidupan dari negeri pelarian di ujung Timur.  Maka merayaplah hatiku senantiasa  melintasi samudera bahkan gunung-gunung  setiap saat aku merindukan orang-orang yang kukasihi. Dari titik yang satu kemudian berkelebat ke titik yang lain, yang tempat-tempatnya kadang tak kukenali bahkan tak kumengerti. Semuanya berjalan seperti kisah rahasia yang sedang kubaca pada sebuah buku baru yang kubeli. Maksud rahasia itu kadang membuat aku terperangah memikirkannya. Tapi lebih banyak membuat aku puas. Setidaknya aku bisa membimbing keluargaku keluar dari tadir yang senantiasa menjadi pokok kekhawatiran Fanseska Matiti. Oma Tua di alam sana itu mungkin bangga melihat cucu-cucunya berhasil kuselamatkan dari takdir buruk di pulau-pulau Talaud.
Yulin dan menantuku  Jack, sudah cukup lama di California. Sudah beberapa kali Yulin menilpon dan menyurati ibunya dan adik-adiknya.  Seperti malam ini, si sulung yang telah mengantongi kewarganegaraan negeri Barat itu  kembali menilpon ibunya pas kami sekeluarga berada di ruang tamu menanti tilpon darinya. Siangnya memang Yulin sudah bicara pada Dian akan menelpon malam ini. Makanya sejak pulang pesta sunatan di rumah salah seorang buruh perkebunan, Dian telah mengingatkan pesan kakaknya.
Setelah telpon berdering, Meria dengan cepat menuju bufet dekat pintu kamar tamu.  Sofa dimana ia duduk bergeser ke kanan mengeluarkan bunyi derit yang melengking akibat sentakan tanggannya menopang tubuhnya waktu berdiri. 
“Pelan sedikit,” kataku memperingatkan Meria. Ia menatapku dan mengerling. Ah … kerlingan nan indah, pujiku dalam hati. Rambutnya yang telah dicatok lurus seirama menjuntai ke bahu, hingga menutup bagian atas T- Shirt putih tanpa lengan itu.  “Aku sangat kangen,” katanya, dan terus mengangkat telepon di atasnya dan bicara.
Seperti biasa, ibu dan anak itu akan terdengar cerewet bermenit-menit. Seperti tak ada habis-habisnya bahan dipercakapkan. Percakapan dua perempuan yang saling mengasihi, yang terpisah di dua kutup dalam planet bermanusia ini.    
“Dia sangat merindukan kita pa,” ujar Meria dengan muka cerdik, setelah meletakkan gagang telpon kemudian bersandar di tiang kunsen pintu bercat cokelat manggis itu.  
“Itu sudah pasti!” selahku, lalu kembali membaca koran yang sedari tadi kubaca. Dian menoleh ke arahku dengan senyumnya yang menggemaskan. Herkanus anak itu mungkin di ruang belakang, asyik dengan novel- bacaannya.
“Jadi kita harus ke sana. Tak apalah sekali-sekali kita pesiar ke negeri yang maju. Masa sudah beberapa tahun menikah kita masih belum diberi cucu. Kita perlu bertemu dia, bicara dengannya. Siapa tahu ia ada masalah!” ujar istriku lagi, dengan nada membujuk sambil berjalan, kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa di samping Dian.
Dian yang lagi asyik dengan game di tanganya berhenti sejenak dan memainkan keningnya yang mungil untuk mendorong ibunya agar menekanku terus.
“Iya. Kita harus ke kakak. Masa waktu liburan begini di habiskan di rumah,” seru Dian dengan suara merengek.
Dian memang terlihat amat merindukan kakaknya. Mereka sebenarnya sudah tahu aku akan ke Talaud mengunjungi family dan menengok perkembangan di Talaud. Pesan itu sudah kusampaikan lewat Yansen, lelaki dari Ganalo yang kebetulan mampir membawa surat dari Kerabat dekatku di Beo. Aku pun sudah mengirimkan balasannya lewat Yansen yang masih punya ikatan family dengan Meria. 
“Bagaimana kalau aku ke Talaud dulu, baru kita ke sana,” tawarku.
“Ah. Papa, California dululah, nanti kalau sekolah buka, kami tak punya kesempatan,” rengek Dian lagi.
“Tapi di Talaud, warisan kita katanya dirampas orang. Papa harus pergi mengurusnya dulu.”
“Sebulanlah kita di sana, baru sama-sama kita mengunjungi Talaud,” bantah Meria yang kemudian berdiri, berjalan menuju dapur, diikuti Dian.
“Aku pikir pendapat ibu benar,” sahut Herkanus yang mendadak muncul bergabung dengan kami.  Herkanus, anak pendiam itu memperlihatkan keinginannya juga mengunjungi negeri di belahan Atlantik sana. Mungkin ia terilhami novel-novel bacaannya. Sejak di bangku SLTA ia kelihatan menggemari novel-novel Amerika dan Eropa. Mungkin kerena di tubuhnya masih mengalir darah negeri dingin sehingga ia terpikat dengan romantisme Barat yang sarat dengan janji-janji dan pengharapan. The Old Man On The Sea, karangan Wiltman telah menjadi favoritnya. Ia bilang, kisah lelaki tua dari Amerika itu adalah kejadian biasa yang sehari-harinya di alami nelayan Sangihe Talaud.
“Sekali waktu aku suka membuktikan kadar humanisme Amerika dibanding humanisme Satal,” ujar anak itu suatu ketika padaku.  Tapi ia tidak suka dengan abad hitam kultur Eropa seperti diungkap The Scarlet Letter.
“Oke, tapi papa harus menyelesaikan beberapa pekerjaan satu dua minggu ini,” kataku pada Herkanus.
“Itu baru hebat!” seru Herkanus. Wajahnya terlihat memancarkan rasa puas.  

***
Aku sedang membaca “Vontamara” novel Ignasio Silone di ruang tamu dekat jendela sambil sesekali melihat kunang-kunang bermain di ranting mahoni ketika telepon berdering.  Jam baru menunjukkan pukul 21.00 malam. Meria dan kedua anakku sejam yang lalu sudah pamit tidur.
“Hallo,” kataku di gagang telpon.
“Kau langsung ke Davao malam ini, bawah dua orang lainnya. Di sana Paulus menantimu dengan mata-mata kita yang baru dibebaskan. Kau atur agar orang kita itu dirawat ke rumah sakit di sana,” kata suara penilpon yang sangat ku kenal itu. Suara bariton dalam tekanan yang berat dengan serak yang khas.
“Ya tuan Argava,” kataku lagi.
Seterusnya, tak banyak yang kami cakapkan, kecuali beberapa pesan penting Dagos Argava yang harus kusampaikan pada Paulus.
Setelah menjemput dua orang pekerja perkebunan, aku langsung memacu jeep yang kukemudikan menuju Davao.  Senjata otomatic pemberian Paulus tempo hari, juga ikut kuselipkan dalam tas di antara beberapa pakaian ganti yang kubawa. Pengawal yang ikut denganku keduanya bisa mengendarai mobil, hingga di perjalanan yang cukup jauh ini kami bisa saling bergantian.
Singkatnya, mendekati subuh, kami baru sampai di Davao dan langsung menuju sebuah penginapan dekat Port. Penginapan yang terlihat sederhana itu lebih banyak di huni para pelaut dari pada tamu-tamu dari profesi lainnya. Petugas Office yang sudah sangat mengenaliku langsung menyambutku dan mengatakan Paulus menantiku di kamar 24. Suasana penginapan masih sangat sepi, sama dengan keadaan di luar sampai jauh ke gerbang port yang begitu lengang. Hanya satu dua bayang orang yang sesekali melintas memasuki port. Wanita-wanita penghibur yang biasanya berseliweran di sana pada jam-jam ramai hingga tengah malam, tak kelihatan lagi.  Dua pengawalku kuperintahkan berjaga-jaga di loby saja dan sesekali memeriksa keadaan di luar, jangan-jangan ada pihak lain yang mengacaukan penjemputan ini.
Dengan cepat saja aku menuju kamar di lantai dua penginapan itu. Sesampainya aku langsung mengetuk pintunya.
“Siapa?” tanya suara dari dalam. Itu pasti suara Paulus pikirku.
“Kepas!” jawabku. Pintu agak berderit ketika dibuka dengan cepat.
“Hallo,” kataku pada Paulus.
“Silakan masuk kawan,” balasnya sambil menggandeng punggungku.
“Astaga, ternyata kamu!” seruku agak terperanjat saat melihat lelaki yang harus kujemput yang lagi duduk bersandar pada ranjangnya. Ia ternyum . Senyum yang amat kukenal. Senyum yang sudah beberapa pekan ini kurindukan
“Jadi?”
“Ya. Aku juga bekerja pada majikanmu!” potongnya.
“Kamu saling kenal?” tanya Paulus.
“Iya. Ini penyair gila yang pernah kukisahkan padamu,” kataku pada Paulus.
“Yang kau sebut kekasih sang angin?” tanya Paulus lagi.
“Sebagai kekasih sang angin, kita ditakdirkan untuk selalu berjumpa,” kata si tua penyair itu.
“Kupikir kau telah wafat,” kelakarku, ”jadi selama ini selain sebagai penyair kau juga mata-mata yang mengawasi pekerjaanku di port?” tanyaku.
“Kawan sejati adalah musuh paling berbahaya. Andaikan kau menyeleweng dari titah Argava, mungkin kawanmu ini yang menamatkan riwayatmu,” katanya sambil menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.
“Paulus, seharusnya kau membocorkan lebih awal rahasia lelaki tua ini,” kataku pada Paulus.
“Akupun tak tahu siapa dia sebelumnya,” kata Paulus, sambil menyulut rokoknya dan duduk di kursi dekat meja berkaca disalah satu sudut kamat itu, yang langsung berhadapan dengan kami.
 “Duduklah!” kata si tua padaku. Aku memilih duduk di ranjang dekat denganya agar bisa melihat bagian-bagian wajahnya yang leban, mungkin akibat hajaran sewaktu disekap. Wajah tua itu memang nampak sedikit lecet di pelipis dan keningnya dan yang leban sudah lebih menghitam.
“Lelaki tua ini mahal harganya! Aku baru berhasil membebaskannya dari cengkraman Dinas Rahasia pemerintah dengan menukarkannya ratusan juta Peso,” kata Paulus.
“Gila! Benar-benar mahal. Berarti kamu orang yang berjasa pada Argava,” kataku.
“Tugas penting, tak selamanya harus di jalankan orang bertubuh kekar,” kata lelaki tua itu ringan, “ada kawan yang membocorkan penyamaranku pada pihak intelijen pemerintah. Tapi mereka tak mampu memaksa aku untuk mengaku. Bukti tidak kuat, makanya mereka lebih memilih uang tebusan itu,” paparnya dengan suara tegar, meski di wajahnya kulihat keperihan yang masih membekas.
“Kamu disiksa?”
“Sudah pasti. Untung tidak dieksekusi! Argava punya cenal yang bagus  di militer sini. Petinggi mereka meng-close file masalahku denga tebusan,” katanya lagi.
“Ok. Bagaimana Paulus, aku diperintahkan membawa dia ke dokter untuk dirawat,” kataku pada Paulus.
“Sebaiknya begitu! Aku malam ini langsung ke Basilan,” kata Paulus.
“Pesan Argava, Benyamin disudahi saja. Ia berbahaya katanya,” kataku pada Paulus seperti pesan Dagos Argava.
“Ia berjasa, tapi teledor! Aku berat eksekusi dia, tapi rantai kebecoron ini harus diputuskan, kalau tidak semua kita akan hancur,” papar Paulus.
“Tapi aku tak mau ke rumah sakit!” potong lelaki tua dengan sinar mata berharap.
“Lalu kau mau ke mana?” tanyaku. Ia diam saja. Pikirannya napak berkelebat kesana-kemari.
“Kalau tidak keberatan aku numpang di rumahmu saja untuk sementara,” katanya meminta persetujuanku.
“Kalau bukan untuk misi mata-mata aku setuju,” kataku. Ia tersenyum seperti biasanya.
“Aku lagi sekarat, bagaimana bisa membohongimu,” katanya memelas.
“Aku setuju!. Dan, kita berangkat malam ini saja,” kataku.
Setelah berkemas-kemas, kami langsung berangkat malam itu juga. Sementara Paulus, langsung ke Basilan dengan Fusunya.
Aku dan lelaki tua lebih milih duduk di jok belakang. Sementara  jeepku dikemudikan salah seorang dari dua pengawal yang kuajak dari Cotabato.
Di jalan yang sudah mendekati perbatasan Davao City, lelaki tua itu tiba-tiba memintahkan agar mobil di putar ke kanan mengikuti arah jalan sempit yang beralas batu-batu kasar, yang di sisi-sisinya rumput liar begitu rimbun dan menjorok ke tengah jalan.
“Kita mau ke mana, “ tanyaku.
“Menyelesaikan tugas yang belum tuntas!” katanya, “ikuti saja perintahku.”
Tak beberapa lama aku melihat kira-kira limaratus meter di depan ada cahaya lampu kecil. “Kita berhenti di sini,” pintah lelaki tua.
Setelah mobil berhenti ia mengajak aku dan seorang pegawal berjalan menuju arah cahaya itu. Sedang seorang lagi diperintahkannya untuk memutar arah mobil ke jalan besar, agar mudah lari jika terjadi sesuatu yang membahayakan. Dua pengawalku sudah sejak dari Cotabato sudah kuperintahkan untuk menyelip  dua pucuk AK47 di casis bawah mobil. Aku pun sudah meminta mereka mengambil senjata itu dan siap-siap.
Melihat itu, situa mengangkat jempolnya ke arahku dan tersenyum. Langit tampak sudah mulai terang. Daun-daun rumput liar bergerimis di jalanan  itu membuat celanaku basah dan kakiku kedinginan.
“Aku pinjam senjatamu,” kata pak tua.
“Kau tahu aku punya senjata?”
“Semua orang Argava punya senjata,” katanya dingin.
“Kau mau membunuh seseorang?”
“Penghianat perjuangan itu harus diakhiri,” katanya dengan suara cukup bergetar. Kuserahkan senjataku padanya. “Aku minta kau hati-hati. Apalagi kakimu yang pincang itu,” pesanku.
Setelah agak dekat, ternyata lampu itu dari sebuah gubuk yang tidak begitu besar. Kira-kira lima puluh meter dari gubuk itu, ia memintah kami berhenti. “Kalian berjaga-jaga di sini saja,” katanya.
Dengan kakinya yang terseok ia terlihat mengendap-endap mendekati gubuk itu. Beberapa saat kemudian, terdengar letusan senjata dua kali menggetarkan pagi yang mulai membuka dirinya itu.
Lelaki tua kembali kulihat berjalan menuju kami. Setelah sampai, “tugasku sudah usai,” katanya.
“”Mengapa dua kali menembak?” tanyaku.
“Ia dan kekasih gelapnya yang juga kaki tangannya,” kata pak tua.
Setelah mengembalikan senjataku, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

***
Dian memekik,. “kak Yulin bilang, ia akan mengajakku melihat Holly Wood. bertemu bintang-bintang film ternama.” Dian kemudian memperlihatkan surat yang baru diterimanya dari Yulin. Meria juga muncul di sana dengan segelas kopi dan meletakkannya di meja kecil dekat kursiku. Hari ini aku agak capek sepulang mengantar penyair tua ke Davao. Si tua itu hanya menginap tiga hari di rumahku, kemudian minta permisi kembali dengan tugasnya di Davao. 
Melihat aku belum bereaksi, anak itu kemudian merengek minta dukungan ibunya. Ibunya yang sudah terbakar rindu tentu mengiyakannya. Mereka bagai dua sekutu yang paling siap menghempaskan keinginanku ke Talaud. Aku tak lagi bisa menolak, meski aku sudah janji pada family di Beo untuk mengunjungi mereka pada kesempatan pertama. 
“Ok, kalian tidak tahu, semuanya sudah papa urus. Lusa kita berangkat!” kataku memberi surprise. Dian dengan cepat melompat-lompat girang.
Memang sudah sejak dua pekan lalu aku meminta bantuan kawanku di biro perjalanan untuk mengurus segala sesuatunya untuk keberangkatan kami ke California. Dan kemarin aku sudah dapat kabar dimana semua persuratan yang dibutuhkan sudah selesai. Soal pasport juga tidak masalah. Pihak keimigrasian katanya bisa disogok.
Waktu yang tinggal dua hari kupergunakan untuk mengatur pengalihan sementara tugasku sebagai mandor kepada seorang pembantuku yang sangat kupercaya. Akupun meminta dia untuk menjaga rumah selama kami di California.
Sekitar bulan April, kami bertolak ke California. Tak ada bayangan suram lagi di mata kedua anakku. Monic, tupai kecil yang kini sudah seperti kucing milik Yulin yang diperlihara Dian dan Herkanus juga disiapkan untuk ikut menjelajah dunia. Mereka lupa bahwa hewan manis itu habitatnya di khatulistiwa, apakah sanggup ia menahan dingin Amerika. Tapi aku tak melarang, meski aku tahu Monic tak akan lolos berangkat, sebab akan sulit bagi Monic melewati sensor petugas dari badan perlindungan satwa di Bandar udara. Dan Monic sudah pasti nasibnya akan berada dikarantina selama menunggu kami pulang, dan menjemputnya lagi. 
Mereka gembira, dan menggebuh-gebuh  ingin segera melihat kakaknya, tapi dalam otak kedua anak itu yang terpenting adalah justru melihat Amerika. Meria, malahan matanya telah berkilat-kilat berhari-hari setelah aku mengiyahkan keinginan mereka. Bukan saja karena kerinduan alamiah seorang calon nenek yang selalu bergegas-gegas ingin bertanya; Apakah aku bakal segera punya cucu?
“Siapa tahu Yulin sudah hamil. Aku harus mendengar kabar itu yang pertama kali,” semburnya. Meski aku sendiri menyimpan keinginan yang sama apinya dengan istriku itu, tapi Meria adalah seorang ibu. Ibu yang secara alamiah ingin menemukan situasi anak perempuannya yang mampu memasuki ritus alamiah seorang perempuan, yakni seorang perempuan yang berhasil menjalani ritus melahirkan seorang anak. Aku sendiri lebih digelitik lolucon tentang sosok cucuku yang mungkin sama sekali tak mecerminkan identitas diriku sebagai manusia timur lengkap dengan asesoris pigmen hitam dan kultur sopan santun yang kadang-kadang terperosok menjadi inferior sindroma. Dalam bayanganku, cucuku bukankah berpotensi lahir seperti seorang santa claus. Putih dan babar. Dan jika anak itu apabila dijumpakan dengan sederet leluhurnya di Talaud, menjadi semacam sumber ketakutan. Bukankah manusia putih telah mentakdirkan mitenya yang selalu bermakna penjajah? Ware-ware! Selama 350 tahun kaum kulit putih datang mengambil apa-apa yang menjadi milik kaum kulit sawo matang di negeri kami. Bukankah itu cukup menjadi mite bahwa putih selalu pigmen dari penindas? Mereka kaya karena telah memiskinkan orang-orang di belahan benua-benua lainnya. Semoga bumi di abad-abad depan menjadi singgasana generasi yang memuliakan kejujuran, bisikku pada diri sendiri
Herkanus dan Dian adiknya, tampaknya seperti kebun bunga yang sedang dalam musim semi. Hati mereka teramat riang menyambut undangan kakaknya dari California. Ini bukan sekedar perjalanan liburan. Tapi petualangan menuju negeri yang selama ini hanya dijumpai dalam lirik lagu-lagu hits di pasar Filipina. Entah apa yang dipikirkan Herkanus. Anak lelaki yang lebih lekat dengan sifat tradisional itu juga menunjukan keriangan yang berlebih saat menyebut Amerika. Apakah betul, Amerika telah berhasil menyihir intuisi kawula muda sebagai negeri tujuan akhir dari suatu kebanggaan menjadi manusia.
“Aku merasa sangat mulia bila menjadi warga Amerika,” ujar Herkanus.
“Apakah karena negeri itu memiliki cerita indah tentang keju dan daging renyah? Apakah karena negerimu sendiri hanya punya bete dan panggi?” tanyaku. Herkanus terbahak.
“Bukan itu. Bukan itu penyebabnya,” potong Herkanus.
“Karena di Amerika tak ada orang bodoh kata kakak,” sahut Dian.
“Amerika menghancurkan Jepang dengan bom atom. Ribuan orang mati di Hirosima dan Nagasaki. Kedua kota itu menjadi kota hantu dengan bau mayat busuk di segenap langitnya. Apakah semua itu bagian dari kecerdasan Amerika?,” tanyaku. Herkanus tertunduk. Setelah berapa saat ia berusaha menatapku. Ia mungkin sedang membayangkan apa yang ada di otak lelaki separoh usia dengan dagu yang keras di depannya itu.
“Tak perlu menjawab nak,” selahku, “manusia lebih butuh kearifan dibanding kecerdasan. Tapi, bawalah mimpi-mimpi kalian ke sana, ke negeri paling demokratis namun janganlah ikut menghalalkan penghancuran,” tegasku lagi. Semuanya memang harus kutegaskan sejak awal, sebelum anak-anakku menjadi manusia yang tak punya tanah air. Tanah air yang mengilhami gagasan-gagasan mereka menjadi munusia.
Dengan menumpangi pesawat milik maskapai penerbangan Filipiness Air Lines. Pesawat jenis Air Bus itu, dengan cepat mengantar kami ke Los Angeles, setelah singga di sebuah bandar udara yang lain. Di bandar udara, Jack Dagos Jr. dan Yulin telah menanti. Udara dingin langsung menyergap ketika kami turun dari pesawat, padahal aku telah mengenakan jas wol yang tebal. Upacara peluk-pelukan gaya Asia berlangsung sesaat, menandahkan betapa kami semua saling merindukan.
“Monic, tidak bisa serta. Ia ditahan di bandar udara. Sayang ya, ia tidak bisa lihat kakak,” kata Dian bersungut. Yulin tertawa merasa kasihan melihan kesedihan adiknya. Ia dengan gemas mencubit pipi Dian sambil berkata, “masuk Amerika tak muda bagi Monic. Kita harus menyiapkan habitatnya dulu di sini. Dan itu mahal. Kalau tidak, Amerika tak berkenan ada binatang menemui ajalnya dengan sia-sia di Amerika.” Setelah berkata begitu dia mengandeng ibu dan adiknya ke mobil. Sementara Herkanus lebih memilih mendempeti Jack.
Pada hari itu, kami tidak langsung, ke Fentura, ke villa milik keluarga Dagos, yang menjadi tujuan kami diundang berlibur. Jack menyarankan kami menginap semalam dulu di Hilton Hills Los Angeles. Betapa megahnya hotel itu. Kubah dan interior yang artistik memperlabangkan situs kemegahan modernisasi Amerika. Tiba-tiba kata-kata menjadi sangat sedikit di sini untuk mampu mengambarkan karya budaya orang-orang di negeri ladang ilmu pengetahuan itu. Talumisi tidak berkicau dari reranting pohon di hutan basah yang hijau. Di Amerika, nyanyian burung-burung terdengar semerdu suling tapi kuluar dari seperangkat alat canggih lengkap dengan detektor dan mikrochips.
Melihat Amerika, aku ingat Jepang. Pernah sekali waktu di pekan pertama bulan Mei 1971, aku berkunjung kebeberapa prefektur di Jepang dengan Dagos Argava. Itu perjalanan yang menyenangkan. Dan aku haruslah menyebut Jepang sebagai raksasa Asia yang berhasil merangkum yang tradisional dan yang moderen hingga menjadi Jepang yang eksotis. Tapi Amerika bagaimana pun harus disanjung sebagai menara kemajuan dunia tehnologi.
Di sepanjang jalan dari bandar udara menuju  hotel, aku dan juga semuanya sedemikian takjub melihat kota yang sedemikian modern. Jalan-jalan yang lebar dan bertingkat. Terowongan dalam tanah untuk kereta listrik. Gedung-gedung besar seperti raksasa yang lagi tegap memikul langit dengan angkuh.
California bagiku adalah sebuah negeri yang berasal dari dongengan ibuku. Sebuah kota dengan para peri dan pangeran yang gagah dan cantik-cantik. Dan inilah pengalaman itu. Pengalaman yang tak perlu mengusik kecintaanku pada bau becek di kampung-kampung tanah Porodisa di Talaud sana. Wajah-wajah sederhana orang-orang yang terpanggang matahari menjijing bika berisi panggi dan uwi.  Tapi, bagaimanapun aku berharap, pengalaman ini menjadi guru bagi anak-anakku. Bahwa Amerika adalah sebuah bangsa yang mampu mewujudkan mitos dari semua impian mereka menjadi manusia yang berkelas diantara bangsa-bangsa.
“Kamu harus bisa mengubah tanah becek menjadi ladang yang subur dan hijau, Lahan tandus menjadi kebun nan gembur, agar kamu pula menjadi bangsa yang dihormati di tengah bangsa-bangsa,” ujarku pada Herkanus dan Dian. “Sebab hanya bangsa yang bisa memancarkan kemakmuran bagi rakyatnya yang bisa menjadi negeri impian,” tegasku lagi.
“Papa terlalu perfect melihat Amerika. Amerika juga seperti bangsa kita, punya kelebihan dan kekurangannya. Disini yang lebih hanya kerena manusia dihargai menurut hak kemanusiaannya. Setiap warga negara menjadi sama di mata hukum. Kebebasan yang diberikan sepenuhnya justru menjadi tali pengekang yang kuat untuk kami bisa menjaga hak antar pribadi,” potong Yulin.
“Sudalah. Ini urusan diskusi seorang ayah dengan adik-adikmu. Dan kau sendiri tak tahu bab lain dalam diskusi-diskusi kami sebelumnya,” tampikku. Yulin tersenyum. “Aku juga masih tetap anak papa kan?” Aku mengangguk. Limosin hitam yang mengangkut kami melaju kencang, dikendarai seorang negro.
 Aku melihat istriku begitu gembira. Ia tampak tak henti-henti bercakap dengan Yulin mengunakan bahasa Talaud yang terdengar mulai sengau. “Tuhan, beginikah kau mengubah kami, dengan riwayat-riwayat yang tak pernah terbayangkan?” gumamku dalam hati karena ketertakjuban ini.
            Di hotel, kami mendapatkan kamar masing-masing, satunya untuk aku dan istriku dan satu lagi yang bersebelahan dengan kamar kami untuk anak lelakiku. Sedangkan anak perempuanku yang bungsu, yang  mulai remaja, menempati kamar bersama Yulin kakaknya. Jack Dagos, menantuku kebetulan katanya, punya urusan di San Diego, jadi hari itu, ia harus terbang ke sana.
Meski banyak orang kegerahan, tapi aku lebih memilih menyalakan hite eater dan fire place di kamar. Spring times tetap terlalu dingin buat orang-orang khatulistiwa.  Tak pernah kubayangkan bagaimana jika winter times, orang-orang pasti seperti dalam film-film natal bersalju mengenakan jaket panjang dan topi berbulu, dan membuat sekat di mulut serta hidungnya yang mengingatkanku akan para pembuat Sagu di Sangir yang sedang menakule yang kadang mengenakan karung untuk menutup tubuhnya di subuh yang menggigil.  
            Setelah istirahat sejenak, mandi dan berganti pakaian, sesudah makan kami diajak Yulin berkeliling kota Los Engeles. Kami mendatangi beberapa park yang megah dan asri. Yosemite dan Giant Forest sangat mengesankan, lalu berbelanja di oriental market. Di tempat itulah  keperluan bahan makanan orang-orang Asia tersedia. Sedang di tempat lainnya di luar Los Engeles, sangat sulit ditemukan super market yang menjual kebutuhan orang Asia. Aku begitu terperangah ketika Yulin menceritakan kalau harga seikat kangkung di California sekitar Rp. 5 ribu hingga Rp. 7500, jika dihitung dalam kurs rupiah. Ku bayangkan kalau membelinya di Satal, itu bisa membayar satu telaga kangkung.
            Sehari di Los Enggeles, telah menghadirkan banyak kesan menarik. Ketakjuban itu telah membuat aku harus mengisahkannya lewat surat kepada Yansen temanku di Ganalo, Karakelang. Mereka butuh kisah-kisah pembanding kehidupan semacam ini. Mungkin akan menjadi kenangan tentang sebuah dunia lain yang memiliki kisah sendiri dari dunia  tempat kami di lahirkan. Sebuah kawasan hutan yang sunyi dengan hantu-hantu di malam hari, dan babi-babi hutan yang ganas. Buaya-buaya mistik yang tetap siaga memangsa seorang pencuri ayam atau para pesundal ketika melewati andaara. Dunia ini memang begitu luas, dan tak terkirakan. Bagaimana pun suatu teknologi yang termodern selalu tak kuasa mengungkap dunia. Dunia selalu tak terbatas, dan tak terbahasakan. Sebab di balik dunia, selalu ada dunia lain yang berkembang dalam proses dan kebaruan-kebaruannya.

            Sepekan di Fentura, aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan kota itu. Saat ini, lagi musim semi. Pemandangan bunga-bunga indah di beberapa park sangat mengesankan. Beberapa anak muda, berpasang-pasangan berciuman di sana. Suatu perbuatan yang tabuh bagi ukuran moral di desaku. Jika perbuatan itu dilakukan secara terbuka di desa kami, mereka akan dilampari batu seperti melempari anjing gila tanpa tuan. Namun di Amerika, seperti kata Yulin, berciuman itu suatu ekspresi yang manusiawi. Katanya setiap manusia punya privasi untuk melakukan itu di mana saja dan di tempat mana saja di Amerika Serikat. 
Yulin makin tampak dewasa dan cantik. Ia mulai kehilangan garis-garis kultur leluhurnya, kecuali bahasa yang sudah sedemikian melekat di otaknya. Sikapnya telah berubah menjadi perempuan Amerika. Terbuka, polos, praktis dan efisien dalam segala hal. Ini baru kesanku ketika sepekan tinggal di Villa mereka yang tak jauh dari Gereja Aplan Indonesia.
 Namun perasaan hormatnya kepadaku dan istriku tak jua luntur. Masih seperti kemarin, ketika ia kami besarkan.
Yulin nampak riang, setiap kali mengajak kami jalan-jalan menikmati  spring times. Ini mungkin ekspresi aslinya karena ia sudah sangat merindukan berdekatan langsung dengan keluarganya. Adik bungsunya, Dian, didandaninya laiknya remaja Amerika. Mengenakan blue jeans, dengan kaos kuning ketat yang mencolok. “Betapa cantiknya anakku,” pujiku dalam hati melihat Dian.
Anakku laki-laki, ia agak lain. Ia lebih suka mengenakan mantel panjang, untuk menutupi tubuhnya. Herkanus, memang mewarisi sikapku yang keras, dan tak banyak maunya. Sebagai seorang pemuda ia termasuk cukup tampan. Tubuhnya kekar dan atletis. Di umur 16 tahun ia sudah begitu tinggi hampir menyamaiku. Di sekolahnya di Cotabato, ia tergabung dalam tim basket ball.
Seorang gadis, yang masih keluarga dekat menantuku, kelihatan suka mengoda Herkanus. Gadis remaja Amerika itu, tak segan-segam mengajak Herkanus, ke beberapa park dan ke diskotik di disekitar Fentura. Hubungan mereka kian hari tampaknya kian dekat.
Broke, nama gadis cantik seperti boneka itu. Ia seperti juga remaja Amerika, memiliki ekspresi sendiri dalam menerjemahkan cintanya pada Herkanus. Ia tak segan-segan menciumi Herkanus di depan kami. Hingga pada suatu malam, aku memergoki, anak lelakiku itu berseranjang dengan kawan Amerika-nya. Herkanus, agak malu melihatku. Tapi gadis remaja itu biasa saja. Tidak ada ekspresi apa-apa, malah ia melemparkan senyumnya yang khas Amerika kepadaku. Aku memang sulit memahami makna kebebasan ala Amerika. Apalagi dalam urusan kebebasan seks. Tapi aku tahu, mereka sudah saling jatuh cinta. Herkanus memilih berjalan bersama Broke, kekasihnya selama di California. Aku dan istriku serta si bungsu Dian lebih percaya di antar Yulin bertemu keluarga-keluarga asal Satal di sana. Beberapa kali kami diundang makan keluarga David dari Siau yang sudah lama menetap di Fentura. Selain itu aku bertemu beberapa mahasiswa kedokteran asal Sangir yang kuliah di Lomalinda University atas bantuan misi gereja Advent. Banyak tempat yang kami kunjungi, seperti  Universal Studio, yang merupakan pabriknya film-film dunia. Melihat dari dekat artis Merilyn Monroe di sekitar Holly Wood Boulevard. Berfoto di Golden Gate, jembatan raksasa yang panjang. Melihat jembatan itu, aku membayangkan kalau di suatu saat nanti pulau-pulau di Satal akan dihubungkan jembatan seperti ini, betapa menajubkan.

             Kepadaku dan ibunya, Yulin banyak bercerita tentang kemajuan usaha perhotelan mereka yang dibangun di Las Vegas dan di San Diego. Namun aku merasa aneh, ketika pada suatu malam mendengar percakapan menantuku dengan beberapa tamunya. Percakapan itu terdengar amat rahasia. Insting pemburuku mengatakan, menantuku itu terlibat serentetan pembunuhan misterius. Ada kemungkinan ia terlibat dalam suatu organisasi mafia yang sangat rahasia.
Selama di rumah anakku, aku banyak menyempatkan diri menonton film-film produksi Amerika yang bercerita tentang para koboi di Texas, dan film action tentang kegiatan organisasi-organisasi mafia. Percakapan menantuku dengan beberapa temannya itu seperti menyebut-nyebut beberapa target pembunuhan. Apakah Jack juga terlibat dalam bisnis senjata seperti yang dilakukan ayahnya? Ah… kutepis pikiran buruk itu. Meski aku kasihan membayangkan nasib Yulin jika suaminya terlibat bisnis ilegal dan berbahaya. Ia akan menjadi target buruan para penegak hukum. Dan yang paling menyakitkan jika membayangkan anakku ikut menjadi sasaran kelompok-kelompok dalam persaingan bisnis gelap mereka. Aku pernah melihat bagaimana menderitanya Sandiana, istri Dagos Tua, ketika punggunya robek diterjang peluru pada sebuah pesta di Manila. Penembakan tersebut  dilakukan kelompok-kelompok kontra bisnisnya. Sandiana, wanita berbudi luhur itu harus terkapar tanpa daya di rumah sakit Manila. Untung Tuhan masih memperpanjang umurnya. Tak dapat ku bayangkan jika kejadian  yang sama menimpa Yulin. Pasti ia akan sangat menderita.
            “Aku mencurigai menantu kita itu bisnis senjata!” kataku  pada Meria pada suatu malam.
            “Jangan mengada-ada. Kita berharap saja tidak seperti itu,” tampik istriku. Suatu sikap pasrah yang datang dari rahim kultur Timur. Harapan yang selalu disandarkan pada sesuatu tanpa mempertimbangkan aspek rasionalnya.  Untuk tidak mengganggu ketenangan istriku, aku tak kuasa lagi mendiskusikan kecurigaanku itu lebih panjang.
            Jack menantuku, lelaki gagah dengan sinar mata biru, yang kukira memancarkan sikap yang baik. Seperti ayahnya, ia memiliki tubuh atletis dengan rambut coklat yang terawat.  Ia meminta maaf karena tak bisa menemani kami lama-lama selama liburan. Katanya, ia punya banyak perkerjaan mengurus bisnisnya. Namun setiap sepekan ia selalu pulang sekitar dua kali ke Fentura untuk menemui kami. Pertemuan itu selalu berlangsung singkat. Jack kelihatan selalu terburu-buru, atau lebih terkesan berhati-hati. Kedatangannya selalu dikawal 3 lelaki bertubuh kekar yang bersenjata. Mereka bertiga tampak siaga di luar rumah, jika Jack bersama kami. Jack memang pandai menyembunyikan masalah yang bersikutat di otaknya. Tapi sebagai ayah, aku bisa membaca kegelisahan di mata biru menantuku ini. Ada sesuatu yang sangat rahasia dan menakutkan tersimpan di sana.
***
(13)
            Musim semi di California sungguh menyenangkan, bunga-bunga di taman yang terletak di seputar Villa keluarga Dagos yang kini di warisi menantuku, tampak terawat dengan baik. Beberapa tukang kebun sekali dalam setiap pekan akan menata tanaman-tanaman itu. Bagunan villa ini kata seorang tukan kebun kepadaku merupakan bentuk villa abad pertengahan. Ada sentuhan corak kotak-kotak yang mereka bilang gaya kubisme pada penataan interiornya. Di beberapa dinding dan pilar terdapat ukiran dan relief meniru karya-karya para pematung dari Roma. Lukisan- para pelukis Amerika menghiasi beberapa sudut dinding. Lukisan itu konon di beli keluarga Dagos pada pameran gudang senjata seabad lalu.
            Seni memang sesuatu yang berharga di Amerika. Seharga kehidupan itu sendiri. Di kampungku, seni adalah ritual. Setiap kegiatan ritual untuk menghormati roh-roh leluhur serta roh-roh sakti di dalam alam, selalu diantar oleh seni budaya mistis. Karya seni seperti lukisan  tidak ada harganya. Malahan para pembuat lukisan itu suka dituduh sebagai penganggur, tidak ada pekerjaan. Menyanyi, hanya berguna kalau di gereja. Selebihnya menghibur orang yang sedang ditimpah duka kematian, atau yang punya hajatan perkawinan dan ulang tahun, sambil meneguk Cap Tikus dan Sipa.

            Dering telpon di subuh itu tiba-tiba membuat seisi rumah menjadi tegang. Meria, dan ketiga anakku sudah di ruang keluarga ketika aku muncul di sana. Mereka duduk di sofa dengan wajah gelisah.  Aku masih membasuh muka ketika Meria berteriak memanggilku. Sambil mengeringkan air di mukaku dengan tangan aku mendekati mereka. Yulin, anak itu terlihat teramat tegang. Wajah pucat pasih dengan nafas sedikit tersengal. Dengan cepat pikiranku berkelebat mengira-ngira jangan-jangan kecurigaanku itu benar. Sebab, sejak di Cotabato bulan-bulan terakhir aku seperti merasakan keanehan-keanehan dan beberapa kali didatangi mimpi buruk di kejar awan hitam dengan sinar merah yang aneh. Tapi sungguh aku memahami ini lebih merupakan tarikan dari kekuatan kutuk dari seberang dunia yang jauh di Timur sana. Waktu liburan kami sebenarnya masih panjang sampai akhir musim semi. Tapi secara mendadak pagi itu Yulin meminta kami untuk segera pulang. Aku heran melihat air muka Yulin yang aneh. Ia amat ketakutan.
            “Apa yang terjadi hingga kau menyuruh kami pulang secepat ini. Apakah kau sudah bosan dengan kami?” tanyaku sambil berharap persoalan yang dihadapi anakku bukan seperti yang kuperkirakan.
            Yulin memeluk ibunya. Ia mulai terseduh. Suasana sunyi mencekam beberapa saat, kecuali suara tangisan Yulin yang memerihkan. “Jack tertembak!”  kata Yulin sesaat kemudian sambil menarik nafasnya yang terdengar berat. Mendengar itu Meria agak shock, tubuhnya oleng. Herkanus dengan cepat memeluk ibunya dan menenangkannya. Sementara itu, bayangan kegelapan langsung menyergapku. Dian dengan cepat berkelebat mengambil air putih untuk mamanya, dan meminumkannya. “Kasihan anakku,” desisku dalam hati. Kuingat awan kutukan itu. Awan hitam yang menempel di langit di kepulauan kami. Apakah kutukan itu terus memburu kami hingga ke negeri asing?
            “Di mana dia sekarang?” tanya Meria setelah ia agak kuat.
            “Diamankan di San Diego mama!” jawab Yulin.
            “Mengapa dia kena tembak?” tanyaku.
            “Itu resiko dari pekerjaannya. Pekerjaannya memang sangat rahasia dan berbahaya,” papar Yulin dengan nada yang terdengar pahit.
            “Apakah ia ikut bisnis ayahnya memasok senjata gelap ke pasar teroris?” kejarku.
            Yulin mengangguk. “Berarti kau juga dalam bahaya anakku!” kataku dengan perasaan sedih dan was-was.
            Yulin mendekatiku dan memelukku. Kurasakan betapa dingin tubuh putriku ini.
“Papa, mama dan adik-adik harus pulang hari ini. Aku harus ke San Diego melihat Jack!” ujar Yulin dengan gusar. Meria kian prihatin. Ia kelihatan panik dan sulit menenangkan hati. Di wajahnya diam-diam membersit air mata dukanya.
“Bagaimana keadaan Jack saat ini?” tanya Meria yang lagi memeluk Yulin.
            “Kabarnya, ia dalam kondisi kritis mama. Kami memang punya banyak musuh. Jack terlibat perdagangan senjata gelap ke Filipina dan di beberapa tempat di Timur Tengah. Ia juga berdagang kokain.” Yulin diam sejenak. Kami semua seakan tak bisa mengatakan apa-apa lagi.
“Aku menyuruh kalian pulang, karena aku sayang kalian semua. Musuh-musuh Jack pasti akan ke sini memburunya. Dan aku minta, sesampainya di Cotabato, kalian segera berkemas dan pulang ke Talaud.”  Mertuaku saat ini ada di Libia. Kalian tidak perlu pamit padanya. Nanti semuanya akan diurus sekretaris mertuaku di Cotabato!”
            “Apa di Cotabatu juga terjadi ketegangan?” tanyaku.
            “Sudah lebih awal. Mertuaku terpaksa mengungsi.”
            “Sebaiknya kau ikut kami,” bujuk Meria memelas. Ia amat cinta dan mengasihi putra-putrinya.
“Tidak mama. Aku harus menolong Jack. Ia butuh aku. Aku istrinya,” Jawab Yulin.
            Sebagai ayah aku tidak mau kehilangan anakku. Tapi bagaiman pun, suaminya pasti membutuhkannya di saat-saat menderita. Aku harus mengiakan keinginan Yulin. Meski jauh di lubuk hatiku sedang berkibar semacam bendera hitam. Sebuah lambang perkabungan di kampungku.
            Dengan cepat kami berkemas kemudian sarapan. Hari itu juga kami bertolak ke Manila. Yulin mengantar kami sampai ke air port. Sepanjang jalan ia banyak bercerita tentang keadaan sebenarnya rumah tangganya yang mengalami banyak teror menakutkan.  Herkanus, diantar Broke. Aku melihat perpisahan yang pahit dan menyakitkan di wajah kedua anak muda itu. Aku berdoa, semoga di suatu hari mereka dipertemukan Tuhan lagi.
***
            Di Cotabato, sekretaris tuan Dagos Argava menjemput kami bersama beberapa pengawal bersenjata.
“Tuan tak perlu lagi ke rumah. Langsung saja berangkat hari ini,” jelas sekretaris Dagos. Wajah perempuan cantik itu memancarkan kekhawatiran yang dalam.
“Semuanya sudah disiapkan?” tanyaku.
“Sudah tuan! Perahu kami akan segera mengantar tuan langsung ke Talaud,” ujarnya lagi.
Kami tidak lagi pulang ke rumah di perkebunan, tapi langsung diantar ke port. Dari penjelasan seorang tentara, barang-barang penting milik kami juga sudah mereka kemas dan dimuat dalam pambut. 
Sebuah pambut besar telah siap menanti kami di port. Tanpa henti, hari itu juga kami diantar oleh beberapa tentara  untuk kembali ke Talaud. Sayang aku tak bisa lagi pamit pada Boas dan si penyair tua di Davao. Orang-orang baik hati itu tentu bingung mencari kami dalam keadaan segenting ini. Perjalanan kali ini mendebarkan. Tidak seperti waktu kami datang beberapa tahun silam. Dua pambut lainnya ikut mengawal kami.
Ketika sejam perjalanan, sebuah boat yang memotong dari Saranggani membuntuti kami. Boat itu begitu mencurigakan. Kami semua agak panik, setelah dua pambut pengawal kami menghadang boat itu. Meskipun pambut kami terus melaju meninggalkan perairan perbatasan negara Filipina. Dari kejauhan aku menyaksikan serentetan tembak- menembak antara boat dan dua pambut pengawal kami itu. Aku yakin, mereka adalah musuh-musuh tuan Dagos dan anaknya, yang kini jadi menantuku. Boat itu akhirnya, tampak meledak.
“Jangan takut. Itu cuma hal biasa,” ujar seorang tentara yang mengantar kami. Tentara itu kemudian menyodorkan aku rokok eskortnya. Setelah menghisapnya beberapa kali, perasaanku menjadi lega kembali.
Kami diturunkan mereka di pantai Bowombaru. Dari Bowombaru, kami menyewa perahu dan melanjutkan perjalanan ke Beo.
Ini suatu kepulangan yang sangat mendadak, misterius dan mengerikan. Waktu itu akhir Mei Tahun 1973. Setelah tinggal beberap hari  di rumah family istriku, akhirnya aku bisa membeli sebuah lahan dengan rumah yang cukup besar yang terbuat dari kayu.

 ***




BAGIAN : V


Kesaksian Pertama


Sebagai kekasih sang angin
Kini ia mengusapku dengan badai



(14)
            Suara bentakan membuat aku berhenti dan menoleh  ke kanan jalan dari mana asal suara keras itu terdengar.  Di sana, di lapangan kecil itu,  puluhan  lelaki dengan pakaian kumal tampak sedang berbaris di bawah terik matahari yang sedang merambat naik. Di depan mereka, berdiri seorang lelaki lainnya. Mereka berada sekitar lima puluh meter dari jalan yang akan segera memutar ke arah kiri menuju pasar Beo yang terletak di samping kanan pelabuhan perahu dan kapal-kapal membuang jangkar. Udara panas pukul 11.00  sudah terasa menggigit kulit.
Jalanan aspal dengan batu-batu bergerigi yang menebar di permukaannya memantulkan pecahan-pecahan fatamorgana.  Tapi orang-orang itu, mereka terjemur begitu saja. Pakaian mereka  basah oleh keringat.  Di depan mereka terus saja mondar mandir  lelaki bertubuh tegap berambut ceper dengan langkah pongah. Ia mungkin seorang tentara, atau petugas keamanan. Lelaki itu hanya mengenakan kaos berwarnah hijau dan celana gelap, lengkap dengan lars yang membungkus kakinya yang nampak kuat.
Suara keras itu mungkin datang dari mulut lelaki atletis itu, karena di sana, di wajahnya, sisa gusarnya masih bersinar. Dengan wajah penuh ketakutan, puluhan orang di depannya tegap diam seperti patung yang siap diledakkan.
“Apakah ini korban stigmatisasi PKI yang dilakukan penguasa seperti yang diceritakan Boas dan para familiku itu?” tanyaku dalam hati. Sejenak pemandangan baru ini menyita perhatianku. Diam-diam, aku jadi ingin menyaksikannya. Sambil berteduh di bawah rindang ketapang di pinggir jalan. Agar tak dicurigai, aku pura-pura menanti seseorang sambil merokok. Kejadian itu membuat aku membuang waktu seidikit menyaksikannya, padahal keperluanku adalah membeli beberapa bahan rumah tangga pesanan Meria.
Dari sana, lelaki atletis itu menatapku dengan mukanya yang jahat, tapi aku pura-pura tak melihatnya. Merasa tak diperhatikan, lelaki itu kembali ke kumpulan orang-orang itu. Terdengar ia mengucapkan beberapa kata yang samar–samar sampai ke telingaku, mungkin berupa makian. Dua orang yang ditunjuknya kemudian maju menghampiri lelaki itu. Dengan cepat lelaki itu menampar keduanya. Ada jerit yang sengaja ditahan dari mulut dua lelaki itu ketika tamparan keras mendarat di pipi mereka yang mengeluarkan bunyi derak seiring tersodoknya kepala mereka ke samping. Kulihat raut  wajah mereka sangat kesakitan. Tiba-tiba rasa sakit itu begitu saja menyusup ke hatiku membuat semacam perih yang mengiris-iris.
Sejurus kemudian, lelaki atletis itu kembali memaki-maki, sementara dua lelaki yang kena tampar sudah diperintahkan kembali ke barisan mereka.
Kejadian menarik ini sontak membuat aku muak. Dengan sedikit menyelip geram ke hatiku, dengan cepat kutinggalkan tempat itu sambil memekik kecil, “ya Tuhan ke sinikah Engkau membawa pulang kami?”
 Meria baru meletakkan pulpen ke mejah baca di ruang tengah yang terbuat dari papan kayu nangka dimana ia duduk, ketika aku tiba dari pasar. Selama di pasar tadi hatiku begitu tawar dan mungkin terluka oleh kejadian tanpa perih yang terjadi di lapangan kecil itu.
“Sudah pulang?” tanyanya sejenak mendongak menatapku, kemudian  memasukkan beberapa lembar kertas yang telah di tulisnya dalam beberapa emplop. Aku berharap, Meria tidak menangkap sinar perih di wajahku. Ia sudah terlalu banyak terseruput berbagai ketegangan yang kami alami selama ini, baik sebelum kami ke Filipina dan selama di sana hingga pada waktu kepulangan kami yang begitu menegangkan.
“Ya. Kebetulan semua pesananmu ada. Tapi harganya, minta ampun. Mahal.”
“Tapi kau beli kan?” katanya sambil menyongsongku dan mengambil bahan-bahan pesanannya dalam  dua tas dari tanganku, dan berlalu ke dapur.
Aku kembali ke beranda depan. Sambil duduk di kursi bambu di ruang sempit itu. Pikiranku masih dengan peristiwa yang baru kusaksikan. Bau busuk politik dalam negeri ternyata telah menebar ke sini, ke pedalaman ini.
Enam tahun meninggalkan tanah air, rupanya telah terjadi banyak perubahan. Tapi perubahan itu bukan bernama kemajuan. Namun semata pemarjinalan, pemiskinan, penindasan, yang mengatasnamakan pembangunan dan stabilitas politik.
Sementara awan hitam petaka itu masih saja di sana. Menggelayut di langit seperti pintu gaib dari arwah-arwah para pembunuh yang selalu datang dan pergi setelah melakukan teror dan pulang dengan wajah kemenangan nan angkuh. Kini, tarikan takdir dari kegaiban itu telah berhasil mengusir kami dari tanah pelarian menuju panggung pengadilan. Kami telah ditariknya seperti para penjahat yang berhasil diringkus para pemburu keadilan. Boas, Paulus, dan sederetan nama lain tak mampu membuktikan intuisi mereka tentang kebenaran rasional yang mereka pelajari dari berbagai teori, bahwa manusia bisa melarikan diri dari takdir. Di sini, segalanya berhubungan dengan yang absurd. Tak ada yang bisa lari. Dan tak ada yang luput ketika takdir itu telah tercantum dalam riwayat kita. Seperti riwayat daun-daun yang beritus dari kuncup ke gugur.
Di pantai sana, dari beranda, kulihat  awan itu seperti menyeringaiku dengan mata hantunya yang merah. Kepongahannya, seperti menggemerincingkan ejekan: “Kau kini tertangkap Kepas!”.
Lihatlah, katanya lagi, “kultur kelapa kalian telah kubuat merana. Saudara-saudaramu kubuat orang-orang terpenjara, dan engkau adalah pemilik penderitaan ini!”
Selama sepekan lalu, di pelosok-pelosok desa  memang kutemui orang-orang seperti kehilangan gairah mengurusi kelapa. Hama Sexava kiriman sang gaib  seakan momok yang sulit diberantas. Dan awan itu, mengapa  tak jua pergi, padahal aku telah mendengar serangkaian kejahatan dan kepedihan yang menimpa saudara-saudaraku di kampung dan kepulauan ini? Apakah tangan hitamnya masih menginginkan korban lebih banyak lagi?
Meria membawakan aku segelas air putih sambil berkata, “aku menulis surat buat istri Boas dan beberapa kenalan di Cotabato. Besok ada perahu akan ke sana. Kau ada pesanan untuk Boas?”
Aku baru ingat, senjata angin buatan Amerika pemberian Dagos lagi dipinjam Boas. “Tolong tambahkan pesananku pada Boas untuk mengirimkan sejata yang ia pinjam,” kataku.  Meria mengangguk tapi kemudian berkata, “kau mengunakan senjata itu untuk berburuh? Apa sudah lupa menggunakan sambeang?”
“Sudahlah. Mungkin sewaktu-waktu bisa dipergunakan untuk melobangi kepala orang,” potongku dengan rasa geram yang tersimpan, yang terbawa dari kejadian yang memuakkan di dekat pasar tadi. Mendengar ucapanku, dahi Meria berkerut, “astaga!” pekiknya tiba-tiba. Ia memilih duduk di sampingku sambil menyapu-nyapu rambutku. Ia tahu aku sedang memikirkan sesuatu. Kejadian tadi kuceritakan pada Meria. Ia agak merinding mendengarnya.
“Kau tak usah masuk campur urusan mereka. Kita kan baru datang, nanti jadi persoalan,” kata Meria mengingatkanku. Aku diam saja.
***
(15)
Dari para sanak family dan tetangga aku sudah mendapat penjelasan tentang berbagai kejadian yang terjadi sepeninggal kami. Dari Sere, Ganalo dan Rainis ada beberapa orang menjadi gila karena tak mampu menahan deraan. Di Rainis sendiri ada yang pilih mengakhiri hidupnya dengan mengantung diri. Kejadian yang sama juga menimpa penduduk pulau-pulau di Nanusa.  Tapi aku belum bicara dengan  Datu Mbanua. Aku ingin mendengar dari dia peristiwa-peristiwa beruntun yang mengerikan itu.  Pada saat ke pasar aku ketemu lelaki tua itu. Aku berjanji akan menemui dia.
            “Isyarat burung-burung itu, sudah terjadi anakku,” tutur Datu Mbanua, ketika aku mampir ke rumahnya malam itu.
Kami duduk di dego di bagian depan rumahnya. persis di pesisir pantai Marumun. Baru pukul 20.00, tapi sepi telah menyaput desa ini. Warga desa satu-satu mulai memadamkan lampu petromax di rumah mereka dan menyisahkan lampu lentera kecil yang terbuat dari botol. Kopi yang masih menguap disodorkan seorang kemenakan Datu terasa hangat saat kusesap. Kopi ini tiba-tiba membuat aku seperti menemui kenyataan  keterdamparanku kembali ke negeri ini lagi. Bertemu orang-orang yang ku kenal dan awan hitam itu.   Di depan kami, terlihat sisa-sisa ombak yang disinari bulan masih membui pecah di atas hamparan karang. Dan aku yakin, mahkluk-mahkluk kecil pemikul rumah warna-warni ramai mengingsut kaki-kakinya yang tajam di karang itu. Kerang-kerang indah yang senantiasa membuat aku takjub sejak masa aku kecil hingga kini.  Masih seperti dulu. Sementara jika ku tatap ke selatan, kearah tanjung, atau ke kiri ke arah desa Lobo, di sana, pohon-pohon kelapa menjulang laksana hantu yang membeku di sepi malam.
            “Aku amat sedih Datu. Tapi mengapa kejadiaanya semacam ini?”
“Sebagian besar penduduk kampung ini telah di tuduh sebagai anggota partai terlarang PKI. Mereka telah di siksa, dipenjarakan, dan dipekerja paksa seperti budak,” papar lelaki tua itu menjawab pertanyaanku, dengan suara yang menyimpah bergumpal-gumpal lara. Dari nada bicaranya, aku bisa menangkap ringkih pilu yang sedemikian resik menikung-nikung di hatinya. Sejenak kami terdiam. Aku menyibukan diri menghirup kopiku agar ada waktu bagi rasa pedih itu pergi. Datu menggulung tubaku-nya yang baru kuserahkan  sebagai ole-ole, lalu disulutnya. Tubaku itu kubeli di sebuah warung dekat port Cotabato secara terburu-buru sebelum perahu kami bertolak dari sana dalam perjalanan pulang yang mendadak itu.  Asap yang dihembuskannya membumbung di seputar wajahnya. Kertas bufallo tipis yang terbakar di rokok itu tercium bersama wangi tembakau Brasil. Tangannya yang kurus menepis-nepis asap itu, seperti menghalau bebintik perih yang tersimpan di bilik ingatannya. Sia-sia. Kian kuat ia menepis, kuyakin sekuat itu pula bayangan-bayangan menyakitkan itu menindihnya. Hati nurani, bagaimanapun kita membohonginya, ia selalu berpihak pada kebenaran.  Kebenaran yang dipihaki hati nurani bagaimanapun selalu muncul dengan panji kemenangannya meski kita merantainya, atau membuangnya ke kegelapan hati. Lelaki tua itu sejurus kemudian menatapku lagi. Aku tahu, ia gagal mengusir rasa getir yang telah bertahun-tahun memenatinya.
“Ini sangat menyedihkan. Aku menjadi angkatan dari generasi leluhur yang mesti mempertanggungjawabkan semua ini di negeri seberang sana,” lenguh Datu.
“Di Port Cotabato, aku punya teman seorang  penyair tua. Ia bilang, manusia itu adalah kekasih sang angin. Kekasih itu selalu rindu pada kita. Jika ia rindu, ia akan datang mengusapkan jemarinya dengan lembut.”
“Kini kekasih itu datang dengan badai,” potong Datu cepat.
            “Bagaimana itu bisa terjadi. Padahal di kampung kita ini tidak ada anggota partai itu sebelumnya?” tanyaku. Aku penasaran dan kesal. Datu berusaha santai dari gulana yang menghimpitnya. Rokok dari tubaku yang dihisap kelihatan sedikit membuat ia lega. Meski perasaan itu kutahu tak bisa melindungi kepungan kegetiran dalam pikirannya. Sedang di hatiku ada duka yang terus tersayat dan melolong.
            “Aku juga tidak mengerti! Entah bagaimana jalan pikiran penguasa, jalan pikiran tentara-tentara itu  sehingga bisa semena-mena memperlakukan rakyatnya seperti ini,” kata Datu.
            “Seharusnya Datu bisa menjelaskan ke mereka bahwa di kampung ini tidak ada anggota PKI!”
            “Sudah ku jelaskan. Tapi mereka tak peduli. Malahan mereka mengancam akan melibatkan aku juga,” katanya, dan diam sejurus, kemudian berkata lagi, “memang diam-diam, di kampung ini ada juga kader PKI. Di seluruh kepulauan Talaud ada sekitar lima belas orang saja.”
            “Sebenarnya penduduk kampung harus bersatu melawan sikap penguasa yang sewenang-wenang itu. Bagaimana bisa jadi, orang yang tidak tahu apa-apa dilibatkan.”
            “Banyak orang yang cari muka dan cari selamat sendiri,” potong Datu. Ia berpikir sesaat lalu berkata lagi, “mereka ikut memihak tentara dan penguasa sipil. Banyak pegawai yang tak mereka senangi juga di PKI-kan”.
“Budaya dari mana itu?” ucapku dongkol. Datu hanya menunduk. Ada duka baru kukira meledak di sana, di hatinya.
“Tapi, bagaimana rasanya di perantauan? Katanya Yulin menikah dengan Amerika,” potongnya mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk.
“Ya. Yulin kawin dengan anak majikanku. Pengalaman di perantauan memang banyak. Tapi, kemanapun aku pergi, kukira hatiku ada di sini, tertanam bersama pusar, dan suara tangis pertamaku waktu mampir ke dunia.”
“Aku senang dengar itu,” kata Datu.
“Di Amerika, dan Filipina, sikap itu disebut nasionalisme!” jelasku. Agak lama kami bercakap soal pengalamanku di Filipina hingga peristiwa kepulangan yang mendebarkan dari California.
“Rupanya kita semua sulit mengelak dari kutuk di atas sana,” ujar datu lagi.
“Mungkin begitulah Datu,” kataku.
“Menurutku, demi kebaikanmu sebaiknya kau pindah saja dari sini agar bisa selamat dari tuduhan-tuduhan yang kini membabi buta itu. Ini memang sudah kutukan bagi kita. Kita harus menjalaninya dengan tabah,” ujar datu  memperingatkan aku.
Suatu kepasrahan yang naif, pikirku. Namun jika melihat kenyataan ril, memang tak mungkin melawan penguasa bersenjata di tengah sikap masyarakat kampung yang terbelah seperti ini. Masyarakat yang mengalami cacat yang terpola secara sosial. Masyarakat yang berhasil dihisap ke dalam sistem moral standar ganda. Masyarakat yang bisa menjawab ya dan tidak dalam detik yang sama. Masyarakat yang mulai kehilangan ikatan komunal.  Suatu cacat tanpa terlihat sakit, namun terasa perihnya. Mereka menjadi manusia-manusia yang bersandar pada keajaiban, tapi tidak berusaha memperjuangkan perbaikan.
Mengapa banyak dari saudara-saudaraku sekampung ini menjadi Judas. Rela menjual saudaranya demi keselamatan dan kesejahteraan dirinya sendiri. Dan haruskah aku menjadi Petrus, yang bungkam saja, dan menyangkali atau menutupi semua kejadian yang pernah terjadi? Akankah aku menjadi bagian dari kelompok yang tidak kuat menentang arus?
Angin malam menerpa kian dingin. Kelelawar-kelelawar bersijumplitan di pohon mangga.  Kami baru sadar, bahwa malam sudah larut. Banyak hal telah kami bicarakan, tapi tak ada satupun yang bisa diambil menjadi solusi untuk melawan persoalan-persoalan yang kini menindih. Kian berat.

***
Sisa uang dari Filipina aku ganakan membeli beberapa lahan kebun. Aku membelinya di Kecamatan Essang.  Setelah menetap di Beo sekitar 4 bulan, kami sekeluarga akhirnya pindah ke Essang. Sebelum ke Essang, kami sekeluarga menyempatkan diri sekali lagi mendatangi kuburan Franseska Matiti. Meria seperti biasanya selalu menitikkan airmatanya memandangi kuburan ibunya itu.  Pada kunjungan pertama, sepekan setelah kami kembali dari Filipina, Meria menanam lagi empat batang bunga oliander di setiap sudut kuburan itu. Oliander yang ditanamnya sebelum kami berangkat ke Filipina ternyata tak mampu melawan musim panas yang menggosongkan kepulauan ini di tahun-tahun itu. Bekas batangnya pun sudah tak ada. Meria tak lupa meminta Herkanus membawakan sejerigen air untuk menyirami batang-batang oliander yang sudah ditanamannya beberapa waktu lalu. Kami tak begitu lama berziarah. Setelah semua halamannya selesai dibersikan dan menyaput debu yang menempel di nisan, kami langsung pulang, sebab masih banyak barang yang belum di kemas untuk keberangkatan besok.

Essang, kota kecamatan itu tampak sepi, namun mencekam. Tanahnya subur dan meliputi kawasan yang agak berbukit di tepi pantai. Sekitar 20 meter mendaki, di atasnya dataran yang rata membentang luas ratusan hektar yang hanya diselingi bukit-bukit kecil yang tidak begitu tinggi, kecuali bagian hutan rimbah di belakangnya yang angker sudah menanjak ke atas.
Seperti juga di Beo, beberapa tentara setiap saat terlihat berpatroli ke sepanjang kampung. Baju loreng mereka seakan lambang elmaut yang siap menjemput nyawa. Pemandangan ini mengingatkan aku akan hal sama di Cotabato dan Basilan. Tapi di sana, tentara yang berjuluk pemberontak justru sangat akrab dengan rakyat. Di sini lain.  Mereka tampak angkuh dan angker. Senjata-senjata mereka selalu bergelantungan di bahu, di bawah kemana saja. Sesekali dalam keadaan mabuk, tentara-tentara itu menembaki binatang-binatang peliharaan penduduk seperti babi dan ayam. Hasilnya konon mereka makan sambil mabuk-mabukan di markas Koramil atau di tempat lain, sesuka hati mereka.
Dari beberapa warga, kudengar, tentara-tentara itu suka mempermainkan anak gadis orang.
“Sudah ada beberapa yang jadi korban kebuasan nafsu birahi mereka,” kata Simon suatu ketika. Jika keadaan ini bisa kuceritakan pada Paulus Barahama, lelaki Filipina itu pasti terpingkal-pingkal. Paulus pasti berkata “Itu bukan tentara! Sebab tentara pasti berada dipihak rakyat. Yang berpihak pada kekuasaan tiranik hanyalah para penjilat dan sang dungu”.
             Rumah yang baru kami tempati jaraknya sekitar 20 meter di belakang kantor Koramil. Setiap paginya aku melihat puluhan orang berdiri berjejer di depan kantor tentara itu. Mereka adalah para penduduk yang di tuduh PKI. Pemandangan kontradiktif dengan cita-cita kemerdekaan suatu bangsa setiap paginya  tergambar di sana. Orang-orang itu. Manusia-manusia tak berdaya itu di cambuk dan dipukuli dengan pangkal senjata. Pekik kesakitan sesekali terdengar seperti suara babi saat disembeli. Tak dapat kubayang, betapa sakitnya deraan itu. Dadaku sendiri sampai ngilu membayangkan keperihan mereka. Kadang-kadang aku berpikir jika orang-orang itu punya senjata, maka keadaannya akan ramai. Sebab, aku tak melihat adanya keberanian sejati dalam diri tentara-tentara itu. Kecuali keberanian yang muncul karena mereka bersenjata. Tapi jika dihadapkan pada medan pertempuran yang sesungguhnya, mereka itu tak lebih dari para pengecut yang siap dipanen nyawanya oleh sang lawan. Di Basilan dan pantai Selatan Mindanao, tentara-tentara mereka terlatih. Disiplin, dan bermartabat. Tapi para pemabuk ini. Sosok-sosok yang berani karena menggenggam senjata dihadapan rakyat yang kulturnya siap tunduk, bukan militer profesional. Aku tiba-tiba menemukan kemuakan tersendiri melihat badut-badut itu. Tapi aku yakin ini bukan kultur tentara nasional kita. Ini penyimpangan disiplin militer. Dalam buku sejarah perjuangan bangsa aku membaca betapa luhurnya cita-cita jenderal Sudirman, dan patriotisme para pahlawan. Militer Indonesia kecamba awalnya dari laskar rakyat. Maka tak mungkin militer menyakiti rakyat yang dipandang sebagai rahim lahirnya angkatan bersejata kita. Tidak mungkin, dan tak akan mungkin, kecuali penyimpangan oknum-oknum.

Pada suatu hari, orang-orang itu dijemput sebuah perahu Pamo besar, dan berlayar entah ke mana dengan dikawal beberapa tentara bersenjata. Kemana mereka itu dibawa?      Dari kepala desa aku diberitahu para tertuduh itu, akan diberangkatkan ke Melonguane untuk mengerjakan pembangunan lapangan terbang. Kata para penduduk, sudah sekian tahun pengangkutan para tertuduh PKI itu berlangsung. Mereka diangkut dari berbagai pelosok desa di sekitar pulau-pulau di Talaud. Dari mereka yang pergi, banyak yang tidak kembali. Dan kalau ada yang dipulangkan, biasanya mereka tidak bertahan hidup lama. Mereka sudah sakit parah dan tak lama mati.
            Di Essang, hampir setiap hari aku melihat penderitaan yang luar biasa sedang terjadi. Hampir setiap saat aku melihat perempuan-perempuan menangis, mendengar kabar dari Koramil, dimana suami mereka yang di bawah tentara mati dalam kecelakaan. Dalam hatiku terlintas pertanyaan: apa arti merdeka bagi bangsa ini. Tapi pertanyaan seperti itu menjadi klise dan tidak menarik. Kebanyakan orang yang kutemui di Essang hampir tidak mau membicarakan arti kemerdekaan itu. Padahal aku berpikir, jika ada yang berani, aku siap mengorganiser mereka dalam suatu gerakan perlawanan. Toh, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia di capai, para pendahulu Talaud yang gagah berani telah membuktikan bahwa dengan bersatu, maka penjajahan dapat dilawan. Dan rakyat yang bersatu tak akan pernah terkalahkan. Mereka mungkin boleh musnah semuanya. Tapi semangat itu, tak akan mati. Malahan hidup sebagai sejarah. Namun, mengapa kini kita tidak bisa bersama untuk melawan penguasa jahat, kaki tangan suatu rezim tiranik? “Benar-benar sebuah renungan yang menyedihkan,” bisikku pada hatiku sendiri.

***
            Aku mempekerjakan beberapa buruh upahan untuk kebunku. Hasil panennya cukup baik. Sesekali aku menyuruh Meria, membagikan beras dan keperluan makanan kepada beberapa janda dari tanahan politik yang disebut dalam panggilan yang disingkat Tapol. Kehidupan para keluarga Tapol ini sangat memprihatinkan. Mereka dikucil dari pergaulan masyarakat. Ke gereja pun mereka tidak diperkenankan. Pengucilan ini terjadi secara terstruktur. Bukan saja oleh pihak militer, tapi sudah diikuti oleh golongan pegawai sipil, kalangan gereja dan masyarakat umum.
Faham komunis digembar-gemborkan sebagai sebagai suatu idelogi anti Tuhan. Tapi kenyataannya, di Talaud aku sulit membedakan siapa sebenarnya yang anti Tuhan. Apakah orang-orang tertuduh beserta keluarganya yang dilarang ke gereja,  atau pihak penguasa yang melarang tapol dan keluarganya itu untuk beribadat. Betapa di sini kusaksikan cita-cita politik telah membelenggu semangat religiositas. Kultur ini seperti semut yang berdikdaya menangkap gajah. Padahal keyakinan agama tidak pernah berurusan dengan kedangkalan politik dan teritorial suatu negara. Keyakinan itu tetap ada meskipun seseorang tak bernegara. Lalu untuk apa semua ini?
Lebih dari itu, anak-anak Tapol menerima olok-olokan yang menyakitkan dari teman-temannya. Kata Herkanus, nasib anak dan istri para Tapol laiknya kisah menjijikan yang ditunjukan masyarakat borjuis puritan Inggris dalam novel The Scarlet Letter. Aku pikir, penilaian putraku itu benar. Betapa suatu penderitaan yang lebih menyakitkan dibanding rasa sakit dari tusukan tombak sekalipun. Anak-anak perempuan mereka yang dewasa terbiar menjadi nona tua yang tidak laku. Hampir tak ada pria muda yang suka memacari gadis-gadis anak Tapol. Apalagi menikah dengan mereka. Setiap mata melemparkan tatapan sengit dan tak bersahabat. Orang-orang seperti melihat seekor hantu jika berpapasan dengan mereka. Sesungguhnya mereka juga terpenjara dalam penjara yang lebih menyakitkan, meskipun mereka tidak berada di balik terali besi seperti ayah mereka.
***
(16)
Aku kian yakin kini, setelah menyaksikan semua yang terjadi di kepulauan ini. Awan hitam sialan itu ternyata terus membuntutiku. Kemana pun, dan kapan pun.  Aku memang termasuk orang yang suka menghindar berjumpa dengan para tentara yang menurutku tidak manusiawi dan sewenang-wenang di kota kecamatan ini. Tapi mereka sesekali mendatangiku dan meminta berbagai sumbangan. Agar tidak terjadi sesuatu, aku memberikan saja permintaan mereka. Permintaam itu kadang-kadang berupa uang atau ternak. Aku tahu, tindakan mereka  ini semata-mata mencari suatu alasan yang bisa menarikku ke dalam persoalan.
            Kesialan-kesialan itu mulai nampak ketika seorang tentara muda entah berasal dari daerah mana, kelihatan menyukai anakku. Lelaki berpangkat Kopral itu, dengan sombongnya mendatangi rumah keluargaku dan mengajak Dian keluar.  Ia pun tak segan-segan memegang-megang anakku. Dan memberikan pujian kosongnya yang memuakkan. Dian tidak menyukai lelaki hitam cerewet itu. Kadang-kadang ia datang dalam keadaan mabuk ke rumahku. Merasa tidak di terima, suatu ketika ia dengan sombongnya menembaki babi peliharaanku. Aku tahu ia sedang menakut-nakuti aku. Tak tahan melihat kebiadabannya itu, aku mengusirnya dari rumahku. Ia tampak tersinggung dan mengancam akan membuat perhitungan denganku. Banyak tetangga menyarankanku untuk tidak bersoal dengan tentara agar tidak mendapatkan kesulitan, kata mereka. Namun sudah terlanjur. Memang aku tidak mau diperlakukan semena-mena seperti itu.
            “Seharusnya kau tidak berbuat begitu. Ini namanya mencari kesulitan,” kata Meria istriku. Aku tahu sikap protes perempuan yang kukasihi ini sebagai ekspresi dari lubuk hatinya yang begitu mencintaiku. Ia takut jangan-jangan akan terjadi sesuatu pada diriku.
            “Tapi tindakan tentara setan itu sudah keterlaluan. Di dunia ini banyak tentara. Dan tentara tidak dilatih untuk berbuat jahil seperti ini. Tentara itu orang-orang profesional dan terhormat. Bukan seperti anjing busuk tadi!”
            “Carilah waktu untuk minta maaf padanya,” bujuk Meria.
            “Itu tak perlu kulakukan, jika ia punya hati sebagai manusia,” kataku.
            Pada suatu malam tiba-tiba kami dikejutkan suatu keributan di kandang babi. Aku dan Herkanus langsung keluar mendengar jeritan babi-babi. Tapi kami kemudian urung melangkah ke kandang karena dihadang terjangan batu bertubi-tubi dari orang-orang yang tak dikenal. Lemparan itu dilakukan dari semak-semak tak jauh dari kandang. 
            “Ini pasti ula pemuda anti PKI,” ujar Herkanus.
            “Jangan menuduh sembarangan,” sergah Meria.
            “Pasti mereka,” bantah Herkanus. Dan dengan cepat anak lelaki itu melesat keluar dengan parang.  Terdengar bunyi kaki-kaki berlarian di antara semak. Akupun menyusul ke sana. Tak ada seorang pun yang kami temui. Sedangkan kandang  yang terbuat dari tiang-tiang kayu bulat telah rusak dan kosong. Ada bercak darah di mana-mana.
“Mereka telah membantainya,” kataku. Kulihat Herkanus tertunduk dalam marah yang amat sangat.
“Sabarlah. Mereka memang sengaja memancing kita,” kataku menghiburnya.
            Di Essang, tentara memang telah mengorganiser para pemuda untuk melakukan gerakan anti PKI. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam gerakan anti PKI adalah kelompok yang justru lebih buas dari tentara. Mereka dengan sembarangan menuduh orang-orang yang tak mereka sukai untuk dijadikan turtuduh PKI. Mereka  membuat berbagai alasan yang tanpa dasar, lalu menangkapi penduduk yang menjadi inceran mereka. Mereka melakukan berbagai huru-hara di kampung. Tidak ada orang yang berani melawan mereka.
            Untuk menghindari bentrok dengan para pemuda anti PKI, aku menyuruh Herkanus berdiam diri di kebun. Herkanus  pernah mengutarakan maksudnya untuk membunuh para pemuda anti PKI  yang semena-mena itu. Untuk mencegah niatnya yang berkobar-kobar dan ditambah frustasinya mengingat kekasihnya yang jauh di California, maka aku lebih baik mengungsikan dia ke kebun. Untung dia mengerti dan menurut saja permintaanku.

***
Hari berlalu dengan berbagai teror yang tak berkesudahan. Pada akhir pekan pertama bulan Mei 1974, aku mendapatkan panggilan dari Koramil yang ditanda-tangani Letnan Yunus. Aku mendapatkan firasat bahwa sesuatu yang sangat buruk akan segera terjadi. Berat hati Meria melepas ketika aku pamit ke Koramil. Herkanus dan adiknya Dian juga di pintu  mengantarku dengan wajah getir mengasihankan.
Sesampainya di Koramil, tanpa banyak tanya, aku langsung digebuk para pemuda anti PKI. Dengan penuh semangat mereka berteriak-teriak bahwa aku PKI. Aku kaget dengan tuduhan itu. Semua alasanku tidak digubris. Setelah dipukuli, aku langsung di dikurang dalam sel isolasi. Badanku rasanya pecah berkeping-keping. Rasa sakit yang tak tertahankan membuat aku langsung pingsan.
            Nasib yang menimpaku merupakan kabar buruk bagi keluargaku. Dian yang datang menjengukku, mengatakan Meria istriku beberapa kali mengalami pingsan. Sedangkan Herkanus sempat mengamuk di Koramil. Tapi ia kemudian dihajar tentara hingga babak belur, lalu dipulangkan.
            “Papa harus tabah!” ujar malaikat kecilku itu.
            “Keadaan mamamu?”
            “Tidak apa-apa!” jawab Dian dengan suara yang dibuatnya semanis mungkin. Aku tahu, malaikat kecilku ini sedang menghiburku.
            “Jaga mamamu ya !” Gadis kecilku mengangguk. Ada linangan bening berguguran di matanya. Linangan itu ikut gugur ke hatiku.
            “Bilang Herkanus, ia harus sabar. Jangan emosi!” pesanku lagi.
            Kulihat punggung anakku berlalu dalam gerakan penuh beban ketika meninggalkan selku. Ku tahu hatinya menangis. Jeritan hati itu terasa di sini, di jiwaku.
Ya Tuhan, betapa perih penderitaan ini. Inikah wujud kutuk itu. Kutuk yang setia membuntutiku kemanapun aku pergi. Betapa busuknya politik. Luka-luka yang diberikannya seperti borok tua yang menahun yang sulit tersembuhkan. Politik seperti juga agama bisa membuat orang menjadi waras, dan juga bisa menjerumuskan pengikutnya ke dunia gila, pikirku dalam kesakitan yang amat sangat.

***
Hari sudah mulai senja, saat aku tiba di taman itu. Sangat sepi di sana. Kecuali suara seorang gembel yang kelaparan mendengus seperti suara sapi kesakitan. Tubuhnya penuh borok. Aku mendekati lelaki yang sekarat itu. Ia menoleh ke arahku dengan mata mengasihankan. Seperti cahaya kunang-kunang di kegelapan.
“Beri aku makan,” pinta lelaki buruk itu. Tapi aku tak punya apa-apa. Aku sendiri kelaparan. Perut dan tubuhku sebegitu lemas.
“Aku mengerti. Kau juga kelaparan,” katanya. Mungkin dia memahami reaksiku.  Aku mendekat dan duduk disampingnya, lalu berusaha memperbaiki letak jubah lelaki itu agar menutupi tubuhnya yang terus merinding. Dalam hatiku, aku ingin menanyakan siapa lelaki ini. Namun sebelum kukatakan ia lebih dulu mengatakan, “Aku manusia paling sial yang pernah lahir. Tiada kesialan manusia lain yang melebihi kesialanku.”
Rasa penasaranku kian memuncak. Kata-kata lelaki itu sangat misterius.
“Pulanglah kau. Hanya aku yang ditakdirkan menjadi lambang penderitaan,” kata lelaki itu. Tiba-tiba, lelaki itu melayang ke langit dan meledak seperti mercon. Aku terkejut, dan terjaga. Aku bermimpi.
Aku seorang diri di sel ini, dalam rasa lapar dengan tenggorokan yang kering dan tubuh yang rasanya remuk.
            Setelah sepekan aku terkunci dalam sel, baru aku dikeluarkan untuk diinterogasi lagi. Petugas interogator telah menantiku di ruang khusus. Ku kira ruang ini kedap suara. Jadi apapun yang terjadi di ruang ini tidak akan diketahui dari luar. Ku baca ada niatan tidak baik di mata para interogator itu.  Mereka tampak buas dan licik.
“Kau anggota PKI sebelum berangkat ke Cotabato. Mengakulah!” paksa Mariala, salah seorang anggota Satgas yang melakukan interogasi. Lelaki separoh baya itu sangat ku kenal, karena kami pernah sama-sama jadi buru tambangan di pelabuhan Beo sebelum aku berangkat ke Cotabato. Bahkan waktu penguburan Franseska Matiti, ia hadir dan turut menjadi salah seorang pengusung keranda.  Ia sempat tinggal di rumahku hampir sepekan membantuku menyelesaikan pembuatan kuburan mertuaku. Tapi kini ia memandangku seperti tak mengenalku sama sekali. Benar-benar keterlaluan. 
            “Tidak, Aku Parkindo!” jawabku jujur. Mendengar jawabanku, salah seorang Satgas yang lain bernama Mamewe, dengan cepat melayangkan tendangan berat langsung menghujam ulu hatiku. Aku terjungkal dari kursi, langsung menghantam meja di belakangku.  Dada dan usus perutku terasa tersobek. Aku muntah seketika. Tapi aku berusaha bangkit dan duduk di kursi pesakitan itu.
            “Mengaku saja, agar kau tidak disiksa seperti ini,” ujar Mariala.
            “Bagaimana aku mengakui sesuatu yang tidak benar?” bantahku, dan berkata lagi, “kau kan kenal aku. Kita sama-sama orang sini dan pernah sama-sama jadi buru tambangan di Beo.  Masa kau tidak tahu aku partai apa.”
            Mamewe kembali melayangkan sebuah tendangan ke wajahku.  Mataku langsung berkunang-kunang. Aku terhempas ke lantai seperti sebuah bantal yang dibanting. Rasah perih yang panas menyerang wajahku. Kurasa beberapa gigiku tanggal. Darah segar memancar dari mulutku.
“Mengakulah!” teriak Mariala. Suaranya kudengar samar-samar.
Aku tak bergeming. Mariala menggapai tanganku dengan kasar, dan memaksaku menandatangani sebuah surat. Aku tidak tahu apa isi surat yang kutanda-tangani dengan tangan yang lemas itu. Di kemudian hari aku baru tahu kalau surat yang kutanda tangani itu adalah surat pernyataan pengakuan sebagai anggota PKI.
Badanku sudah hancur, dan tak ada tenaga lagi untuk bertahan. Dua petugas menyeretku kembali ke  kamar isolasi. Sekujur tubuhku memar dan luka-luka. Dalam kesakitanku, kulihat lelaki gembel dalam mimpiku datang padaku dari balik jeruji. Bau busuk yang kukenal tercium, ketika angin tipis ikut menyusup bersama kibasan jubahnya.
“Siapa engkau,” teriakku.
“Pedagang kebenaran!” jawabnya. Aku bingung mendengar jawabab itu.
“Aku begitu sayang padamu. Maka aku senantiasa mendatangimu,” katanya lagi. Ia kemudian duduk di sampingku. Bau khasnya kembali tercium dan memualkan.
“Aku lelaki tanpa rumah. Terusir, dan terus terusir,” omel lelaki itu lagi. Tiba-tiba timbul niatanku mengusir lelaki gembel ini. Rasa kasihan yang pernah muncul berganti kebencian.
“Aku paham perasaanmu. Aku memang akan diusir siapapun yang mengerti kebenaran. Tapi bagi para penjahat, aku adalah kawan,” ujarnya.
“Judas!” teriakku spontan. Nama itu tiba-tiba muncul begitu saja dalam otakku dan meluncur begitu saja dari mulutku. Lelaki itu beringsut dari tubuhku, kemudian meledak seperti mercon dan melesat ke langit lewat jeruji. Tapi baunya menempel di dinding sel, seperti bau kencing yang mengering.

***
Ada seorang tentara yang bersimpati padaku, setiap malam mengunjungiku dan memberikan beberapa batang rokok dan makanan. Aku agak tertolong oleh kebaikan tentara itu.
            “Aku tak bisa melakukan apa-apa untuk membelamu. Banyak saksi yang memberatkanmu. Aku tahu kau tak terlibat PKI. Tapi banyak orang di kampungmu ini yang telah kehilangan rasa kemanusiaan. Mereka memberatkanmu. Sudah ratusan orang mengalami nasib sepertimu di Talaud ini. Tabahlah. Banyaklah berdoa!” kata tentara yang berhati baik itu, ketika pertama kali mendekatiku.
            “Tuhan, aku bersyukur padaMu, karena Kau masih menghadirkan orang berhati sebaik engkau Kopral,” ujarku.
            “Tidak Kepas !. Seekor babi tidak akan pernah menjadi lembu. Aku tak mungkin menjadi manusia baik di tengah sistem yang biadab. Doakan, suatu saat aku bisa melawan rekan-rekanku sendiri!” kata tentara itu. Suara tentara itu, seperti suara aneh di tengah kebisingan suara-suara jahat. Aku merasa, tentara itu menyimpan ratapan tersendiri menyaksikan nasib kami. Aku teringat Paulus, lelaki Moro, yang bersedia mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan keadilan. Ia relah kehilangan istri, dan kemudian memilih tidak menikah lagi, karena tidak ingin mengorbankan banyak orang bagi pewujudan  idealismenya demi kebenaran.
            Lewat kebaikan tentara yang bernama Yuda itu, aku masih bisa bertemu Meria istriku dan anak-anakku. Pada jam jaganya, ia memperkenankan mereka mengunjungiku. Aku melihat penderitaan yang amat sangat di wajah orang-orang yang ku kasihi itu. Mereka membawakan aku obat-obatan dan baju. Meski mereka berusaha menunjukan senyuman kesabaran, tapi mereka tak mampu menyembunyikan raut hati yang sesungguhnya. Hati yang penuh sayatan-sayatan menyakitkan.
            “Ya Tuhan jika ini memang cawan yang mesti dipertanggung kepada kami, maka kami hanya bisa mensyukurinya. Namun jika ini bukan kehendakMu, bebaskanlah kami dari derita ini ya Tuhan! Atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus kami mohon ampun dosa dan celah kami. Amim.” Itulah doa istriku setiap berjumpa denganku. Dari doa itu, dalam penderitaan ini tak ada yang kuingat dengan baik selain bayangan Lelaki di tiang palang, yang berwajah lembut. “Ya Yesusku, beginikah derita itu harus ku tanggung?” Lelaki itu selalu tersenyum melipur dukaku. Senyum yang datang dari luka deritanya di atas tiang itu.
            Kudengar doa istriku itu seperti air yang tiba-tiba menghapus dahagaku yang teramat kering. Meria, Dian, dan Herkanus, mereka memelukku seperti bayi kecintaan mereka. Air mata mereka membasuh punggungku.
            “Aku senang kalian masih punya kekuatan untuk menghadapi ini. Tegarlah terus!” ujarku menghibur mereka.
            Atas pertolongan Yuda, aku tak banyak lagi disakiti sampai semua luka dan perasaan nyeri di tubuhku hilang.
***
            Di hari yang hitam, tak kusangka penderitaan yang lebih besar lagi segera menghantamku. Kuku-kukunya yang tajam mencengkeram jantungku hingga terasa perih sekali. Pada malam itu Yuda mendatangiku. Ia tampak gugup. Membaca air muka lelaki itu  hatiku berderit. Ia seakan menyimpan sesuatu. Suatu rahasia yang sulit diungkapkannya padaku. Ia datang ke selku sambil membawa se mok air putih.
“Aku akan menceritakan sesuatu, tapi kau minumlah dulu,” katanya seakan menenangkanku. Diperlakukan seperti itu rasa ngilu di hatiku justru kian teriris.
“Ini memang kabar menyedihkan tapi kau harus tenang mendengarnya,” sambungnya lagi dengan suara ringan namun gurat di wajahnya membersitkan pilu. 
“Sebenarnya apa yang terjadi,” tanyaku was-was. Ia menyodorkan sebatang rokok dan menyalakan steker. Setelah memasangkannya padaku, ia menyulutnya sebatang pula. Setelah beberapa saat, ia menatapku dengan senyum dan berkata, “Dian anakmu sudah diambil Tuhan.”
Hatiku tiba-tiba tercekik mendengar kabar itu. Sebelum aku bicara lelaki itu kembali melanjutkan, “kematian seperti juga kelahiran adalah anugerah Tuhan. Jadi kepergian Dian harus dipandang sebagai semata kehendakNya yang di atas itu.” Aku tertunduk sejenak. Tapi tiba-tiba aku ingin bertanya sebab kematian anakku.
“Apa yang terjadi padanya?”
“Dian  diperkosa tiga pemuda anti PKI.”
Mendengar itu, perasaanku seperti dihujam sebuah gunung yang jatuh dari langit. Betapa berat dan meremukkan diriku.  Aku terhuyung kehilangan keseimbangan mendengar kabar buruk itu.
            “Lalu bagaimana kabarnya?” tanyaku dengan gelisah seperti tak percaya dengan kabar yang disampaikannya.
            Yuda menarik nafas panjangnya sambil duduk si sampingku. Tanganya yang kekar menempuk-nepuk punggungku. 
“Setelah diperkosa, Dian melakukan tindakan bunuh diri dengan mengantungkan dirinya di rumahmu. Rupanya ia tak tahan menanggung malu,” ujar Yuda.
            Mataku menjadi gelap. Aku meraung-raung seperti gila. Dunia seperti berputar, tanah-tanahnya amblas. Dadaku terasa terbakar dan terguncang. Yuda membujukku untuk tenang. Lama aku baru bisa menenangkan perasaan yang sangat tersayat itu. Sebagai ayah untuk pertama kali aku menangis tanpa perasaan malu sedikit pun. Sebagai orang kepulauan, haram bagi seorang lelaki menangis. Tapi aku tak bisa menahannya lagi. 
Yuda kembali menyalakan aku sebatang rokok dan memberikannya padaku. Aku mengisap rokok itu di tengah air mata yang tiada henti mengalir bukan saja dari batin tapi dari mata air di mataku sendiri.
Aku tahu, Yuda meskipun ia seorang tentara ia tak punya energi yang kuat untuk melawan atasannya yang telah mengatur semua skenario kejahatan itu, begitu pikirku.
            “Mereka sudah mengaturnya. Ini direncanakan oleh tentara setan yang kau usir dulu itu. Ia sakit hati, Dan kini ia membuktikan ancamannya padamu,” jelas Yuda dengan suaranya yang bergetar. Ada amarah yang dasyat menyelinap dalam getar suara lelaki itu.
            Yuda masih banyak bercerita, tapi aku tidak tahu lagi. Aku tidak mendengarnya lagi. Aku telah pingsan.
***
            Burung-burung hitam terbang di langit seperti sebuah prosesi mengantar pergi arwah kecil ke seberang gemawan. Kian ke sana, ketingkap-tingkap yang tersebunyi, kemudian tinggal sebentuk noktah hitam yang kemudian lenyap tersaput awan. Noktah kecil yang terangkat dari jiwaku menuju surga dan meninggalkan sebuah ruang kosong yang berisi gemah suara tak beraturan nan berisik.  Air mataku jatuh tanpa suara membentur tanah gembur di depanku. Kakiku serupa pacak seakan tertanam berabad-abad sebagai saksi dari sebuah kejadian. Pacak yang kemudian kutemukan tanpa sengaja. Sesuatu yang sangat berharga yang baru kutemukan di senja yang beku.
Beberapa daun kemboja kembali jatuh di atas makam-makam tua. Tapi di makam ini, bebunga masih segar dan wangi. Aku menaburkannya dengan tangan-tangan kasihku bersama seribu tangan malaikat yang mengasihinya. Aku seakan kehilangan keinginan untuk beringsut dari gundukan tanah di depanku. Tanah yang di bawanya tertidur anakku di alam keabadian. Tiba-tiba aku ingat Monic, tupai kecil yang disayanginya, yang dengan iklas akan diantarnya ke kakaknya di California tapi ditahan imigrasi bandar udara. Tupai itu tak sempat kami jemput lagi karena kupulangan yang mendadak. Aku ingat T-Shirt kuning yang didandani kakaknya padanya, yang membuat ia bagaikan boneka Asia di antara boneka pohon-pohon natal di Amerika. Bayangannya yang mungil sejak bayi. Matanya yang jenial seperti mata kelinci yang lucu ketika mentertawakan mulut omanya yang berlepotan kuah siri-pinang merah. Segala hal tentangnya tiba-tiba menjadi masa silam yang datang menyapa silih berganti. Manis tapi mendedah hatiku.
Meria istriku telah pergi bersama para pelayat, kecuali pekerja kubur yang masih terus membenahi bagian-bagian yang belum selesai dikerjakan. Meria sangat terpukul dan sulit menahan diri. Aku telah meminta Herkanus untuk membawa ibunya pulang.
“Pergilah anakku. Ayahmu akan setia mengenangmu, sehingga engkau tetap hidup di jiwaku. Aku takkan pernah kehilangan dikau, karena kau tak pernah mati dalam hatiku,” bisikku pada tanah merah  di depanku.
            Burung-burung telah menjauh. Matahari terbenam. Aku tak jua beringsut. Aku ingin memasangi lampu di kuburan anakku. Aku ingin ia masih melihat terang di sini, di dunianya yang baru.
“Jika kau mau, kau boleh datang pada ayahmu dalam mimpi. Ayah berjanji suatu hari akan mencarimu jika ayah pergi menyusulmu di keabadian.”
            Kelelawar-kelelawar hitam beterbangan di kegelapan. Jangkrik dan Kongkoriang mengeluarkan bunyi dari dunia kesepian. “Aku ingin di sini anakku, di sini,  hingga matahari datang,” desisku.

***
            Aku hanya diijinkan sepekan tinggal di rumah. Perkabungan ini begitu menyakitkan bagi kami sekeluarga. Tapi bagi tetangga, bagi orang sekampung, bagi penduduk kepulauan ini, kematian tragis seorang anak PKI, tak lebih berharga dari kematian seekor ayam. Tidak ada rasa belasungkawa di wajah mereka. Malahan cibiran, ringkihan tawa mengejek dan mengutuk yang menyakitkan. Semua itu memedihkan hati kami sekeluarga, dan juga hati para keluarga Tapol yang merasa senasib.  Tapi apa yang dapat kami lakukan untuk mengubah itu semua? Kami telah ditempatkan menjadi manusia tanpa hak kemanusian, tanpa hak hidup, tanpa hak berpikir, tanpa hak membela diri, apalagi mencari kebenaran. Siapa kami ini di mata kalian? Keluhku tak habis-habisnya. Hanya kesunyian jawabannya. Hanya kesunyian yang sedemikian sepi mendengarkannya. Tak ada gunanya mencakapkannya dengan manusia, ketika kemanusiaanku sendiri telah dikuliti.
Sekali waktu aku merindukan bercakap dengan ciptaan Tuhan yang lain, selain manusia. Tapi tidak. Kecoa di selku cuma bisa menatapku dalam ketidak mengertian. Atau tikus-tikus itu, yang di malam hari mengagetkanku dengan melintasi tubuhku untuk merebut remah-remah di piring makanku. Tuhan, dengan siapa aku bisa bercakap. Dengan siapa aku bisa bercerita kejadian-kejadian keji ini, kecuali dengan kesunyian. Kami menjadi orang-orang yang berkali-kali tersesat di jalan buntu. Atau pelaut yang tergelincir di tebing laut, yang perahunya karam di dinding langit, tanpa pulau, tanpa daratan dan tiang-tiang untuk digapai. Menyesakkan sekali mengartikan hidup kami. Kami siapa? Tanyaku lagi-lagi, berkali-kali pada bayanganku di leper alpaka yang kubersikan dengan ludah. Berkali-kali dan selalu kulihat wajahku di kolam air hujan, di parit, atau pada embun yang tersisa di dedaunan. Tapi wajah siapakah itu? Apakah seorang manusia, atau hanya sebuah bayangan dalam impian seseorang yang tertidur pulas. Atau manusia imajinir yang dihidupkan seorang pengarang novel sebagai protagonis bagi karyanya.
Aku harus kembali. Kembali ke sel. Ruangan sempit dengan jeruji besi yang menghitam tempat angin dan udara masuk membagi kehidupan. Selama sepekan, belum bisa menghapus kepedihan di hati istiriku, tapi hukumanku harus kembali ku jalani.
***

(17)
Hari-hari berlalu dalam perasaan yang menyakitkan. Perasaan sakit hati itu seperti membiusku. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, bayangan tragis kematian Dian terus mampir memberi irisan luka di hatiku. Inikah makna menjadi ayah? Ketika menjadi ayah, seseorang diberi kehormatan menjaga kehidupan anaknya. Seorang ayah tak pernah menginginkan kehilangan seorang anak. Seorang ayah selalu beriktiar mati di tengah anak-anaknya, dan tak kuasa menyaksikan kematian anaknya. Tapi seorang ibu akan lebih rapuh lagi menyaksikan itu semua.
Namun itu semua telah digenapkan padaku, menjadi lukisan kesedihan yang abadi ya Tuhanku. Di mana harus kugantung lukisan ini, agar sekali-kali  dapat kutinggalkan pabila aku penat menjijingnya. Tidak mungkin. Dan tak ada yang bisa memungkinkan semua ini terlepas, karena ini memang pahatan yang terukir di dinding perasaan, di ruang jiwa.
Lalu bagaimana nasib Yulin dan Jack menantuku? Apakah ia sudah sembuh? Meria hari ini mengunjungiku di Sel. Ia memberiku sepucuk surat dari Yulin.

Papa dan Mama
Salam kasih.

            Ketika membaca surat ini, Aku dan suamiku mungkin telah tiba di Libia. Kami terpaksa mengungsi ke sana. Surat ini kukirim ketika mampir di Davao. Aku berharap semuanya baik-baik. Suamiku kini sudah sembuh. Mama dan papa tidak perlu kuatirkan kami.
            Salam buat Herkanus. Bilang padanya, Broke merindukan dia. Jika ada waktu, suruhlah Herkanus ke Fentura, nanti aku atur biayanya lewat Om Boas di Cotabato.
            Bagaimana kabar adik kecilku Dian. Tentu ia telah tumbuh manis-manisnya. Mungkin sudah seperti malaikat natal. Cium dari kakak buat Dian.
            Aku dan suamiku lagi cari waktu untuk mengunjungi papa dan mama. Mungkin kami akan lewat jalur Jakarta, biar aman.

Salam
Yulin Dagos Jr

Surat itu seperti siraman hujan di hatiku. Hati yang kerontang tanpa pohon, selain tunggul-tunggul hitam dari negeri yang terbakar. Aku menangis bersama istriku.
 “Ia tidak tahu apa yang menimpa kita,” bisik Meria.
“Sebaiknya ia terus tidak tahu.”
“Kupikir juga begitu. Yulin baru lepas dari masalah yang hampir merenggut nyawa suaminya. Kini mereka menjadi pelarian di Libia.”
“Bagaimana Herkanus?”
“Dia sangat terpukul.”
“Surulah dia berangkat menemui Boas di Cotabato.”
“Aku berpikir juga demikian.”
“Katakan, aku yang suruh.”
Meria terdiam. Kulihat betapa mata istriku ini mulai kehilangan genangan. Air matanya mulai mengering. Ia terlalu banyak menangis untuk peristiwa demi peristiwa yang silih pergi yang selalu meminta basuan air yang hulunya di bathin itu.
“Aku bukan Bunda Maria, tapi mengapa dukanya bertatah di hatiku,” keluh Meria.
“Bernyanyilah dan berdoalah, meski mereka melarang kita untuk itu. Bukankah Bapa di surga pernah kehilangan seluruh anaknya se bumi. Dan untuk mendapatkannya kembali dari para perampas-perampas itu, ia harus menjadi Seseorang yang terpidana, dan menjalani hukuman mati di salib?”
Meria menatapku seperti seseorang yang baru terjaga dari sebuah mimpi buruk. Di mata itu ada keteduhan lain yang pelan-pelan bergeriap.
“Kau selalu punya kata yang bisa menghibur diriku. Tapi apa kau punya sebaris lagi untuk menghibur dirimu?”
“Menghibur diriku?” Pertanyaan itu tiba-tiba datang juga dari lubuk batinku. Semalam-malaman kucari, kubuka setiap halaman pikiranku, jiwaku, perasaanku. Tidak. Tak kutemukan kata atau sesuatu yang bisa menghibur diriku. Kecuali amarah yang diam-diam kian meninggi dan mulai memunculkan ranting-ranting.
***



BAGIAN : VI

September 1974

Dendam Yang Mulai Berdaun

(18)
Empat bulan kemudian.
Di Ganalo, hari itu aku menyempatkan diri mampir di rumah sahabatku Nixon Andere.  Lelaki itu beberapa kali datang ke rumahku di Cotabato, ketika aku masih bekerja di sana. Aku memang sempat menolong dia membuka jaringan perdagangan dengan beberapa kawan di Filipina. Akhir-akhir ini aku tahu usahanya sedikit merosot. Tetapi ketika aku dalam belitan kesulitan seperti sekarang ini Nixon Andere tak pernah lupa menolongku.
Melihat kedatanganku ia tampak gembira. Kami bercakap di warungnya yang kebetulan lagi sepi dari pembeli, di beranda rumahnya yang berhalaman luas. Dari sana aku bisa melihat laut luas di sebelah timur yang membentang tanpa ujung. Angin laut bisa langsung menyeruput ke dedahan di atas tebing karang yang tidak begitu tinggi.
Setelah menyuguhkan aku segelas kopi, ia berkata, “seharusnya kau tak usah pulang ke sini lagi Kepas.” Ia menatapku dengan air muka sedih. Setelah menyorongkan bangku dari papan Nangka mendekat ke meja di depanku, ia berkata lagi, ”aku tak habis pikir kau ketimpah juga.”
“Semuanya sudah terjadi, aku mau bilang apa!” potongku, sambil berharap ia tidak perlu terbawa kesedihan memikirkan nasibku.
“Aku masih ingat ketika aku mengantar koprah ke Cotabato. Aku lihat hidupmu sangat bagus di Filipina.  Seharusnya kau sudah kaya raya sekarang. Apalagi, Yulin ikut menjadi pewaris Dagos Argava!” kata lelaki itu panjang lebar.
Aku diam saja. Aku memang mulai tak begitu tertarik mencakapkan masa laluku.
“Istrimu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Lagi opsi di Beo!” jawabnya dengan suara agak kurang enak. Tapi aku paham arti dari tekanan suaranya yang kurang mengenakkan itu.
“Sebaiknya Desy tidak lagi opsi. Kan hidup kalian saat ini sangat cukup,” ujarku. Saran itu kuberikan karena aku mulai mencium ada bau tak enak dari pekerjaan yang dilakukan Desy istri Nixon. Desy tampaknya sedang menjalin hubungan gelap dengan seorang tentara di Beo.
“Aku sudah memintanya berhenti opsi, tapi ia menolak. Ya, dari pada bertengkar soal itu, lebih baik biarlah dia melakukan pekerjaanya.”
“Aku berutang budi banyak padamu Nixon. Pada saat sulitku kau selalu memperhatikan kehidupan keluargaku,” potongku lagi agar tidak berlarut-larut membicarakan masalah istrinya.
“Di Filipina tempo hari, kau juga banyak berbuat baik padaku. Kau yang buka jaringan perdagangan koprahku di sana. Jadi, sudah sewajarnya aku melakukan sesuatu bagimu saat sekarang,” tandasnya ringan.
Aku tiba-tiba kasihan melihat nasib sahabatku yang dikhianati isterinya itu. Waktu kami sekeluarga masih tinggal di Beo, aku beberapa kali berpapasan dengan Desy bersama tentara itu di pasar kopi. Di Beo, arong-orang pasar sebenarnya sudah ramai membicarakan hubungan Desy dengan kekasih gelapnya yang bernama Pace itu. Tapi apakah Nixon mengetahuinya pula? Aku tak berani menceritakannya.
Tak beberapa lama kami bercakap, kulihat Desy, istri Nixon, bersama beberapa orang buruh yang sedang memikul barang-barang muncul dari tikungan jalan tak jauh dari halaman rumah Nixon. Melihat aku sedang bercakap dengan Nixon, wajah perempuan keturunan Tionghoa itu agak menegang.
“Hai, Kepas, sudah lama?” sapa Desy, diiringi senyumannya yang dibuat-buat. Aku tahu ia sedang tegang karena  rahasia yang ia simpan, sudah kuketahui. Ketika berjumpa di Beo tempo hari, Desy memang sudah memintaku untuk merahasiakan hubungannya itu pada Nixon.
“Ya. Aku cuma mampir sebentar. Kami sedang mencari kayu pesanan.  Kau dengan perahu?”
“Ya kebetulan, ada kapal patroli tentara dari Beo, maka aku menumpang!” Jelas Desy. Wajah Nixon memerah. Ada rasa kurang enak terpancar di wajahnya.
“Sebentar!” potong Nixon, “aku tadi membeli babi hutan. Aku ambil untuk ole-ole buat istrimu,” kata Nixon padaku, sambil berlalu ke dalam rumahnya. Aku tahu Nixon menghidar dari percakapan selanjutnya.  Melihat Nixon pergi, Desy mendekatiku.
“Aku mohon kau tidak menceritakan apa-apa pada Nixon,” pinta perempuan itu memelas.
“Aku tidak mau masuk dalam urusan kalian. Urusanku sendiri sudah sedemikian pelik!” ujarku meyakinkannya. Wajah Desy berobah ceria kembali.
“Ya. Syukurlah Kepas.”
“Tapi sebaiknya kau tidak mengambil resiko Desy. Kalau ketahuan, persoalan itu makin kian merepotkan kalian berdua,” ujarku.
“Sebenarnya aku juga sudah mau melepaskan lelaki itu. Tapi ia mengancam akan  memenjarakan Nixon. Aku kasihan pada Nixon.” jelas Desy dengan suara agak berbisik.
“Kau sudah terperangkap, mau apa lagi,” sungutku.
“Tapi aku akan berusaha meninggalkannya satu saat.”
Bunyi langkah kaki Nixon, membuat kami menghentikan percakapan.  “Salam buat istrimu Kepas,” kata Desy kepadaku. Aku mengangguk. Desy kemudian meningalkan aku dan Nixon sambil berkata, “Aku mau atur barang-barang dulu.”
“Aku memang tidak lama. Sudah mau pamit,” balasku.  Setelah menerima potongan paha babi hutan pemberian Nixon, aku pamit pada mereka.

Perahu yang memuat kayu yang kami naiki akhirnya merapat di Essang ketika  hari menjelang malam.  Kami baru pulang dari hutan sebelah utara mencari bahan ramuan rumah, berupa balok-balok kayu bersama para tapol lainnya.
Kayu-kayu itu diambil di belakang kampung Ganalo. Setelah selesai menurunkan semua muatan yang langsung ditampung di gudang tak jauh dari pantai, aku sempat mampir di rumah menjenguk Meria. Sepotong daging babi hutan mentah kubawa untuknya. Daging babi yang diberikan Nixon, temanku di Ganalo. Meria tampak senang melihatku, meski di tempat yang lain kesedihan terus terukir di wajahnya..
“Bagaimana kabar Nixon  di Ganalo,” tanya Meria.
“Ia titip salam padamu. Kehidupannya terbilang lumayan.”
“Selama kau di sel, kawan sekolah dasarmu itu selalu mampir ke sini menanyakan keadaanmu.”
“Ia punya warung besar di sana. Istrinya giat melakukan opsi.”
“Tapi apakah Nixon tahu kalau istrinya selingkuh?”
“Mungkin tahu, tapi ia memilih diam. Tak ambil resiko. Ia takut jadi seperti aku.”
“Iya. Apalagi hubungan gelapnya  dengan seorang tentara,” keluh Meria. Nixon masih saudara dekatnya.  Meria tentu ikut khawatir dengan nasib Nixon, jika mencoba menggubris masalah istrinya itu.
“Tentara, apa maunya, semuanya mesti tunduk,” desah Meria.
“Jangan terlalu dipikirkan,” kataku tegas.
Usai menyesap kopi dan makan beberapa potong Uwi yang disuguhkan Meria, aku ikut membantu dia menyusun potongan-potongan kayu api ke atas para-para di atas Tungku memasak.
Tak banyak yang aku dan Meria cakapkan, kecuali wajah perempuan itu yang tiada henti memancarkan kesedihan.  Kesedihan yang justru memunculkan kekuatan dalam diriku untuk tetap hidup.  Ia belum lama kehilangan putrinya, sedang diriku masih terpenjara.
“Seandainya kita bisa makan bersama seperti kemarin-kemarim,” ujar Meria membatin. Aku tak bisa menjawab kecuali menyaput pundak wanita yang kukasihi itu, ketika kami mengaso di bale-bale di sisi kiri dapur. Wajah cerianya yang pernah kulihat di Cotabato telah sirna. Ia menjadi sedikit lebih tua dari usianya yang baru 40-an. Rambutnya nampak kusut dan agak kering.
“Bertahanlah selagi bisa,” bisikku padanya. Dari mulutnya mendesis nyanyian Kakumbaeda yang meninggi kemudian mengayun rendah, laksana suara angin di dedahan. Aku tahu ia sedang meniduri dukanya.
Herkanus yang baru pulang dari kebun tampak senang melihatku. Ia memberikan aku beberapa bungkus rokok. Anak itu sangat memikirkan keadaanku.
“Sudah menyurati Broke?” tanyaku mengalihkan pikirannya tentangku. Ia mengangguk, sambil menjatuhkan tubuhnya di bale-bale. 
“Lagi musim dingin di sana,” katanya.
“Dia menyuratimu?” Ia mengangguk lagi.
“Anak itu sangat cantik ya.” Herkanus mengulum senyumnya.
“Jika punya waktu kau pergilah padanya,” kataku begitu saja. Tapi aku pikir Herkanus lebih baik menjumpai Paulus Barahama. Aku berharap ia memiliki keinginan itu. Ia harus meninggalkan tempat ini secepatnya, sebelum terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan dan menambah beban yang kini menindihku.
“Ingat Pak Paulus Barahama?” tanyaku memancing.
“Yang mengajari papa senjata itu?”
“Iya. Mungkin Paulus bisa mengatur pekerjaan untuk kamu di Basilan!” Anehnya, tiba-tiba terlintas dipikiranku keinginan agar Herkanus jadi tentara. Sebab kupikir, kini hanya di negeri lain ia bisa menemui kebanggan sebagai manusia. Tidak di negeri ini. Di negeri ini anak tapol telah ditakdirkan jadi sampah. 
 “Aku masih ingat!”
“Mungkin kau harus menemui dia sebelum mencari Broke,” ujarku lagi. Herkanus terdiam, tapi matanya menerawang. Ia sedang memikirkan sesuatu.
“Sudah. Mandilah kau,” kataku untuk memutuskan pikirannya yang lagi mengembara. Ia meninggalkan aku dan ibunya di bale-bale di ruang dapur itu sambil berjalan agak gontai ke kamarnya.
Karena sedemikian lelah, setelah menyesap sisa kopi yang sudah agak dingin di atas meja, aku cepat-cepat pamit kembali ke Koramil.
Dari jalanan aku masih bisa melihat dimana harapanku tergantung di mata anak itu. Anak lelakiku yang kuharap bisa memperjuangkan kehidupan kami kembali. Seperti biasa wajah istri dan anak lelakiku itu tampak muram menyaksikan kepergianku.
Belum sempat membersihkan badan, aku beristirahat sambil meluruskan tubuhku  di sebuah bangku panjang di belakang Koramil. Aku agak bebas malam ini istirahat di luar sel, karena Yuda sedang jam jaga. Sementara kawan-kawan tapol lainnya mereka sudah pulang ke rumah, karena mereka hanya menjalani hukuman  wijib lapor saja. Suara jangkrik dan cahaya kunang-kunang yang berseliweran di kegelapan membuat aku bertemu sedikit kedamaian.
 Selama empat bulan ini, para tapol mendapatkan pekerjaan mencari bahan-bahan ramuan untuk pembangunan perumahan pemerintah yang akan di kirim ke ibu kota kabupaten, Tahuna. Sesekali, aku di suruh mencari ikan. Meskipun agak berat, tapi pekerjaan ini minimal membuat aku bisa bersentuhan langsung dengan lingkungan di luar sel. Ya, setidak-tidaknya sedikit waktu luang itu masih dapat kugunakan menjenguk Meria, dan meskipun hanya beberapa menit, aku masih bisa bercinta dengannya. Merasakan pelukan hangatnya. Saat-saat seperti itu, membuat aku sejenak bisa istirah dari kenyataan menyakitkan yang kuhadapi.
Sudah sekitar dua atau tiga jam aku tertidur ketika Herkanus datang menemuiku bersama Yuda. Kantor koramil lagi kosong. Hanya kami bertiga di kantor ini. Tentara muda itu mengutarakan niatnya yang membuat aku terkejut. Ternyata ia telah mengatur serangkaian rencana pembalasan bagi para pemuda anti PKI yang memperkosa Dian. Ia mengaturnya bersama Herkanus.  Mereka tinggal menanti hari yang tepat untuk melakukannya. Dan malam ini adalah hari yang menurut mereka sangat tepat untuk melancarkan aksi itu.
            “Mereka saat ini sedang mencari ikan di laut,” papar Yuda, sehabis menyulut rokoknya yang baru dipasang. Herkanus, diam saja. Ia nampak menanti penuturan Yuda lagi.
“Herkanus, kau susul mereka. jangan sampai ada yang tahu.  Kau harus berhasil membunuh mereka semua. Sementara sebentar lagi aku lepas jaga. Aku akan berada di pinggir hutan sebelah selatan Geme. Setelah kau selesai mengerjakan mereka. Kau susul aku ke sana. Mereka tidak akan menyangka kalau kau membunuh mereka, karena kita akan langsung berburu babi hutan. Pada keesokan harinya kita pulang sama-sama dengan hasil buruan kita,” kata Yuda mengatur strategi. Rupanya rencana aksi pembalasan itu sudah mereka rencanakan berhari-hari. Dari percakapan mereka, kukira rencana itu sudah begitu matang disiapkan. Ada kemungkinan, babi yang akan menjadi hasil buruan sudah disiapkan pula.
“Apakah aksi pembalansan ini sangat perlu dilakukan?” tanyaku menguji rencana mereka.   Herkanus menatapku. Matanya membersitkan sinar ketidak sukaan atas pertanyaanku. Jika diandaikan pohon, dendam di hati anak itu telah mulai berdaun.  Yuda menyodorkan aku sebatang rokoknya, sekaligus menyalakan stekernya. Aku menyulut rokok itu.
“Pembalasan ini perlu dilakukan, dan ini penting. Setiap orang harus diingatkan lagi bahwa siapa yang memainkan pedang akan terluka oleh pedang,” kata Yuda mengutip ayat dari bible.
            Aku sebenarnya ingin melarang mereka, tapi kulihat Herkanus sangat bernafsu membalas sakit hatinya atas kebiadaban yang menimpa adik kesayangannya.
“Papa jangan melarang saya, sebab mungkin inilah satu-satunya kesempatan dalam hidup saya untuk melakukan sesuatu yang saya anggap berarti bagi hidup saya,” ujar Herkanus. Ia seperti membaca hatiku. Dan hatiku berderit.
            Malam itu, Herkanus  pergi, kecuali Yuda yang masih menunggu petugas aplos. Aku lebih memilih tidur dalam Sel, tapi mataku sulit terkatup. Apakah anak itu bisa menunaikan tugasnya? Kalau sampai ada yang menyaksikan semua itu lalu bagaimana nasib anak lelakiku ini?
Dua ekor cecak berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik-bintik putih di punggungnya  sedang bercinta di langit-langit kamar. Kamar sel yang akrab dengan bau amis. Mereka seakan menemaniku melepas waktu yang rasanya bergerak teramat lamban. Aku seperti ingin cepat-cepat melihat cahaya pagi merembes ke selku. Aku ingin selekasnya mendapatkan kabar tentang kejadian itu. Dua ekor cecak itu, terus kejar-kejaran. Terus bercinta. Sedang hatiku menjadi hamil perasaan was-was yang membuat aku berpeluh meski udara dingin ini sebenarnya telah membekukan minyak urut dalam kaleng susu di sudut sel. Dan kudengar seperti biasanya bunyi embun yang menggumpal  yang jatuh dari atas atap menimbulkan klenengan di selokan. Mungkin air itu menimpa lempengan logam. Suara itu sangat indah. Kadang-kadang seperti orkestra masuk ke dalam mimpiku di hari-hari yang lain. Tapi malam ini, suara itu berganti semacam horor yang menegangkan.   Sebungkus rokok yang ditinggalkan Yuda sudah habis kuhisap. Berkali-kali aku mencoba menenangkan diri. Aku berdoa. Tapi kegelisahan di hatiku mendebam seperti suara ombak musim angin selatan di tanjung karang sana. Karang yang pernah meremukkan perahu ayahku. Ambora yang senantiasa menggelegak. Bergelegak dan mendebam menabrak pikiranku.
“Tuhan jagalah anakku sesuai kehendakMu!” pintaku. Dan kuucapkan kalimat itu berkali-kali, hingga aku tak yakin bahwa aku tertidur atau terjaga. Tapi suara klenengan logam itu tetap terdengar. Bergemerincing-rincing, menjadi semacam bunyi dunia kesepian.

Keesokan harinya, kegemparan terjadi. Mayat ke tiga korban itu ditemukan terdampar di pantai. Tapi mereka sulit menebak siapa pembunuhnya. Begitulah cerita yang kudengar. Kebetulan hari itu aku disuruh membersikan halaman Koramil. Setiap orang yang lewat membicarakan peristiwa kematian itu. Perasaanku menegang seperti kawat yang sulit dibengkokkan.
Tak berapa lama, aku melihat Herkanus sedang memikul seekor babi hutan remaja bersama Yuda memasuki kantor Koramil. Kedatangan mereka yang terlihat begitu santai, mebuat hatiku sedikit terhibur. Mariala dan Mamewe yang sedang duduk di pos jaga melihat Herkanus dengan tatapan curiga. Yuda yang baru datang bersama Herkanus langsung bergambung dengan para tentara lainnya membicarakan peristiwa pembunuhan ke tiga pemuda anti PKI itu. Aku menyaksikan sandiwara Yuda dengan dada yang berdebar.  Aku begitu cemas. Jangan-jangan ini juga suatu jebakan yang sengaja diciptakan Yuda. Sebab bagaimana pun baiknya Yuda di mataku, ia tetap seorang tentara.
Sekitar satu jam kemudian, Herkanus tampak keluar dari belakang koramil dengan sepotong daging babi hutan. Ia menghampiriku. Anak itu nampak tenang.
            “Jangan takut papa, semuanya aman,” ujar Herkanus, seraya menyodorkan aku beberapa batang rokok Comodore-nya.
            Aku melihat ada perasaan puas luar biasa membias di wajah anak lelakiku ini.  Aku masih tegang ketika Herkanus, pergi. Perasaanku baru bisa lega, ketika Yuda menghampiriku mengatakan, “semuanya aman.”
***
            Sebulan setelah kejadian balas dendam itu, Yuda, mengabarkan padaku kalau ia akan pindah tugas ke Tahuna. Ia menyarankan agar Herkanus harus pergi juga dari Essang. Aku pikir saran Yuda ada baiknya cepat dilaksanakan.
            “Berangkatlah kau ke Cotabato, dan kalau ada kesempatan temui kakakmu. Jangan katakan apa yang telah menimpa kita. Katakan saja Dian meninggal karena sakit. Kau tahu siapa kakakmu. Jika ia dengar, ia pasti akan melancarkan perang dengan cara-cara kelompok mereka,” bujukku, ketika Herkanus mengujungi selku.
            “Aku justru baru mau mengatakan niatku untuk pergi. Aku akan menyiapkan pembalasan yang lain bagi mereka,” kata anakku. Suaranya begitu tegas. Ia agaknya menyimpan sakit hati yang mendalam. Sepekan setelah kepindahan Yuda, Herkanus pun bertolak ke Cotabato.
Kematian yang menggenaskan tiga pemuda anti PKI menjadi kejadian yang misterius. Banyak orang mengganggap, kejadian itu sebagai pembalasan roh-roh leluhur atas ulah mereka.
“Mereka pikir Tuhan itu buta!”
“Kita memang pendosa. Tapi yang menuduh kita PKI itu lebih berdosa.”
“Tanpa kita lawan, alam akan menghancurkan mereka. Kalau bukan hari ini, mungkin besok, atau suatu hari.”
“Hari keadilan Tuhan itu ada.”
Aku diam-diam merasa terharu juga mendengar percakapan kawan-kawan Tapol yang lagi membersikan selokan air di depan kantor Koramil. Suatu ragam berpikir utopia, tapi justru menjadi energi hidup. Padahal kebenaran itu tak akan pernah terwujud jika tak diupayakan. 
Upaya mengungkap siapa di balik pembunuhan ke tiga pemuda anti PKI itu terus berlangsung. Sedemikian rapinya pekerjaan Herkanus dan Yuda, membuat kejadian ini menjadi teka-teki yang teramat sulit. Banyak orang telah diperiksa, hasilnya semuanya nihil.
Setelah keberangkatan Herkanus, dan kepindahan Yuda, aku kembali diinterogasi. Malam ini, aku dipanggil Mariala dan Mamewe. Dua interogator itu menyuruh Aku  mengaku kalau yang membunuh ketiga pemuda anti PKI adalah Herkanus anakku.
“Bagaimana aku harus mengakui keinginan kalian, sedang aku tak tahu kejadian itu. Aku selama ini terkurung dalam sel,” jelasku pada mereka.
“Seharusnya kalau kalian curiga kepada mereka, mengapa bukan mereka yang diinterogasi. Mengapa harus aku,” kataku lagi.
“Begini. Kalau kau mengaku, kami akan mengusahakan keringanan hukumanmu,” bujuk Mariala.
“Aku sendiri dihukum untuk sesuatu yang bukan saja tidak aku lakukan, juga tidak aku mengerti,” sindirku sisnis.
“Jangan mempersulit dirimu. Mengakulah!” bentak Mamewe. Aku diam saja. Tak tahan melihat sikapku yang tak kompromi, Mariala melempari aku dengan puntung rokonya. Api rokok itu masuk dalam kaosku. Dengan cepat aku meremas api yang telah membakar kulit perutku. Tak di sangka, Mariala menendang punggungku. Aku terguling.
“Mengakulah binatang!” teriak Mariala.
“Bunuh saja aku!” balasku dengan teriakan.
Mamewe, lelaki sombong itu, dengan cepat menghajarku dengan kursi di sampingnya. Malam ini, mereka kembali menyiksaku. Berbagai deraan yang dulunya menyakitkan kembali mereka lakukan.  Tapi aku seakan-akan tak lagi merasakan rasa sakit. Mungkin sudah kenyang dengan rasa sakit, maka aku sendiri tidak lagi bisa mengartikan makna rasa sakit itu sendiri. Tidak puas karena aku bungkem saja, mereka membenamkan aku ke dalam lubang septiktank di belakang kantor Koramil.
Ya Tuhan, pernahkah kalian membayangkan dibenamkan dalam Septiktank?  Tak ada peristiwa yang lebih memualkan dari ini. Semalaman tubuhku digerayangi cacing-cacing yang menggelikan. Bau busuk yang sulit dirangkum penyebutannya. Tapi harus kujalani. Sebenarnya aku sudah berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan menenggelamkan diri dalam kotoran ini. Kemudian aku urungkan niat bodoh itu. Bagaimanapun aku tidak mau mati tengelam dalam tai. Bila ini terjadi, mungkin menjadi sejarah kematian paling hina di muka bumi.
***
(19)
Karena mungkin tidak berdaya memaksa aku untuk mengaku perbuatan  Herkanus, mereka akhirnya memutuskan mengirimkan aku  ke Tahuna.
Dari Essang, aku dikawal oleh dua orang tentara dengan menumpang sebuah perahu pamo milik penduduk yang akan ke kota Beo. Tanganku diborgol laiknya seorang penjahat kakap, atau seorang pencuri yang kebekuk.
Meria, dengan air matanya seperti biasa perempuan itu akan selalu menyimpan rasa sakit di dadanya. Ia mengantarku hingga ke pantai. Setelah perahu bergerak, aku masih melihat lambaian tangannya. Lambaian yang mengisyarat harapannya untuk bisa melihatku lagi. Senyumnya yang kukira begitu kudus direkahnya di bibirnya seperti memberi tenaga hidup bagiku. Tiba-tiba aku ingat desisan nyanyian kakumbaeda-nya, aku yakin, perempuan sana selalu merindukanku.
Dalam perjalanan, aku terus membayangkan Meria. Betapa menderita perempuan itu. Seandainya masa muda itu dapat dikembalikan ke asalnya, aku akan meninggalkan perempuan ini begitu saja, bukan karena aku tak mencintainya, tapi agar ia tak mengalami, tak terlibat dalam  penderitaan seperti sekarang ini. Sikap Paulus yang tak lagi menikah setelah kematian istrinya yang diceritakannya padaku ternyata memiliki kebenaran. Seandainya Meria punya keberanian menceraikanku, dan menikah dengan lelaki lain yang bukan tapol aku segera akan setuju. Tapi mengapa ia tak punya inisiatif seperti itu. Toh seorang wanita punya hak untuk menentukan nasibnya, bukan pasrah pada keadaan yang membelitnya.
“Seharusnya ia meninggalkanku!” desisku tiba-tiba. Pikiranku yang berblingsatan itu akhirnya diredahkan kenyataan bahwa kultur kami tak memungkinkan perempuan punya niat seperti itu. Wanita selalu ibu bagi peradaban. Ia berada di sisi menjaga bukan pengubah.
Dari perahu aku memandang lautan lepas. Burung-burung laut berkeliaran bermain di atas buih. Beberapa perahu dengan layar-layar yang mengembang mengayun–ayun di atas gelombang. Mau kemana mereka. Adakah mereka sedang menuju daratan cita-cita, atau sedang berlayar ke negeri yang tidak di kenal?
“Tidak mungkin. Para pelayar itu pasti punya tujuan, bukan seperti diriku yang sedang melayari nasib entah ke dermaga mana,” bisikku pada langit kosong dengan awan putih yang berarak-arak.
Sudah senja kami sampai di Beo. Aku langsung dipindahkan ke kapal Rantepao. Kapal tua yang dioperasikan Pelni, sebagai kapal perintis yang melayari jalur-jalur yang terisolir di kepulauan Tinonda-Napombalu setelah menyinggahi tanah-tanah di jazirah Sangihe.
Selama di kapal, kendati tanganku sudah terborgol, petugas-petugas itu masih mengurungku dalam sebuah kas ukuran satu kali satu meter di atas dek yang terbuka. Keadaanku layaknya seekor babi yang biasa dikirim ke tempat penjegalan di Manado atau Tahuna.  Ini salah satu bentuk penyiksaan tentara kepada para Tapol. Semalam-malaman tubuhku dilumuri gerimis. Pakaian yang kukenakan menjadi basah bukan saja oleh gerimis, tapi oleh air kencingku sendiri. Hanya aku sendiri tergolek di dek terbuka sepanjang malam itu, berjuang melawan kesakitan yang meremas-remas bukan saja dalam tubuhku, tapi hingga ke perasaanku. Sepajang malam aku tidak tertidur, hingga terlihat cahaya-cahaya lampu yang kian lama kian mendekat dari daratan itu. Stom kapal yang keras, menandakan kami telah sampai di kota yang terletak dalam teluk itu.
Tahuna, kota yang menurut mitos dibangun dari segengam pasir yang ditaburkan seorang lelaki penuh kesaktian. Leluhur orang-orang perkasa Sangihe yang bernama dotu Tatehe. Kota ini berada di daratan pulau Sangir Besar. Sebuah pulau pada masa penjajahan Belanda sangat dikenal hingga ke Eropa karena memiliki kerajaan yang kuat pertahan lautnya yaitu kerajaan Tabukan.
***

BAGIAN : VII

 Perkenalan Dengan Sasinduan



(20)
Sabtu, pekan terakhir September 1974, kapal yang membawaku sampai di pelabuhan kota Tahuna. Langit masih beku. Gerimis jatuh dari celah-celah kabut. Kabut yang masih sebentuk halimun, bergelantung melumuri tepi-tepi tebing bukit.
Kota ini tak begitu luas. Dermaga batu menjorok ke laut di teluk itu. Hanya sebentuk cerocok. Kapal-kapal tidak bersandar, tapi membuang sau puluhan meter dari cerocok. Penumpang harus turun lewat perahu Pamo yang akan membawanya hingga ke tepi cerocok itu.
Sebaris ke depan menegak gunung Awu. Tinggi, dan angker. Gunung itu gunung vulkanik masih aktif. Jalan-jalan yang dilalui mobil menikung di tebing-tebing bukit terjal yang di bawahnya tumbuh pohon-pohon Dahiango berdaun-daun kecil, dan pohon Gomu yang daunnya bisa dipakai menjadi layang-layang penangkap ikan Sallong.  Jalan yang penuh lekuk itu senantiasa menguji keahlian, kehati-hatian, dan kesabaran seorang sopir.  Kubayangkan jika ada mobil yang terperosok dari jalanan tebing itu akan meluncur seperti Heli dan kemudian mendarat di salah satu atap rumah penduduk di bawahnya. Di samping dermaga, pasar tradisional ramai dengan orang belanja dan suara-suara para penjual ikan. Tenda-tenda para penjual obat dengan atraksi akrobat dan sulap menggunakan pengeras suara  membisingkan pasar kecil itu. Pesulap-pesulap itu biasanya orang Makassar atau Gorontalo yang datang dari Manado. Para pedagang dari pulau-pulau sibuk dengan perahu mereka yang tertambat di pantai di samping pasar, mereka datang dari pulau Para, Mahangetang, Kahakitang, atau dari pesisir daratan besar Tampunganglawo. Suara-suara keras kadang melengking. Itu suara para bandar ikan yang punya kebiasaan mabuk. Mereka  sejak pagi sudah menegak minuman alkohol Pinaraci. Mereka menjadi begitu menonjol dan piawai ketika menawari ikan yang di bawa nelayan yang datang dari pulau sekitar dengan perahu-perahunyaa.  Kulit mereka hitam berminyak. Tapi lebih terbakar lagi kulit para nelayan-nelayan itu. Rambut mereka kering menguning. Tapi urat-urat mereka tampak kuat seperti kawat baja.
Bagaimana pun kecilnya Tahuna, kota ini merupakan pusat kegiatan perekonomian dari kawasan paling utara pulau-pulau yang berbatasan dengan negara tetangga Filipina itu. Kota ini pun menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sangihe Talaud.
Bunyi sepatu lars tentara yang mengantarku  menggemerisik menginjak dermaga berbatu kerikil. Tanganku masih terikat. Sedang tubuhku terasa lunglai. Semalam-malaman aku terkurung dalam kerangkeng sempit. Meskipun sakit, tapi kupaksa  berjalan, hingga kadang langkaku terseok-seok. Orang-orang, dan para buruh lalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Orang-orang itu, setiap kali berpapasan dengan rombongan kami, mereka surut menyelinap sedikit menjauh. Ada semacam desis penghinaan yang kumudian terbawa angin dari mulut orang-orang itu. Desisan yang sama, yang selalu kudengar dari mulut siapapun di manapun aku berpapasan. Desisan yang berkali-kali membuat anakku menangis terhina. Desisan yang membuat dada istriku selalu bergetar marah. Tuhanku! Andaikan ini hanya sebuah mimpi, aku ingin ada orang cepat-cepat membangunkanku, agar aku segera terhindar dari pikiran-pikiran buruk yang keluar masuk dalam hatiku. Sebab setiap kali kudengar desisan itu, setiap kali pula niatku untuk membunuh memercik-mercik.
Kota ini seperti kehilangan rasa cinta atau tatapan memelas, kecuali pohon-pohon berjejer di kedua tanjung yang memeluk dataran ini terus melambai-lambai seperti mengguratkan sapaan kehidupan kepada siapapun. Apakah juga untuk aku? Truk tentara yang menjemput di pintu dermaga, membawaku ke penjara tak jauh dari pelabuhan itu.

Hari pertama mendekam di penjara Tahuna, aku ditempatkan satu sel dengan seorang lelaki yang kemudian kukenal bernama Sasinduan.
Sasinduan perawakannya sedang-sedang saja, namun tubuhnya nampak kuat. Dari sinar matanya yang tajam memancar semacam suatu tenaga yang jauh berada dalam pikirannya. Sasinduan, tapol golongan “B”.  Lelaki umur 50 tahun itu kelihatan begitu senang dan iba melihatku. Itu bisa kubaca dari cara ia menatap, dan ketika menyambut aku bergabung dalam selnya.
“Kau orang ketiga yang dimasukan satu sel denganku,” katanya seusai kami berkenalan dan lama berbasa-basi apa adanya. Secangkir kopinya dibagikannya padaku. Setelah menyesap kopi dari pemberian yang kupikir teramat ihklas itu, timbul keinginanku  bertanya tentang apa yang baru ia ungkapkan.
“Apa keduanya sudah pulang?” tanyaku. “Apa keduanya sudah bebas?”
Sasinduan mengernyitkan dahinya. Dari mulutnya mengepul asap rokoknya, yang kelihatan begitu dinikmatinya. Ia seperti memikirkan sesuatu.
“Mengapa kau masih ditahan, sedang kedua kawanmu sudah di lepas?” tanyaku lagi.
“Aku belum dibebaskan Tuhan,” katnya pendek. Ia menyeringaiku dengan tatapannya yang tajam. Ia memperhatikanku, seakan ingin menemukan sesuatu dalam diriku.
“Keduanya sudah dibebaskan Tuhan,” ucapnya kemudian, dengan suara yang terdengar serak. Pedih. Wajahnya berubah  getir setelah mengatakan itu.
“Mereka tewas ketika bekerja. Mereka tertimpa tanah galian batu,” paparnya lagi. Ia nampak tercenung sejenak, dan menarik nafas yang kemudian dihempas seperti bunyi lenguhan.
“Oh…,” kataku dalam gumam. Melihat air mukanya, aku memahami, ada suatu rasa kehilangan yang melepuh di lubuk hatinya.
“Kenangan menyakitkan! Semoga, kisahmu lain. Tidak seperti Gustaf dan Willy,” katanya dengan suara yang terdengar parau lagi.
“Gustaf dan Willy? Mereka orang mana?” tanyaku.
“ Siau,” jawabnya singkat. “Katanya kau dari Talaud?” tanyanya lagi.
“Tepatnya dari desa Essang. Sedang tempat asal keluargaku dari Makatara,” jawabku.
“Pada masa lalu, antara Siau dan Talaud punya hubungan silaturahmi yang bagus. Banyak anak-anak yang berasal dari Talaud diangkat anak oleh warga Siau,” kisah Sasinduan. Aku mengangguk saja. Sebab aku tahu cerita itu. Berapa dari familiku juga diangkat anak oleh orang-orang Siau. Mereka di asuh dan dididik berbagai pengetahuan. Sejak dahulu, pulau itu dikenal sebagai daerah yang masyarakatnya sangat makmur karena tanaman pala yang harganya mahal di pasar Eropa. Tempat itu juga memiliki kerajaan yang sangat maju. Beberapa dari raja mereka lepasan perguruan tinggi di Manila Filipina.

Seorang sipir penjara lewat di sel kami. Wajahnya begitu mengasihankan. Wajah seorang bodoh yang berlagak cerdik dan begitu berkuasa. Lenggang jalannya pun diaturnya agar terlihat seperti gaya seorang penguasa penuh wibawa. Padahal, tubuhnya  pendek. Perutnya bongsor. Ia kelihatan seperti mobil tua yang terseok-seok.
“Trinnnng…ting…ting…” Sipir itu menggesekkan terali sel dengan pentungan hitamnya. Suara berisik itu menusuk telinga.
“Kau orang baru?” tanya sipir itu padaku.
“Ya pak!”
“Berdiri!” bentaknya. Ia mungkin merasa direndahkan ketika aku menjawabnya dalam posisi duduk. Kuikuti saja permintaannya.
“Kau jangan macam-macam di sini. Kau itu PKI…PKI busuk. Perusak negara. Tahu!”
“Tahu pak!”
 Sipir itu membelalakkan matanya, seperti mau menakuti kami. Dan aku tahu orang seperti ini membutuhkan pula ekspresi rasa takut dari kami. Ia membutuhkan ketegasan itu untuk memupuk ketinggian hatinya. Sasinduan membalasnya dengan senyuman. Merasa berhasil menakuti kami, ia kemudian berlalu seperti seseorang yang baru meraih kemenangan besar. Tak lupa, kembali digeseknya pentungan hitamnya di terali secara berurutan hingga menimbulkan kebisingan yang memekakkan telinga. Bangsat!
“Dasar tikus,” pekikku pelan.  
            “Jangan kaget. Sipir di sini selalu seperti itu jika melihat orang baru. Mereka akan berusaha agar kau bertekuk lutut di kaki mereka. Suatu ketika mereka akan mencobaimu,” kata Sasinduan, setelah petugas penjara itu berlalu.
            “Apa hebatnya mereka?”
            “Tidak ada yang hebat. Hanya mereka didukung oleh sistem penindasan yang hebat dan terencana”.
“ Kau PKI ?” tanya Sasinduan.
“Parkindo,” jawabku.
“Berarti kau korban sistem penindasan yang terencana itu. Berbeda denganku. Aku  orangnya  Front Marhaenis. Dituduh sebagai anggota partai kiri yang mendukung pemerintahan  Bung Karno.” Setelah berkata demikian, ia naik ke ranjangnya. 
“Istirahatlah kau. Kau harus pandai menggunakan waktumu di penjara ini.” Suasana menjadi hening sejenak, kecuali gelak tawa yang menyerupai keributan terdengar dari barak para napi. 
Sasinduan kemudian bersiul-siul menyanyikan sebuah lagu. Siulannya terdengar merdu. Lagu Koes Plus, atau mungkin Panbers, atau penyanyi lainnya, yang pasti liriknya antara lain’ “Tak kusangka kau berbuat begitu, kau ingkari janji setiamu” dan seterusnya, aku tak hafal.
 “Istrimu bagaimana?” tanya Sansinduan setelah menghentikan siulannya sejenak.
“ Baik saja. Ia di Essang!”
“Ia pasti wanita yang menderita”
“ya”.
“Anak-anakmu?”
“Yang tertua perempuan, di California. Yang kedua, seorang lelaki. Ia entah di mana saat ini. Mungkin di Filipina, atau sudah bersama kekasinya di Amerika. Anak lelakiku itu melarikan diri, setelah membunuh tiga orang pemuda anti PKI,” kisahku. Sasinduan dengan cepat bangkit dari ranjangnya. Kakinya di juntai ke lantai.
“Siapa nama anak lelakimu itu?”
“Herkanus!”
“Ia seorang pahlawan!” ujar Sasinduan spontan. Aku tertegun saja.
“Herkanus seorang pahlawan. Kau pantas bangga padanya,” kata Sasinduan lagi, lalu merebahkan kembali tumbuhnya ke ranjang.
“Anakku yang bungsu, bunuh diri!” 
“Itu sungguh menyakitkan!” potongnya dingin. Sejenak kemudian ia berkata lagi, “Banyak anak PKI bunuh diri. Mereka anak-anak yang malang, tak mampu menahan malu.”
“Ia bunuh diri karena malu diperkosa pemuda anti PKI”.
Sasinduan bangun lagi dengan cepat, “ Herkanus kemudian membunuh para pemerkosa itu?”
“Ya”.
“Bagus! Anak itu telah menunaikan tugas sucinya. Ia memahami makna dari sebuah martabat dan harga diri. Bangsa ini telah kehilangan itu semua. Seribu anak muda seperti Herkanus, membuat kita memiliki pengharapan untuk negeri ini,” ujarnya berapi-api. Lagi-lagi otak lelaki itu seperti berkelebat kemana saja mencari sesuatu untuk dipercakapkan. Di menit kemudian, Sasinduan terdengar bersiul-siul  lagi. Lagunya, lagu kepedihan. Matanya menjadi berkaca-kaca.
“Kau beruntung dikelilingi orang-orang baik. Aku kehilangan semuanya,” tutur Sasinduan.
“Maksudmu?”
“Istriku menyeleweng. Ia wanita dengan moral yang rapuh”.
“Apakah dengan kondisi kita seperti ini, masih patutkah kita menyalahkan mereka?”
“Seorang istri adalah rusuk kita. Seorang istri yang menyeleweng bukan berasal dari rusuk kita. Ia perempuan kebanyakan. Mungkin berasal dari rusuk yang tak berguna. Sebab jika seorang istri itu merupakan rusuk kita, maka setiap sakit kita, menjadi sakitnya pula. Jika seorang istri tidak merasakan dan memahami sakit kita, ia bukan rusuk kita. Istri seperti itu dapat dibuang sesuka hati kita. Ia tak punya tempat di hati kita, juga dalam kenangan dan mimpi-mimpi,” kata Sasinduan dengan nada suara yang terdengar pahit.
“Kau merasa kehilangan dia?”
“Tidak. Hanya merasa dikhianati.”
“Apa bedanya?”
“Berbeda kalau ia  menikah dengan pria lain. Tapi justru ia menikah dengan orang yang melapori aku. Diam-diam ia memang berencana mau mengenyahkan aku. Karena ia telah lama berselingkuh dengan lelaki itu. Itu pun baru kuketahui kemudian.”
Aku merasa tidak penting membicarakan itu lagi. Kupikir kian dalam membicarakannya, takutnya akan menimbulkan salah tafsir. Sebab, aku tidak menemukan kekurangan yang mencolok dalam diri Meria istriku, apalagi dalam hal moral. Kupikir Meria sangat mencintaiku. Jadi jika aku mengacu ke latar belakang istriku untuk menilai istri Sasinduan, tentu akan dipertemukan pada kenyataan-kenyataan yang berbeda. Biarlah aku mengalihkan pembicaraan ke masalah anaknya.
“Anakmu?”
Sasinduan tersenyum getir. “Anak-anakku, jangankan menjadi pahlawan seperti Herkanus, menjenguk aku saja mereka seakan malu,” kisahnya lirih.
“Mereka ikut ibunya?”
“Mereka merantau ke dunia yang jauh. Bisa di Jakarta, atau mungkin di luar negeri. Pokoknya, mereka pergi menjauhi aku. Bagi mereka, aku adalah momok busuk yang membuat mereka malu.”
“Pernah terima kabar dari mereka?”
“Masih pentingkah aku, sehingga mereka mesti memberi kabar?”
“Tapi kau ayah mereka.”
“Bagi mereka aku malapetaka,” ujar lelaki itu, sambil menelan ludahnya yang mungkin terasa pahit. Betapa getir wajahnya ketika mengungkapkan semua itu. Memang sungguh menyakitkan bagi seorang lelaki yang dikhianati istri. Bagaikan seseorang yang kucurian makanan di piring yang sedang ia makan. Lebih menyakitkan lagi jika seorang ayah dibenci anak-anaknya. Padahal untuk menjadi ayah, kadang-kadang bahkan sering  untuk mendapatkan sesuap nasi, kita tidak hanya tega mendustai sesama manusia, tapi juga kepada Tuhan.
Keriuhan para napi yang sedang bermain-main di lapangan penjarah membuat percakapan kami terganggu. Hawa panas siang hari masuk lewat terali. Tapi aku berusaha untuk tidur. Namun sampai jam makan tiba, pikiranku yang terus mengawang tak mukin ditidurkan. Sasinduan terdengar mendekur. Lelaki itu terlelap. Suatu perjuangan yang paling berat untuk melupakan dirinya. Diri yang penuh kisah keterhilangan.
***
(21)
 Siang ini, dipojok kiri penjara, perkelahian para napi baru berhasil dilerai, setelah sipir mendatangi dan membubarkan mereka.  Seorang dari mereka babak belur dikeroyok beberapa rekannya. Penjara memang suatu komunitas yang keras. Semacam tempat mukim orang-orang dengan frekwensi ketersinggungan yang tinggi. Orang-orang dengan tingkatan stress yang mendekati gila.
Tak jauh dari tempat aku dan Sasinduan duduk, di lapangan sebelah selatan, beberapa napi lain berkumpul sambil merokok di bawah rumpun Bougenville yang rindang. Bunga merahnya mengimpresikan sayatan hati orang-orang di bawahnya. Mereka tampak ramai.  Masalah yang mereka bicarakan pun seruh. Ini tentang paha seorang perempuan petugas penjara yang belum lama melintas di depan mereka. Mereka berandai-andai jika paha mulus petugas itu bisa mereka remas. Yang lainnya, membayangkan jika kepalanya bisa direbahkan sejenak di kasur paha empuk perempuan itu. Yang pasti setiap kali, secara berganti atau juga bersamaan, ada dari mereka yang meremas penisnya sendiri.  Akupun meremas milikku.
“Jika aku bisa melidahnya. Adodo eee…sedape we!” ujar yang lainnya dengan diikuti gerakan yang erotis. 
“Akan ku gigit dan kutelan paha itu,” ujar seorang kawannya dengan gaya melucu yang serius. Sasinduan, iseng, memperhatikan juga percakapan mereka.  Aku yakin, penis Sasinduan juga berdiri.
“Sasinduan!” panggil salah seorang napi kepada Sasinduan. “Bilang sama teman barumu, ia yang pas merobek barang bagus itu!” seru napi itu. Aku tahu yang dimaksudkan napi itu adalah aku. Mungkin karena badanku kekar dan besar, jadi mereka membayangkan bila aku yang meniduri perempuan itu pasti bakal seruh. Sesaat di otakku melesat bayangan perempuan Filipina yang payudaranya besar yang mengerang nikmat ketika kutindih dengan kuat dan kasar pada sebuah kamar  hotel dengan port Davao City tempo hari.
Aku menjawab kelakar mereka dengan senyuman ramah. Tapi, tiba-tiba kurasa ada cairan yang termuntahkan dari lobang kepala penisku.
“Jika kau bisa mengaturnya, tentu dia siap merobeknya!” balas Sasinduan, dalam kelakar yang lebih sengit.
“Gampang! Nanti aku atur, jika aku sudah bosan hidup!”
“Sudalah, jangan pikir yang bukan-bukan, nanti onani lagi,” seru Sasinduan.
“Dia bukan onani, tapi bakal ayam yang kita makan besok diperkosanya dulu,” sambung salah seorang napi di sampingnya.
“Ah, itu malah kelakuanmu!” tangkisnya.
“Waktu kita di dapur, apa kau bilang, pantat ayam itu mengoda juga,” ejek temannya lagi. Mereka lalu tertawa bersama. Percakapan mereka kemudian berlangsung kian seruh dengan celoteh-celoteh segar yang bisa membuat mereka melupakan sejenak  kenyatan bahwa mereka sedang menderita di penjara. Satu dua bunga Bougenville jatuh di tengah mereka. Mereka tak peduli.

Setelah  jam makan malam, Sasinduan bercerita padaku. Menurut ceritanya, katanya, ia pernah akrab dengan orang-orang PKI seperti Subandrio. Hampir setiap malam sebelum tidur, kami lewatkan dengan percakapan-percakapan menarik. Ini satu-satunya cara menghapus penat setelah seharian ikut kerja paksa pembuatan lapangan terbang Naha, atau pekerjaaan lain di kota Tahuna.  Sasinduan menceritakan banyak kawannya yang mengalami nasib nahas seperti dirinya. Padahal mereka tidak tahu-menahu dengan peristiwa G30S. Apalagi itu terjadi jauh di sana, di tanah Jawa.
Teman-temannya seperti Maniku dan Selekede di pemerintahan provinsi ikut juga diciduk. Pencidukan orang-orang kiri di pemerintahan katanya merupakan salah satu cara penguasa  melumpuhkan mereka. Penguasa hanya punya satu cara dalam melanggengkan kekuasaannya yaitu dengan dar der dor.  Mereka tidak mengenal kekuatan diplomasi selain hak paksa. Diplomasi mereka adalah diplomasi senjata. Diplomasi senjata  itu tidak saja dilancarkan kepada kaum kiri tapi kepada seluruh penentang-penentang kebijakan penguasa. Rakyat pun dipaksa untuk bersatu di bawah todongan senjata.
“Aku memang salah satu tokoh Front Marhaenis. Kau tahu apa itu Marhaenis?” tanyanya, suatu malam saat kami lagi menunggu kantuk. Aku mengeleng.
Seekor kecoak melintas di dinding dekat terali lubang udara. Udara di luar yang dingin menghimpit masuk lewat terali tua sel itu. Sasinduan bangung menegak sisa kopinya yang sudah dingin. Setelah menyalakan sebatang rokok Oskar-nya, ia menghisapnya dalam-dalam. Setiap tarikan hisapan rokoknya, ia seperti membayangkan sesuatu yang sangat menentramkan yang jauh tersimpan dalam setiap kepul yang masuk ke rongga mulutnya. Lalu dihembuskannya asap itu dari hidungnya, seperti melepas butiran-butiran amarah yang menyesak pikirannya. Asap itu membumbung ke langit-langit sel seperti asap kapal Rantepao tua yang tertatih-tatih dalam potongan-potongan yang tidak bersambung.
“Marhaenis adalah kaum tani. Kelompok akar rumput yang sebenarnya pemilik sah negeri kita ini. Sembilan puluh sembilan persen rakyat di negeri ini adalah kelompok itu. Mereka kaum miskin. Kaum yang bakal makin miskin dan menderita jika tidak ditolong segera. Musuh-musuh marhaenis sesungguhnya adalah kaum kapitalis linta darat. Merekalah yang disebut Soekarno sebagai kaum kolonial narsis,” jelas lelaki itu panjang lebar.
Lelaki yang rambutnya mulai menguban itu menarik nafas dalam-dalam setelah menghisap rokoknya kembali. Ia melemparkan sebatang Oskar-nya. Aku bangkit dari ranjangku dan menyulut rokok itu. Aku tiba-tiba merasa sangat beruntung bertemu dengannya. Paling tidak sejak malam pertama aku mendekam di penjara Tahuna ini, aku bisa mendapatkan pelajaran berharga yang baru kudengar. Salah atau benar , itu bukan urusanku.
“Penguasa saat ini, berada di belakang kapitalisme. Rakyat Indonesia bagi mereka hanya sekedar obyek eksploitasi. Mereka membangun sistem pemerintahan elitis sentralistik. Rakyat adalah obyek. Sementara penguasa dan konco-konconya adalah subyek. Penguasa saat ini juragan sekaligus raja. Apa yang dikatakannya harus dipatuhi. Yang membangkang, nasibnya tak lain kematian. Aku beruntung dipenjara karena memang aku musuh kapitalisme. Aku seorang sosialis radikal. Karena bagiku sebuah negara adalah rakyat. Suara dan kehendak rakyat harus menjadi sumber segala sistem bernegara. Mengapa Soekarno menolak kapitalisme. Karena kaum kapitalis tidak akan dan tidak pernah memikirkan rakyat selain mengurus isi perutnya sendiri. Mereka akan terus mengejar peluang jadi kaya. Dan rakyat terus ditekan untuk miskin agar tidak menjadi ancaman bagi kehidupan usaha-usaha mereka. Dan aku kasihan padamu, menjadi korban permainan anjing-anjing  yang kini berkuasa di kepulauan kita,”  papar Sasinduan panjang lebar. Ia terus mengatakan banyak hal, layaknya seorang nabi kepada umatnya. Aku pun seperti umat yang lapar suara kenabiannya
Langka kaki seorang penjaga penjara terdengar lagi seperti suara gajah yang tertati-tati, menggesek lantai kasar berpasir. Sasinduan diam sejenak.
“Dia akan membentak kita. Tapi kau harus ingat, kau harus terbiasa dengan suasana ini,” ujar Sasinduan memperingatkan. Tepat di depan sel kami, penjaga gemuk itu mendongakkan wajahnya seperti meneliti kami.
“Hai binatang… kalian berdua, sekarang jam tidur!” bentak lelaki itu sambil memukulkan tongkatnya ke terali yang menimbulkan bunyi denting yang menyakitkan telinga. Kami pun naik ke pembaringan. Lelaki itu kemudian berlalu dengan langkah lambannya yang pongah, seperti seorang pemburuh yang berhasil menaklukan buruannya. Padahal lelaki itu, jika berhadapan dengan seekor kambing kurus saja belum tentu ia berhasil mengalahkannya. Jika seandainya ia dihadapkan denganku dalam suatu panggung perkelahian yang adil, kupikir aku cukup membutuhkan beberapa detik saja untuk segera mematahkan batang lehernya yang bergelambir itu.
“Tak usah dipusingkan. Begitulah gaya tikus-tikus itu. Mereka selalu menjadi raja-raja kecil di sarang masing-masing. Padahal mereka tak lebih dari pada kecoa yang segera melutus jika terinjak kaki-kaki kemanusiaan,” ujar Sasinduan yang kembali bangkit dari ranjangnya dan menyulut sebatang rokok lagi. Lagi ia memulai tradisi kenabiannya.
Aku ikut bangkit. Rasa tertarikku kepada lelaki yang belum lama kukenal ini tiba-tiba begitu besar.
“Kau suka dengan ceritaku?”
 “Ya,” jawabku singkat.
“Bagus! Baru lima tahun kekuasaan diambil alih dari Soekarno, sudah banyak orang yang tidak lagi berkeinginan jadi cerdas. Semua seperti tersihir menjadi burung beo atau cecak Tingkaru yang hanya pandai mengeja kata orang. Sedangkan kata hatinya sendiri tak ia mengerti. Syukurlah kau mau belajar. Kau memang buta politik. Namun seorang buta sekalipun bisa jadi cerdas jika ia ada keinginan untuk cerdas. Adalah yang paling sial jika seorang buta matanya, juga menolak membuka mata hatinya.” Kami banyak bercerita malam itu. Banyak, hingga dijemput kantuk.

***



BAGIAN : VIII

Kesaksian Kedua


(22)
            Di lapangan Naha, langit begitu terik. Kami serupa Romusha. Selalu demikian setiap harinya. Sejak subu hingga pukul lima petang kami bekerja.  Bekerja tanpa kebanggan. Kecuali penghinaan dan tekanan fisik. Beberapa orang telah menyelinap ke rerindangan pohon-pohon di pinggir lapangan. Panas begitu menyengat. Sejak bekerja di sini, kulitku kian melebam. Tapi untuk apa memikirkan kulit? Sejenak aku menyelinap ke rerindang pohon Nangka, tak jauh dari timbunan balok-balok kayu Linggua. Rasa sejuk langsung menyerangku. Rasa teduh memang menjadi mahal di sini, di lapangan penghukuman ini.
Sejak pagi tadi, kami bekerja menyelesaikan fasilitas gudang bandar udara itu. Sasinduan masih asyik dengan pikulan baloknya. Ia tertatih melintas ke tepi lapangan tempat penimbunan kayu yang siap digunakan. Tak ada bunyi burung, meski kawasan ini terbilang masih belantara. Di langit beberapa ekor elang yang kepanasan hanya sesekali keluar dari rerimbunan pohon Kenari hutan.
Beberapa tentara berjaga-jaga depan barak. Mereka harus menjaga, karena kami tapol. Sebutan yang paling gampang untuk menghimpun tenaga kerja suka tapi tak rela. Ratusan kami di sini. Datang dari berbagai pulau. Orang-orang tertuduh yang menjadi binatang perah sebuah rezim.
Setelah melepas pikulannya, Sasinduan mendekatiku. Ia tampak lelah. Keringatnya membanjir membasahi semua kaos hitam yang dikenakannya. Ia berhenti sejenak, menyalakan dan menghisap rokoknya, lalu berkata sambil duduk di dekatku.
“Keadaan negara kita saat ini, seperti seorang yang membangun bangunan bertingkat-tingkat  mewah tapi tanpa batu pondasi. Jika tiba saatnya, tekatan berat itu meminta tumpuan yang kuat, maka bangunan itu akan roboh, amblas meluluhlantakkan segala isinya.” Ia diam sejenak, lalu berkata lagi, “kau tahu apa artinya itu?” tanya Sasinduan. Aku menggeleng saja. Memang agak berat bagiku mencerna alur pikiran lelaki dengan sorot mata tajam ini.
“Lihat saja. Kita disuruh bekerja mati-matian, tanpa gaji. Padahal duitnya ada, tapi diambil bangsat-bangsat itu memelihara anak-istri mereka.”
“Kau bilang jangan mengeluh!” potongku seenaknya.
 Sasinduan menatapku. “Tapi aku tidak bilang padamu jangan bicara,” keluhnya lagi. Aku diam saja sambil menyalakan sebatang rokokku.
“Padahal, berapa utang luar negeri kita, untuk alasan pembangunan ini.  Kita menjadi bangsa pengemis terbesar di dunia. Katanya kita dalam orde pembangunan berhasil swasembada beras. Padahal semua itu, akibat suntikan pinjaman luar negeri yang jika tiba saatnya kita membayar, kita tak punya kekuatan cukup untuk itu. Karena lebih dari separoh utang itu telah dimakan penguasa. Pada saat itu bangsa kita akan terjerembab dalam kemiskinan yang luar biasa. Kita akan kehilangan harga diri sebagai bangsa karena tidak bisa membayar hutang. Itulah sebabnya saya memilih berada di sebelah kiri jalan. Membangun komunitas sosialis. Guna mengontrol kemaksiatan kapitalisme yang diagung-agungkan itu,” katanya  dengan suara bergetar. Matanya menyaput lurus ke depan, ke arah para tapol yang masih bekerja di bawah terik sana.
“Kita ini dungu semua,” selaku, “seharusnya kita bersatu. Tentara di sini tidak seberapa!” pancingku.
            “Itu tindakan yang lebih dungu! Sebab, dengan perlawanan kita, tentara-tentara itu makin mendapatkan alasan untuk menangkap orang-orang tak berdosa lainnya, lalu dijebloskan seperti engkau,” balasnya dingin.
Ia menyeringai ke arahku, lalu berkata lagi, “segala seuatu di negeri ini dapat didramatisir menjadi alasan. Kita sedang berada dalam sistem pemerintahan yang gila. Keadilan itu racun bagi mereka. Yang selamat hanyalah mereka yang ikut menjadi tak waras.”
Aku mengangguk saja. Kantukku mulai naik disaput angin kering. Melihat aku sudah mulai ngantuk, Sasinduan, menyuruhku membaca sebuah surat, sementara ia mulai disibukan dengan menulis buku kecilnya. Aku tidak tahu apa yang ia tulis. Mungkin saja, suatu kesaksian dari penjara.
“Dikirim isterimu. Petugas di gerbang menyerahkannya padaku tadi,” jelas Sansinduan tentang surat yang diberikannya padaku. Tak berlama-lama aku langsung membaca surat itu, apalagi aku memang sudah kagen pada Meria.

Kepas, Suamiku Terkasih

Aku dapat kabar dari Boas, Herkanus berangkat ke California bertemu Broke. Ia sudah bergabung dengan kelompok Dagos Argava. Kupikir kau mengerti maksudnya. Ia berpesan, agar kau bisa bertahan dan tabah.
Aku sendiri sehat saja. Aku berkebun apa adanya. Aku terus mendoakanmu, semoga kau baik dan sehat juga. Aku sependapat dengan Herkanus, kau harus kuat. Kau harus hidup demi kami semua.
Kabar lainnya, Nixon kini sudah ditangkap tentara. Nixon sempat berselisih dengan tentara yang menjadi kekasih gelap Desy istrinya itu.  Istrinya kini sudah serumah dengan kekasihnya. Nixon di tahan di Beo.
Demikian dulu, aku amat kangen padamu.

Isteri yang mencintaimu
Meria.

Membaca surat ini, sebutir air mataku pergi melintasi kelopaknya, dan mengering di rerumputan.
“Kasihan Nixon, manusia baik itu ternyata dijerumus juga,” desisku. Tiba-tiba aku ingat bagaimana kebaikan Nixon ketika mengurus semua keperluan penguburan anakku Dian.  Dia pula yang dengan setia menemaniku saat-saat aku begitu tertekan. Dia  satu-satunya orang yang berusaha menyogok Mariala dan Mamewe demi kebebasanku. Tapi sayang, uang yang diserahkannya kepada Mariala dan Mamewe, menguap begitu saja, tanpa disertai pembebasanku. Keberangkatan Herkanus ke Filipina pun atas bantuan dana dari dia. “Desy, kau telah melakukan kejahatan buat orang yang dititipkan Tuhan padamu.”
“Ada yang penting?” tanya Sasinduan, mengagetkanku dari lamunanku tentang Nixon.
“Seorang sahabat baikku ditangkap lagi!”
“Mereka memang akan menangkap sebanyak-banyaknya. Lebih banyak lebih menguntungkan mereka!”
Bunyi lonceng panjang yang terdengar membuat kami mesti melangka menuju barak tempat makan. Sasinduan yang tak tahan karena lapar, langsung saja bangkit dan berlari agak cepat menuju barak..  Tapi karena pikiranku begitu berat mengingat nasib Nixon, aku memilih balik lagi ke rerindangan pohon nangka, dan berbaring di situ. Untung, tak berapa lama Sasinduan muncul membawa jatahku.
“Seberat apapun persoalan, kau harus makan. Dunia ini harus kita hadapi, bukan diratapi!” katanya sambil mulai mengunya makanannya.
***
            Udara subuh begitu dingin menerpa kulit. Burung-burung belum juga mencicit. Kucuali ayam jantan yang kokoknya bersahutan dari berbagai sudut-sudut desa yang kami lewati. Dari beberapa tapol yang diangkut subu ini, ada yang tampak menggigil, mungkin ia belum begitu sembuh dari sakit. Sementara bunyi batuk dari beberapa orang terdengar berkanon-kanon. Truk tua itu terus saja mendaki jalan dengan raungan mesin yang memekakkan telinga. Perjalanan dari penjarah Tahuna ke Naha, selalu seperti ini. Sekitar tiga puluh orang yang diangkut di bak belakang mobil truk yang jalannya sering mogok.  Ini jenis Ford yang sudah sangat tua. Dari beberapa yang bertubuh kekar, tampak tidak begitu menderita diterpa udara dingin. Sementara lainnya, kelihatan begitu tersiksa. Ada yang sampai muntah, karena fisiknya lagi lemah, atau memang suka mabuk perjalanan darat. Hukuman ini tidak memiliki klasifikasi. Yang penting orang itu masih memiliki nafas, maka ia akan dipaksa bekerja. Bekerja untuk sesuatu yang tidak berguna bagi diri sendiri, juga bagi keluarga masing-masing. Jika pun itu dipandang sebagai  pengabdian untuk masyarakat, tak ada yang peduli.
Di sepanjang jalan, mobil kami berpapasan dengan orang-orang kampung yang akan ke kebun dan ada juga yang ke pasar memikul dagangan mereka berupa hasil kebun. Mereka bukannya iba melihat kondisi kami. Malahan meneriaki kami, “mampus PKI!”. Ada juga yang tak segan-segan melempari kami dengan telur busuk. Kejadian semacam ini sudah menjadi peristiwa biasa bagi kami. Kami tidak begitu tersinggung jika dicemooh orang-orang. Sebuah kultur sudah terbentuk. Kultur kebencian yang di tanam para penguasa. Seperti pohon sudah memiliki akar kuat, bahkan berbuah lebat. Dan masyarakat yang lugu sudah memakan buah kebiadaban itu. Bagi mereka, para tapol adalah binatang-binatang berbahaya yang tidak layak menjalani kehidupan di dunia ini.  Mereka tidak sadar bahwa, apa yang mereka lakukan itu, kebencian yang mereka ekspresikan itu hanyalah buah dari permainan politik penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan biadabnya. Dan semua itu telah mereka telan mentah-mentah. Kasihan!
            Di dalam kelompok tapol sendiri, bukan sedikit orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling membeci. Rupanya sari nikmat yang diperah dari bua itu dan  dihidangkan penguasa  yang bisa memabukkan pikiran jernih manusia ini telah ikut menetaskan kultur baru, kultur kekerasan. Semuanya seakan-akan tak luput dari kontaminasi virus penguasa yang hegemonik tiranik itu. Terutama pihak-pihak yang bukan dari PKI atau partai kiri lainnya. Mereka sangat marah kepada kelompok yang memang anggota PKI, atau orang-orang dari front Marhaenis. Menurut pendapat mereka, orang-orang PKI dan partai kiri-lah yang membuat nasib mereka sungsang seperti ini. Mereka adalah hantu berbahaya. Kalau bukan karena pemberontakan PKI, kata mereka, nasib mereka tidak akan seperti ini. Jadi? Mereka harus dilenyapkan.
Kebencian itu terkadang berlangsung dalam sindir-menyindir selama perjalanan pergi atau pulang kerja. Tak urung, terkadang terjadi perkelahian di atas bak mobil. Di tempat kerja juga, akibat suasana saling benci itu, kadang-kadang terjadi baku hantam. Menurut Sasinduan, persengketaan itu sudah beberapa kali menelan korban tewas.
            Pagi ini tak terkecuali. Lelaki bernama Besal, tampak sendang menyindir Sasinduan.
            “Kalau aku bebas nanti, semua orang PKI kubunuh. Mereka harus menebus penderitaan yang kita alami!” ujar Besal, memprovokasi teman-temannya. Kawan-kawan Besal menyambutnya dengan tawa yang dibuat-buat.
            Wajah Sasinduan menjadi merah. Beberapa kali Besal menyindir lagi dengan ucapan yang kian menyakitkan hati Sasinduan.
            “Jika saat ini ada PKI atau Marhaenis yang berani menegurku, akan kupatahkan batang lehernya,” kata Besal makin memancing amarah Sasinduan. Sementara beberapa orang yang memang anggota PKI asli, tampak berjongkok ketakutan. Tubuh mereka begitu kurus dan seakan tak bertenaga. Mereka memang diperlakukan lebih sadis lagi dalam penyiksaan oleh aparat dibanding yang sekadar tertuduh biasa. Perlakuan itu tentunya membuat mereka menjadi sakit-sakitan.
Besal kian pongah saja melihat Sasinduan yang tidak menanggapi pancingannya. Kebetulan, tidak ada pengawal yang ikut di bak belakang mobil, mengakibatkan sindir-menyindir itu mendapat ruang gerak yang lebih terbuka. Dua orang pengawal karena menghindar udara dingin, mereka berlindung di depan bersama sopir. Karena kawan-kawannya seperti memberi dukungan, Besal makin menjadi-jadi. Seorang PKI kurus yang berjongkok di dekatnya, ditendangnya. Lelaki kurus itu tersungkur di lantai mobil. Saat itu Sasinduan dengan cepat menghajar Besal. Ia rupanya tak tahan lagi melihat tindakan Besal yang semena-mena itu. Besal agak terhuyung ke kiri akibat terjangan Sasinduan. Besal karena tubuhnya kekar, dengan sekali balas memukul, Sasinduan terlempar ke pinggir, dan membentur dinding bak mobil bagian kanan. Melihat Sansinduan terjerembab, Besal dengan penuh amarah meringsek Sansinduan dengan kakinya ke arah dada Sasinduan. Aku tak bisa diam begitu saja melihat nasib karib satu selku. Ku sodok kaki Besal dengan kaki kananku. Besal terjengkang. Dengan cepat ia bangun dan menendang ke arahku. Kakinya kutangkap, lalu kupelintir dengan cepat. Ditambah dengan sebuah hentakan kuat, Besal terangkat dan jatuh keluar mobil. Tubuhnya melayang, lalu jatuh menggelinding ke tebing. Kami mendengar Besal mengerang keras. Beberapa orang terlihat bergidik mendengar erangan nyerih yang memilukan itu. Setelah kegaduhan itu diketahui petugas, mobil pun berhenti.
            “Ada apa?” tanya petugas yang bergegas keluar dari pintu depan mobil.
            “Ada yang jatuh,” jawab seseorang, sambil menunjuk ke arah jatuhnya Besal. Petugas itu berjalan ke tempat jatuhnya Besal, sekitar seratusan meter dari tempat mobil kami berhenti. Semuanya seakan menahan nafas. Bayangan-bayangan tentang kejadian berikutnya sebagai akibat perkelahian itu mulai melindap-lindap dalam pikiranku. Aku sendiri sudah pasrah saja, ketika mobil itu diundurkan mendekati tempat jatuhnya Besal. “Apa boleh buat, kejadian itu terjadi diluar rencanaku,” desisku pada Sasinduan. “Diam saja,” kata Sasinduan dengan suara yang sedikit dicekik ke lehernya. Sejurus kemudian, petugas memanggil kami untuk turun. Seorang petugas bersenjata terus mengawasi kami dari belakang, saat kami semua turun. Beberapa orang, dengan cepat turun ke dalam tebing yang tidak begitu dalam itu. Sebagian kami menunggu dengan kecemasan.  Sesaat kemudian, mereka telah berhasil mengangkul Besal, ke tepi jalan.
“ Ia tewas,” ujar petugas, setelah memeriksa tubuh dan nadi Besal. Besal ternyata tewas, karena kepalanya menimpa batu  runcing. Kepalanya pecah. Beberapa orang bergidik melihat itu. Aku lebih merinding lagi.
            “Mengapa ia jatuh?” tanya petugas itu. Semuanya hening. Tidak ada yang berani menjawab.
            “Mengapa ia jatuh?” tanya petugas itu marah.
            “Melompat mau melarikan diri,” jawab Sasinduan. Semua tapol saling tatap, tapi tak ada yang berani memberikan keterangan lain. Aku sendiri bungkem saja. Toh, tiada gunanya memberikan kesaksian yang benar kepada para petugas yang sudah kita ketahui tidak memahami makna kebenaran. Kebenaran toch hanya milik orang-orang yang menegakkan kebenaran. Tapi aku sendiri mengetahui akan kesalahan yang telah kulakukan meski itu tidak kusengajakan.
            “Angkat mayat ini. Kita kembali ke penjara,” kata petugas itu. Wajahnya terlihat gusar. “Kalau ditanya, katakan saja ia melompat melarikan diri. Dan jangan katakan kalau kami tidak mengawasi kalian di bak belakang,” ujar petugas, itu lagi. Raut wajahnya berubah agak ketakutan. Perubahan air muka petugas itu dapat dipahami. Sebab, jika ketahuan mereka berdua tidak mengawal di belakang truk, maka kejadian ini merupakan kelalaian mereka. Dan tentu mereka akan tahu apa ganjaran dari kelalaian itu. Karena itulah mereka tidak mau memaksa mengetahui lebih dalam lagi kejadian yang menyebabkan tewasnya Besal.  Mereka juga membutuhkan dukungan dan kerjasama para tapol ini agar mereka terbebaskan dari kosekwensi kelalaian mereka. “Sebuah konspirasi kebohongan yang paling sering dilakukan petugas-petugas negara kita,” kata Sasinduan sambil nyengir ke arahku.
Kepulangan kami ke penjarah ternyata menimbulkan keriangan lain di wajah beberapa tapol. Aku memahami, itu artinya satu hari ini mereka terbebas dari pekerjaan berat. Namun begitu, berpasang-pasang mata sering melirikku dengan tatapan ketakutan. Apa yang mereka  pikirkan? Mungkin di hati mereka kini membersit perasaan was-was jika aku akan menjadi bahaya lain yang siap mengincer mereka setelah kematian Besal. Sementara aku sendiri, merasa begitu bersalah telah melakukan tindakan yang membuat Besal terbunuh.
            “Ini hanya suatu risiko. Kau tak perlu terlalu memikirkannya. Jalan hidupnya memang harus berakhir seperti itu,” bisik Sasinduan membesarkan hatiku.
            Aku berjongkok di depan mayat Besal yang masih tergeletak di bak mobil. Dalam hatiku aku meminta maaf. Aku memang tidak ada niatan mau membunuhnya. Ini semata-mata suatu kejadian refleks yang tak dapat kuhindari demi menyelamatkan Sasinduan, dari ancaman kematian. Air mataku menetes ke tubuh Besal yang sudah kaku. Semua tapol di bak truk dengan serempak berjongkok mengitari mayat Besal. Mereka mungkin memahami penyesalan dalam hatiku.
            Hari itu, setelah melakukan apel dan mendapatkan berbagai pengarahan dari pihak tentara dan petugas penjara,--pengarahan yang lebih bagus disebut sebagai peringatan untuk menakut-nakuti para tapol agar tidak melarikan diri-- kami hanya disibukkan oleh pekerjaan kecil yaitu mempersiapkan petih mati Besal. Mayat itu dipersiapkan untuk dikembalikan kepada keluarganya di kampung.
***
(23)
            Dalam waktu yang sedikit panjang, kematian Besal, menimbulkan penyesalan yang mendalam di hatiku. Aku menjadi suka termenung memikirkan itu. Wajah lelaki besar yang selalu garang itu seakan tak henti-henti melintas kesana-kemari dalam otakku. Sasinduan, dan beberapa teman tapol sudah berkali-kali mengingatkanku agar tidak terlalu menyesali tindakanku itu. Malahan tindakan itu sebagai suatu perbuatan terhormat, kata mereka. Sebab bagi mereka, Besal adalah sumber masalah. Bukan sedikit kawan-kawan tapol yang telah diperlakukan semena-mena olehnya.
            “Sebenarnya, jika aku punya peluang, seharusnya aku yang lebih dulu membunuhnya,” kata Sahe, lelaki yang kaki kanannya pincang, ketika kami sedang mengaso makan.  “Gara-gara ulahnya, kakiku ini sampai pincang,” tambah Sahe. 
            “Apa yang ia lalukan padamu?” tanyaku, Ingin mengetahui lebih dalam lagi.
            “Kejadiannya tahun lalu. Melihat aku lagi istirahat di bawah pohon Mangga. Diam-diam ia usil menggelindingkan gelondongan kayu dari tumpukannya. Gelondongan kayu menghantam kakiku hingga tulangnya remuk.  Kalau aku tidak cepat menghindar, mungkin tubuh dan kepalaku yang remuk. Bagi Besal, nyawa orang itu seperti tidak ada harganya. Jadi orang seperti dia pantas mati. Untung dia tidak ditakdirkan jadi tentara. Baru jadi tapol saja sudah jahat, apalagi kalau menjadi penguasa,” turu Sahe, berapi-api.
            “Kita semua boleh menyalahkan tindakan dia. Tapi jika kita pikirkan keluarganya, istrinya, anak-anaknya, betapa orang-orang itu akan begitu kehilangan dia,” ujarku. Dalam pikiranku berkelebat wajah Meria , bagaimana bila kejadian semacam ini menimpaku, istriku itu pasti akan sangat menderita
            “Jika begitu, seharusnya dia juga berpikir seperti kita. Bahwa kita juga punya keluarga, punya istri, punya anak-anak,” sanggah Sahe.
            Tak berapa lama, seusai makan, lonceng kerja berbunyi lagi. Dengan cepat kami menuju tempat kerja masing-masing. Udara siang ini, seperti biasa, begitu panas. Sedang kami harus bekerja di tengah terik tanpa pelindung. Keringat mengucur ke tanah kering. Terus mengucur berkali-kali entah untuk apa, selain menjalani hukuman dari kesalahan yang bukan saja tak kami buat, namun sungguh-sungguh tak kami mengerti.

***
            Mungkin Tahlil atau mazmur, yang pasti lagu yang terdengar dari ruang ibadat itu betapa indah membisiki hatiku.
“Allah hadir bagi kita
 dan hendak memberi berkat
 dilimpahkan kuasa rohNya
 bagai hujan  yang lebat
 dengan roh kudus ya Tuhan
 UmatMu berkatilah
 baharui hati kami
 Oh curahkan kurnia
            Aku melihat lelaki berjubah hitam itu dari lubang angin selku. Kedua tanganya yang lembut terangkat, menahbiskan harapan hati kaum terpenjara di depannya.
Hari Minggu penuh rahmat.  Ruang ibadat penuh. Orang-orang penjara di sana menanti kabar paskah dari sang pendeta, kecuali tapol PKI. Aku termasuk yang tak berhak mendengar kabar keselamatan Kristus-ku itu. Larangan ber-Tuhan yang diciptakan suatu rezim, bukan oleh Tuhan sendiri. Lelaki berjubah hitam itu kemudian berkotbah. Kupasangkan telinga, tapi suaranya tak kudengar jelas.
“Aku punya khotbah untukmu!” kata Sasinduan, sambil memberikan beberapa lembar kertas tulisan tangannya. “Bacalah. Itu khotbahku hari ini. Setiap paskah, aku memberi lembaran-lembaran yang sama kepada Gustaf dan Willy tempo hari. Itu surat terbuka yang kusalin dari buku kecil yang ditulis sahabatku, di Makassar. Semoga suatu hari kau dapat mengkhotbahkannya kepada orang lain,” ujarnya.
Kupikir, ada betulnya juga jika aku membaca khotbahnya ini. Begini isinya: Kup gestapu hanyalah istilah palsu karangan golongan kanan AD. Mereka berpura-pura melakukan gerakan 30 September untuk melenyapkan saingan mereka di golongan tengah AD. Sebab dengan begitu, telah merintis jalan menuju penumpasan golongan kiri sipil. Tujuan mereka adalah menegakan suatu diktator militer. Jadi, G30S PKI itu palsu. Sebab, tidak ada bukti-bukti pengambil alihan kekuasaan pada tahap ini oleh PKI.
Kup golongan kanan ini terdiri dari tiga tahap: Tahap pertama,  Gestapu “kup” sayap kiri gadungan yang dilakukan  Kolonel Untung cs. Kedua, respons anti Gestapu, yaitu tindakan balasan golongan kanan dengan membunuh PKI secara massal. Ketiga, pengikisan secara terus menerus terhadap kekuatan Soekarno yang masih tersisa.
Pada tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat Indonesia pecah menjadi dua kubu. Kubu kelompok tengah yaitu Jenderal Yani cs yang bersifat menentang Presiden Soekarno tentang persatuan Nasional yang PKI termasuk di dalamnya. Kubu kedua, golongan kanan yang di dalamnya  Nasution dan Soeharto cs, yang sikapnya menentang kebijakan Yani yang bernafaskan Sukarnois. Jadi, kunci perebutan kekuasaan, adalah penghancuran kekuatan Yani CS oleh sayap kanan yang bersekutu dengan Soeharto dalam apa yang dinamakan G-30-S yang berdalih untuk menyelamatkan Soekarno, namun sesungguhnya justru ditujukan kepada anggota terkemuka AD yang paling loyal mendukung Soekarno.
Pada bulan Januari 1965, ada rapat penyatuan AD yang diikuti Soeharto oleh kelompok yang memendam rasa tidak puas terhadap Jenderal Yani. Rapat itulah yang diperkirakan menjadi latar G30S. Sebab yang menjadi korban adalah semua yang loyal pada Soekarno. Dan tak seorang pun jenderal anti Soekarno yang menjadi sasaran Gestapu. Apa sebab jenderal Soeharto tidak di culik, padahal Nasution juga diculik, kemudian lolos? Alasanya, menjelang 1961, CIA dikecewakan oleh Nasution yang waktu itu menjabat Kastaf AD. Kendati Nasution adalah modal CIA yang andal selama ini, tapi ia setia pada Soekarno dalam berbagai kebijakan penting. Kekecewaan CIA itu kian meningkat menjelang 1965, atas sikapnya yang oposisi terhadap keterlibatan AS di Vietnam.
Hubungan Soeharto-Nasution juga bersifat dingin, disebabkan pemeriksaan Nasution terhadap kasus korupsi yang dilakukan Soeharto pada tahun 1959 ketika menjabat Pangdam Diponegoro.
Tampak jelas bahwa sejak 1953, AS membantu mencetuskan krisis di Indonesia yang menjadi penyebab Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957 mengakhiri sistem perlementer Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer serta memasukkan korp perwira secara resmi ke dalam kehidupan politik.
Program khusus dari AS yang mendukung pemberontakan regional PRRI Permesta secara resmi telah disetujui di Washington, kendati para perwira dan agen CIA sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang jauh sebelumnya.
Menjelang tahun 1953 National Security Council AS menyerukan tindakan yang tepat bekerja sama dengan negeri-negeri lain yang bersahabat untuk mencegah kontrol tetap komunis di Indonesia. Keputusan NSC 171 pada tahun 1953 sudah mempertimbangkan latihan militer sebagai suatu cara untuk meningkatkan pengaruh AS, meskipun usaha-usaha utama CIA ditujukan pada partai-partai politik berhaluan kanan khususnya masyumi dan PSI. Jutaan dollar yang telah diberikan oleh CIA untuk Masyumi dan PSI pada pertengahan 1950 merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa 1965, dimana seorang bekas anggota PSI, yaitu Syam Kamaruzaman dimainkan sebagai otaknya Suwarto, dan Sarwo Edhie berperan penting dalam tindakan basmi PKI karena “Gestapu”
Pada 1 Agustus 1958, setelah gagalnya pemberontakan-pemberontakan yang disponsori CIA, AS mulai melaksanakan suatu program bantuan militer kepada Indonesia hingga mencapai jumlah $ 20 juta setahun.  Sebuah memo Joint Chief of Staff  (JCS) sebulan kemudian memperjelas bahwa bantuan militer ini diberikan kepada AD Indonesia sebagai suatu perangsang kepada KASAD Nasution supaya melaksanakan rencananya untuk mengendalikan komunis. Pada dasarnya JCS hanya bisa menyatakan secara  tidak langsung tentang taktik-taktik yang membuat Nasution menjadi terkenal di mata AS selama penghancuran PKI dalam peristiwa Madiun 1948, yaitu pembunuhan massal, minimumnya terhadap PKI setelah adanya provokasi dari AD.
Para peneliti Southwood dan Flanagen, David Anderson  menyimpulkan bahwa peristiwa Madiun 1948 bukan merupakan “suatu percobaan golongan kiri untuk mencetuskan revolusi total di Indonesia, melainkan merupakan bagian dari perjuangan antara kesatuan pedesaan Jawa yang bertekad untuk mempertahankan suatu tentara laskar rakyat, dan komando tinggi, juga menentukan unit-unit lapangan di bawah kendali pusat yang lebih besar.
Nasution, membenarkan provokasi dari pihak AD tersebut, pada bulan November 1965 ketika menyerukan pembasmian PKI sampai keakar-akarnya, sehingga tidak akan mungkin terjadi Madiun ke-3. Pernyataan Nasution di depan mahasiswa tanggal 12 November 1965: “Kita berkewajiban dan ditugaskan untuk melenyapkan mereka (PKI) dari muka bumi Indonesia. Namun demikian sejak 1958 PKI telah tampil sebagai gerakan massa yang besar di Indonesia. Maka dalam peroide ini sekelompok peneliti akademik AS yang dibiayai CIA mulai menggalakkan kontak-kontak terbuka dengan AD Indonesia melalui media pers ilmiah agar merebut kekuasaan dan menghancurkan PKI.
Guy Pauker pengajar di Universitas California-Barkeley dan sebagai konsultan Rand Corporation melakukan kontak-kontak berkala dengan “teman-teman mereka dalam AD”. Pauker ini membawa Suwarto ke Rand pada tahun 1962. Pauker menitikberatkan kontak-kontak dengan kalangan militer untuk memikul tanggung-jawab penuh terhadap negaranya, supaya melaksanakan misinya dan karena itu supaya menyerang, membersihkan rumah lingkungannya.  Sahabat karib Pauker dalam AD Indonesia adalah Jenderal Suwarto yang dididik di AS, dan yang memainkan peranan penting dalam mengubah AD dari berfungsi revolusioner menjadi kontra-revolusioner. Dalam tahun-tahun sesudah 1958 Suwarto mendirikan SESKOAD di Bandung yang menjadi pusat latihan untuk merebut kekuasaan politik di Indonesia. Dalam periode ini SESKOAD menjadi pusat perhatian pentagon dan RAND Corporation, dan secara tidak langsung juga menjadi pusat perhatian Ford Foundation.
Di bawah pembinaan Nasution dan Suwarto, maka SESKOAD mengembangkan suatu doktrin strategis yang baru, yakni doktrin “Perang Wilayah”, yang memberi prioritas kepada kontra pemberontakan sebagai peranan Angkatan Darat. Terutama sesudah tahun 1962, ketika pemerintahan Kennedy membantu AD Indonesia dalam mengembangkan program CIVIC MISSION, maka ini berarti organisasi dan infra-struktur politiknya atau organisasi wilayah dalam berbagai jenis telah menjangkau ke tingkat desa. Sebagai suatu akibat dari rekomondasi Kemlu AS pada tahun 1962 yang dibantu oleh Pauker, maka didirikan suatu MILTAG (Military Training Advisory Group = Kelompok Panesahat Latihan Militer) di Jakarta untuk memberikan bantuan dalam melaksanakan program Civic Mission SESKOAD. Walaupun program Civic Mission dihubungkan dengan proyek-proyek sipil (membangun jembatan, memperbaiki saluran, mengeringkan tanah rawa, membuat sawah baru, jalan dan sebagainya), namun sebuah memo dari Menlu Rusk, 17 Juli 1964, menegaskan bahwa pada waktu itu arti utama MILTAG adalah karena kontaknya dengan unsur-unsur anti komunis dalam AD Indonesia beserta organisasi wilayahnya. “Bantuan kita ke Indonesia bukanlah membantu Indonesia secara militer. Akan tetapi bantuan ini membuka peluang bagi kita untuk memelihara hubungan tertentu dengan anasir-anasir di Indonesia yang berkepentingan dan berkemampuan melawan pengambil-alihan kekuasaan oleh komunis” (memo Deparlu untuk Presiden 17-7-1964).
 SESKOAD juga melatih para perwira AD di lapangan ekonomi dan administrasi (kepemerintahan), dan dengan demikian ia sesungguhnya beroperasi sebagai suatu para negara (negara bayangan), yang berdiri bebas dari pemerintah sipil Soekarno.
Dengan demikian AD mulai bekerjasama dan bahkan menandatangani kontrak-kontrak dengan perusahaan AS serta dengan negeri-negeri asing lainnya yang kini berada di bawah kendali Angkatan Darat. Program latihan ini dipercayakan kepada para perwira serta orang-orang sipil yang dekat dengan PSI. Para pejabat AS membenarkan bahwa orang-orang sipil tersebut juga mengikuti suatu program latihan yang dibiyai oleh Ford Foundation, mulai melibatkan diri dalam apa yang oleh Atase Militer AS ketika itu dinamakan "perencanaan siap siaga untuk mencegah pengambil alihan kekuasaan oleh PKI.
Jenderal Suwarto secara terus-menerus meningkatkan pembinaannya terhadap seorang murid baru, yaitu Kolonel Soeharo yang masuk SESKOAD pada bulan Oktober 1959. Menurut Sundhaussen, pada awal 1960 an, Soeharto dilibatkan dalam penyusunan Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD mengenai Civic Mission (artinya penyusupan perwira-perwira AD  kedalam semua lapangan kegiatan pemerintah dan tugas-tugas kepemerintahan).
Soeharto berbeda dengan bekas gurunya yaitu Suwarto dan bekas kepala stafnya yaitu Achmad Wiranatakusumah; ia tidak pernah belajar di AS. Namun demikian peran-perannya dalam Civic Mission yang oleh AS disebut Civic Action, menempatkan dia dan opsir-opsir yang condong pada PSI, di pusat kegiatan pendidikan dan latihan AS di Indonesia, dalam suatu program yang terang-terangan bersifat politik. Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan Civic Mission Doctrine menjadi suatu doktrin strategik baru tentang intervensi politik AD menjelang tahun 1965 telah menjadi suatu proses idiologi yang mematangkan AD untuk melakukan pengambil-alihan kekuasaan. Hal ini menjadi jelas pada bulan-bulan sesudah Gestapu, ketika Soewarto menjadi orang penting sebagai penasehat politik Soeharto, bekas muridnya di SESKOAD, dan doktrin strateginya melatar belakangi ideologi pernyataan Soeharto pada tanggal 15 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker secara umum dan secara diam-diam, bahwa “AD harus memainkan peranan kepeloporan di semua lapangan”.
Dalam periode ini SESKOAD digunakan untuk melakukan pendidikan kembali terhadap jenderal-jenderal, seperti Suryo Sumpeno, dimana mereka meskipun bersifat anti-komunis, namun telah berbuat salah karena bersifat loyal terhadap Soekarno. Oleh karena itu rapat penyatuan dari kelompok-kelompok AD pada bulan Januari 1965, yang diselenggarakan setelah Soeharto, mendesak KASAB jenderal Nasution supaya mengambil sikap yang “lebih menyesuaikan diri” terhadap Presiden Soekarno, sesungguhnya merupakan suatu langkah yang dibutuhkan dalam proses yang rumit, dimana Soeharto akan menggantikan Yani dan Nasution sebagai Panglima Angkatan Darat. Langkah ini mendorong diadakannya seminar bulan April 1965 di SESKOAD untuk mengusahakan suatu doktrin strategis yang bersifat kompromi, yaitu Tri Ubaya Sakti yang menegaskan kembali tuntutan AD untuk memiliki peranan politik yang berdikari (mandiri).
Pidato tanggal 15 Agustus 1966 Soeharto mempertanggung jawabkan ketokohannya semakin meningkat dalam arti  “Misi Revolusioner” dari doktrin Tri Ubaya Sakti. Dua minggu kemudian di SESKOAD, Ubaya Sakti ditinjau kembali atas dorongan Soeharto, namun dalam susunan “yang telah disusun secara teliti oleh Soewarto “hingga secara lebih tegas lagi mengejawantahkan penekanan Pauker mengenai AD dalam Civic Mission atau dalam peranan kontra revolusionernya.
Menjelang Agustus 1964, Soeharto telah mulai mengadakan kontak politik dengan Malaysia, dan akhirnya dengan Jepang, Inggris dan AS. Melalui kelompok intel OPSUS (Ketuanya Ali Moertopo). Soeharto (Komandan Kostrad) mengadakan hubungan dengan para pemimpin Malaysia; dalam 2 peristiwa, bekas personil dan PSI dan PRRI/Permesta berperan dalam menegakkan hubungan politik yang sensitif ini.
Walaupun pemerintahan Eisenhover (USA) menentang regim apapun yang berkuasa di Indonesia yang bersikap bersahabat terhadap blok Cina-Soviet, tetapi pemerintahan Kennedy meningkatkan bantuannya baik kepada Soekarno maupun AD. Namun  setelah Johnson menjadi Presiden, pada bulan Desember 1964 bantuan ekonomi dihentikan sehingga keadaan ekonomi Indonesia semakin memburuk. Menurut kenyataan, walaupun Soekarno menggunakan subsidi yang sangat besar jumlahnya dari Uni Soviet untuk berkonfrontasi dengan Inggris dan Malaysia, pada bulan Maret 1964 Presiden Soekarno mengatakan kepada AS; “Go to hell with your aid!”. Tapi, Kongres AS setuju memberi bantuan dana kepada militer AD Indonesia yang bersifat rahasia. Bantuan yang lunak ini kepada AD dan Polisi adalah untuk adu kekuatan dengan PKI yang sedang jaya.
Sampai akhir bulan Juli 1965 bantuan militer berupa 200 pesawat Aero Commander kepada AD Indonesia, pesawat ringan yang cocok untuk “Civic Action” yang digunakan oleh AD yang lebih tepat guna daripada alat komunikasi sipil di bawah Soekarno. Dan  ternyata pada tanggal 1 Oktober 1965 Soeharto mampu melaksanakan pembasmian secara kilat kaum loyalis Soekarno-Yani dan kaum kiri. Sedangkan para perwira “Civic Action” membentuk inti yang kokoh di kalangan para perwira Gestapu pada tingkat bawah di Jawa Tengah.
Dengan adanya perjanjian minyak tahun 1963 yang telah dirundingkan dengan AS, maka terlihat peralihan yang serupa dalam lalu-lintas pembayaran dari perusahaan-perusahaan minyak AS. Sebagai iuran basa-basi kepada pemerintah Soekarno, dua perusahaan minyak AS di Indonesia, Caltex dan Stanvac melakukan pembayaran yang jauh lebih besar kepada perusahaan minyak AD Pertamina yang direkturnya adalah Jenderal Ibnu Sutowo,  sekutu politik dari Soeharto. Majalah Fortune menulis bahwa perusahaan minyak yang dipimpin oleh Sutowo memainkan peranan kunci dalam membiayai operasi-operasi yang kritis dan AD tak pernah melupakannya.
Telah diketahui bahwa beberapa bulan sebelum Gestapu, seorang utusan Soeharto yang mempunyai hubungan lama dengan CIA, Kol. Jan Walandouw telah menghubungi Pemerintah AS. Sejak awal bulan Mei 1965 pemasok-pemasok militer AS yang mempunyai hubungan dengan CIA terutama Lockheed sedang merundingkan penjualan perlengkapan dengan komisi-komisi lewat perantara sedemikian rupa sehingga seakan-akan menciptakan hadiah-hadiah bagi orang-orang bukan pendukung Nasution dan Yani (pimpinan resmi ABRI/AD). Sebaliknya terjadi yaitu mengalir pendukung-pendukung faksi ketiga AD yang hingga saat ini kurang dikenal, yaitu May. Jen. Soeharto.
Seorang pedagang perantara  di Indonesia, yaitu Agus Munir Dasaad yang sejak tahun 1950 an memberi bantuan finansial kepada Soekarno, pada tahun 1965 menjalin hubungan dengan Soeharto melalui  seorang anggota keluarga Jenderal Alamsyah Ratuprawira yang dalam waktu singkat bekerja di bawah pimpinan Soeharto, setelah Soeharto menyelesaikan masa tugas belajar di SESKOAD sebagaimana kemudian dicatat dalam memo Lockheed pada tahun 1968, ketika terjadi kup Soeharto menggantikan Soekarno. Alamsyah yang menguasai dana-dana besar, secara serta merta menyediakan dana-dana ini untuk Soeharto yang jelas membuat Presiden baru itu merasa berhutang budi kepadanya. Dalam waktu singkat Alamsyah diangkat menempati kedudukan terpercaya “andalan” dan menjadi orang kedua terpenting setelah Presiden. Pada tahun 1966 Kedutaan AS menasehatkan Lockheed supaya menggunakan terus hubungan Dasaad-Alamsyah-Soeharto. Namun dalam tahun 1968 ketika Alamsyah mengalami kemerosotan kekuasaan, maka Lockheed telah menyingkirkan perantara itu dan membayar uang keagenannya langsung kepada sekelompok perwira militer.
Pada bulan Juli 1965 ketika hubungan AS-Indonesia/Soekarno sangat renggang, Rockwell Standard mengadakan satu kontrak untuk mengirim 200 pesawat ringan (Aero-Commander) kepada AD Indonesia (bukan kepada AU) dalam waktu dua bulan berikutnya. Komisi penjualan tersebut jatuh pada cukong Cina Bob Hasan yang adalah sahabat politik Soeharto dan akhirnya menjadi mitra usahanya.
Secara lebih khusus lagi, Soeharto dan Bob Hasan telah mendirikan dua buah perusahaan pelayaran yang harus dioperasikan oleh Devisi Diponegoro. Sebagaimana diketahui Divisi Diponegoro-lah yang menyediakan sebagian terbesar personil bagi kedua belah pihak dalam drama Gerakan 30 September ini, baik mereka yang melakukan usaha kup maupun mereka yang menumpasnya. Salah seorang dari 3 pemimpin G-30-S di Jawa Tengah adalah Letkol. Usman Sastrodibroto, kepala bagian yang mengurus fungsi-fungsi ekstra militer Divisi Diponegoro.
Jadi dari dua buah kontrak penjualan AS yang bersifat militer menjelang G-30-S, keduanya menyangkut pembayaran yang bernafaskan politik kepada orang-orang yang sesudah G-30-S itu tampil sebagai sekutu-sekutu Soeharto yang dekat.
Satu telegram rahasia mengungkapkan bahwa perusahaan Freeport Sulphur menjelang April 1965 telah mencapai suatu pengaturan pendahuluan dengan para pejabat Indonesia mengenai satu investasi sebesar $ 500 juta di bidang tembaga di Irian Barat.
Dalam bulan September 1965 dilaporkan bahwa industri Gas dan Minyak Bumi Indonesia semakin merosot tajam, maka Presiden ASAMERA dalam suatu usaha patungan dengan Pertamina-nya Ibnu Sutowo, membeli saham-saham dalam perusahaan yang pura-pura terancam bangkrut itu, seharga $ 50.000. Pembayaran dilakukan pada tanggal 9 dan 21 September 1965. Menjelang tahun 1967 usaha patungan Asamera yang berwarganegara Kanada menelorkan perusahaan besar dari Allied Chemical, yaitu PT. Union Texas Indonesia.
Dapat diasumsikan bahwa Untung adalah penulisnya  atau setidak-tidaknya telah menyepakati pernyataan yang telah diumumkan via RRI atas namanya sendiri dan dia hanya mempunyai pengaruh kecil atau sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap satuan tugas yang telah menduduki sisi-sisi Medan Merdeka kecuali dekat markas KOSTRAD. Peneliti-peneliti Wertheim dan Holtzappel, menyimpulkan bahwa pribadi Untung adalah jujur dan ia telah dimanipulasikan oleh dalang-dalang seperti Kamaruzaman.
Pertemuan pertama para komplotan Gestapu dalam urutan peristiwa di Indonesia telah ditentukan pada suatu waktu sebelum 17 Agustus 1965, tetapi menurut studi CIA pertemuan ini diundurkan pada tanggal 6 September 1965. Tak satupun dari kedua catatan nara sumber tersebut memberi waktu lebih lama dari beberapa minggu untuk merancang suatu kup di negeri kelima besar penduduknya di dunia ini.
Nara sumber akademik dari Soeharo telah memberi ringkasan yang bersifat problematik bahwa “pada tahun 1965 golongan kiri menyerang golongan kanan (dinamakan putsch Gestapu) yang membawa restorasi kekuasaan dan kemudian pembersihan golongan kiri sebagai hukuman oleh golongan kanan”.
Sedangkan penulis PD Scott beragumentasi bahwa golongan kanan (justru) dari Angkatan Darat Indonesia yang berkedok gerakan Gestapu (G-30-S) telah melenyapkan saingan mereka di kalangan golongan tengah AD, dengan demikian merintis jalan menuju penumpasan golongan kiri sipil yang telah lama dipersiapkan dan akhirnya menuju pengukuhan dan penegakan suatu diktatur militer.
CIA dan pers AS lama sebelumnya telah menyetempel Yani dan Nasution (Pimpinan ABRI/AD) sebagai orang-orang yang tidak bersedia untuk bertindak melawan Soekarno.
Denis Warner dalam Reporter, 28 Maret 1963, menyesalkan sikap AH Nasution dan Yani yang pro Soekarno dalam mengganyang Malaysia. Tuan Brackman dan para mahasiswa lain dari Indonesia menjadi bingung dan susah atas sikap pimpinan AD Indonesia waktu itu yang dianggapnya kurang bertanggung jawab.
Menjelang tahun 1961, pihak garis keras dalam politik kunci, khususnya Guy Pauker, telah juga membalik melawan Nasution. Selanjutnya dukungan AS terhadap faksi Soeharto, antara lain tentang komisi pasokan perlengkapan militer dari Lockheed (Dasaad Alamsyah) dan pengiriman 200 pesawat ringan (aero Commanders) kepada AD Indonesia oleh Rockwell Standard (kontrak dengan cukong Bob Hasan) untuk kepentingan Soeharto/Divisi Diponegoro.
Pada peristiwa penculikan/pembunuhan sebagai tahap pertama atas jenderal Yani cs menuju penggulingan Soekarno dan seluruh golongan kiri, khusus PKI, Soeharto sesungguhnya mengerti bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh unsur-unsur AD yang ditunjuk Untung, yang pernah ditempatkan di bawah Komando Soeharto. Juga keputusan Gestapu untuk menjaga semua sisi lapangan Medan Merdeka, kecuali markas KOSTRAD-nya Soeharto, adalah konsisten dengan keputusan Gestapu untuk menjadikan jenderal-jenderal AD sebagai sasaran tunggal, yaitu  para jenderal yang diperkirakan akan menentang usaha perebutan kekuasaan oleh Soeharto. Lagi pula, pengumuman ambil alih kekuasaan yang diumumkan Gestapu atas nama “Dewan Revolusi” seluruhnya bersifat khayalan, dimana Soekarno dikucilkan, sedangkan sebaliknya Soeharto diberi peluang untuk berkedok sebagai pembela Soekarno yang sebenarnya menghalangi Soekarno untuk memegang kembali kendali pemerintahan.
Dari sumber yang netral atau yang dari Pro Soeharto khususnya dari satu studi CIA tentang Gestapu (G-30-S) yang diterbitkan tahun 1968, bahwa sedikitnya pasukan yang dilibatkan baik di Jakarta maupun di Jawa Tengah, Batalyon-batalyon yang itu-itu juga yang menyediakan kompi-kompi untuk memberontak, yang malah kemudian justru digunakan untuk “menumpas pemberontak itu. "Dua pertiga dari suatu Brigade Para yang telah diperiksa oleh Soeharto sebelumnya ditambah satu kompi dan satu peleton merupakan seluruh kekuatan pasukan Gestapu di Jakarta. Kesemua kesatuan itu (kecuali satu) dipimpin oleh para perwira atau para bekas perwira Divisi Diponegoro yang dekat dengan Soeharto; dan kesatuan yang disebut belakang itu berada di bawah komando seorang sekutu politik Soeharto yang akrab, yaitu jenderal Basuki Rachmat. (Studi CIA: pada saat puncaknya petualangan kup itu maka pasukan-pasukan pemberontak di Jateng diperkirakan hanya berkekuatan satu balayon, selama 2 hari berikutnya kekuatan ini secara berangsur-angsur telah lenyap).
Soekarno, Panglima AURI, Omar Dani, Ketua PKI Aidit (3 sasaran pokok dalam tindakan balasan anti gestapu Soeharto), bersama-sama dengan Komando Resimen Untung, kesemuanya telah dikumpulkan tengah malam oleh komplotan Gestapu, dan kesemuanya dibawah kepangkalan AU Halim Perdana Kusumah, kira-kira 1 mil dari sumur mayat di Lubang Buaya. Motif dari tindakan ini adalah “untuk mengunci rapat pangkalan tersebut di tangan komplotan dan untuk membujuk Soekarno supaya mau menyetujui rencana-rencana komplotan ini. Tentu saja hipotesa alternatifnya ialah bahwa dengan mengumpulkan orang-orang ini di luar kehendak mereka, yang nantinya akan dipergunakan sebagai dalih oleh Soeharto. Sebagaimana kemudian ditulis oleh Hughes (1968): Kehadiran Soekarno di Halim menjadi salah satu senjata paling ampuh bagi para pengeritik Soekarno. (sedangkan PKI-AURI-Soekarno justru tidak tahu-menahu tentang penculikan dan pembunuhan itu ). Jadi ada kelanjutan (kontinuitas) antara : hasil yang telah dicapai, baik oleh Gestapu maupun jawaban yang telah diberikan oleh Soeharto terhadap Gestapu yang dengan dalih membela Soekarno dan menyerang Gestapu, namun sebenarnya: meneruskan tugas Gestapu dalam menyingkirkan anggota-anggota SUAD yang pro Yani, dan, kemudian menyingkirkan pendukung Soekarno yang masih tersisa.

Dari ke-enam perwira SUAD telah diangkat bersama Yani, yakni 3 orang : Suprapto, D.I. Pandjaitan dan S. Parman yang telah dibunuh. Dari 3 orang yang selamat (Mursyid dan Pranoto) telah disingkirkan oleh Soeharto dalam 8 bulan berikutnya. Anggota terakhir dari stafnya Yani adalah Jamin Ginting yang telah digunakan oleh Soeharto selama menegakkan Orde Baru  dan tugas tersebut diatas secara pasti adalah melenyapkan PKI dan pendukung-pendukungnya melalui pertumpahan darah yang kini diakui oleh beberapa sekutu Soeharto, yang mungkin telah mengambil korban lebih dari setengah juta jiwa (oleh CIA sendiri dinamakan “salah satu pembunuhan massal paling buruk dalam abad ke-20”).
Ketiga peristiwa tersebut: Gestapu, tindakan jawaban Soeharto dan pertumpahan darah, hampir selalu ditulis di negeri ini (Indonesia) sebagai jalan cerita yang masing-masing memiliki motivasinya sendiri-sendiri. Gestapu dilukiskan (di Indonesia) sebagai suatu komplotan sayap kiri, dan pertumpahan darah dilukiskan sebagai aksi massa yang membabi-buta. Para pejabat, wartawan dan ilmuwan AS, yang beberapa diantara mereka mempunyai hubungan cukup penting dengan CIA, mungkin, pada dasarnya bertanggung-jawab terhadap pertumpahan darah yang merupakan reaksi rakyat secara spontan sebagai pembantaian besar-besaran terhadap PKI. Walaupun tentu PKI ikut memberikan andilnya dalam histeria politik tahun 1965, namun catatan  tentang “ beberapa ratus korban” oleh teror PKI, ditolak oleh Crouch sebagai hal yang sangat menyesatkan. Nyatanya peristiwa pembunuhan yang sistematis di bawah hasutan AD dalam tahap-tahap yang sangat menyedihkan, yang paling dahsyat terjadi ketika para komando RPKAD Kol. Sarwo Edhie bergerak dari Jakarta ke Jateng dan Jatim, dan akhirnya ke Bali. Dalam kasus Bali, seorang wartawan yang dekat dengan sumber-sumber resmi USA mengakui bahwa “Angkatan Daratlah yang telah mencetuskannya”. Pembantaian di Jatim juga baru mulai ketika RPKAD tiba. Bukan hanya di Jateng dan Bali, seorang pengamat yang pro Soeharto mengatakan bahwa ia tidak membantah penegasan ini. Orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal ini telah dikerahkan atau dilatih setempat oleh AD, atau dikerahkan dari kelompok-kelompok (SOSKI dan organisasi mahasiswa Gemsos yang disponsori oleh AD dan CIA) yang selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan AD mengenai masalah-masalah politik. Dari catatan Sundhaussen menjadi jelas, bahwa di sebagian besar daerah-daerah pembunuhan massal secara terorganisir (Sumatra Utara, Aceh, Cirebon, seluruh Jateng dan Jatim), terdapat komandan-komandan setempat AD, yang anti-PKI-nya terbukti sangat kuat.  Banyak diantara komandan setempat ini selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan orang-orang sipil, melalui apa yang dinamakan “Civic Mission” yang disponsori AS, dalam operasi-operasi yang ditujukan terhadap PKI dan sering juga terhadap Soekarno.
Dengan demikian bisa dicurigai adanya suatu komplotan dengan melihat kenyataan bahwa “respon sipil” yang anti PKI telah dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965, saat itu AD mulai membagi-bagikan senjata kepada mahasiswa-mahasiswa Islam dan anggota serikat buruh Islam, sebelum adanya pembuktian yang benar tentang tersangkutnya PKI dalam Gestapu. Sekalipun Sundhaussen berusaha memperkecil peranan AD dalam mempersenjatai dan menghasut gerombolan-gerombolan pembunuh rakyat, ia telah menyimpulkan, bagaimana kuatnya rasa benci dan rasa takut terhadap PKI, namun tanpa propaganda anti-PKI oleh AD, pembunuhan massal itu tidak akan terjadi. Anggapan bahwa Gestapu, tindakan Soeharto, dan pertumpahan darah itu merupakan bagian dari skenario tunggal dalam usaha perebutan kekuasaan oleh militer, sebuah skenario yang kemudian dalam waktu yang dekat terjadi di Chili, juga di Kamboja. Tentu saja Soeharto adalah anggota komplotan penting dalam skenario ini: dalam perannya yang berwajah dua itu berlagak sebagai pembela status-quo konstitusional yang pada kenyataannya justru bergerak secara berencana untuk merebut kekuasaan yang bisa dipersamakan dengan peran Jenderal Pinochet dari Chili. Namun demikian peranan yang langsung dalam mengatur pertumpahan darah telah dimainkan oleh orang-orang sipil dan perwira-perwira yang dekat dengan kader-kader dalam pemberontakan CIA yang gagal pada tahun 1958, yang kini bekerja dalam program “Civic Mission” yang dibiayai oleh AS dan dilatih di AS, membuktikan bahwa unsur-unsur dalam skenario itu pasti disediakan, dan pada kenyataannya memang telah disediakan oleh negara-negara lain yang mendukung Soeharto, a.l. Jepang, Inggris dan Jerman, dan mungkin juga Australia. Pada tahun 1965 Jerman Barat (yaitu BND atau Dinas Intel Republik Federasi Jerman) telah membantu dinas Intel  Militer Indonesia dengan menumpas putsch sayap kiri di Jakarta, dengan menyediakan senapan-senapan, perlengkapan radio dan uang sebanyak 300.000 mark.

Bau anggur dari sakramen paskah di bawah angin ke ujung hidungku. Aku menelan bau itu hingga menyusup ke jiwaku. Aku yakin Yesus juga memberiku seteguk dari cawan imajinir darah penebusanNya. Dan khotbah itu sudah kubaca.
Di sana, ibadat sudah usai. Sang pendeta tak lagi mengenakan jubah hitamnya. Setelah lewat di sel kami, lelaki dengan wajah agung itu menatap ke langit. Ditepiskannya harapan kami menengok sinar matanya, yang siapa tahu kulihat wajah Kristus-ku di sana. Tidak. Tidak ada kesempatan bagi kami untuk melihat Kristus dalam dirinya.  Tapi syukurlah aku baru membaca rupa bangsaku, meski pikiranku tetap penuh tanda tanya.

***
  

BAGIAN : IX

Kesaksian Ketiga

(24)
            Blok sel para tapol dengan narapidana dipisahkan satu blok yang lain. Bagian yang memisahkan dua ruang yang sekaligus membedakan status dua jenis orang hukuman itu, dipakai sebagai ruang serbaguna penjara. Meskipun demikian,  semua keadaan ruang sel dalam penjara ini terbilang sama saja, baik kebersihannya dan terutama bau amis dari beton tua yang sering basah oleh air hujan dan  air kencing serta keringat dalam periode yang panjang. Tentu, ruang-ruang ini pun telah sama-sama kenyang menyaksikan dan menyimpan berbagai kejadian dalam kurun yang panjang. Mungkin ruang-ruang ini telah pula menyimpan sejarah seorang anak manusia yang mesti menghabiskan hidupnya dalam kerangkeng dengan bau amis ini, entah karena dia benar-benar seorang penjahat, atau  orang baik yang menjadi korban penjegalan hukum, seperti lazimnya terus berlangsung di negeri ini.
Kaleng tua  yang selalu bertengger di bawah dipan pembaringan itu misalnya, adalah warisan dari Willy, dan Gustaf. Mereka, dua lelaki yang dilepas dari penjara ini ketika sudah tinggal nama. Kaleng tua yang selalu mengkilap namun telah menipis itu, mungkin sudah dibersihkan dan digosok-gosok dalam jumlah jutaan kali. Mungkin, sejak penjara ini dibangun, kaleng itu  sudah ada di ruangan ini. Mungkin milik penghuni pertama yang menempati ruangan ini dan mewariskannya secara berganti, hingga masih kugunakan saat ini untuk setiap harinya mengambil air hangat di dapur umum.
Hari-hari belakangan, aku sering termenung. Banyak hal yang kupikirkan.  Percakapanku dengan Sasinduan, telah  memberikan berbagai pelajaran yang memicu penghayatan baru yang lebih terang tentang hidupku. Hidupku ternyata sebuah lintasan yang lebih memanjang dalam garis-garis penderitaan yang silih berganti, dibanding kesenangan yang denyutnya selalu saja hanya sesaat, lalu pergi. Hari ini, sejak pagi segala gambar masa silam  seperti mendapat tempat berpusing dalam pikiranku, seperti mosaik-mosaik yang wujudnya begitu samar, tapi degup deritanya senantiasa mendebam dalam dadaku.
Nafasku agak sesak digempur masa silam itu. Tapi ada saja kejadian-kejadian keseharian dalam penjara ini yang bisa mengantar aku menepihkan penat itu, seperti bunyi keroncong dan nyanyian para narapidana yang terdengar sayup dari blok mereka, yang mampu menghablur ke dalam kesejukan senja yang mulai menelungkup di sini.
Para napi itu menyanyikan lagu: “Oh kasiang pirua ana kasisi, metahendung ghaghurang maka sasangi”. Lagu itu sering kudengar pada saat acara pemakaman orang mati. Sejak kecil aku sudah hafal betul lagu itu, karena aku sering dibawa ayahku untuk menghadiri pesta penghiburan pada keluarga yang berduka. Selama di penjara, setiap kali mendengar lagu itu, hatiku seperti menangkap suara tangisan yang tak henti menyusup ke perasaanku.  Lagu tersebut  dari liriknya, menceritakan tentang kepedihan hati seorang anak yatim piatu yang ditinggalkan mati oleh kedua orang tuannya. Lagu menyedihkan itu  membukakan luka di hatiku. Wajah istriku dan anak-anakku melintas dalam benakku. Wajah-wajah dengar sebaris penderitaan yang sedemikian menyesakkan. Kadang-kadang aku membayangkan bagaimana anakku yang bungsu Dian ketika harus mengakhiri hidupnya di tali gantungan. Sungguh malang nasib buah kasihku itu. Gadis dengan kecantikan yang bagiku begitu sempurna, yang padanya aku berharap akan terbit cerita kehidupan yang penuh kebahagiaan.
“Ah…jika hidup hanya berupa jebakan, mengapa aku harus dilahirkan,” gumamku sesal pada hatiku sendiri. Mungkin juga pada Tuhan!
            “Kita memang ditakdirkan sebagai manusia dalam kutukan. Tak usalah banyak berpikir. Jika kau ingin berpikir, pikirkanlah bagaimana cara mengalahkan kutukan itu, bukannya menyesali nasib. Kita harus bisa menyusun kekuatan untuk menghancurkan penguasa-penguasa busuk yang memimpin negeri ini,” ujar Sasinduan, mematahkan lamunanku. Rupanya, ketika aku berguman, lelaki itu sudah terjaga dari tidurnya dan sempat membaca apa yang kupikirkan. Rokok yang dihisapnya sudah sampai ke batas tengah. Berarti sudah sejak tadi ia mengamatiku.
            “Sejak tadi kuperhatikan kau melamun tak karuan Kepas. Kepas seharusnya mengepak sayap seperti Elang! Terbang tinggi dan jauh. Kalahkan dunia!” katanya sambil melemparkan sebatang rokoknya ke arahku bersama sekotak korek api. Dengan memitingkan kaki, punggungku disandar pada sudut beton di belakang dipan.  Aku memasang rokokku, ketika lelaki itu berkata lagi, ”lamunan akan membuat orang cepat bunuh diri.  Kalau kau mau bunuh diri, gampang! Bakar saja penjara ini!”
            “Tak ada niat seperti itu,” kataku.
            “Makanya, jangan berpikir membalikkan waktu. Biarkan segala persoalan yang sudah terjadi berlalu sebagaimana adanya. Yang harus kita pikirkan adalah bergerak ke masa depan!”
            “Apa kita masih bisa berharap masa depan?”
            “Masa depan tak bisa diharap jatuh dari langit. Harus diupayakan. Harus direbut dari para perampok masa depan kita itu. Penguasa-penguasa busuk itu!”
            Tiba-tiba, di balik terali sel, muncul lelaki bergelambir yang setiap malamnya sok pamer kekuasaan. Ia rupanya mengendap-endap, dan mendengar percakapan kami.
“Dasar PKI. Kalian telah menghina pemerintah! Kalian harus kubunuh!,” teriak si gelambir garang. Tampaknya ia amat bernafsu mau menghajar kami. Matanya berkilat. Gelambirnya bergetar, ketika kutatap matanya dengan tajam.
“Mengapa, kau menantang?” teriaknya lantang ke arahku. Aku tak bergeming, tapi terus kutatap matanya, agar ia mengerti dimana tak ada rasa takut sedikit pun dalam hatiku jika berhadapan dengannya.
“Kami tidak bicara apa-apa,” terangkan Sasinduan. Kawanku itu agaknya mulai membaca niatku menantang si gelambir memuakkan itu.
“Aku mendengar sendiri apa yang kalian percakapkan!”
Ia kemudian langsung membuka pintu sel, dan  menyerang Sasinduan, dengan tongkat hitamnya. Namun dengan cepat kusodok kakinya. Tak pelak, ia jatuh terjerembab ke lantai. Menyadari aku yang menyodok dia, ia bangkit dengan muka yang sengit memerah. Tak dinyana, ia langsung menabrakku. Aku melompat ke samping, dan menarik tangannya yang menjulur kedepan, seperti memelintir kaki babi hutan. Terdengar pekikan sakit yang keras. Dengan kuat kudorong kepalanya yang mulai gundul itu  membentur tembok. Ia tampak seperti raksasa mabuk, terhuyung-huyung kemudian terkapar. Ia tak sadarkan diri.
Begitu cepat kejaidan itu. Kegemparan pun terjadi. Beberapa petugas penjara bersenjata mendatangi sel kami. Derap bunyi sepatu mereka ketika menginjak lantai mesel terdengar berseliweran sana-sini. Mereka dengan cepat pula langsung berhamburan ke sel kami. Melihat rekan mereka terkapar pingsan. Tanpa basa-basi, mereka langsung menyerang dan memberondong kami dengan pentungan dan pantat senjata laras panjang. Tidak puas menghajar kami di dalam sel, mereka menyeret aku dan Sasinduan, ke lapangan terbuka penjara lalu dihajar lagi. Tak sedikit teriakan sakit ku dengar keluar dari mulut Sasinduan.  Suara keperihan Sasinduan itu menyakitkan hatiku. Tapi aku sudah terbiasa dengan penyiksaan semacam ini. Bahkan ada yang jauh lebih menyakitkan lagi yang sudah kulewati.
“Siapa yang memukul Derek?” tanya salah seorang sipir.
“Aku,” jawabku.
“Bukan dia, tapi aku,” teriak Sasinduan. Aku menoleh ke arah Sasinduan, dengan hati yang iba. Dalam kesakitannya yang tak tertahankan itu ia masih  bisa solider. Diam-diam aku menyimpan kebanggaan pada lelaki idealis itu.
“Jadi kalian berdua ya?” teriak sipir yang lain.
Beberapa orang sipir lalu menyeret kami, kemudian mencampakan kami berdua ke selokan yang berada di pinggir lapangan penjara. Kami jatuh seperti babi yang dibanting. Selokan itu satu setengah meter dalamnya. Samping kiri dan kanan selokan sudah dibeton untuk menahan tanah. Sedangkan dasarnya tetap tanah yang selalu becek akibat air dari dapur umum yang memang  dialirkan menuju got pembuangan di luar penjara.
Nasib kami sejak senja hingga malam itu harus berlalu dalam selokan becek hitam yang baunya keras. Sudah dua hari hujan menguyur agak lebat, makanya selokan ini sedikit penuh, karena jalan air di luar penjara tersumbat oleh longsoran tanah dari bukit di atas penjara. Kami direndam seperti merendam bangkai babi. Rasanya tak terperihkan.
“Kalau ada negara yang sistem hukumnya paling buruk di dunia adalah negara kita saat ini. Bagaimana negara bisa memenjarakan rakyatnya tanpa kesalahan, dan tanpa proses pengadilan. Bagaimana negara bisa melancarkan tuduhan tanpa bukti. Tetapi memenangkan tuduhan itu? Di seluruh negeri ini, jumlah orang-orang yang senasib dengan kita lebih dari sepuluh juta orang. Tiga juta di antaranya dianiaya dan mati. Mungkin sebentar lagi kita akan menyusul yang mati itu,” kisah Sasinduan getir, sambil menahan tubuhnya yang mulai menggigil hebat.
“Ini ringan,” bisikku padanya. Sisinduan, berusaha menoleh ke arahku.
“Aku pernah direndam dalam septiktank.”
“Gila.”
“Ya. Memualkan. Aku muntah jika mengingatnya.”
“Lalu cacingnya?”
“Mengerubuti tubuhku.”
“Geli?”
“Seperti saat orgasme.”
“Otakmu selalu di selangkangan.”
“Habis. Bayangkan saja, bagimana jika kau masuk dalam telaga cacing.”
“Aku memilih mati.”
“Berarti ini ringan kan?”
“Apa yang ringan?”
Beberapa petugas penjarah nampak menjagai kami. Mereka sesekali mondar mandir di atas beton selokan. Salah seorang dengan tingkahnya yang iseng melempariku dengan puntung rokoknya yang masih menyala. Orang-orang itu seperti mahkluk tanpa perasaan. Jika mungkin memberaki kepala orang bisa dilakukan, tentu akan mereka lakukan.
“Itulah kultur pegawai negeri di negara ini. Mereka akan merasa senang jika bisa mempersulit kehidupan rakyatnya. Dan mereka akan merasa bangga jika mampu menyenangkan atasannya kendati dengan mengorbankan kehormatan istri atau suami mereka sendiri, dan mungkin juga dengan menjual anak-anak mereka bagi pemuasan nafsu seksual para atasan. Dan kultur pegawai negara ini telah tersistem sedemikian rupa dengan menempatkan rakyat sebagai musuh. Sungguh-sungguh sesifat cecak tingkaru: Yes bos, Siap pak,” bisik Sasinduan padaku dengan nada sinis.
“Cecak Tingkaru?”
“Ya. Binatang sejenis cecak yang hidup di pohon dan semak-semak yang kepalanya selalu bergerak ke atas dan ke bawah seperti mengangguk,” jelas Sasinduan. “Hanya gerak itu yang bisa dilakukan binatang itu,” tambahnya.
 Hatiku tiba-tiba geli merenungi personifikasi yang sedemikian sederhana tapi mengena.
Meski perasaanku cukup terhibur oleh anekdot-anekdot bikinan Sasinduan, tapi malam ini adalah malam yang memuakkan. Perasaan sakit, nyeri dan kedinginan telah menyatu, menyayat kami. Untung cuaca sangat cerah. Bintang-bintang bersinar penuh dan awanan yang berarak di bawah bintang-bintang cukup menghibur. Seperti tarian malaikat di langit di bawah kedipan bintang-bintang diiringi musik sunyi yang merdu menawan.. Namun kadang-kadang bayangan istri dan anak-anakku masuk ke pikiranku, saling berganti dengan bayangan seram yang entah berwujud apa, yang pasti menakutkan.  
Pada pagi harinya, kupikir kami akan segera dibebaskan dari selokan busuk ini. Ternyata kami dipindahkan dalam ruang isolasi yang gelap. Ruang isolasi itu ukuranya kira-kira hanya satu setengah meter bujur sangkar. Ruangan berupa bungker dalam tanah.
“Aku sudah tiga kali dimasukkan dalam bungker ini. Dulunya aku sendiri melewati kegelapan berminggu-minggu di dalam ruangan kecil ini. Tak ada cahaya. Syukur, sekarang kita berdua. Ya, paling tidak aku punya teman bicara. Jika engkau ingin menemukan cahaya di ruang ini, segera nyalakan lilin dalam jiwamu. Atau pasangi matahari di otakmu. Kau akan segera melihat segalanya,” ujar Sansinduan, menguatkan hatiku. Perasaan ngeri tiba-tiba menjilati sekujur tubuhku.
“Ruangan bawah tanah ini telah memakan banyak korban sebelumnya. Mereka mati mengenaskan,” tambah Sasinduan lagi. Dengan berhimpit-himpitan kami berdua berupaya mencari posisi duduk yang agak enak. Aku mencium bauh bangkai yang masih membekas.
“Kau tak takut hantu?” tanya Sasinduan.
“Aku malah sangat bersahabat dengan hantu!” jawabku.
“Berarti kita aman. Kita akan tidak dihantui perasaan takut.”
Selama dua hari kami di dalam kamar sempit itu bersama tikus-tikus yang menggerayangi kaki, tanpa diberikan makan. Perasaan lapar yang amat sangat tak terkisahkan lagi. Tubuhku mulai terasa lemas. Sekujur tubuh yang dipenuhi memar dan luka. Sasinduan, yang mengalami batuk basah sejak di cebur ke parit, tiba-tiba mengalami deman tinggi. Melihat keadaan Sasinduan yang mulai mengigau, aku menjadi panik.
“Tolong-tolong,”  teriakku sekuat tenaga, meminta tolong, setelah melihat kodisi Sasinduan, yang kian berat. Tubuhnya menjadi kejang. Dua orang petugas mendatangi kami. Mereka menyalakan lampu di depan sel. Setelah melihat kondisi Sasinduan, dari luar, jawaban mereka hanya siraman air dingin.
“PKI, biar mampus sekalian,” bentak salah seorang petugas. Sepeninggal dua petugas brengsek itu, ada seorang petugas berbaik hati memberikan beberapa penggal roti dan air yang masih hangat dalam kantong plastik. Ia juga memberikan beberapa butir tablet. “Ia masih family dengan istriku,” ujar Sasinduan, setelah demamnya agak redah. Petugas itu pun tak lupa meninggalkan beberapa batang rokok dan korek api. Berbekal pemberiannya, kami berdua bisa melewati hari-hari siksaan ini dengan perasaan yang agak enak.
Setelah hari ke tiga, kami baru dipindahkan lagi ke sel umum, sambil bergantian diinterogasi Kepala penjara. 
Untung kasus itu berakhir begitu saja, setelah kami berhasil meyakinkan Kepala penjara kalau si gemuk itulah yang menyerang kami, namun kami menghindar dan dia membentur tembok lalu pingsan. Soal tangannya yang patah, kami katakan karena sebelum membentur tembok ia tersangkut di ranjang kami.  Kepala penjarah rupanya menaruh kasihan melihat kondisi kami, dan ia tak berselera memperpanjang kesulitan kami.

Hari pun terus berlalu dalam berbagai suasana lain yang menyakitkan. Menurutku, Sisinduan adalah seorang yang memahami politik secara benar. Ia, katanya di ciduk di Siau, sepulangnya dari sebuah seminar partai di Makassar. Setiap waktu luang di sel, kami pergunakan untuk diskusi dan berbincang-bincang soal politik. 
“Kita sama-sama hanya korban para monster yang tidak tahu politik. Mereka itu, lebih jahat dari Westerling. Mereka dalang G30S. Tapi, ia mengkambing hitamkan PKI,” ujar Sisinduan kepadaku. Aku diam saja, karena bagaimanapun aku tak begitu yakin dengan penjelasan Sasinduan.
Ia juga menceritakan bagaimana presiden Soeharto secara sistematik telah mengatur kup terhadap presiden Soekarno. Dan untuk mencapai tujuan itu, ia membutuhkan banyak tumbal, termasuk partai-partai yang dituduhnya sebagai ekstrim kiri, yang berfaham sosialis.
“Kau bayangkan bagaimana nasib generasi kita di masa depan. Jutaan manusia Indonesia dilibatkannya sebagai Tapol. Anak-anak mereka tidak bisa bersekolah tinggi-tinggi. Dilarang berkerja di instansi pemerintahan. Mereka terkucil dan mengidap inferior sindroma. Apakah begini membangun sebuah negara bangsa? Saya memperkirakan, negara bangsa ini akan mengalami suatu gelombang kehancuran luar biasa sesudah jatuhnya rezim  ini,” ujar Sisinduan.
Wawasanku tentang politik menjadi terbuka lebar lewat berbagai penuturan Sisinduan.  Tapi apakah isi tuturannya itu benar? Aku tidak tahu! Bagimanapun hal ini harus dibuktikan dan diluruskan lewat catatan sejarah. Sebab bagaimanapun mahirnya manusia membengkokkan sejarah, tapi kebenaran sekali waktu akan tiba juga.
***
(25)
Di penjara manapun waktu terasa beringsut teramat lamban. Menunggu terbit dan terbenamnya matahari betapa menggelisahkan. Seperti kegelisahan seorang perempuan yang menanti jemputan kekasihnya di suatu stasiun. Menurut para napi, kalau ada sesuatu yang paling mereka benci di dunia ini tak lain adalah almanak. Sebab menghitung hari dalam almanak, menanti saat-saat kebebasan membuat mereka menjadi gila. Tapi kupikir seorang napi bagaimana pun mereka sangat beruntung di banding para tapol. Seorang napi bisa menanti hari kebebasan. Sedangkan hukuman seorang tapol tak memiliki waktu pembebasan yang pasti. Semuanya tergantung permainan hati sang penguasa. Satu-satunya kekuatan yang harus dimiliki seorang tapol adalah pengharapan. Bagaimana pun gelapnya jalan kehidupan di depan sana, kita harus terus melaluinya dengan pengharapan. Siapa tahu kita akan segera tiba di gerbang kebebasan. Dan ini bisa saja terjadi meski tak disangka-sangka. Begitulah kubangun penghayatan kehidupanku selama di penjara. Ku rangkai pengalaman walaupun itu bernama segala yang menyakitkan, dengan ketelatenan tersendiri, seperti ketabahan seorang perempuan perangkai bunga yang menyusun satu demi satu tangkai dan daun-daun ke dalam vas hingga mencapai keharmonisan keindahan. Kupeluk rindu, untuk mengenyahkan gelisah dan kekosongan. Kulawan tangisan batin dengan senyuman pada langit, matahari, bulan, dan bintang-bintang. Ku dengar angin sebagai nyanyian untuk mengisi mimpi-mimpi. Ku cari Tuhan dalam sujud dan tangan yang tergenggam erat. Jiwaku kubiarkan bersenandung di tengah bunga-bunga di pinggir lapangan penjara, atau di tengah semak di tempat kerja paksa. Kupandang manusia di jalanan sebagai sahabat yang menantiku dengan kasih. Semua itu kulakukan untuk mengalahkan waktu yang beringsut lamban.

***
Bulan tidur di atas bebukitan meneroboskan cahya di lubang angin.  Perempuan cantik itu datang bersama cahya. Tanpa gaun atau sehelai benang. Ia telanjang. Tubuhnya putih, montok, berbau nangka.
“Kau masih di situ Kepas?” tanya perempuan itu padaku.
“Ya!” jawabku. Kuserongkan sedikit badanku agar ia bisa berbaring di sisiku. Perempuan itu lalu merebahkan dirinya disampingku. Ia memelukku dengan tangan-tangannya yang lembut. Aku menjadi bergairah. Ia mencumbuku dengan memagut punggungku disertai hisapan hangat. Hatiku menyala. Liurnya menetes di dadaku ketika ia menjilati bagian itu.
“Lakukanlah Kepas,” bisiknya dengan bunyi nafas melengu. Ia menanggalkan seluruh pakaianku. Aku menjadi telanjang. Ia menyentuh bagian atas selangkanganku dengan tangannya yang gemulai. Tangan itu menari di sana. Perasaanku bergeriap seperti alang-alang diterjang badai, dan bunga-bunga putihnya melayang bertebaran ke angkasa. Ia menghelaku ke atas tubuhnya. Kubiarkan tubuhku dibimbingnya. Dan aku menciumnya dengan sengit. Tapi ia tertawa hangat. Hangat dan mengairahkan.  Penisku kencang dan ingin. Telah berbulan-bulan aku tak merasakan perempuan. Aku laki-laki. Harus kusenggamahi perempuan ini, pikirku. Ia terus memagutku. Menciumi puting dan dadaku yang menegang.
“Lakukanlah Kepas. Kau laki-laki normal!” Aku tertantang. Dengan cepat kurengkuh dia. Kutarik tubuhnya sehimpit mungkin. Kurasakan panas buah dadanya yang bengkak berisi. Ia begitu lembut. Terus kupacu, dan berpacu. Ia memelukku dengan teramat erat ketika aku telah tiba di puncak orgasme. Penisku memancarkan mani ke dinding sel dan meleleh melukisi garis-garis di dinding yang menghitam, bersama lenyapnya bayangan perempuan itu.
“Aku juga sering melakukannya, agar aku tetap waras,” ujar Sasinduan, ketika mendapati aku sedang onani. Aku agak malu ketangkap seperti itu. 
“Kau lihat, dalam ruang ini banyak bentuk garis satu senti yang memanjang dan menghitam itu?”
“Ya!” jawabku sambil kembali mengunci ressleting celana pendekku yang tadinya kulorotkan ke bawah,  kemudian berjalan menuju dipanku dan duduk si sana sambil menyandarkan kepalaku ke dinding.
“Kepala garis-garis hitam tebal itu sudah pasti bentuknya seperti bulatan uang logam kan?”
“Apa maksudmu?”
“Itu hasil perbuatan yang sama, seperti yang kau lakukan barusan! Semua orang di penjara melakukan itu sebagai hal yang wajar!” katanya. Aku tertegun.
“Bersenggama dengan bayangan bukan dosa, tapi tindakan manusiawi,” katanya lagi. Aku manggut-manggut saja.
***
Sudah satu bulan kami tinggal dalam kam darurat yang diperuntukan bagi tapol yang akan mengerjakan pembangunan lapangan Naha. Kam itu  dibangun di pinggiran lokasi pembangunan lapangan terbang Naha.  Lapangan terbang ini dapat dikatakan dibangun dengan mengandalkan tenaga manusia. Peralatan berat hanya beberapa buah wals yang sudah tua dan suka mogok. Sedang untuk membongkar bukit dan menebang pohon harus dikerjakan manusia.
Sejak subu sekitar pukul lima, lonceng selalu berbunyi. Semua tapol  yang jumlahnya ratusan orang sudah harus apel di lapangan. Bagi yang terlambat diganjar pukulan penyiksaan.  Sesudah apel, kami langsung disuruh menuju lokasi pekerjaan dengan dikawal beberapa tentara yang selalu siap siaga jangan ada yang sampai melarikan diri. Di antara para pekerja itu, ada juga para napi, dan para pekerja upahan yang menjadi bas atau tukang. Biasanya, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih ringan.
Aku dan Sasinduan, karena berbadan cukup kekar ditugaskan mengangkut balok-balok batang kelapa kepenimbunanya di pinggir lapangan. Pekerjaan itu sangat berat dan meletihkan. Selama sebulan, sudah tiga kawan kami di unit pengangkutan tewas di tempat karena kecapaian. Mereka tertindih dengan balok yang dipikulnya. Di unit-unit kerja yang lain tidak sedikit juga yang telah mengalami nasib sial, terutama yang bertugas sebagai penebang pohon. Pernah sekali lima orang tewas tertimpah pohon yang roboh. Melihat  korban berjatuhan, para petugas tampak biasa-biasa saja. Tidak ada ekspresi keprihatinan di wajah mereka. Bagi mereka kematian para tapol itu, tidak lebih dari kematian seekor tikus saja.
Banyak juga orang-orang yang kondisi kesehatannya buruk, masih dipaksa bekerja. Peristiwa para pekerja pingsan sudah menjadi hal lumrah kedengarannya. Paling-paling diangkut ke pinggir dan disiram air dingin. Ketika siuman, dengan beristirahat sejenak, para petugas kembali memaksa mereka bekerja lagi. Meskipun kami sudah bekerja keras, penyiksaan terus berlangsung jika ada tapol yang melakukan kesalahan sedikit saja.
Pada suatu malam, Sasinduan, mengalami demam. Ia tampak begitu kesakitan. batuk basahnya kian berat. Beberapa hari yang lalu, sebenarnya ia sudah tak kuat lagi bekerja. Tapi oleh petugas ia terus dipaksa bekerja. Malam hari itu juga, karena kondisi agak kritis, ia dilarikan ke Tahuna. Sepekan kemudian, Sasinduan, muncul kembali di antar petugas. Tapi melihat kondisi tubuhnya, aku tahu Sasinduan, belum bisa bekerja berat. Tapi oleh petugas, ia tetap di suruh bekerja. Beratnya pekerjaan yang ia lakukan mengakibatkan Sasinduan, beberapa kali mengalami pingsan. Tak tahan deraan dan penyiksaan di lokasi kerja paksa, ia akhirnya menjadi gila.
Sepanjang waktu Sasinduan bicara tak karuan. Berteriak-teriak. Berlari-lari di sepanjang lapangan yang sedang kami bangun. Ia menjadi liar dan buas. Pada akhirnya, Sasinduan dikirim pulang ke keluarganya di Siau. Aku tak sempat mengantarnya. Tapi kubiarkan hatiku mengikutinya.
Aku sungguh kehilangan seorang sahabat yang baik. Seorang yang telah membuka kesadaranku akan masalah-masalah yang sebulumnya kurang aku pahami. Membayangkan nasib Sasinduan, aku menjadi ingat David Ogelan. Lelaki itu juga menjadi gila karena tak tahan menanggung penyiksaan para interogator di koramil Essang. Beberapa tetanggaku di Essang, malah lebih tragis lagi, mereka memilih bunuh diri saja, untuk menghindar rasa sakit yang tak tertanggungkan. Mereka tak tahan melihat anak-anak perempuan mereka, istri-istri mereka di ganggu tentara dan orang-orang anti PKI. 
Banyak anak tapol juga bunuh diri karena tak tahan menerima ejekan orang. Mereka malu, dan memilih menghabiskan nyawanya di tali gantungan atau menegak racun.  Anak-anak Tapol ada beberapa yang bisa lolos kerja di kantor pemerintah, karena mereka membuat akta kematian orang tua mereka. Padahal orang tua mereka masih hidup. Aku sendiri pernah dihajar cuma karena seorang tentara mendapati aku sedang berdoa dalam sel. Oh… Tuhan, aturan macam apa ini? Negara macam apa ini?
Di penjara tanpa pengadilan ini, aku juga banyak bertemu dengan para pentolan PKI. Mereka orang-orang hebat. Mereka banyak bercerita tentang konsep politik sosialis yang sesungguhnya. Aku menjadi tahu dasar-dasar pemikiran Karl Max, Stalin dan Mao. Dari mereka kuketahui pula sisi gelap kapitalisme. Aku teringat menantuku yang terjerumus dalam becek kapitalisme yang menghalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Ia berdagang senjata gelap. Ia tahu senjata-senjata itu akan dipakai untuk membunuh orang, tapi demi keuntungan, ia tak peduli pada akibat yang akan ditimbulkan dari usaha gelapnya itu.
 Dari para pentolan PKI itu pun aku menangkap bercak hitam komunisme. Lalu aku bertanya pada diriku, mengapa aku dipenjara oleh sebab dua sistem yang tak kupahami? Sisinduan benar! Aku bukan korban politik. Tapi semata karena pekerjaan seekor setan yang rakus kekuasaan. Seekor setan bagaimana pun dalam hidupnya membutuhkan banyak tumbal. Akulah antara lain dari tumbal itu.

***
(26)
Sudah tiga bulan aku di Tahuna dalam apa yang disebut sebagai kam kerja paksa. Aku mengalami penyakit ambeyen yang menyakitkan. Penyakit itu dikarenakan pekerjaan memikul balok-balok kelapa yang berat. Ususku menjadi turun. Aku mengajukan permohonan untuk pulang ke Essang, bersama beberapa tapol yang juga sakit. Setelah sepekan menanti, keputusan pemulangan kami akhirnya datang juga.
Penjara itu harus kutinggalkan bersama banyak kenangan. Aku terbayang Sasinduan, seorang idealis sejati yang menjadi gila dalam tahanan itu. Ia seperti orang kesurupan  dan berteriak memaki-maki tentara  sebagai  anjing kudis. Dari dia aku tahu kalau lewat tangan penguasa daerah yang sedang berkuasa, di Talaud saat ini ditargetkan sekitar 10.000 orang akan dilibatkan dalam apa yang disebut sebagai program stigmatisasi PKI. Apakah keterangannya itu benar atau tidak? Yang pasti saat ini banyak orang yang telah menjadi korban dari program tercelah itu. Mereka adalah kaum lelaki di atas umur 17 tahun. Kata Sasinduan, peristiwa stigma ini memang sudah direncanakan penguasa, agar mereka bisa mengkorup berbagai proyek pembangunan di kabupaten, karena dikerjakan Tapol. Jadi dana gaji perkerja menjadi milik penguasa, karena Tapol tidak diupah. Beberapa guru dan camat dari Talaud yang turut dilibatkan sempat bertemu aku di penjara Tahuna. Nasib mereka lebih buruk lagi. Sudah biasa hidup senang, kemudian ditimpa kemalangan. Sungguh menyakitkan.
Dari balik terali penjara, sesungguhnya banyak suara dan ide-ide perlawanan yang muncul. Tapi seperti kata Sasinduan, Orde Baru dengan sistem-sistemnya yang represif adalah mesin pembunuh yang tangguh. Suara-suara itu tak lebih serupa angin yang melintasi kekosongan demi kekosongan.
            Hari itu Selasa. Aku dan beberapa tapol yang dipulangkan sudah berada di atas geladak kapal. Tangan kami diikat, dan didukukan dalam satu kelompok. Dua orang tentara bersenjata menjagai kami. Sekitar pukul tujuh malam kapal mulai meninggalkan pelabuhan Tahuna. Sebuah kota kabupaten, tempat para kaki tangan penguasa lalim beranak cucu. Penguasa daerah yang mungkin lebih lalim dari penguasa di pusat.  Mereka ada di sana di lembah bukit-bukit yang memagar dalam sepotong lingkaran. Mereka bergenerasi menceritakan kesaksian palsu tentang suatu kejahatan yang kami lakukan. Setiap saat dan waktu, mereka akan berusaha dan berjuang meyakinkan anak-anaknya, keturunannya, dan siapapun bahwa kamilah setan jahat yang harus terus diawasi dan kalau perlu dilenyapkan dari negeri ini. Dan generasi kami, akan ikut menjadi bagian dalam sistem pelenyapan yang telah mereka programkan. Ribuan anak-anak tapol akan berada dalam kubang kemiskinan, tanpa harapan. Maka kupikir benar, apa yang pernah diutarakan Sasinduan, bahwa kita harus melawan. Sebab suatu perbaikan nasib tidak akan datang begitu saja. Tapi kita harus menciptakan perubahan itu. Kalau perlu kita merebutnya dari tangan-tangan para pengekang, dalam hidup atau mati.
Laut begitu teduh, dan angin malam mulai menggigit kulit. Aku tidak sedikit melepas pandanganku dari kota yang turut mengoreskan pengalaman pahit dalam hidupku itu. Terbayang wajah kawan-kawan yang merenggang jawa di kam kerja paksa. Sasinduan, yang melompat-lompat seperti seekor mawas besar yang gila. Betapa Sasinduan, telah menjadi sebuah lukisan kepahitan yang begitu abadi dalam ingatanku.
Mercusuar di unjung tanjung kian lama kian samar kelipnya. Aku tahu aku sedang berlayar menuju penderitaan yang lain. Gabi, salah seorang tapol yang juga dipulangkan, dengan senandung kecilnya seperti meratapi cerita nasibnya yang tercecer di daratan Tahuna sana. Matanya seperti tak mau melepaskan bayangan kota yang kian mengecil itu. Ia seperti mau mengabadikan semuanya agar tidak terlupakan di kemudian hari. Mungkin ia sedang menyusun suatu cerita bagi anak cucu. Apakah kisah yang akan dituturkannya juga bermakna perlawanan? Entahlah! Yang pasti setiap tapol punya kisah dan pengalaman batin sendiri. Dan setiap orang punya kiat untuk perbaikan nasib di kemudian hari. Tapi apakah cita-cita seperti itu dapat terwujud? Atau sekadar menjadi kenangan saja. Aku ingat kata-kata Sasinduan, “Setiap manusia punya masa, dan setiap masa punya manusia”.
Gabi, duduk persis disampingku. Air matanya berjatuhan seperti hujan di hutan sepi. Pelan-pelan orang-orang dalam kelompok kami itu mulai mengikuti senandung Gabi, “dalang su runia, manambo pengane…”  dan seterusnya lagu itu tak kuhafal betul. Namun, syair lagu ini begitu liris, menceritakan larah nasib menjadi seorang manusia, yang ketika terlempar ke dunia diharuskan memilih banyak jalan. Satu-satu pengharapan adalah sekiranya sang pencipta menunjukkan jalan yang benar.
Dari geladak kapal yang terbuka itu, kutatap langit  yang memeluk kesunyian bintang-bintang. Namun sunyiku lebih senyap dari segala angkasa kehidupan di atas sana.
“Kita sudah pulang. Jangan terlalu sedih!” ujar Gabi. Lelaki enam puluh tahunan itu seperti nabi yang tiba-tiba memecah kegelisahan pencarian makna dalam diri kami.
“Kita memang pulang. Tapi menuju dermaga penyiksaan yang lain!” tukas salah seorang yang duduk paling pojok dengan suara agak memelas. Suasana kembali menjadi sunyi. Angin laut yang kian waktu kian dingin seperti mau membimbing perjalanan pikiran kami ke mana kami suka. Pikiranku sendiri melayang jauh. Bayang-bayang kerinduan, bayang-bayang kepedihan silih berganti menghampiriku.
Riak air laut yang diterjang kapal, dan bunyi mesin yang mendentam, terdengar seperti  suara sepasukan babi hutan yang menyerbu, melindasi kampung-kampung. Suara ini seperti meyakinkanku dimana benar kami sedang menuju padang penderitaan baru.
“Jika aku tidak dilahirkan di masa ini, tentu aku tidak memiliki sejarah seburuk ini. Atau jika aku tidak dilahirkan di tengah bangsa ini, aku mungkin tak pernah merasakan kejahatan penguasa di sini. Sejak kecil aku bercita-cita jadi seorang pahlawan seperti dalam dongengan ibuku. Tapi aku tak lebih dari nasib babi-babi tempat roh-roh jahat menyembunyikan diri,” ujar Gabi memecah sepi.
Beberapa orang penumpang yang melintas di dekat kami memperlihatkan tatapan jahatnya yang melukakan hati. Mereka berlalu sambil berbisik-bisik, mencemooh kami. “PKI….PKI…!” desis mereka.
“Orang-orang itu tidak salah Kepas. Yang salah adalah para pengajar, para guru yang menjadi alat penguasa untuk menebar pelajaran kebencian di hati setiap orang di negeri ini. Kita termasuk salah satu obyek yang diajarkan untuk dibenci. Jutaan guru di negeri ini, telah diperosok oleh penguasa dalam kubang dosa sejarah yang sulit terampuni. Jika engkau marah pada tatapan sengit itu, engkau telah salah alamat. Seperti kata Yesus, mereka itu tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tapi kepada para Pilatus. Para Herodes.  Para Judas, akan dipertanggung kesalahan dan dosa-dosa mereka itu!” kata Gabi lagi. Aku mengangguk mengiyakan pernyataan lelaki tua itu.
“Bapa masih punya keluarga?” tanyaku mengajak Gabi bercakap.
“ Tidak ada lagi. Istriku sudah meninggal”.
“Anak-anak bapa?”.
“Aku punya dua orang anak. Mereka berkerja di Tahuna sana,” katanya dengan nada yang menyimpan rasa sakit.
“Tadi bapak bilang tidak ada keluarga lagi”.
“Ya! Kedua anakku telah kehilangan ayah mereka sejak mereka bekerja sebagai pegawai pemerintah. Mereka tidak salah jika kemudian mereka memutuskan membuat akta kematianku. Mereka harus menyangkali kehidupanku agar mereka dan anak-anak mereka bisa hidup. Jadi meski aku masih punya anak. Tapi anak-anakku telah menyatakan kematianku. Aku punya keluarga. Tapi aku telah mati,” papar Gabi sambil menyaput matanya yang membasah.
“Seharusnya mereka tidak melakukan tindakan itu!” ujarku.
“Tidak Kepas. Mereka harus lakukan itu. Mereka sudah melakukan apa yang bisa mereka lakukan agar mereka bisa meraih kehidupan. Aku merestui tindakan mereka.,” katanya cepat, sambil melepas nafas kepahitan yang mengusik dadanya. Aku tercenung. Gabi, lelaki tua itu menatapku dan tersenyum. Bintang-bintang mengedipkan matanya ke mataku. Ya Tuhan….betapa Engkau selalu mengabarkan rahasia-rahasia ketabahan yang begini dasyat. Gabi, kembali bersenandung, “Dalang surunia manambo pengane…dst”, dan para napi yang lain kembali mengikutinya. Terdengar serupa orkestra dalam nomor-nomor stanza terluka.
            Gelombang mulai menggoyang kapal. Aku berusaha sebisanya untuk tidur, namun sia-sia. Hatiku seperti terus mengejar bayang-bayang penderitaan apa yang sedang menyongsongku lagi di esok pagi.  
Setelah mampir beberapa jam menurunkan penumpang di pelabuhan Lirung, kapal Rantepao, kembali bertolak mengantar kami sampai ke Beo. Kawan-kawan kami sudah ada yang diturunkan di Lirung, sedangkan yang lainnya di Beo. Para Tanahan yang akan ke Essang telah dijemput sebuah perahu Pamo besar.
Berita kepulangan kami agaknya telah tersiar di Essang. Dari laut aku melihat para penjemput yang bergerombol di tepi pantai. Yang pasti mereka itu terdiri dari dua kelompok. Pertama kelompok para istri dan anak-anak  Tapol. Kedua, adalah kelompok masyarakat yang biasanya menaruh perasaan benci yang mendalam bagi para tapol. Suatu kebencian tanpa alasan yang dipelihara lewat sekolah-sekolah, rumah-rumah ibadat, dan pertemuan-pertemuan adat dan kekeluargaan.
Lambaian tangan yang sarat penderitaan kulihat di antara kerumunan para keluarga tapol. Anak-anak kecil, kelihatan melompat kegirangan melihat ayahnya pulang. Padahal jauh di lubuk hati ayah dari anak itu,  sedang terjadi penyesalan  kelahiran sang anaknya.  Setiap lompatan anaknya, terasa seperti gempuran benda keras yang menghujam uluh hati sang ayah. Aku sedang mencari-cari wajah Meria istriku di antara kerumunan perempuan-perempuan dengan wajah menderita di pantai sana. Tidak ada. Meria tidak menjemputku. Apa yang terjadi padanya? Apakah ia tidak gembira dengan kedatanganku? Apakah ia sudah berubah pikiran dan kemudian memilih melupakanku? Seperti istri sahabatku Sasinduan, dan Nixon, yang lebih memilih mengubah nasib dengan lelaki lain? Banyak pikiran buruk tiba-tiba melintas dalam otakku. Pikiran-pikiran buruk itu tiba-tiba muncul begitu saja karena mengingat kisah-kisah  rumah tangga sahabatku di penjara. Istri mereka yang pada akhirnya menyeleweng karena tak bisa menanggung penderitaan hidup. Tapi, apakah mungkin Meria akan melakukan tindakan serendah itu? Tidak. Aku yakin tidak. Meria mencintaiku. Aku yakin ia  lagi sakit. Dan mungkin sakitnya begitu serius. Aku tahu cinta Meria padaku. Tak mungkin ia mengabaikan saat-saat penuh kekangengan seperti ini. Ia akan selalu ada. Kecuali jika ia memang sakit.
Sungguh kami telah sampai di pantai Essang. Pantai yang dikemudian hari menerbitkan penderitaan yang lebih menyiksa. Setelah berlabuh, kami melapor ke Komandan Koramil. Makawoka, komendan Koramil itu masih saja galak dan congkak. Dari suara dan tingkahnya ia seperti mau menjelaskan bahwa dirinyalah satu-satunya orang benar dan berkuasa. Suara dan titahnya adalah hukum.
Dengan suara lantang ia meneriaki kami untuk apel. Kami pun berbaris dengan rapi. Beberapa anak buahnya mondar-mondir memeriksa kami dan sesekali menendang kaki para tapol dengan sepatu larsnya.
“Hari ini kalian kuperkenankan pulang. Namun setiap pagi selama tiga bulan kalian wajib lapor. Yang tidak melapor akan tahu apa akibatnya,” instruksi Makawoka dengan suaranya yang lebih merupakan teriakan. “Kalian mengerti?” bentaknya. Kami semua mengangguk.
“Kalian mengerti?”
“Ya!” jawab kami serempak.
Setelah mendengar banyak pidato dan pengarahan yang sebenarnya salah alamat itu, tak berapa lama kami   diperkenankan  pulang ke rumah.
Dengan bergegas aku setengah berlari menuju rumah. Beberapa tentangga yang mendengar kedatanganku dengan cepat membuka pintu dan menatapku seperti tatapan waktu-waktu kemarin sebelum ketinggalkan kampung ini dengan mata mereka yang jijik. Aku tidak peduli, meski hatiku sebenarnya muak dan ingin mencekik leher bangsat-bangsat itu. Sesampainya di rumah aku mendapati Meria istriku terbaring sakit. Wajahnya nampak pucat, dan tak terurus.
“Aku sudah pulang Meria,” sapaku sambil memeluk tubuh istriku yang kurus.
“Syukurlah kau masih selamat!” sambutnya dengan suara yang terdengar sesak. Tangannya yang lemah berusaha menggapai mukaku. Betapa dingin tangan yang dulu indah dan padat ini. Di matanya mengolam genangan air yang sulit kumaknakan apakah ini tangisan gembira atau semacam keharuan yang menyakitkan. Aku tak tahan melihat Istriku menangis. Kupeluk wanita yang kukasihi itu dengan cintaku yang tulus. Kurasakan dekapannya yang lemah memancarkan tenaga cinta yang masih tersisa.
“Aku akan terus mencintaimu meski dalam penderitaan ini,” bisik Meria. Kami sunyi sejenak, terbang bersama perasaan haru yang sulit terbahasakan.  Jika ada perasaan cinta paling sejati hanyalah yang kita temukan dalam saat-saat paling menderita seperti ini. Cinta yang bercerita dari setiap air mata yang jatuh melumuri tubuh sang terkasih tanpa kata. Tanpa sepotong kata namun sarat makna.
“Tuhan, betapa engkau telah ciptakan wilayah keindahan yang sulit terpenjarakan oleh kuasa siapapun yang bernama cinta!” bisikku kepada Tuhan. Jika cinta pun bisa terpejarakan, maka seluruh manusia hanya punya satu pilihan dalam hidupnya yaitu berjalan ke kematian!
 Selama aku di Tahuna, Meria rupanya hanya diurus oleh famili secara sembunyi-sembunyi. Memang sudah menjadi semacam peraturan dimana jika kedapatan ada orang membantu para keluarga Tapol, akan segera di tangkap dan dijadikan Tapol juga.
            Sesaat kemudian, aku memasak air dan memasak ubi yang masih tersisa. Mungkin ini sisa pemberian para famili. Meria, dengan sisa-sisa tenaganya berusaha memancarkan keriangan. Aku tahu ia ingin aku tidak bersedih melihat kondisinya. Ia kadang-kadang mengolokku dengan kelakar. Bibirnya yang pucat berusaha diberinya senyum. Siang ini kusaksikan ia makan bubur yang telah kumasak hingga habis. Ia seperti menemukan kekuatannya kembali ketika aku pulang. Cinta sejati telah memberinya kembali daya hidup. Hingga malam hari, aku berusaha untuk tidak berpisah berlama-lama dengan Meria. Aku ingin selalu dekat dengannya. Mendengar ceritanya. Atau aku yang bercerita kisah-kisah menarik di penjara.
Dari Meria aku baru tahu kalau seluruh tanah kami di Essang telah dirampas Camat dan di jual kepada warga keturunan Tiong Hoa. Tapi pajaknya, tetap menjadi tanggungan kami. Kebun kelapa kami di Beo juga mengalami nasib yang sama. “Negeri macam apa ini!” pekikku dalam hati.
            Dari Meria pula aku baru mengetahui kalau Yulin dan Jack Dagos Jr menantuku pernah datang. Meria telah menceritakan semua kejadian yang menimpa kami. Mereka mengabarkan kebangkrutan usaha mereka di California. Namun mereka saat ini bergabung dengan pihak Moro di Mindanao Selatan.  Herkanus juga sudah tergabung di faksi yang menetang penguasa Filipina, Ferdinan Marcos. Mereka berjanji akan kembali, untuk menyatakan perang dengan pihak penguasa Indonesia.
            Meria menyodorkan sebuah surat Herkanus. Aku membacanya dengan linangan air mata:

Papa,

Aku telah keluar sebagai warga bangsa Indonesia, karena aku ingin berhenti menjadi pribadi yang penakut. Aku memilih menjadi anak tanpa tanah air. Sebab apalah artinya memiliki tanah air jika kita dilarang mencintainya. Satu saat aku akan datang sebagai musuh. Akan kuhancurkan tanah air papa yang lama. Dan semoga aku bisa menyiapkan tanah air yang baru bagi generasi anak-anak kami. Aku telah menikah dengan Broke. Sekarang kami ada di kam pelatihan militer Moro. Kami saling mencintai. Doakan kami. Kami mendoakan papa dan mama.

Herkanus

            Aku memahami pergumulan anakku. Jika mereka menjadi sang lain. Karena mereka memang harus memiliki riwayat sendiri. Pemekaran pribadi mereka menuntut suatu pembebasan atas keterbelengguhan kehidupannya. Namun membayangkan malapetaka yang akan menyusul jika gerakan perlawanan generasi baru ini terjadi. Oh Tuhan. Akan banyak catatan di surgaMu dari mereka yang mati dalam kengerian yang menakutkan dan tanpa arti.
Hari ini sebuah keputusan yang teramat beresiko harus kuambil. Sakit istriku kian parah. Tubuhnya sedemikian lemah. Kulitnya tampak kian kuning. Kadang-kadang ia mengalami deman yang hebat. Tadi malam,  tubuhnya panas tinggi dan mengigau sepanjang malam. “Tuhan jangan ambil dulu wanita yang kukasihi ini”. Rambutnya yang biasa tergerai lebat, kini menjadi kaku dan mulai rontok. Wajahnya mengeriput dengan sorot mata yang tak lagi memberkaskan sinar kehidupan. Ia membutuhkan obat. Tapi dimana aku menemukan uang untuk membeli obat. Selama aku di penjarakan di Tahuna, semua hartaku berupa kebun kelapa telah di jual oleh penguasa setempat kepada warga keturunana Tiong Hoa. Meminjam ke tetangga itu adalah suatu kemustahilan. Jangankan meminjamkan aku uang, melihat saja wajahku mereka seperti melihat mahluk jelek yang menjijikkan. Meminjam kepada famili juga tidak mungkin karena mereka juga terpuruk dalam kemiskinan. Kecuali bahan makananlah dapat mereka berikan.
            Apapun resikonya aku harus melakukan panen kelapa di kebun milikku yang telah di jual penguasa itu. Toh sebagai pemilik, aku berhak atas kebunku. Sistem busuk yang dijalankan penguasa biarlah menjadi sistem mereka. Di mata Tuhan yang kuimani, aku tidak berdosa jika aku mengambil sesuatu dari kebun milikku. Sebuah resiko yang menyakitkan memang sudah kubayangkan. Tapi ini satu-satu jalan untuk menyelamatkan istriku.
            Pagi itu, sepulang dari melapor di Koramil, aku langsung menuju kebun. Sasampainya, aku memanjat kelapa yang sarat dengan buah. Aku pilih buah-yang kering dan yang telah tua.  Agar karungku boleh menampung banyak, kelapa-kelapa itu ku kupas.  Setelah pulang aku singgah di pinggir kampung menjual kelapa itu ke sebuah warung dan membelikan obat-obat yang diperlukan istriku di tempat penjualan obat.
            “Kau telah melakukan perbuatan yang beresiko bagi dirimu,” kata istriku lemah, ketika ia tahu, aku baru mangambil kelapa di kebun untuk membelikan obat-obat dan keperluan hidup sehari-hari.
            “Aku tidak mencuri Meria. Itu kebun milik kita. Kebun yang kita beli dari keringat kita sendiri," kataku menghibur dan menguatkan hatinya. Kulihat matanya menatap langit-langit kamar. Bibirnya yang pucat nampak bergerak-gerak seperti mengucapkan sesuatu yang terselip dalam batinnya. Aku tahu, istriku sedang mengucapkan sepotong doa untuk Tuhan. Wajah  lemah itu seketika kembali digenangi air mata. Aku menciumnya, lalu pergi ke dapur untuk memasak.
            Pada malam harinya, rumah kami kedatangan tamu tak di undang. Rupanya beberapa pemuda anti PKI telah disuruh orang Cina yang kini menguasai kebunku. Pemuda-pemuda itu nampaknya sudah mabuk. Salah seorang dengan berteriak-teriak dari halaman rumahku memanggil-manggil namaku. Yang lainnya memaki-maki tak karuan. Yang lain menghinaku dengan ucapan biasa yaitu;  PKI….PKI !
            Tiba-tiba, “bruarrr..” Salah seorang dengan sombongnya mendobrak pintu rumahku. Kulihat istri kaget dan gemetar. Wajahnya memucat ketakutan. Melihat tamu tak diundang itu, amarahku tak tertahan lagi. Pemuda berperawakan sedang itu dengan cepat kulabrak dengan meja kayu kecil di dekat dipan istriku. Ia terlempar ke tanah dan tidak sadarkan diri. Tubuhnya terguncang-guncang seperti ayam yang baru disembeli. Melihat itu, kawan-kawannya bukanya menolong, malah langsung kabur melarikan diri. Mental para bajingan yang pengecut.
 “Jangan biarkan ia mati,” seru istriku. “Nasib kita akan lebih buruk lagi suamiku,” ujar Meria lemah. Kulihat tangannya menggapai-gapai seperti memerintahkan aku untuk segera menolong pemuda nahas ini. Aku tahu apa yang dipikirkan Meria jika pemuda ini mati. Aku mengambil air dan menyiram tubuh pemuda itu. Para tetangga tidak ada yang berani mendekat. Mereka hanya melihat secara sembunyi-sembunyi dari jendela masing-masing. Setelah pemuda itu sadar, kuberi ia air minum.  Tak berapa lama kudengar langkah kaki berat sedang mendekatiku. Sebelum aku menatap siapa yang datang, sebuah terjangan sepatu lars membentur kepalaku. Dunia langsung jadi gelap. Aku pingsan.
            Keesokan harinya baru aku sadar, aku telah berada di tahanan koramil. Sejak saat itu, aku tak lagi diperkenankan pulang untuk wajib lapor, tapi telah menjadi penghuni  sel Koramil lagi.       
            Seminnggu aku mendekam di sel Koramil, dari seseorang tetangga yang kebetulan lewat di depan Koramil saat aku sedang membersikan parit, kudapatkan kabar dimana Meria telah sembuh,   setelah dirawat seorang mantri desa. Mendengar kabar menggembirakan ini, tak putus-putusnya aku mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhanku.


***




 

BAGIAN : X


Kesaksian Keempat




(27)
Meria Arestina, wanita cantik itu tak lagi segairah dulu. Aku masih ingat kenangan-kenangan manis dan keindahan yang terpancar dari wajah istriku itu saat kami di Cotabato.  Nyonya Argava pun memujinya, sebelum wanita itu kemudian menjadi besannya. 
“Istrimu wanita desa yang cantik,” kata nyonya Sandiana padaku pada suatu pesta Natal bersama para pekerja perkebunan di rumah Argava di lembah perkebunan kelapa Cotabato. Hari itu aku sangat-sangat tersanjung oleh pujiannya. Apalagi Meria. Tentu hatinya sangat bersukaria oleh pujian tulus majikannya. Kenangan itu kini seakan telah mejadi masa silam. Seperti ingatanku akan cabang-cabang cemara dan pohon mohoni yang mejejar di halaman rumah kami di perkebunan Cotabato yang setiap paginya dihinggapi burung-burung kecil yang lincah berlopatan dengan siulan-siulan manis menyejukkan batin. Atau bandou yang memipih rambutnya hingga menempel kekulit kepala di mana di bawahnya wajah segar dan bersih mengkilapkan kegairan yang penuh. Kegairahan akan masa depan yang tumbuh dan melaju dalam kehidupan kami.
Garis-garis indah yang senantiasa pias di wajah istriku kini tinggal guratan penat di sana-sini. Ia tampak tua dan capek. Tapi, Syukurlah ia sudah sembuh.
Ketika membesukku hari ini, jelas kulihat semua keindahan pada dirinya telah dimakan peristiwa-peristiwa yang beruntun kami alami. Namun aku cukup senang, paling tidak ia masih punya kekuatan untuk bertahan. Tapi sampai kapan? Aku sendiri akhir-akhir ini mulai putus asa menghadapi berhala kekuasaan yang berlangsung di sini.
Berhala kekuasaan mungkin ungkapan paling tepat seperti dikatakan Sasinduan  menilai perangai para penguasa di kepulauan ini. Mereka telah menyihir rakyat dan membimbing mereka ke kedai pemabukan akan kekuasaan. Dan tentara, terutama menjadi simbol dari hak paksa kekuasaan itu. Sedang birokrat sipil menjadi artikulator kekuasaan.
Memang tidak semua tentara dan pejabat sipil yang terlibat dalam drama kejahatan ini. Tapi, kukira lebih dari separoh sudah terlibat di dalamnya. Mereka bersama-sama bersanding di atas mesbah penyihiran. Dan setiap saat—jika diperlukan peragaan bagaimana dasyatnya kekuatan kekuasaan itu—mereka tak segan berimprovisasi dengan penyerahan tumbal-tumbal. Tumbal-tumbal itu mudah saja diambil dari kerumunan rakyat yang telah tersihir oleh kekuasaan mereka. Mereka memang punya banyak mantra, seperti senjata api, atau perangkat peraturan, lengkap dengan syair-syair kenabian yang palsu. Janji-janji palsu tentang keadilan ekonomi, atau pewujudan masyarakat adil dan makmur. Dengan janji dan mantra-mantra itu mereka memaksa rakyat menjadi tunduk. Masyarakat ditipu dengan kemegahan pembangunan fisik. Padahal semua itu adalah hasil dari sebagian hutang luar negeri yang pembayarannya harus dipikul lebih dari tujuh generasi. Sedang lebih dari separoh hutang luar negeri telah dikorup oleh segenap kroni beserta buyut-buyut penguasa ini. Sasinduan menceritakan semua itu padaku.
“Itulah sebabnya aku berada disisi kiri jalan. Karena aku telah melihat kemaksiatan para kapitalis pencoleng yang bersekutu dengan penguasa untuk menipu rakyat dari bangsa ini,” tukas Sasinduan, ketika itu.
“Adakah yang bisa menentang?”
“Pernah. Dan Banyak. Tapi mereka disambut berondongan bedil. Bukan saja para aktivis mahasiswa. Namun segala suara kearifan yang datang dari para pengeritiknya, dibungkem dan dilenyapkan.”
Nasib suara kebenaran di negeri ini kisah Sasinduan, laiknya, suara lantang  yang pernah dikumandangkan si rambut gondrong Yohanes Pembaptis. Suara yang melengking dari daerah karang terjal di sehamparan batu karang lancip di seputar mediterania. Tapi suara seperti ini, suara  yang menggedor dan menembusi pintu istana para dewa-dewa kekuasaan itu, hingga kebagian dunia diaspora kaum beragama ini, haruskah menjadi suara kebenaran yang ditukar dengan kepala yang terpenggal, dan hujaman peluru. Tidak saja di sana, tapi juga di kepulauan ini. Padahal kepulauan ini telah mencium aroma kekristenan sejak 1524. “Kasih? Itu hanya suatu propaganda agama. Sementara kaum beragama itu sendiri telah membuatnya menjadi omong kosong,” kata Sasinduan lagi mengingatkanku ketika itu. Sasinduan memang mahir mengutip bible dalam membuat analog.
Aku sendiri mengerti dimana memang rakyat kita telah sedemikian mabuk. Mabuk berat oleh janji-janji palsu yang terkemas sedemikian indah dan sempurna dalam retorika para artikulator dan orator. Rakyat tak bisa lagi membedakan kabut dari fatamorgana. Atau merah lembayung dan kampung yang terbakar. Orang-orang tak bisa lagi membedakan air mata rasa sakit atau embun keharuan. Semuanya telah tersihir. Semuanya telah mabuk dalam filosofi kebendaan. Cari untung dan cari selamat bagi diri sendiri. Dan untuk mencapai itu, mereka bersedia menjahati dan mengkhianati saudara sendiri.
Aku menjadi sang lain di tengah pikuk dari padang sepi rasa ini. Kejadian baru terus mengalami kebaruan meski semuanya bermakna kesakitan. Semua bermakna berhala kekuasaan.  Malaikat sekalipun akan menangis  didera seperti ini. Jika demikian sakitnya, bagaimana dengan manusia? Bagaimana mungkin manusia bisa mendera sesamanya melebihi kemampuan manusia itu sendiri?
Di horison laut sana, matahari entah telah berapa ratus ribu kali menenggelamkan hari-hari penuh kabut sengsara. Entah telah berapa pelaut yang pernah menyimpan wajah tanjung-tanjung itu di memorinya. Kenangan yang melepuh oleh sumpah serapa dari suatu kesakitan yang kini diabadikan.  Mungkin juga tidak sedikit syair dan kata-kata puitis di lahirkan dari makna kudus lembayung senja, dan senyuman fajar pagi yang diapit para nelayan saat menepihkan perahunya di pantai itu. Namun sebuah berhala, tetaplah berhala. Makin lama, makin kudus. Jika itu berhala kejahatan, maka makin hari makin kejam.
Makowako, bukan manusia, simpulku dalam hati.  Komandan Koramil itu semacam setan yang menjelma dari masa nabi Ayub.  Brewoknya, menjuntai seperti ular –ular hitam yang senantiasa meneteskan gidik bisah mematikan. Mungkin ia keturunan dari sibeludak yang menjerumuskan Hawa dan membangkitkan gairah seksual Adam, dan mempersetubuhkan mereka dalam ombak birahi hingga terbuahilah tabiat Kain di rahim perempuan-perempuan suci.  Dan Makawoka, mungkin gen kesekian miliar dari keturunan maksiat itu. Kepalanya plontos, seperti lukisan seorang rasul kejahatan yang bangkit dari kubur setelah mati miliaran tahun. Matanya, mata malaikat maut yang tak sedikit pun menyimpan perasaan welas asih. Haruskah setiap ucapannya bermakna bencana? Kedipan mata itu akan segera memberkaskan sekian ribu bahkan miliaran makna bagi anak buahnya. Bisa bermakna perintah kematian bagi seseorang. Perampasan, pemerkosaan seorang gadis. Makawoka, mungkin manusia tanpa air mata. Sebab jangan harapkan serpihan iba di bilik mata melotot itu.  Ia semata mesin. Mesin pembunuh. Mesin pembunuh di masa rezim ini bukan saja tank, panser, atau senjata-senjata otomatis.
Penguasa telah berhasil merangkai manusia mesin, yang diprogram untuk memerangi rakyat dari bangsanya sendiri. Perang tidak pernah usai di otak kaki tangan seorang rezim jahat, selama mereka masih tetap menjadi manusia yang punya keinginan. Keingin yang terus minta pemuasan. Nafsu yang tiada habis-habisnya mengambil.
Jutaan manusia mesin telah digelar dalam tirani ini di sepanjang jazirah nusantara. Mereka bukan saja para tentara, tapi kaum sipil dan rakyat biasa yang telah ikut  termesinkan lewat partai-partai politik. Kemudian menjadi kelompok partisan hati kering dan suka membabibuta.  Lembaga agama pun ikut menjadi ladang-ladang penciptaan manusia mesin. Para agamawan pesolek, dengan ajaran-ajaran berlumeran kosmetik. Ayat-ayat suci yang dipolitisir untuk melegitimasi kejahatan. Kesakralan yang diasah menjadi pedang pembantai. Tuhan yang di-hantu-kan. Ah…aku menangis berhari-hari. Aku meratapi semuanya.  Seperti ratapan Lot yang kehilangan cinta isteri yang menjadi tiang garam dan kampung halamannya yang terbakar.

            “Bangsat! Pergilah kau memanah ikan. Kami sebentar ada pesta kecil,!” bentak Makawoka mengagetkanku.  Bau alkohol dari mulutnya menyembur, seperti bau bensin yang siap terbakar. Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Ia kemudian membuka gembok sel. Tanpa banyak berpikir aku langsung berjalan ke luar sel, sebab membantahnya sama dengan mematik api di ladang minyak. Makawoka, begitulah ia. Lelaki yang merasa dirinya menjadi Tuhan. Tapi bagiku ia hantu.
Siang itu, matahari masih mengosongkan laut hingga berwarnah perak. Udara panas kering menyaput ke daratan dari lautan Fasifik. Burung-burung tak satu pun terlihat. Mungkin menyepi dari terik. Laut tampak kosong dari perahu dan kapal-kapal yang biasanya lewat menuju selatan Filipina.
Dengan dikawal seorang tentara aku meninggalkan kantor Koramil itu, menuju rumah mengambil papiti dan peralatan memanah di dalam air. Angin selatan sesekali menghempas kencang. Ombak besar memecah di karang dengan buih memutih menutupi permukaan pantai. Meria, seperti biasanya, ia hanya bisa memandangku dengan matanya yang memelas. Aku tahu, hatinya sedang menjerit.
            “Cuaca seperti ini sangat sulit mendapatkan ikan!” kataku pada tentara itu, setelah kami sampai di pantai.
“Sudah pergi kau jangan banyak bicara,” bentaknya lalu mendorongku hingga terjungkal di pasir.
              Aku memaki berkali-kali dalam hati. Jika Tuhan dapat diajak bernegosiasi, aku akan tawar-menawar dengan nyawaku. Biarlah, agar tangan Tuhan mencekik leher si bajingan ini. Biar disuatu saat nanti nyawaku akan membayar lunas semuanya. Terserah itu harus kutebus di neraka. Tidak! Tuhan tetap diam. Sebuah konsep diam yang oleh ibuku katanya, bermakna kasih. Kasih yang sulit terpahami jika dimaknakan di saat-saat menyakitkan seperti ini. Tuhan itu sesuatu yang tidak berperasaan. Tidak berpihak. Ataukah memang Tuhan itu tidak ada. Dan sebuah omong kosong. Lalu manusia adalah mahluk yang tak waras yang mengada-adakan sesuatu yang tidak ada. Tapi juga, siapakah kita jika tidak berasal dari suatu kekuatan yang meng-ada-kan itu. Dan pantai, lalu jagad raya ini? 
Laut luas menatapku dengan bola matanya yang lebar. Mungkin ia sedih. Bunyi ombak mendebur-debur seperti suara yang meratap-ratapi nasibku. Mengapa aku menjadi seperti Nabi Junus yang tak bisa menghindari kutuk pilihan Tuhan? Kuceburkan diriku ke laut. Airnya terasa hangat. Jika aku memiliki ingsan seperti ikan, aku ingin berlama-lama di dalam air, agar tak melihat sosok tentara bejat yang menantiku di bawah pohon Ketapang di pesisir itu. Sayang aku mesti timbul tenggelam untuk mencari udara, mematuhi hukum alam. Dan  bangsat itu di sana. Mengintaiku.
            Beberapa jam kemudian, aku kembali ke darat. Tali penusuk ikan di pinggangku sudah penuh. Tangkapanku lumayan. Tentara itu menjemputku. Ia nampak tersenyum-senyum melihat hasil yang kudapatkan. Ia seperti seorang anak baru mendapatkan permen. Ia menyuruhku untuk membawakan beberapa ekor untuk istriku. Syukurlah.
Di rumah, Meria memelukku. Aku tahu, betapa rindunya ia padaku. Tapi pelukannya lebih terasa sebagai belas kasihan atas derita yang kualami, kujalani.
            “Bersabarlah. Tuhan akan menolong kita,” bisiknya. Beberapa butir air matanya jatuh lagi ke bahuku. Air mata yang selalu memerciki rasa hangat bagi perasaanku. Sejurus kemudian,  Ia menghidangkan aku segelas kopi, dan ubi rebus. Ubi kuning yang menggoda seleraku, dengan cepat kusambar. Meria tampak senang melihat aku mencicipi buah keringatnya berkebun.
            Aku tak bisa lama-lama di rumah, karena izin yang diberikan padaku hanya untuk mengantar peralatan panah. Setelah menganti baju, aku kembali lagi ke koramil.
            Sebelum aku berangkat, Meria, menyerahkan aku sepucuk surat. “Dari Sasinduan!” ujar Meria. Dengan tanpa berpikir banyak, kubuka surat sahabatku itu. Apakah ia sudah sembuh? Ataukah ini sengaja di tulis familinya untuk mengabarkan berita buruk? Setelah surat itu terbuka, aku langsung melihat tanda tanganya dulu. Aku kemudian lega karena di sana nama Sasinduan, tertulis jelas. Berarti ia sendiri yang menulis surat ini.

 

Kepas Sahabatku
Salam kasih.
            Kabar pertama, aku telah sembuh. Kini aku menjalani hukuman wajib lapor saja. Mereka, para penguasa itu, enggan lagi mempekerjakan pekerjaan yang berat  padaku saat ini. Jadi nasibku saat ini agak enakkan sedikit. Aku tidak tahu bagaimana nasibmu. Yang pasti aku selalu membayangkan bahwa nasib kita selalu tidak beruntung. Untuk bisa tidur melepas kantuk dan bayangan-bayangan hidup yang suram saja itu sudah merupakan berkat yang luar biasa. Jadi aku tidak perlu lagi membayangkan jalan hidupmu, sebab bagaimanapun aku mencoba merangkai mimpi tentang keindahan hidupmu, aku selalu ditibakan pada kesadaran bahwa kita telah disistem untuk melarat.
            Rokokku masih saja eskort. Aku berpikir kau makin mahir memelintir batang leher babi hutan. Apakah kau masih senang menangkap buaya? Di pulauku saat ini makin banyak orang yang mahir bercongkak-congkak. Mereka terbawa impian kosong yang pernah di sulam Belanda. Mereka menabung ketinggian hati dari cerita masa silam pulau ringgit. Mereka menjadi mabuk janji-janji palsu penguasa. Mereka menjadi buta akan kebenaran. Ada cerita kecil dariku Kepas : Bulan kemarin seorang anak polisi dengan seenaknya memanah kaki seorang anak petani di Kahetang.  Aku melihat anak petani itu berteriak-teriak kesakitan, tapi anak polisi itu bersama teman-temannya justru terbahak-bahak mengolok-olok korban mereka. Cerita kecilku ini hanya mau mengatakan bahwa sungguh di negeri kita ini telah tumbuh suatu kebudayaan yang aneh. Kebudayaan penindasan namanya. Ini merupakan hasil anasir dari apa yang pernah kukatakan padamu sebagai budaya kapitalis.
            Apakah kau sudah bisa masuk gereja pada hari Minggu? Aku pernah berusaha ke gereja, tapi aku di jauhi anggota jemaat yang lain. Malahan selama beribadah mereka selalu membicarakan diriku. Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak ke gereja. Dan sekarang aku lebih suka menjumpai Tuhan di kamar tidurku.
            Bagaimana  Herkanus, apakah ia masih setia dengan cita-cita luhurnya. Aku pikir, lebih baik kau meneguhkan hatinya agar dia bisa merealisasikan keinginanya itu. Kapan- kapan tulislah surat padaku, aku kangen mendengar cerita tapol di kampungmu. Salam untuk istrimu.

Sahabatmu

Sasinduan


            Kulipat surat itu, dan kuserahkan kepada istriku untuk menyimpannya. Aku senang karena akhirnya Sasinduan, sembuh. Lelaki yang telah banyak memperkaya wawasanku tentang hidup dan arti suatu perjuangan.
            “Keluarga pak Sono akan ke Siau, satu dua hari ini. Kora-kora mereka sudah selesai dikerjakan. Apakah kau tak mau membalas surat Sasinduan?” tanya Meria.
            “Oya! Kalau begitu aku akan membalasnya,” kataku sambil  berjalan ke meja kayu di pojok kiri rumahku, dimana di sana tumpukan kertas dan beberapa buku tersusun dengan rapi. Meria mengikutiku dan menyerahkan sebuah pulpen tinta Parker padaku.

Sahabatku Sasinduan

Aku senang dengar kau telah sembuh. Hari-hariku kini terisi dengan banyak pekerjaan. Mulai dari mencari bahan-bahan ramuan bangunan untuk membangun rumah Camat, serta fasilitas pemerintah lainnya. Semua itu aku kerjakan bersama  para tapol lainnya. Kau tentu perlu tahu, dimana tanah-tanahku dirampas penguasa, dan dijual ke warga keturunan. Sialnya, aku masih diwajibkan membayar pajaknya.
            Pekerjaan kami masih dilakukan tanpa upah.  Para penguasa itu masih juga menyensarakan kami dengan memaksa mengerjakan pekerjaan tersebut dengan peralatan yang terbatas. Bayangkan, kami harus disuruh menebang kayu yang besar dengan parang yang kecil. Padahal pekerjaan itu agar lebih muda harus ditebang dengan kapak. Tapi bagi penguasa, kami adalah orang hukuman. Jadi setiap pekerjaan kami, juga bermakna hukuman.
            Berburu babi hutan adalah pekerjaanku yang lain. Aku dan beberapa tapol yang mahir berburu sering diperintahkan berburu setiap akhir pekan. Syukurlah kalau kami bisa mendapatkan hasil buruan. Sebab kalau tidak, maka kami tak luput dari deraan dan penyiksaan.
            Tentang saranmu, aku lagi pikir-pikir. Tapi amarahku benar-benar telah di ubun-ubun. Lain waktu aku akan menulis surat lagi padamu. Jangan lupa kirimi aku khotbah-khotbahmu. Di sini aku tidak ke gereja. Gereja hanya milik orang suci, bukan milikku.

Kepas
           
Kuserahkan surat balasanku itu pada Meria, yang sedari tadi nenanti di sampingku saat aku menulis surat itu. Ia melipatnya dan menaruhnya dalam sebuah emplop yang diambilnya dari laci meja.  Aku kembali pamit padanya. Meria tersenyum, dan mengantarku sampai di depan pintu, dengan tatapan seakan tak mau berkedip.
***
(28)
Pohon dan rerumputan masih basah dan mendenyarkan warna kecubung. Hujan semalaman mengguyur deras membuat kami merasa beku. Kami belum menemukan apa-apa. Jangankan menemukan seekor, melihat bayangan babi hutan atau jejaknya saja kami belum.
Masoa, lelaki itu, masih enggan beringsut dari akar pohon tempat ia berteduh dan tidur beralas dedaunan kering dan karung goni, padahal matahari mulai mengirimkan sinarnya ke hutan tempat kami berburu. Lengka, sedang memasak air saat kudengar dengungan lagu yang getir dari mulutnya yang mengatup. Aku sendiri tidak bisa tidur semalam. Aku lebih memilih merokok  dan membuat beberapa catatan yang akan ku kirim ke Sasinduan, di Siau. Sekian waktu terakhir ini, aku memang makin sering membuat beberapa catatan tentang kehidupanku dan kehidupan para tapol di kawasan penahanan kepulauan Talaud untuk kukirimkan ke Sasinduan. Informasi ini sangat dibutuhkan Sasinduan, untuk selanjutnya dikirim kejaringan pejuang kemanusiaan di luar negeri.
Tiga kawan lainnya telah masuk lebih ke dalam hutan sejak subu. Aku  memimpin rombongan kecil ini. Rombongan pemburu babi hutan yang ditugaskan Camat. Sejak sore kemarin kami sudah masuk hutan  tapi belum ada hasil apa-apa. Setelah meminum kopi buatan Lengka dan membangunkan Masoa, kami bertiga memutuskan menyusul teman-teman lainnya yang sudah lebih dulu berangkat.
“Perasaanku tak enak sejak semalam,” ujar Masoa  Wajahnya kusut. Seperti ada ketakutan yang hinggap di wajah itu.
“Jangan terlalu percaya pada perasaan. Orang tertindas seperti kita selalu dipermainkan perasaan,” tukas Lengka. Aku sendiri sejak semalam juga dibayangi perasaan yang mendebarkan. Ada apa?
“Kita harus menemukan buruan, agar kecemasan kita bisa sirna,” kataku menghibur Masoa. Lelaki itu membatin.
“Ini perasaan yang lain, bukan ketakutan karena akibat dari kita tak menemukan sesuatu dari pemburuan ini!” ujar Masoa, sambil menyesap kopi di depannya.
“Sudalah jangan dipikirkan. Berkemaslah kini segera berangkat,” pintaku. Masoa akhirnya mengangguk dan mengemas peralatan dan barang-barangnya.
Kami masuk ke hutan sebelah utara. Kawasan hutan itu terkenal menyimpan populasi babi hutan yang banyak. Kayu Raja, Batuline dan Sisak tumbuh subur di lereng yang tak begitu tinggi ini. Tapi anehnya, hingga siang hari kami berjalan, kami tak jua bertemu seekor pun. Tiga kawan lainnya telah bertemu rombongan kami. Mereka pun belum berhasil menemukan tanda-tanda adanya babi hutan di kawasan yang mereka lalui.
“Kemana babi-babi itu?”
“Mungkin disembunyikan setan di hutan ini!”
“Mungkin dari kita ada yang menyebabkan sial!” Mendengar ucapan Masoa, kami langsung saling bertatapan. Tradisi yang kami yakini membenarkan perkataan Masoa. Langit menjadi sedikit mendung, kemudian mulai bergerimis. Di selatan gunung Piapi,  pelangi melengkung ke utara dengan garis warna yang begitu tegas.
“Tapi kita semua ini kan manusia sial,” ujar Ebe, yang lagi sibuk dengan ubi bakar yang sedang di lahapnya. “Kalau bukan manusia sial, tentu kita tidak dijeblos jadi PKI,” tambanya. Kubagikan sisa rokok yang masih tersedia. Rokok itu kemudian seperti menghilangkan kerisauan yang tergurat di masing-masing wajah. Kerisauan yang sesaat terbawa pergi asap tipis yang kemudian lenyap di reranting kayu Sisak.  Hutan ini begitu sepi. Tiada bunyi burung yang mencicit. Memang tidak seperti biasanya, hutan selalu punya keramaian tersendiri. Tapi hari ini agak mencekam. Kami memutuskan terus masuk ke kaki gunung Wowon Mandeeta. Sudah mendekati senja,  kami baru melihat ada seekor babi hutan besar yang mendekati besar anak sapi, sedang bermain-main di bawah pohon Sagu yang berair. Dengan mengendap- endap aku dan teman-temanku mendekati tempat babi hutan itu. Setelah berada dalam jarak yang cukup untuk menyerang. Aku dengan cepat menombakkan sambeang kearah babi itu. Sambeangku langsung menancap di punggungnya. Sementara sambeang teman-temnanku juga ikut menancap di tubuh babi itu. Gila!  Dengan cepat babi itu melesat lari. Kami terus memburunya. Kurang lebih satu kilometer kami mengejar. Dari jarak yang tidak jauh, kami melihat babi itu menyelinap ke bawah pohon Beringin. Diikuti terdengarnya erangan yang memilukan. Erangan yang aneh. Seperti erangan manusia yang sekarat. Dalam hatiku timbul firasat lain. Perasaan yang kurang mengenakan. Tapi aku pikir babi itu segera akan mati. Kami terus mendekat ke tempat babi  yang masih mengerang-erang dengan suara yang menyayat hati. Kian dekat ke tempat erangan, kami makin pasti dimana babi itu terkapar di bawah pohon beringin besar itu. Tapi setelah sampai, ternyata babi itu tidak ada di sana. Babi itu lenyap begitu saja. Kalau babi itu lari setelah kami mendekat, hal ini tak mungkin terjadi, sebab kami telah mengepung arah erangan dari pohon beringin. Jadi jika babi itu lari, pasti akan segera kami ketahui karena kami telah mengurungnya.
            Kami mulai menyadari dimana babi yang baru kami buru adalah hantu yang menyerupai babi. Sebab kemudian, kami mendengar suara erangan babi itu telah berada di atas pohon Beringin yang sangat rimbun dengan akar-akarnya yang liar menjuntai-juntai ke tanah dan batu karang di sebelahnya itu. Seperti kumis raksasa yang tak terurus dan angker.
Tanpa membawa hasil apa-apa kami memutuskan pulang sore itu. Sesampainya di kampung, kami di songsong berita menggemparkan.  Istri Masoa, tewas di gigit babi hutan.  Orang-orang telah menyusul kami hingga ke pinggir hutan untuk mengatakan berita itu. Perkabungan mengerikan terasa menyusup ke hatiku.  Kutukan roh-roh halus yang senantiasa berkeliaran di kepulauan ini kembali meminta korban. Legenda purba yang kami yakini itu kembali terbukti. Masoa, nampak begitu pedih mendengar kabar buruk ini. Mosoa, sudah dalam keadaan pingsan ketika kami membopongnya menuju rumahnya. 
Beberapa saat kemuidan, setelah dirawat oleh seorang dukun, Masoa, siuman, tapi langsung meraung-raung dan meronta-ronta. Di depannya, Isye, istri Masoa, terbujur kaku dengan beberapa luka gigitan yang membiru di tubuhnya.
“Ia digigit babi hutan saat pergi mengambil air ke andaara,” jelas Denang, dukun yang baru selesai merawat Masoa. “Kalian menombak babi hutan tadi?” tanya Denang, padaku. Aku mengangguk.
“Babi itu membalas,” kata Denang, getir.
Setelah semuanya sedikit aman, dan Masoa, sudah agak tenang, kami pamitan melapor ke Koramil. Nanum kutukan dari awan hitam yang masih tetap mengumpal di langit kami ternyata selalu lebih dasyat setelah kami melapor ke Koramil. Apa yang kami alami? Komandan Koramil justru menganggap kami berbohong, dan dituduh tidak benar-benar melakukan pemburuan dan bermacam tudingan yang lain. Yang pasti mereka hanya mencari alasan karena perasaan kesal atas hasil kami yang sia-sia. Akibatnya, kami masing-masing kebagian hantaman keras sepatu lars ke tulang kering masing-masing.
***
Masoa Darena, sangat terpukul atas kematian istrinya. Apalagi pihak Koramil seakan tak ambil pusing dengan urusan itu. Tak ada rasa iba atau keringanan hukuman. Pihak gereja pun dingin-dingin saja menanggapi kejadian itu saat pemakaman. Wanita itu seakan pergi begitu saja tanpa kesan. Kecuali hati Masoa dan anak-anaknya yang begitu mencintai istri dan ibu mereka.
Masoa tampaknya mulai kerepotan mengurusan anak-anaknya. Bagi Masoa, malapetaka yang menimpanya semata karena akibat dari ulah Komendan Koramil yang memerintahkannya ikut berburu.
            Sepekan setelah penguburan istrinya, Masoa, mengajak kami membicarakan rencana pembalasan kepada Makawoka.  Lelaki itu telah terbakar dendam. Beberapa orang yang dipercayainya diajaknya untuk membicarakan rencana itu sewaktu kami pulang dari kerja pembersihan jalan di depan kantor Camat.
            “Kalau kita sepakat, biar aku yang melakukannya,” kata Masoa.
            “Dia itu komendan Koramil. Apa sudah dipikirkan akibatnya?” tanya Lengka, ragu. Masoa menatap Lengka dengan sorot mata tidak senang.
            “Ini lebih mempersulit kehidupan kita!” potong Ebe. Masoa wajahnya kian memerah.
            Merasakan mulai ada pertentangan pendapat aku cepat-cepat menetralisir keadaan.  “Kita semua  seharusnya memahami perasaan Masoa. Kalau kejadian itu terjadi pada istri kita, pasti kita punya dendam seperti yang dia alami saat ini.  Namun begitu,  aku sependapat dengan teman-teman, Masoa!  Upayamu untuk balas dendam  akan menimbulkan dampak lebih besar lagi.”
            “Niatku sudah bulat. Kalian boleh tidak membantu aku!” kata Masoa, sambil menatap kami dengan sinar mata kekecewaan.
            “Kami bukan tak mau membantumu kawan! Tapi tindakanmu itu akan menyeret banyak keluargamu ke kubang persoalan baru. Apa kau tega?” kata Lengka.
            “Kupikir Lengka, benar. Keluargamu akan mengalami kesulitan!” kataku meyakinkannya. Masoa, menatapku. Sinar matanya begitu dingin. Aku menyodorkan sebatang rokok padanya, tapi ia menolak.
            “Kita tidak pernah akan terbebas jika kita tetap pasrah!” gumam Masoa,  kemudian meninggalkan kami di kelokan dekat jembatan kecil menuju rumahnya. Aku sempat memandang punggung lelaki dengan hati terluka itu, seperti memikul beban amat berat.
            “Dia kecewa dengan kita,” kata Lengka.
            “Memang sangat sulit mendukung rencananya di tengah situasi yang saling tidak mendukung saat ini.”
            “Aku cuma kasihan keluarganya, yang juga akan memikul akibat dari tindakannya itu,” ujar Ebe.
            “Tapi benar kata Masoa, kita akan selalu kalah akibat tabiat kita yang selalu pasrah. Kita memang harus melakukan sesuatu, tapi harus terencana. Bukan seperti kemauan Masoa, menghabisi semua isi Koramil itu. Jumlah tentara di sini memang tidak seberapa, tapi rencana  Masoa itu akan mengundang reaksi pusat untuk membombardir kampung ini,” kataku menjelaskan.
            “Aku juga berpikir demikian,” kata Lengka. “Aku setuju kalau rencana itu kita pikirkan lagi,” sambungnya.
            “Kita cari waktu membicarakannya lagi dengan Masoa! Bagaimana Be?” Ebe, mengangguk.
            Sore itu, kami berpisah di depan kantor Koramil. Ebe, dan Lengka,  langsung pulang ke rumah mereka masing-masing. Mereka tahanan luar.  Sementara aku mendekam lagi di sel Koramil.
***
(29)
            Perahu Londe sudah kudorong ke tepi. Laut memanggilku laksana perempuan yang rindu dan birahi. Aku memang anak laut. Lelaki yang menemukan keperkasaan di atas gelombang.  Bergenerasi-generasi sejak leluhur kami menjadikan laut sebagai rahim kehidupan. Guru, dan kenyataan itu sendiri. Kami manusia di tengah laut. Dipelihara laut. Dan kali ini aku sudah siap-siap melaut. Tapi tak seperti biasa, jika ke laut hatiku bernyanyi-nyanyi. Kali ini berbeda. Ada tekanan yang memuakkan hatiku yang memaksa aku melaut.   
Besok, Komandan Koramil akan melangsungkan pernikahan anaknya. Aku diperintahkan untuk mencari ikan guna kebutuhan pesta pernikahan itu. Beberapa dari temanku juga diperintahkan melakukan pekerjaan yang sama. Pekerjaan yang lebih bermakna tekanan. Tak ada bedanya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya di kam kerja paksa. Segalanya menjadi tak berharga, kecuali aku harus tetap hidup.
            Meria, wanita tabah ini, masih seperti kemarin-kemarin, tak jua melepaskan reka di pipinya meski kecantikannya yang dulu sudah menepi dari sana. Ia selalu ingin menyumbangkan senyum di tengah kegetiran hati kami. Keluarga yang terberai oleh suasana yang diciptakan suatu rezim. Ia telah menyiapkan bekalku.  Sore itu aku langsung berangkat. Langit di kejauhan sana melindapkan pemandangan menyejukkan hati. Tapi hatiku tetap panas. Aku manusia terpenjara. Yang terbuang dari kumpulan manusia yang dikencanakan penguasa. Manusia yang berada di luar strata manusia. Sysiphos tragedi bukan sekedar fiksi, tapi kenyataan  bagi rezim yang sedang memimpin kami.
“Tapi kau harus tetap hidup demi aku, demi anak-anak.” Bisikan Meria itu membuat aku tetap bertahan. Aku tidak bisa memilih bunuh diri seperti yang lainnya, meskipun kesempatan untuk mati sangat terbuka bagiku.
Sesampainya di tempat yang cukup dalam, aku mulai melepas tali kailku untuk mengail ikan karang. Sementara sebuah mata kail besar juga kulepas tanpa memberi pemberat tima, agar bisa terseret arus ke mana saja,  siapa tahu ada ikan besar yang memakannya. Perahu londe beberapa teman tapol lainnya juga tampak mengapung tak jauh dari perahuku. Mereka membuang sauh di sana. Londe Lengka, di sana, sekitar lima puluh meter dariku. Lelaki itu terdengar bernyanyi-nyanyi kecil. Kupikir, ia sedang menghibur hatinya. Mosoa, lelaki yang belum lama di tinggal mati istrinya itu memilih terus mendayung perahunya ke laut lepas. Akhir-akhir ini Masoa, tampak menjadi pendiam dan malas berbicara. Kemana pun kami pergi ia diam saja. Kematian istrinya sangat memukul perasaannya. Tiga orang anaknya masih kecil, kecuali yang tertua sudah menjelang remaja. Ia memang termasuk terlambat menikah. Perubahan sikapnya itu sangat mengkhawatirkan kami semua. Sebagai sesama tapol, tiba-tiba kami merasa sebagai keluarga. Kami tumbuh menjadi semacam komunitas eksklusif. Suatu eksklusifitas orang-orang terpinggir dari mayoritas masyarakat umum. Kepedihan hati seseorang terasa menjadi kepedihan kami pula. “Kemana Masoa mendayung perahunya? Jangan-jangan ia berniat melarikan diri, tapi kemana? Ataukah ia punya rencana bunuh diri?” Kulihat perahunya kian mengecil, dan kemudian menghilang bersama datangnya kegelapan mengisi gigir laut ini.
 Hampir tengah malam aku telah berhasil mendepatkan ikan goropa dan maming beberapa ekor, yang besarnya seperti betis orang dewasa. Kupikir aku harus mendapatkan lebih dari itu.
“Sudah banyak?” teriak Lengka, dari kegelapan.
“Lumayan,” jawabku. “Bagaimana denganmu?”
“Tiga puluh dua ekor!” jawabnya.
Setelah mencicipi bekal, aku memilih beristirahat sejenak. Sementara mata kail besar kubiarkan saja. Sambil merebahkan diri di papan perahu, aku berusaha mencari tidur sejenak. Di atas sana, di langit yang kelam, awan hitam bergerak kian ke utara, dan bintang-bintang bergeser ke barat.  Meteor-meteor kecil kadang-kadang melesat dari kegelapan dan hanya kesekian detik kembali ditelan kegelapan. Tak ada nyanyian, selain siulan Lengka, yang samar-samar muncul di antara debur ombak dan desir angin yang melintas di atas permukaan perahu. Aku kembali teringat Masoa. Kemana lelaki itu? Kami memang belum punya kesempatan lagi membicarakan rencananya menghabisi Makowoka. Apakah ia terlanjur kecewa, lalu membiarkan dirinya dihanyut gelombang? Tiba-tiba aku ingin berdoa agar Masoa selamat. Anak-anaknya masih membutuhkan dia. Kuucapkan doaku pada bintang-bintang di kesunyian jauh di atas. Berulang-ulang dan terus berharap Masoa selamat.
Tak terasa sudah mendekati subu. Aku dikagetkan suatu guncangan keras pada perahuku. Kail besarku bergetar. Golong talinya berputar hebat setelah kayu tempat pengikat tali itu patah di sentak kekuatan yang sedemikian dasyat. Ini pasti pekerjaan ikan besar, pikirku. Dengan cepat kurai golong tali kail, lalu melepaskan tali itu sebanyak mungkin hingga mendapatkan jarak yang lumayan untuk menariknya. Setelah kupikir sudah cukup, aku mengingatkan tali kail  senar itu ke sema-sema perahu dengan kencang. Tak berapa lama perahu berderit dan bergerak maju di tarik hentakan yang keras.  Kian lama, perahu makin laju jalannya. Aku langsung memotong tali Sau, sebab kupikir jika ikan yang memakan umpanku itu besar , maka perahu londe kecilku ini bisa patah akibat sentakan kuat ikan itu. Perahu londeku langsung melaju dengan cepat seperti dipasangi mesin tempel Johnson.
“Salasughi!” teriak Lengka.
“Mungkin!” jawabku.
“Putuskan saja. Ukurannya sangat besar!” teriak Lengka, memperingatkanku lagi.  Dalam suasana yang masih gelap seperti ini aku tak bisa mengenali jenis ikan yang memakan umpanku meski ia mulai tampak melompat-lompat ke atas permukaan air sekitar lima ratus meter di depanku. Ombak dari benturan ikan itu membuat perahuku terguncang.
“Kepas, jangan cari mati. Ikan itu terlalu besar. Perahumu akan koyak!”
“Aku akan coba menaklukannya!” balasku.
Tapi aku bisa memastikan ini pasti Salasughi. Orang menyebutnya ikan layar yang besar.  Mengalahkan ikan layar bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain ikan jenis ini memiliki tenaga yang kuat, juga ukurannya selalu besar. Besarnya bisa melebihi tiga atau empat kali besar perahu londeku. Paling kecil saja biasanya seperti perahu londe. Kubiarkan perahuku di tarik ikan itu. Untung cuaca agak baik, jadi aku tidak terlalu sulit mengemudikan perahu mengikuti arah tarikan ikan itu.
Hari sudah merekah. Angin darat berhembus agak kuat. Cahaya kuning sinar matahari yang dipantulkan air memaksa aku harus memicingkan mata berulang-ulang agar tetap bisa melihat ke depan. Aku benar-benar masih sangat kerepotan menahan laju perahu yang terseret. Ikan ini membawaku terus ke laut lepas. Kian lama, kian ke sana. Aku mulai khawatir ketika selang 5 jam ikan itu seperti tak jua kehabisan tenaga. Matahari mulai mendaki ke ubun. Aku kehausan dan lapar. Hampir tak ada waktu sedikitpun untuk istirahat mengisi perut atau membasahi kerongkongan.  Aku berpapasan dengan beberapa perahu nelayan. Mereka menyarankan agar aku memutuskan saja senarku karena ikan yang memakan kailku itu terlalu besar. Mereka khawatir perahuku akan koyak jika ikan itu berbalik mengamuk ke perahu.  Tapi aku memutuskan untuk berusaha menaklukan ikan ini.  Sebab bagaimanapun takdirku sebagai anak laut haruslah bisa menaklukan laut. Untuk menjaga jarak aku melepaskan lagi senarku beberapa kaki. Tapi dengan cepat senar itu menjadi kencang kembali. Laju ikan ini kurasakan seakan melesat seperti peluru.
Terik memanggang hingga sekujur tubuhku terasa gosong. Aku berusaha tidak lengah sedikit pun, sebab jika aku tidak bisa mengikuti irama dan arah tarikan ikan ini, perahuku bisa terseret melintang, berarti itu malapetaka, karena perahu ini bisa patah. Sudah mendekati malam ikan itu terus menarik perahuku. Mungkin aku sudah terseret ratusan mil dari pantai. Pulau  sebesar Karakelang mulai kulihat seluruh cekungannya, dan kian lama, kian mengecil. Aku mungkin telah terseret ke lautan Fasifik. Gelombang Fasifik mulai terasa meski musim tenang.  Perahuku terus berputar tanpa arah yang pasti. Aku mulai was-was. Namun jika kulepaskan ikan ini, aku merasa sia-sia usahaku setelah seharian berjuang mengalahkannya. Aku mungkin sudah mendekati batas perairan kepulauan negara Jiran.  Samar-samar aku mulai melihat kapal-kapal asing yang lewat. Sudah mendekati subuh, ikan itu belum juga kehilangan tenaganya.  Pulau Karakelang sudah lama tak terlihat lagi.  Bekal yang disediakan Meria sudah habis, ketika semalam aku menyempatkan makan sambil terus menjaga jarak dan arah tarikannya. Sementara ikan ini belum juah kukalahkan. Ratusan ekor ikan Kuhia muncul di dekat perahuku. Kuhia-Kuhia atau lumba-lumba itu seperti mau berpacu dengan perahuku. Aku kian khawatir jangan-jangan Kuhia-kuhia ini memotong di depan perahuku dan terjadi benturan yang bisa membuat peraku hancur.  Untung ikan-ikan itu tetap melaju lurus searah perahuku. Aku baru ingat ketika pagi merekah lagi, dimana pesta perkawinan anak komendan Koramil itu pasti sudah lewat kemarin.  Maka mendapatkan ikan ini tentu tidak penting lagi bagi kebutuhan pesta itu. Aku mulai merasa ini semua, tak lebih dari usaha  sia-sia. Usaha ini tidak ada artinya. Sebab bagaimana pun, aku pasti mendapatkan hukuman atas tuduhan kelalaian ini. Mereka tidak akan peduli dengan alasanku. Bagi mereka perintah itu harus dipatuhi dan tepat waktu. Mereka tidak mau tahu aku mau mati atau diseret ikan ini ke neraka sekalipun. Bagi mereka hasil yang paling penting.  Di kejauhan sana, ikan itu membanting badannya setelah melompat ke udara agak tinggi. Aku terkesiap melihat besar ikan itu. Baru ini kulihat ikan layar sebesar itu. Benar, ikan ini sekitar dua atau tiga kali ukuran perahuku. Melihat ikan sebesar itu, niatku untuk menaklukkannya tiba-tiba sontak dan menggebu. Padahal niatan itu sudah mulai sirna, karena aku sudah mulai lapar lagi. Sudah dua hari dua malam aku di seret ikan ini berputar mengelilingi Talaud hingga ke kawasan Fasifik. Banyak perahu dan kapal yang berpapasan denganku melihat kegigihanku. Mereka terheran-heran. Bahkan banyak yang menyempatkan diri membuat foto penaklukan ini. Sebuah kapal mungkin berbendera Inggris, sempat melemparkan bekal ke arahku, ketika mereka berusaha mendekatiku. Mereka menawarkan diri mau menolongku. Tapi aku menolaknya bagiku mengalahkan ikan ini adalah suatu prestasi tersendiri, biar pun konsekuensinya aku akan  terseret ke negeri manapun di dunia ini. Yang penting bagiku ikan ini harus berhasil ku taklukan.  Malam ke tiga, kelelahanku mulai memuncak. Melihat cuaca teduh, tali kailku kuikat dengan posisi segi tiga di depan perahuku yang terkancing di sema-sema. Maksudku agar perahuku bisa berputar sendiri mengikuti arah ikan itu menyeret. Pada saat  itu tiba-tiba aku ingat mantra peremuk tulang. Aku belum mencobakan sekalipun. Kekuatan mantra ini konon sangat ampuh. Memang “berang ese” ini diperuntukan pada perkelahian antar manusia. Tapi kepada ikan? Kupikir tiada salahnya mencobanya. Kuraih tali senar itu, lalu aku mulai merapalnya :
Ual patah ual
Kau patah siri
Ual patah ual
Kau Patah siri
Ual Patah ual
Kau Patah siri
(lalu aku menguncinya dengan dua kata rahasia)
Setelah semuanya beres, aku berusaha untuk tidur sejenak. Tengah malam aku baru terbagun, karena terasa perahu diam dan hanya digeser oleh arus. Aku yakin ikan di ujung kail sana sudah kelelahan, atau mungkin mantra itu telah meremukkannya.  Dan kalau mata kailku ditelannya, pasti ikan itu sudah mati karena kehabisan darah dari sobekan mata kail di usus besarnya.  Perlahan aku mulai menarik senar. Gilanya, yang bergerak mendekat bukan ikan itu, tapi perahuku. Tapi hal itu terus kulakukan. Karena sudah subuh, dari jarak seratusan meter aku melihat sesuatu yang besar tampak mengapung di sana. Ikan itu sedemikian besar. Aku menjadi kecut mendekat, jangan-jangan ikan itu masih hidup. Aku berharap ada perahu yang lewat agar aku bisa meminta pertolongan mereka. Dalam keadaan sedemikian risau, aku memutuskan untuk berhenti menarik senar itu. Untuk membuang sauh tak mungkin, karena laut ini terlalu dalam. Pulau Karakelang masih tidak terlihat. Aku memutuskan untuk istirahat sambil menyantap bekal pemberian kapal asing kemarin.  Setelah mengisap sebatang rokok, aku memilih merebahkan diri kembali menanti pagi. Diam-diam aku bersyukur karena Tuhan berada di dekatku selang tiga hari dalam penaklukan ini. Buktinya ia memberiku cuaca yang indah, dan semangat yang tak terkalahkan oleh sungut dan putus asa. Aku kembali tertidur.
Sekitar beberapa jam kemudian aku dikagetkan bunyi deru mesin motor tempel. Dengan cepat aku bangun. Tak jauh dari perahuku, tampak Tiga perahu pamo  sedang mendekat ke arah perahuku. “Kepas, ini kami.” Kudengar suara lelaki itu. Itu pasti suara Lengka. Sekitar seratusan meter aku langsung mengenal karibku itu.
“Lengka!” seruku.
“Kau gila!” teriaknya.
“Biar!”
“Mana ikanmu?”
Aku menunjuk ke arah bongkahan besar yang mengapung di belakang perahuku. Tiga pamo itu terus merapat ke londeku.
“Sudah mati,” teriak salah seorang dari pamo yang mendekat kearah ikan.
“Kepas! Pindahlah ke pamo!” ajak Lengka.
“ Tidak. Aku harus pulang dengan londeku!”
“Dasar lelaki gila!” teriak Lengka, lalu membuang tali gandengan untuk londeku. Sementara, ikan layar yang ternyata berukuran sekitar sepuluh meter itu, harus digandeng dengan tali karena pamo yang menjemput tak cukup untuk memuat ikan sebesar itu. Aku sebenarnya telah menyarankan untuk memotong-motong ikan itu. Tapi semua pemilik pamo tidak setuju karena mereka takut darah ikan itu akan memancing datangnya hiu di sekitar kepulauan ini.
Sejam kemudian kami telah pulang beriringan. Tiba-tiba aku merasa sebagai seorang pahlawan yang pulang dengan penuh kemenangan. Kopi hangat yang diberikan Lengka, membuat tubuhku segar kembali. Sambil merokok di atas londe kudengar percakapan orang-orang di tiga perahu pamo yang berjalan di depanku. Aku sendiri di atas londeku. Mereka pasti memuji keuletan dan keberanianku. Tapi aku tahu, di pantai sana aku sedang ditunggu suatu hukuman bukan tampik kemenangan dan pujian. Tapi bagiku, semua itu tak ada artinya. Bahwa dalam sejarah kehidupanku, bagaimana pun aku telah membuktikan diri sebagai anak laut. Lelaki yang bisa mengalahkan kedasyatan laut. Lelaki yang diberkati Empung Taghaloang.  Ditembak sekalipun di pantai sana, aku masih merasa lebih berarti ketimbang aku terkalahkan oleh ikan ini. Sebab satu-satunya takdir manusia adalah mengatasi alam, bukan dikalahkan oleh alam. Orang yang kalah oleh desakan alam, ia tak berhak menyandang gelar sebagai manusia. Sebab untuk menjadi manusia, seseorang harus merebutnya dari alam. Dan aku telah melakukan itu yang kesekian kalinya, pikirku.
Setelah lima jam perjalanan, aku baru bisa melihat keramaian di pantai sana. Para penduduk Essang tampak memenuhi pantai itu. Samar-samar kulihat satu-satu orang-orang yang menantiku. Meria, di sana. Cintaku itu, seperti bayangan malaikat yang anggun dengan kecantikan yang sempurna yang terpatri di sana. Aku tahu ia telah mengenaliku. Setelah tiga hari lebih aku bertarung dengan ikan, aku hampir lupa kalau di daratan Essang ini ada seseorang menantiku. Penantian yang pasti diliput serentetan doa dan pengharapan pertolongan Sang Maha Pencipta. Kuyakini itu. kami memang keluarga yang tersesat dalam lorong hitam penyesatan politik. Tapi kami mungkin keluarga yang lebih memahami Tuhan secara sederhana karena penyesatan itu. Dan kami selalu merasakan buah-buah kasihNya dalam setiap kepedihan yang kami alami. Sekaligus keakraban dengan Tuhan itu membuat aku sering membenciNya, karena ketidakberpihakanNya dalam keinginan-keinginan kami. Kemisteriusan Tuhan itu membuat aku mengenalNya lebih nyata dari mereka yang mungkin hanya menjadikannya sebagai gaya hidup. Bahwa untuk diakui sebagai manusia saleh banyak orang bergaya dengan mengikuti berbagai ritus dan dogma. Tapi Tuhan yang bagiku kadang-kadang menjengkelkan itu adalah sesuatu yang nyata dalam ketiadaanNya. Karena ketiadaanNya itu membuat Ia selalu ada. Karena Ia berbuat dalam hal-hal yang justru tak disangka dan berbeda dengan yang diinginkan.
Beberapa saat kemudian aku telah berada di pantai. Hampir semua wajah menatapku dengan takjub, kecuali isteriku yang menyambutku dengan air mata. Orang-orang tampak ramai bahu- membahu menarik ikan yang panjangnya seperti dua perahu pamo itu. 
“Aku senang kau selamat!” kata Meria. Aku memeluknya. Aku tidak sibuk lagi dengan ikan itu. Setelah pamit kepada isteriku, aku langsung menuju kantor Koramil. Aku harus melaporkan apa yang kualami.
Makawoka, yang mulutnya sudah berbau Cap Tikus, menghadiahiku beberapa tamparan keras. Beberapa butir air mataku melesat ke lantai. Tapi aku tidak menangis. Aku anak laut yang baru memetik kemenangan atas ujian alam. Makawoka, bukan apa-apa. Ia hanya lelaki yang tak berdaya yang berlindung di balik seragam lorengnya, dan senjata yang setiap saat terselip di pinggangnya.
Oleh komendan jaga, aku diperkenankan pulang siang itu. Di sepanjang jalan, sayup-sayup ku dengar orang-orang mencakapkan diriku, dan peristiwa-peristiwa yang kualami. Padahal sedikitpun aku belum bercerita tentang hal itu. Lalu cerita seperti apa yang mereka rangkai di sana. Suatu keganjilan yang aneh yang melanda pola hidup masyarakat di kampung ini.
***



BAGIAN  : XI

Kegilaan Yang Gila
 (30)
     Oliander di empat penjuru makam Franseska Matiti telah berbunga. Daun-daunnya hijau halus yang betuknya runcing menandahkan kesuburan  pohon yang cabang-cabangnya menjejar itu. Warna kembangnya pink muda dan penuh. Berumbai seperti mahkota peri perempuan yang cantik.
Saat kami tiba, angin menggoyangnya seperti empat penari di bawah sinar pagi. Gemulai dan menakjubkan. Waktu telah membuat bunga Oliander ini bertumbuh dengan carang-carang yang banyak dan pucuk-pukuknya menyangga tangkai-tangkai bunga yang merimbun. Beberapa carang yang kecil luruh ke arah tanah. Dan yang besar, menjulang lurus namun tak begitu tinggi.
Sisa angin selatan yang menghembus dari lautan Fasifik yang datang dari arah depan pulau ini menggugurkan dan menebar banyak kembang Oliander ke dada makam itu. Pemandangannya kemudian tampak seperti makam para bangsawan kerajaan yang bertabur bunga. Ada yang telah mengering dan menghitam. Tapi banyak yang masih segar dan berembun ketika aku dan Meria tiba di sana.
Kami menyempatkan diri berziarah pagi itu. Meria tersenyum melihat tanamannya telah berbunga. Waktu ke Filipina tempo hari ia gagal menanam Oliander di empat penjuru makam ini. Ia sedih ketika mendapati tanamannya mengering, dan tak berbekas. Tapi kali ini ia begitu senang.  Bunga-bunga yang masih segar itu tentu  baru gugur semalam dihempas angin. Seperti biasa, Meria akan segera mengambil sapu dari lidi daun Enau yang sengaja disimpannya di balik kepala makam dan mulai menyapu makam itu sampai ke bagian halamannya. Aku sendiri mengerjakan pembersihan pada semak-semak yang mulai menjalar hingga ke halaman kuburan itu.
            Dan semua pekerjaan itu, dan pemandangan-pemandangannya membuat aku terkenang Franseska Matiti. Ia mungkin sedang pedih hari-hari belakangan ini. Mungkin juga semenjak kepulangan kami dari Filipina arwahnya menjadi tak tenang.
“Hatiku akan tenang jika kalian bisa keluar dari kutuk di kepulauan ini,” kata Oma Tua waktu itu. Aku selalu ingat keinginannya. Mertuaku   mengharapkan aku bisa membimbing keluargaku menuju tanah pelarian. Dan sekarang apa yang akan dia katakan seandainya ia menyaksikan semua kejadian yang kami alamai.
“Bila kamu sudah siap, pulanglah,” pesan Franseska padaku.
“Kini kami sudah di sini. Kami sudah pulang!” desisku perlahan. Tapi kuatkah dia bila melihat segala yang kami alami? Terutama kejadian yang dialami cucunya Dian, dan dendam yang terus bertunas di hati Herkanus dan Yulin. Apakah perempuan tua itu  sedang sedih di alam sana? Semua pertanyaan itu meliar keluar masuk dalam pikiranku. Yang pasti kami tertangkap kembali oleh takdir. Dipulangkan takdir ke tanah penuh pergumulan ini.
            Akupun sudah lama  tak mendengar kabar dari penyair tua di port Davao. Lelaki yang selalu penuh pengajaran yang membuat hatiku lega. Apakah ia masih hidup atau sudah mati. Aku masih ingat padanya, semua kenangan tentang dia. Giginya yang menghitam dan tawanya yang memancar ketabahan. Atau penyamarannya sebagai orang Dagos Argava yang membuat aku terkejut. “Dunia seperti berlapis-lapis ketak-kemungkinan!” “Semuanya mengejutkan!” tandas si penyair kekasih sang angin itu,  waktu itu.
Kerinduanku padanya seperti kekasih yang menanti. Tapi kapan dipertemukan kembali? Lalu, Masoa yang mendayung perahunya menuju lautan terbuka apakah ia selamat? Dimana ia menambatkan diri, melepas keluh kesah yang menggumpal di hatinya? Apakah meteor-meteor kecil yang muncul di kegelapan langit ketika itu, mendengar semua doaku, dan mengabulkannya? Sudah beberapa pekan berlalu, tapi kami tak juga mendapat kabar tentang dia. Upaya pencaharian dirinya sudah di hentikan. Datu Banua sendiri sudah punya firasat, lelaki itu telah meninggal. Apakah ia tenggelam dihempas gelombang Fasifik, atau mati kelaparan di tengah samudera raya sana? Tak ada yang tahu pasti, kecuali Datu.
“Aku sudah bertemu dia dalam mimpiku. Ia pamit pada kita semua,” jelas Datu padaku ketika aku mampir di rumahnya pekan kemarin.
Aku benar-benar kasihan pada anak-anaknya yang ia tinggalkan. Mereka harus berjuang sendiri menghadapi hidup yang begini keras. “Segala sesuatu ternyata adalah serangkaian ketidak-pastian. Kepastian ternyata hanya kematian,” bisikku pada diri sendiri. Seperti Oliander yang tumbuh dan mati. Lalu istriku menanamnya kembali hingga kini berbunga, dan yang tua gugur menghitam. Dan yang segar jatuh terhempas angin ke atas makam. Betapa sederhana riwayat manusia, seakan berlangsung dalam beberapa episode saja kemudian tamat. Dan perjuangan bertahan menjalani episode-episoede itu ternyata begitu sulit dan mendedah.
            Sudah agak sore aku dan Meria meninggalkan makam Franseska. Semuanya telah bersih dan terlihat rapi. Meria begitu puas.
Beberapa saat sesampainya di rumah,, aku disodori Meria sepucuk surat dari yulin dan Jack. “Aku lupa memberikannya padamu tadi,” kata Meria. “Mau kubuatkan kopi?” tanyanya. Aku mengangguk sambil menyobek sisi emplop surat itu lalu duduk di kursi dekat pintu dapur. Angin menyusup dari pintu yang baru dibukakan Meria. Ia mengamatiku dengan seksama ketika aku dengan girang mengeluarkan lembaran surat itu. “Boas sempat mampir ke mari kemarin. Ia yang mebawa surat itu. Katanya dititip sekretarisnya Tuan Argava. Ia juga membawa senjata milikmu yang ia pinjam tempo hari,” jelasnya kemudian.
            “Dimana senjatanya?”
            Meria menunjuk sebuah kotak kecil dari kardus yang ada di atas meja kecil di dekat jendela. Aku menoleh sejenak ke meja yang ditunjuknya. Aku melihat kotak kiriman itu.
Kangenku pada anak-anak itu membuat aku cepat-cepat  membacanya agak keras agar Meria juga mendengar isi surat itu. Sementara ia sudah disibukkan menyiapkan kopiku.

Papa dan Mama Tersayang

Salam kasih.
Kami baik-baik saja. Kami berharap Papa dan Mama dalam keadaan yang sama. Kami memang tak dapat memberikan sesuatu yang dapat membuat kehidupan Papa dan Mama menjadi lebih baik, kecuali kiriman uang secukupnya. Kami sebenarnya mampu memberikan lebih banyak dari itu, namun kami khawatir jika semuanya akan dapat membuat kehidupan Papa dan Mama lebih sengsara lagi. Sebab kami yakin setiap perkembangan orang Tapol terus dipantau penguasa. Namun kami sangat berharap, Papa dan Mama bisa bertahan, dan selalu punya semangat hidup. Sebab Papa dan Mama haruslah ikut menjadi saksi dari aksi-aksi pembalasan yang akan kami lakukan. Jika alam menghendaki lain, sejak kini kami mau mengatakan bahwa hari pembalasan itu tetap ada, kecuali kami mati.
Kabar dari Herkanus, ia kini bergabung dalam kelompok pergerakkan  internasional. Ia telah memilih jalan itu demi merebut kembali tanah air, bumi pertiwi Indonesia yang ia cintai, yang kini koyak moyak disobek oleh rezim tiranik.
Aku sendiri masih di sini bersama kelompok suamiku. Kami telah melakukan serangkaian persiapan yang telah mencapai tingkat kematangan. Di seluruh Indonesia kami telah punya jaringan bawah tanah yang siap bergerak menumbangkan rezim dari tanah Babel itu.
Herkanus dan kelompoknya telah melatih para partisan pergerakan berbagai teknik merangkai bom dan membuat persenjataan. Indonesia lama tinggal menunggu waktu Papa. Tunggulah saat-saat kemenangan itu jika mungkin. Sebab Indonesia lama memang harus dihancurkan demi bangkitnya Indonesia baru. Jika tidak, maka kami adalah generasi yang selamanya tidak memiliki tanah air. Kami seperti musafir yang tersesat. Maka tak ada pilihan kecuali menjumpai hak kami di bumi pertiwi itu dalam hidup atau mati.

Peluk cium anakmu.
            Yulin dan Jack

            Meria hanya bisa menangis mendengar isi surat anaknya. Perasaanku sendiri begitu tercekat. Seakan ada sesuatu yang menyumbat dadaku. Waktu memang berlari seperti peluru, menerjang segala yang menghadangnya. Surat dari Yulin mengabarkan adiknya Herkanus, kini terdaftar sebagai anggota kelompok pergerakkan internasional, mendorong aku harus memeluk ibunya. Ia agak terguncang. Mungkin banyak bayangan menakutkan menyerbu pikirannya. Ia harus ditenangkan.
“Kurasa, dendam di hati anak itu, telah tumbuh sedemikian rupa. Aku tahu, suatu saat ia akan ada di negeri ini dengan program-program penghancuran yang telah ia siapkan,” bisik Meria padaku. Air matanya meleleh ke dadaku. Air mata yang hangat tapi mendesirkan  kepedihan.
“Kita harus bisa menghadapi ini semua,” kataku menghiburnya. Rambutnya yang kusut-masai kusisir dengan tanganku. Aku berharap ia merasakan kelembutan ini dan bisa tenang.
Beberapa saat ia mendongakkan wajahnya ke arahku. Aku menciumnya sebelum melepas pelukanku. Meria kemudian bisa tersenyum indah. Seindah siluet senja yang menerobos dari celah rerimbunan pohon Ketapang dan menimpah rumpun-rumpun bunga Krokot merah di halam depan rumah kami. Aku tahu, perasaan Meria kini lebih lega. Setelah mengambil kotak kardus yang berisi senjata kecilku  jenis Long River 28 dan menguburnya di suatu tempat penyimpanan tak jauh dari rumahku, aku pun kemudian  pamit padanya untuk pergi ke Koramil. Tak lupa, kopi yang dibuatnya kusesap cepat hingga tandas. Sebelum aku pergi, ia masih sempat menyisipkan beberapa rupiah dari kiriman anaknya yang baru diterimanya bersama surat itu, padaku, untuk keperluan rokokku.
Dalam perjalanan ke Koramil, hatiku masih saja dikerubuti bermacam-macam pikiran. Semuanya memberatkan hatiku. Malamnya pun semua itu membuat aku sulit menemukan ketenangan untuk tidur.
Berhari-hari aku selalu bagun kesiangan, sebab malamnya aku baru bisa pulas menjelang pagi. Aku tiba-tiba sampai pada pertanyaan sesungguhnya kehidupan ini apa, jika seorang manusia tak pernah kuasa atas keinginannya, cita-citanya. Siapakah anak-anakku jika kemudian mereka tidak berada dekat dengan keinginanku. Atau diriku sendiri yang berjalan dalam rel hidup yang senantiasa tak kumengerti. Segalanya dijajah keadaan. Dibentuk oleh situasi. Aku kemudian menjadi seseorang yang paling resah dan bingung.
“Jika hari pembalasan itu tiba, apakah ini jawaban terbaik bagi persoalan kami?” tanyaku pada keheningan di luar sel sana.  Di sisi lain, aku seperti menemukan keyakinan bahwa keadaan yang aku alami dan dialami para tapol justru gambaran paling tegas dari hidup itu sendiri.  Dimana kehidupan sejati adalah ketika kita berada di tengah gejolak. Lalu, keinginan siapakah sebenarnya yang berlaku dalam takdir seorang manusia, jika manusia itu sendiri tak pernah kuasa atas keinginannya sendiri. Seorang manusia, tak pernah sekalipun bercita-cita menderita. Lalu siapa yang menulis ayat-ayat penderitaan dalam hidup ini? Kalau itu datang dari kehendak Sang Pencipta, apakah sedemikian ini Ia mempermainkan nasib manusia. Lalu siapakah manusia di tengah keinginan Tuhan?
            Sekali waktu, Sasinduan menertawakan permenunganku semacam ini. “Itu kesesatan pikir Kepas. Sebab ada wilayah yang tak tejangkau dalam perspektif berpikir semua ciptaan. Lihatlah hewan, mereka hidup dangan naluri. Sedangkan manusia dengan akal. Lalu Tuhan? Ia kearifan itu! Jadi ada yang tak terjangkau oleh isi  kepala kita. Untuk mencapainya hanya lewat lorong yang namanya iman,” jelas Sasinduan.
            Memang banyak hal yang selalu kupikirkan semenjak aku dipindahkan dari Essang ke Beo. Banyak kegiatan pembangunan fisik di Beo, menyebabkan beberapa Tapol dari Esang pun ikut ditarik ke Beo. Aku dan istriku bagian dari keluarga Tapol yang dipindahkan ke Beo. Di Beo aku dan istriku tinggal di desa Makatara. Aku membuatkan gubuk yang tidak begitu besar dari ramuan kayu-kayu bulat dan atap daun rumbia. di tanah yang pernah kami beli sekembalinya dari Filipina tempo hari. Di sana Meria tidak begitu jauh dari makam ibunya yang terletak di ujung kampung.  Jadi bila ia sedih, ia dapat dengan cepat berjalan ke makam ibunya untuk melepaskan kesedihannya di sana. Akupun sudah meminjam tanah kepada famili untuk ia bisa berkebun. 
Seperti biasa, berbagai pekerjaan berat kami kerjakan di kota kecil ini. Mulai dari pembangunan fasilitas perkantoran hingga pembuatan parit. Sedangkan tekanan yang dilakukan tentara pada kami tak juga surut.
            Banyak Tapol yang mengeluh dan mulai sakit. Tak tahan menghadapi tekanan yang kian hari kian berat. Beberapa dari kawan kami sesama Tapol akhirnya menjadi gila.
Sedangkan Lengka, pada suatu pagi ditemukan mati bunuh diri dengan menggantungkan dirinya di tepi hutan di Pulutan. Kematian Lengka menjadi semacam kepunuhan historis suatu garis keturunan. Pertama ia kehilangan istri dan anak-anaknya, kini dirinya. Lelaki tabah itu ternyata tak mampu juga menghadapi hempasan angin penderitaan yang ditiupkan penguasa.
            Di tengah kepedihan yang mengigit itu, aku bertemu dengan seorang wartawan. Dixti nama wartawan itu. Pertama kami bertemu pada saat aku sedang membersihkan parit di depan kantor Koramil. Ia mungkin kasihan padaku dan memberikan aku sebungkus rokok ketika itu. Ia masih muda dan belakangan dalam pertemuan kami yang lain, ia ternyata sangat antusias dengan persoalan-persoalan kemanusiaan yang dialami para korban stigmatisasi PKI di kepulauan kami. Ia sesusngguhnya anak seorang tentara. Tapi ia memilih jadi jurnalis. Lewat motivasi laki-laki muda itu, kemudian aku berkesimpulan untuk menulis kesaksian dari para Tapol, terutama kesaksianku tentang apa yang terjadi pada diriku, termasuk yang dialami teman-temanku. Tapi sayang pertemuan kami yang dilakukan secara rahasia di rumahku di Makatara akhirnya tercium tentara, hingga suatu ketika aku ditangkap dan dituduh telah membocorkan rahasia negara kepada pihak wartawan. Aku didera habis-habisan. Tubuhku kian hari kian lemah, sehingga suatu saat aku memutuskan membuat siasat berpura-pura jadi gila. Pilihan siasat ini memang memiliki resiko karena awalnya akan dianggap sebagai sesuatu yang dibuat-buat.
            Hari ini Meria mengunjungi aku di sel. Setelah sepekan memikirkan  rencana siasat gila itu, kini aku sudah bertekad akan mengutarakannya kepada Meria. 
“Menjadi gila? Aku tidak setuju,” protes Meria padaku. Ia dengan tegas menunjukkan sikap tak senang atas gagasanku itu.
“Tinggal ini satu-satunya jalan agar aku punya banyak waktu menulis kesaksian itu,” jelasku membujuk Meria.
“Apa kamu bisa melakukannya dengan sempurna?”
“Aku akan mencoba, dan melakukannya dengan baik!” kataku.
“Seperti filem saja,” kata Meria.
“Tolong pikirkan,”pintaku.
“Moga kau kuat melakukannya,”katanya.

Panjang lebar kami membahas rencana itu. Awalnya ia begitu khawatir dengan resiko-resiko yang akan terjadi padaku. Aku kemudian menjadi senang, karena Meria bisa menerima gagasanku itu. Atas dukungan Meria aku menjadi berani mengambil resiko itu. Sebab bagiku sisa waktu diusia yang kian senja seharusnya aku memiliki saat-saat yang indah bersama istriku. Dan aku harus melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan. Toch Tuhan yang maha scenario itu kupikir telah menuliskan jalan hidupku, Jika ada keinginan berperan dalam gila, mungkin ini bagian dari tragedi yang penuh sensasi dalam drama besar yang diinginkan penulisnya. Ya Tuhan itu sendiri!
            Dibutuhkan sepekan lagi mempertimbangkan rencana itu. Setelah siap, pada suatu malam Senin aku mulai aksi gilaku dengan berteriak-teriak seperti orang gila yang kesurupan. Pada hari sebelumnya aku sudah berdoa sepanjang hari, agar aku mendapatkan kekuatan untuk aksi ini.
Melihat acting gilaku, aku menjadi geli. Aku sendiri merasa ini suatu tindakan paling gila dan membuat aku tertawa sendiri. Untuk menenangkanku, beberapa petugas menghajarku hingga pingsan.
“Sial! Sakit juga aksi gila ini!” kataku pada diri sendiri setelah siuman.
Keesokannya aku tersadar, tubuhku teramat sakit. Namun semangatku untuk terus melancarkan siasat ini tak surut sedikitpun. Aku kembali berteriak-teriak sambil menyobek-nyobek bajuku hingga telanjang. “Astaga! penisku tergantung seperti lelaki tua yang tak berdaya.” Bukankah ini pemandangan yang memalukan? Tapi biarlah, semua ini harus kulakukan pikirku. “Namun bagaimana kalau tiba-tiba kemaluanku ereksi jika melihat perempuan?” Ini benar-benar suatu kesulitan yang tak mudah teratasi! Bila yang terpikirkan adalah selangkangan Senona, gadis Filipina yang kulitnya begitu halus, atau leguhan suaranya yang lirih menggairahkan saat senggamah denganku tempo hari. Astaga! Ia pasti mengeras dan sulit terjinakkan. Moga aku tak memikirkannya.  
Para petugas itu mulai menyangka kalau aku benar-benar sudah gila. Berbagai deraan baru mereka lancarkan tapi aku tak peduli. Niatku sudah bulat. Aku memang sudah tergila-gila dengan siasat gila ini. Andaipun jika satu saat aku menjadi benar-benar gila, tak apalah, karena memang aku telah bosan hidup waras tapi diperlakukan secara tak waras.
Tapi diam-diam aku terus berdoa kiranya Yang Kuasa            memberikan kekuatan padaku untuk tetap waras dalam aksi gila ini. Jika aksi ini berhasil maka akan banyak hal yang dapat kuceritakan di kemudian hari kepada siapa pun yang membaca kesaksianku bahwa di sepenggal bumi ini, di daratan terutara dari negeri yang belum lama merdeka, sesunghuhnya telah hidup seorang penguasa yang lebih jahat dibanding penjajah asing. Dan demi cerita memedihkan itu, aku harus tetap waras agar bisa terus menulis kesaksian itu.
***
(31)
Setelah sepekan aku melakukan aksi gila, akhirnya pihak Koramil memulangkan aku ke rumah. Seorang matri desa yang mengerti persoalan yang kualami dengan senang hati memberikan rekomendasi keadaan diriku. Kepada pihak penguasa sang mantri  memberikan keterangan bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Mantri desa itu melakukan semuanya atas permintaanku. Dan aku kian yakin betapa unik kehidupan ini, di mana di tengah padang kebencian selalu saja ada secuwil kebaikan.
Jadi, selain Meria, mantri itu pulalah yang tahu bahwa aku sebenarnya tidak gila. Namun karena sekali sudah memutuskan menjadi gila, maka kemanapun, dimanapun aku harus tampak sebagai orang gila. Seluruh warga kampung akhirnya mengenaliku sebagai orang gila. Keculai istriku dan sang matri desa. Mereka tahu aku waras. Dan kegilaan yang kami sepakati adalah suatu tindakan paling waras untuk menghadapi penindasan para penguasa yang gila kekuasaan.
            Selama di dalam rumah aku hidup wajar seperti biasa. Tapi jika sudah keluar halaman aku harus menunjukkan sifat kegilaanku. Setiap saat aku mengikuti istriku ke kebun aku harus bermain peran gila itu di sepanjang jalan. Tingkah anehku itu membuat Meria kadang-kadang merasa geli sekaligus kasihan.
            “Kau seperti orang gila saja,” katanya berkelakar.
            “Aku memang sedang gila,” kataku
            “Sedang gila atau tergila-gila pada gila?”
            “Apa aku benar-benar sudah gila?”
            “Mungkin!” katanya diselingi derai tawa yang indah, “kamu punya bakat jadi bintang film!”
            “Ya! Itu sudah pasti. Judulnya; Si Kepas yang gila, bersama istrinya yang tergila-gila pada orang gila!” kelakarku.
            “Atau kamu benar-benar sudah gila?”
            “Waras!”
            “Gila!”
            “Kamu yang gila!”
            “Aku waras!”
            “Hanya orang gila yang mengatakan dirinya waras!”
            “Jadi?”
            “Aku tak tahu. Tapi semua ini benar-benar gila!” kataku.
            Meria terbahak dan melempari aku dengan bika. Aku sangat senang bisa membuat  wanita yang kucintai itu gembira.
            Kadang-kadang aku harus melempari anjing dengan panggi atau uwi, agar orang-orang yang melihatku terus yakin kalau aku gila. Di mana-mana dan ke mana-mana orang-orang mengolok-olokku seperti mengolok orang gila sungguhan. Kadang-kadang olokan itu memedihkan hatiku. Tapi aku sadar, mereka mengolokku karena aku gila. Paling tidak pada tindakan kegilaanku. Tak terkecuali pendeta lelaki itu. Ia tak seperti pendeta Simon Andrian. Pendeta Ronald Kolotidi dalam sikapnya tak memancarkan keagungan seorang pelayan Tuhan. Ia materialis dan suka meneguk minuman keras.  Ia sering juga menghardikku seperti menghardik orang gila. Padahal aku tahu aku tidak gila. Tiba-tiba dalam peranku seperti orang gila, aku menemukan kenyataan sesungguhnya manusia-manusia yang mengaku waras itu adalah sosok-sosok gila yang hidup dalam ketidak warasan yang aneh. Mereka tega menyakiti dan menjahati orang lain untuk sekadar memuaskan nafsu iseng mereka.
            Di sisi lain, dalam kegilaan yang kuperankan, aku menjadi orang paling merdeka yang bisa berkeliaran di mana dan ke mana saja yang kuinginkan. Aku bisa masuk gereja meski hanya duduk di lantai luar dekat pintu. Kerinduanku mendengar Firman Tuhan  yang selama ini tertutup bagi keluarga kami kini mulai terpuaskan. Sebab sebagai manusia waras yang di tuduh PKI aku tak punya hak untuk masuk gereja. Kini sebagai orang gila aku bisa masuk meski hanya sampai depan pintu gereja. Yang penting bagiku, aku bisa mendengarkan firman-firman yang ajaib itu. Malahan kadang-kadang aku dapat mendengarkan para majelis yang berkumpul di konsistori sedang membicarakan hal-hal yang tabuh bagi mulut seorang Pinolung seperti mereka. Aku dengan mata kepala sendiri pernah menangkap basa seorang majelis yang secara diam-diam mengambil segenggam uang receh derma dari kotaknya lalu dibelikan rokok di warung. Astaga! Ini benar-benar kejahatan yang dilakukan di depan Tuhan.
Dalam kegilaan ini segala sesuatu tiba-tiba menjadi gampang kuketahui. Toch siapa yang peduli pada kesaksian seorang gila seperti aku. Di otak mereka mungkin telah tertanam keyakinan dimana Tuhan sekalipun pasti tidak percaya akan kesaksian seorang gila. Kegilaan ini tiba-tiba merupakan bagian paling menarik dalam hidupku. Aku tak terkecuali lagi. Aku bebas ke mana pun aku suka. Aku bisa nonton bola. Aku bisa mengunjungi pesta seni dan pesta adat. Aku bisa apa saja. Tapi semuanya harus kulakukan dengan cara-cara kegilaan. Kadang-kadang untuk meyakinkan bahwa aku ini orang tak waras, aku mesti melepaskan pakaian dalamku di tengah jalan ketika banyak orang berkerumun. Gilanya, tingkah gilaku ini kadang-kadang membuat aku lupa kalau aku ini sebenarnya manusia waras. Karena sudah terbiasa jadi gila, suatu ketika aku kena marah istriku karena ternyata aku masih bertingkah selayaknya orang gila ketika bersebadan dengannya. Ah, sebuah gila yang gila.
Lepas dari sikap gila ini, aku sudah bisa menulis dengan ragam kesadaran yang lebih sempurna menurut ukuranku. Proses-proses kesadaran yang terbentuk selama dalam tahanan membuat aku memiliki persepsi yang pasti tentang politik. Pada saat menulis ini aku tiba-tiba menemukan diriku dalam kecerdasan yang  lain. Kecerdasan yang kupelajari dari buku alam, buku pengalaman. Aku dipertemukan dengan kesimpulan-kesimpulan sementara tentang situasi politik dan praktik kekuasaan yang kuanggap paling mesum jika ditakar dari sisi kemanusiaan. Misalanya tentang kesimpulanku bahwa pemimpin Orba itu adalah dalang G 30 S PKI, atau Orba adalah muasal dari segala persoalan keterpurukan ekonomi di masa depan. Tapi semua ini menjadi relatif juga. Karena bagaimana pun ia tampil dalam rupa yang molek, ia tetap berangkat dari situasi yang lebih banyak mengakomodir peluang-peluang kejahatan. Tak ada kejujuran dalam politik. Politik semata naluri pertengkaran yang dilegitimasi. Manusia mengakuinya  karena memang sejak masa Kain, politik telah muncul dalam rupa paling manusiawi hingga masa Essau dan Yacub seperti di tulis Bible, dan kini di sini dalam rupa-rupa wajah dan bentuk.
            Lalu anak-anakku, awan hitam di langit sana, semuanya tidak berubah. Segalanya bergerak di wilayah terbuka yang tak terlindung. Hanya aku di sini dalam kesepian bersama penghayatan-penghayatan hidup yang kian matang dan sebentar lagi tak terhindar dari usur.
Di akhir-akhir pergulatan batin inilah aku ditibakan ke dalam suatu ketakutan yang menegangkan. Hari pembalasan anak-anakku tiba-tiba bukan lagi saat-saat yang bermakna kemenangan. Aku justru melihatnya sebagai kota Babel yang sedang memasuki masa penghancuran. Dan anak-anakkulah penulis sejarah penghancuran itu. Dan luka-lukanya akan menjadi sejarah hitam tanpa kebanggan.  Di sanalah aku menemukan sebuah refleksi bagaimana kemahakuasaanNya. Yesus lebih memilih perdamaian dari pada emosi liar manusiawiaNya yang sebenarnya bisa menghancurkan musuh-musuhNya. Atau jika Ia mau, Ia bisa menghancurkan planit bumi ini. Aku telah melihat masa-masa berbahaya dalam diri Yesus ketika sisi kemanusiaanNYa mendesak pemberontakan kepada Bapa, dengan memintakan cawan penderitaan lalu dari dirinya. Ia merasa hidupNya adalah segala-galanya. Dan untuk mempertahankan hak kemanusiaanNya, Ia menuntut Bapa untuk melepas ikatan kodrati penyelamatan lewat jalan larah salib. Tidak! Yesus lelaki dari Nazaret itu. Anak tanpa ayah harafiah. Kecuali Yusuf yang menyusup ke dalam tradisi karena bimbingan Bapa untuk menegaskan keanakan manusiawia Yesus. Karena Ia memang dikandung dari Roh  Sang Kemahakuasaan. Tidak melakukan pembalasan dan  pembelaan diri. Padahal sekali lagi, jika ia mau, Ia bisa mendatangkan pembalasan. Karena sesungguhnya Ia maha kesaktian itu.
            Lalu, apa makna dari hari pembalasan yang disusun anak-anakku, jika suatu hari kemenangan itu harus dipetik di atas tumpukan mayat bergelimpangan. Atau reruntuhan dengan puing-puing kesakitan dan ketakutan yang menumpuk.
            Aku dalam kebingungan yang teramat sempurna ketika lelaki itu datang lagi dengan baju rombeng.
            “Kau Judas?” tanyaku. Ia tersenyum.
            “Sebutkan seribu nama, atau beberapa nama sesukamu. Tapi semua itu pentingkah?”
            “Tapi aku tak mengenalmu. Aku ingin tahu dengan siapa aku bicara!”
            “Jika kau berdoa, kau kenalkah dengan sang tujuan doamu?”
            “Tidak! Tapi semua orang mengatakan kita berdoa kepada Tuhan!”
            “Mengapa Tuhan harus disembah?”
            “Karena hanya padanya semua kehormatan harus diberikan!”
            “Cuma karena kehormatan?”
            “Karena Ia sumber kebaikan!”
            “Apakah aku jahat padamu cuma karena aku tak mau menyebut namaku?”
            “Itu tak ada hubungannya dengan Tuhan!”
            “Jika pada setiap suku, Tuhan punya satu nama, dan pada setiap ciptaan Tuhan punya satu identitas. Kalau pada setiap jagat kehidupan pada segala jagat raya Tuhan punya tanda dan eksistensi, apakah Tuhan harus menyebutnya kepadamu semua namanya, semua identitasnya, semua tanda eksistensinya?”
            “Jadi kau Tuhan?”
            “Tuhan di kenal dalam kebaikan!”
            Ketika aku mau bertanya lagi, lelaki gembel itu meledak seperti mercon dan lenyap.

***
            Aku pulang dari memanah ikan ketika hari sudah agak sore.  Sepanjang jalan, orang-orang masih juga mengolok-olokku dengan teriakan-teriakan yang menjengkelkan. Tapi aku tak ambil pusing. Ada perasaan tidak enak yang hinggap di hatiku yang mebuat aku harus cepat-cepat pulang. Sesampainya di rumah, Meria belum juga pulang dari kebun. Sebelum aku pergi memanah, ia bilang padaku akan ke kebun untuk mengambil bahan makanan. Sambil menunggu Meria, aku membakar beberapa ekor ikan goropa untuk lauk makan malam.
            Hingga pukul 19.00 malam, ia belum juga muncul. Hatiku kian gelisah.  Tak tahan menunggu, aku kemudian memutuskan menyusulnya ke kebun. Jalanan kecil menuju kebun begitu gelap. Suara jangkrik telah ramai mengisi malam. Kunang-kunang berseliweran di semak-semak. Aku telah menyalakan sido dari daun kelapa sejak lepas ujung kampung. Api obor daun kelapa itu cukup membuat jalanan berbatu-batu karang  yang kulalui  menjadi terang.
            Sesampainya di kebun aku langsung memanggil-manggil Meria. Tak ada sahutan.
Dengan cepat aku menuju dasan kami di kebun itu. Astaga! Meria di sana tergolek tak sadarkan diri dengan pakaian yang sobek-sobek. “Ya Tuhan, apa yang terjadi!” pekikku. Dengan cepat kuraih istriku ke dalam pelukkanku dan berusaha membangunkannya. Tapi sial upayaku sia.sia. ia belum siuman juga. Wajah Meria tampak lebam dan darah masih menetes dari bibirnya yang pecah. Hatiku menjerit menyaksikan semua itu.
            “Biadab. Siapa yang melakukan semua ini!” teriakku sekeras-kerasnya. Aku menangis seperti anak kecil. Dadaku terasa mau meledak. Tapi Meria harus diselamatkan dulu, pikirku. Dengan cepat aku turun menuju kali kecil yang tak jauh dari kebun kami untuk mengambil air. Sebuah kaleng mentega yang biasa dipakai untuk memasak air kubawah dan kuisi penuh lalu kembali ke dasan. Aku menyiram wajah dan tubuhnya, kemudian menepuk-nepuk pipinya. Syukur kemudian Meria mampu membuka matanya dan nafasnya kembali menjadi normal. Melihat aku yang menolongnya, ia tiba-tiba menangis terseduh-seduh. Kupeluk ia seerat mungkin. “Menangislah sepuasnya, aku ingin mendengarnya,” kataku. “Kepas, aku…!” katanya terbata-bata, tapi langsung aku memotong, “jangan-jangan katakan apa-apa dulu, tenangkan hatimu!” Kulihat, celana dalam Meria yang sudah sobek tergeletak begitu saja di sudut dasan.  “Ya Tuhan, apakah ia diperkosa?” desisku dalam hati. “Aku di perkosa!” desis Meria tiba-tiba. Hatiku langsung berdebam. Dengan cepat kulepaskan pelukanku, dan berdiri menjauhi Meria. Hatiku teramat sakit. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Meria hanya tertunduk dalam keletihan yang teramat sangat. Suara tangisannya menjadi begitu parao.
            “Siapa yang melakukannya?” tanyaku.
            ‘Elly!”
            “Bangsat! Lelaki itu harus mati,” pekikku dengan murka yang meledak-ledak. Dengan cepat aku berlari pulang menuju rumah. Otakku sudah tertutup oleh amarah yang teramat sangat. Aku ingat Long River 28, senjata kecil otomatik pemberian Paulus, yang sudah diantar Boas ketika ia datang mengantar surat dari Yulin. Senjata itu kusimpan di dalam tanah tak jauh dari rumahku.
            Sesampainya aku langsung menggali tanah tempat penyembunyian senjata itu. Setelah memeriksanya dengan seksama, aku langsung berjalan lagi mencari lelaki bangsat itu ke rumahnya. Rumahnya di ujung kampung dan agak berjauhan dengan tetangga. Lelaki itu memang sudah beberapa kali kulihat menggoda Meria saat ke pasar. Ia teman dekat komendan Koramil. Ia juga seorang pemabuk berat yang suka bikin onar di pasar.
Tanpa mengetuk pintu, aku langsung masuk mencarinya di dalam rumahnya. Di dapur rumahnya kudapati ia sedang makan. Kebetulan hanya dia sendiri berada di rumah. Anak dan istrinya tidak tahu ke mana. Melihat kedatanganku, ia begitu terkejut. Tanpa banyak bicara langsung kuarahkan senjataku ke kepalanya dan menarik pelatuknya.  Sebuah letusan menyalak dan menghempas  Elly dengan cepat ke belakang. Ia tersungkur dekat dego di dapurnya. Melihat ia masih bergerak, sekali lagi kusasar punggunya, dan sebuah letusan menyalak lagi. Setelah itu aku langsung kabur lewat jalanan hutan di belakang rumahnya dan berjalan menjemput Meria lagi di kebun. Dalam perjalanan aku merasa begitu puas. Puas sekali telah menunaikan tugasku untuk membela kehormatanku sebagai laki-laki. Sebagai ayah, dan sebagai manusia.
            Di kebun Meria langsung menyerbuku. Aku memeluknya dengan perasaan sayang yang teramat sangat.
            “Kau sudah membalasnya?” bisik Meria.
            “Sudah jawabku!”
            Selang beberapa saat, ketika Meria sudah agak tenang, ku ajak dia pulang.  Malam itu kami berdua tidak langsung tidur. Aku berusaha membagi suka-duka dengan Meria. Perisitwa menyakitkan dan memalukan itu akhirnya bisa kami fahami sebagai sesuatu yang harus kami terima dengan penuh ketabahan, apalagi pelakunya sudah kulenyapkan. Artinya, rahasia ini akan semata menjadi rahasia kami untuk di bawah mati.
            Mendekati  subu, Meria sudah tertidur di pelukanku. Akupun sudah sangat mengantuk ketika  lelaki gembel itu datang lagi.
            “Aku datang lagi karena kau sedang menulis. Tulislah. Karena kau buku itu sendiri. Buku dari tulisan Tuhan. Anak-anakmu memang harus di sini suatu ketika. Karena hari pembalasan itu memang ada. Seperti siang, ia selalu diganti malam, dan terus berganti. Seorang kelaparan akan makan hingga kenyang dan suatu ketika ia akan lapar lagi. Tunaikan tugasmu seperti tadi!” katanya.
            “Tapi hari pembalasan itu malapetaka!” gumamku.
            “Ingat kataku ini, akan ada Bininta!”
            “Bininta?”
            Lelaki itu meledak lagi seperti mercon, dan menguap di angin.
            Aku bangun agak kesiangan. Meria langsung mengatakan kepadaku ada kegemparan atas berita kematian Elly. Tentara dan polisi katanya sedang mencari-cari siapa pelakunya.
            “Kau menembaknya dua kali?” tanya Meria.
            “Ya!”
            “Seharusnya seribu kali!” kata Meria dengan sorot mata penuh bara dendam.




BAGIAN : XII

PENUTUP


(32)
Dini hari tanggal 30 September 2001. Weker hitam di kamarku menunjukkan pukul 04.30 waktu Indonesia Tengah. Ketika itu, tubuhku sudah teramat letih. Tapi hatiku begitu gembira. Akhirnya selesai juga pekerjaanku yang sudah tertunda satu tahun lebih itu. Pekerjaan menerjemahkan buku tulisan tangan dari Kepas, yang ditulisnya dalam bahasa Talaud yang tempo hari diserahkan seorang perempuan misterius yang lenyap di bawah pohon Jati besar di desa Makatara.
Ketertundaan yang sedemikian lama itu, terutama disebabkan pengetahuan dan kemampuan saya berbahasa Talaud hanya sebatas bahasa tutur saja.  Memahami kosa kata sastra yang banyak digunakan penulisnya di buku itu, dibutuhkan lagi suatu study referensi yang lebih mendalam. Apalagi, hingga kini belum tersedia kamus bahasa Talaud. Selain itu, ada tiga lanskap yaitu: Filipina, Talaud, California, yang merupakan latar tempat kejadian dari kesaksian-kesaksian utamanya. Semua itu membutuhkan suatu study tersendiri untuk menghindari terjadinya kesalahan interpretasi. Dalam usaha yang terbilang sulit itu, syukurlah kemudian semuanya bisa selesai meskipun berlepotan berbagai keterbatasan. Meskipun ada upaya traveling terus-menerus yang kulakukan untuk menemukan deskripsi yang tepat melukiskan serangkaian tempat dan  kejadian yang dipaparkannya, namun upaya itu tetaplah dipenuhi berbagai kekurangan.
Kepas, menulis dan melukiskan segala kesaksiannya dengan begitu indah dalam bahasanya.  Dan aku yakin, keindahan itu kadarnya menjadi menurun dibanding hasil terjemahanku. Hal ini disebabkan selain oleh keterbatasanku dalam penguasaan bahasa setempat, juga karena perbedaan atmosfer budaya, di mana di Talaud, kata seperti juga benda-benda dan alam semesta, dipahami sebagai magi atau kepercayaan Manna seperti ditulis Bible. Maka kata tidak berhenti dalam rana maknanya, tapi kata bertindak dalam kemagiannya.
Metode semiologi yang sedikit kukuasai paling tidak mampu menolongku untuk menginterpretasi berbagai ikon. Akupun sempat meminta bantuan ahli simbologi dan ikonografi untuk kepentingan ini. Tapi upaya ini bukan tidak mukin pula memunculkan reinterpretasi yang baru dan mungkin saja berbeda dengan yang dimaksud oleh penulis. Untuk itu, dalam beberapa bagian pemaparannya, aku berusaha menambahkan penjelasan-penjelasan, hingga pekerjaanku tidak direpoti lagi dengan pembuatan catatan kaki.  Untuk nama-nama tempat dan benda-benda khas daerah itupun  kubiarkan tetap dalam nama dan kata aslinya. 
Untuk beberapa mantra, sengaja tidak diterjemahkan untuk mempertahankan struktur sastranya, kecuali sandi pengunci mantra, sengaja kuhapuskan untuk menghilangkan efek kemagisannya. Kepas memang memberikan catatan tersendiri yang ditujukan padaku agar tidak membaca mantra-mantra itu dengan suara kedengaran agar tidak menimbulkan efek magis. Untuk keamanan bagi sidang pembaca, aku lebih memilih menghapus kata luncinya. Dengan demikian, pembaca akan terhidar  resiko magis dari mantra itu.
            Usai membenahi semua kertas yang berceceran di meja kerja serta mematikan komputerku, perasaan lega terasa mengerubuti hatiku.  Kupikir, pekerjaan yang menggelisahkanku selama ini sudah usai. Langkah berikutnya tinggal mencari penerbit yang ingin menerbitkannya, hingga kesaksian itu tidak berhenti sekadar menjadi catatan tersembunyi, atau duka yang menangis sendiri di pedalaman sejarah negeri ini.
            Tinggal sedikit waktu untuk aku istirahat, sebab pagi tak lama lagi.  Aku telah menyetel alaram Handphoneku pada angka 06.30, agar aku masih bisa bangun agak pagi, dan masih punya waktu ke kantor seperti biasanya.
Baru sekitar lima menit aku berbaring di ranjangku, aku dikejutkan oleh munculnya sosok seorang lelaki. Ia berdiri di samping ranjangku. Ia menatapku dengan tatapan yang cemerlang.   Lelaki yang wajahnya sangat ku kenal.
            “Kepas,” desisku dalam kekagetan yang teramat sangat, sambil bergegas bangkit dari ranjangku. Air mukanya kemudian berubah gembira, lalu mengulurkan tangannya untuk kujabat.
            “Maaf, aku mengganggumu. Aku tahu kau lelah. Tapi aku tak tahan untuk tidak segera mengucapkan terima kasihku padamu,” katanya dengan suara beratnya, diselingi bunyi batuk kering yang tercekat di kerongkongannya.
            “Aku memang suka melakukannya. Aku tertarik dengan kesaksian-kesaksianmu!” kataku sambil mengajaknya            ke ruang tamu. Setelah menyalakan lampu tengah, aku mempersilakannya duduk.  Ia kelihatan lebih tua dibanding penampilannya yang juga misterius ketika terakhir kami berjumpa di rumahnya di Makatara. Rambutnya menguban tapi sorot matanya tetap tajam. Ia masih membawah tongkatnya yang dulu untuk menyangga tubuhnya saat berjalan.
            “Siapa yang mengatakan aku sudah selesai menerjemahkan bukumu?” tanyaku membuka percakapan. Ia memiringkan sedikit posisi tubuhnya ke kiri, hingga punggungnya tersandar di belakang sandaran kursi sofa yang berwarna biru laut, kemudian berkata, “manusia adalah kekasih sang angin. Ia mengatakannya padaku!”
            “Kau mengutip kata-kata puitis sang penyair tua di port Cotabato, seperti yang engkau paparkan dalam bukumu?”
            “Ya. Ketika pergi, kita menjadi angin. Angin bisa  melintas kemana saja yang ia ingin,” jawabnya dengan suara mendesis.
            “Jadi, arwahmu mengikuti aku kemanapun aku pergi?”
            “Aku tidak mengikutimu, tapi kerinduanmu membawaku padamu!”
            “Sudahlah! Apa ada yang ingin engkau sampaikan padaku?” potongku menyudahi percakapan yang terasa merindingkan tubuhku itu.
            “Katakan pesanku pada anak-anakku,” katanya dengan wajah yang tiba-tiba berubah penuh duka, “bahwa manusia selalu punya sejarah. Dan sejarah adalah sebuah pelajaran berharga, bukan pembuka bab dendam yang baru. Katakan,  dendam tak akan melahirkan perbaikan apapun. Sebab, tanah air baru yang elok, yang mereka cita-citakan hanya akan ada bila mereka mengawalinya dalam perdamaian.”
            “Aku tidak mengerti apa maksud pesanmu!”
            “ Katakan, musin kawin bukan penghancuran.” 
            “Aku kian tidak mengerti,” kataku dalam kebingunganku memahami pesan-pesannya.
            “Satu saat kau akan mengerti jika sudah berjumpa dengan pengertian itu sendiri,” katanya, seperti memahami ketidakpahamku.
            “Tapi dimana aku harus mencari anak-anakmu?”
            “Mudah mengenalinya. Lihat Bininta!”
            “Lihat bininta?”
            “Ya,” katanya, sambil menyeringai ke arahku dengan tatapan duka seperti tadi, kemudian berkata lagi setelah batuk yang tercekat di kerongkangannya dapat diatasinya, “kukira tugasku lunas sudah.” Ia kemudian berdiri dibantu tongkat yang setia menyangga tubuhnya hingga pundaknya agak tegak.
            “Kau akan pergi?” tanyaku.
            “Sampaikan pesanku, pada anak-anakku!” katanya sambil berjalan ke arah pintu.
            Alaram handphone-ku berdering keras. Aku terjaga dari tidurku. “Lelaki itu datang dalam mimpiku,” desisku pada diri sendiri. Pesan lelaki itu harus kusampaikan. Tapi dimana aku harus bertemu Herkanus, Yulin, dan Dagos menantunya? Lalu apa yang ia maksudkan dengan Bininta? Apa yang ia maksudkan dengan kata kawin? Semuanya menjadi teka-teki yang jawabannya harus  kucari sendiri. Dan tiba-tiba aku merasa menjadi kekasih sang angin yang pergi mencari ruang-ruang pengertian itu sendiri.

***
            Setelah serentetan ledakan bom di berbagai tempat. Setelah munculnya aroma disintegrasi dari beberapa daerah. Setelah menguatnya kesadaran untuk melawan rezim otoriter. Kekuasaan Presiden Soeharto, akhirnya jatuh. Dijatuhkan kekuatan people power yang dipelopori para mahasiswa. Kecamba perlawanan yang kemarin-kemarin berinkubasi, dan menebar dengan cepat seperti virus tipes saat tatanan sosial politik bangsa melemah. Kekuatan melawan rezim yang dituding  korup itu tidak datang begitu saja, atau secepat kilat dalam satu dasawarsa. Tapi suatu gerakan dari ladang pembibitan yang kemudian disemai dengan sabar bertahun-tahun. Baru setelah 32 tahun, pohon perlawanan itu menjadi pusat dari segala semangat mengambil energi. Bebukit kesadaran yang tandus kini berair. Air dari hutan pohon-pohon perlawanan. Menjadi bah.  Hanya sekejab, menara Orba menjadi puing-puing berserahkan.
Lalu pergantian kuasaan kepemimpinan negara terjadi dalam chaos ke cheos dari Soeharto ke Habibie, lalu ke Gus Dur, kemudian ke Mega.  Krisis moneter, dan krisis sosial politik berseliweran seperti elmaut menerjang siapapun. Negeri ini seakan menjadi rumah dari keluarga broken home.  Perselisihan dan pertengkaran merebak hingga tak mampu ditulis ribuan media massa yang tiba-tiba menjamur. Seorang penyair terinspirasi keadaan faktual tiba-tiba menulis puisinya dimana para pemimpin kita saat ini butuh “pil anti krisis”. Namun, teror dan bom terus meledak.
            Dalam kekalutan yang dasyat ini tiba-tiba semua orang tak tahu lagi dari mana asal segala sengketa ini.
            Sebuah media lokal yang terbit di Manado dalam sebuah beritanya menulis;
Kekhawatiran Konsulat, dan atase militer  Indonesia di Davao City, tentang kian maraknya aksi penyeludupan diperairan Satal kini ditindak lanjuti TNI AL dengan melakukan penelusuran ke berabagai kawasan perairan perbatasan itu. Hasil penelusuran TNI-AL, kawasan perairan Satal  disimpulkan sebagai wilayah paling rawan penyelundupan senjata api.  TNI AL mengerahkan ratusan kapal tempur dibantu pesawat intai maritim dari Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) untuk siaga.
Seorang  wartawan dari Davao City, Batuganding serta Saranggani, memaparkan kian maraknya aksi penyeludupan yang masuk dan keluar Satal. Penyeludupan itu tidak saja meresahkan aparat keamanan, juga masyarakat Indonesia di kawasan Mindanau Selatan. Konsulat Indonesia di sana pun dengan tegas meminta TNI AL untuk segera menindak aksi lintas batas ilegal tersebut.
Mencermati aksi penyeludupan yang kian berbahaya karena adanya indikasi penyeludupan senjata, Kadispen Koarmatim Letkol Laut (E) Ditya Soedarsono di Surabaya, kepada wartawan menjelaskan, pihaknya kini telah mensiagakan ratusan kapal tempur untuk menjaga dan siaga di perairan Satal. Langkah itu diambil kata Sudharsono,  sebagai tindakan pencegahan penyelundupan barang berbahaya melalui jalur laut. “Sebetulnya, setiap tahun TNI-AL selalu mengadakan operasi rutin. Tapi untuk saat ini, perairan yang dianggap rawan tentunya kami perketat, seperti di Sangihe Talaud yang kemungkinan memasok senjata ke Ambon atau ke Irian Jaya,” katanya. Ia menjelaskan, TNI AL yang sebelumnya menggerakkan 22 kapal setiap tahunnya, namun karena keterbatasan dana operasional, kini hanya menyiapkan 17 KRI dibantu ratusan kapal kecil yang disebut KAL (Kapal TNI AL) milik Pangkalan TNI AL (Lanal) maupun Lantamal.
            “Kalau dulu mungkin yang menjadi sasaran dari penjualan senjata gelap itu Ambon, tapi sekarang beralih ke daerah lain karena Ambon sudah relatif aman. Penjualan senjata itu umumnya dibawa oleh nelayan Filipina karena di sana memang dijual bebas,” paparnya.
            Menurut Ditya Soedarsono, kalau penyelundupan senjata yang masuk ke wilayah Barat (Aceh) dilakukan dalam jumlah besar, maka untuk wilayah Timur relatif kecil dan hanya perorangan, sehingga lebih sulit untuk mendeteksinya. “Jadi kalau di wilayah Timur paling-paling hanya membawa beberapa senjata yang disimpan di sela-sela ikan, tapi kalau di wilayah Barat mungkin terorganisasi. Sehingga untuk wilayah Timur ini agak sulit dideteksi dengan radar kapal,” ungkapnya.
            Ia menambahkan, setiap KRI maupun KAL yang melakukan operasi rutin akan melakukan penghentian dan pemeriksaan terhadap setiap kapal asing yang melintas di perairan Indonesia dan jika ditemukan adanya penyelundupan, akan dilakukan penangkapan. “Tapi bukan hanya penyelundupan senjata api saja, kalau kapal kami juga menemukan pencurian ikan atau kayu ilegal, kami juga melakukan pemeriksaan dan penangkapan,” tandas perwira menengah melati dua itu.
            Meskipun melakukan pengetatan operasi, namun hingga kini Koarmatim belum melakukan penambahan kapal. Fungsi ke-17 KRI dan ratusan KAL itu kini masih dioptimalkan dengan dibantu pesawat udara dan para nelayan. “Cuma kalau pesawat itu tidak tiap hari, tapi tergantung permintaan awak KRI untuk melakukan pengintaian. Kalau nelayan, memang kita maksimalkan perannya untuk membantu kami. Laporan para nelayan itu akan sangat membantu operasi kami di laut,” jelasnya.
            Sebelumnya, Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri secara resmi sudah meminta pemerintah Filipina mengambil langkah-langkah menghentikan kegiatan penyelundupan senjata di wilayah perbatasan kedua negara. Permintaan itu bahkan disampaikan langsung kepada Presiden Gloria Macapagal Arroyo di Istana Malacanang.
            Menurut Megawati, seperti dikatakan melalui Sekretaris Negara Bambang Kesowo, saat ini ada sinyalemen meningkatnya perdagangan senjata melalui lintas batas Indonesia-Filipina. “Hal ini tentu diharapkan tidak memperburuk stabilitas kedua negara, terutama di wilayah yang berdekatan, seperti di Filipina Selatan,” katanya. Ditambahkannya, Arroyo telah menyanggupi permintaan Megawati tersebut, karena menurut dia, perlu segera ada penyelesaian masalah keamanan secara bersama.
            Pihak kkepolisian Daerah Sulawesi Utara sendiri beberapa waktu lalu pernah mengungkap kasus penyelundupan senjata yang melibatkan beberapa orang. Senjata-senjata itu kabarnya akan dikirim ke Maluku. “Dari data yang ada, senjata, peluru dan granat nanas diselundupkan dari Filipina. Untuk mengantisipasi, pengawasan telah ditingkatkan,” jelas Kadispen Polda Sulut, AKP W Damanik..
            Beberapa warga Satal yang pernah diwawancarai juga mengakui hal serupa. “Peluang itu ada karena memang sejak dulu, di kawasan Filipina Selatan orang bebas memiliki, menggunakan bahkan memperdagangkan senjata api,” tukas Yus Manumpil, seorang warga Satal yang pernah menelusuri jalur perdagangan lintas batas hingga ke Mindanao Selatan.

            Carlos Tinuntung, seorang pegawai Konsulat Indonesia di Davao City  memaparkan dimana hasil pengamatan pihaknya, aksi penyeludupan di perairan Satal yakni datang dari pulau Tinakareng, Toade, Kaluwatu, Petta, Lawasan Salibabu, Bowombaru, Apan, Dampulis, Peret, Alude. Sementara yang keluar dari Filipina lewat pintu-pintu seperti Teluk Panggang, Tinana Pulau Balut, Mana Boy Laker, Saranggani, Maitum, Gen San, Davao.
Menurutnya Saat ini banyak kapal yang berkedok sebagai kapal ikan padahal tidak mencari ikan, namun sebagai kapal penyeludup. Kesaksian Carlos tersebut dibenarkan Guskamla (Gugus Keamanan Laut) Konsulat RI di Davao, Mayor Laut Toto Subagio. Menurutnya aksi penyeludupan itu dilakukan oleh kapal-kapal yang saat ini berkedok sebagai kapal ikan.  Terkait dengan penyelundupan senjata, TNI kini juga sedang memusatkan perhatian pada masalah teroris internasional. Menurut KSAD Jenderal TNI Endriartono Sutarto, semua instansi, termasuk Kopassus, perlu dilibatkan dalam menangani terorisme internasional. Supaya hasilnya lebih efektif dan permasalahan bisa segera dipecahkan.
            “Penanganan terorisme itu kompleks, dan tidak mungkin hanya satu instansi yang menangani. Kalau Polri berkeinginan minta bantuan Kopassus atau instansi lainnya yang mampu, maka hal itu saya kira yang terbaik,” ujar KSAD.
            Terorisme, tegas dia, penting untuk segera ditangani karena jika tidak dapat menimbulkan rasa ketakutan di masyarakat. “Tindakan terorisme bisa timbul kapan saja. Ini bisa menimbulkan ketakutan di masyarakat,” katanya.
            KSAD juga mengimbau kepada semua pihak agar tidak gegabah menuding TNI terlibat sesuatu jika tak memiliki bukti yang kuat. “Saat ini kalau ada persoalan bom, TNI selalu dikaitkan. Saya tak keberatan tapi sebaiknya didahului dengan pembuktian,” katanya.
            Sementara itu, senjata dalam jumlah besar kini diselundupkan dari selatan Filipina ke wilayah Indonesia yang sedang dilanda konflik seperti Aceh dan Irian Jaya. Hal ini disampaikan seorang pejabat Filipina. Indonesia sendiri bersama Filipina kini berupaya untuk menghentikan perdagangan ilegal tersebut.
            Itu dipertegas saat pertemuan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan mitranya, Presiden Gloria Macapagal, serta pejabat tinggi Filipina lainnya. Penasihat Keamanan Nasional Filipina, Roilo Golez, mengatakan kedua negara membentuk komite khusus untuk menggiatkan perjanjian pertahanan dan keamanan tahun 1997 guna menghadapi penyelundupan senjata ini.
            Disebutkan, senjata tersebut dibeli oleh orang-orang Indonesia yang tidak teridentifikasi di wilayah selatan Filipina seperti Pulau Sitangkai, surga penyelundupan, dekat perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Senjata itu kemudian diselundupkan ke wilayah Indonesia yang dilanda konflik seperti Aceh dan Irian Jaya, ujar Golez.
            Kabar terakhir, pihak TNI AL menyatakan, wilayah perairan Satal menjadi salah satu daerah yang rawan penyelundupan sehingga perlu dijaga ketat. Ini tentunya peringatan bagi warga Sulut. Karena daerah ini disinyalir menjadi jembatan penyelundupan senjata.
            Senjata-senjata itu sendiri dijual ke kelompok separatis di Indonesia dan pelaku kriminal. Yang ditakutkan, bukan hanya senjatanya yang masuk, melainkan pelaku-pelaku penyelundupan yang bisa dipastikan berasal dari kalangan kriminal (penjahat). Dan mereka itu merupakan penjahat kelas kakap. 

            Sebuah bom meledak lagi di Jakarta. Ratusan orang menjadi Korban. GAM terus meringsek. Timor Leste sudah merdeka. OPM kian gigih. Lagi-lagi Bom meledak. Dimana Herkanus? Dimana Yulin dan Dagos. Apakah mereka masih di padang dendam? Bagaimana harus kusampaikan pesan ayah mereka?
Sebuah tabloid terbitan lokal yang sempat kubeli saat pulang kantor, memuat foto orang-orang yang dituduh anggota teroris internasional di halaman depan. Orang-orang itu tertangkap di kawasan Filipina Selatan. Yang menarik dari foto itu yaitu sulaman gambar perahu Bininta kecil di kerak baju bagian kiri yang mereka kenakan. Bininta adalah perahu perang dalam tradisi kuno anak laut Sangihe Talaud, terutama dimasa kulano-kulano.
Sasampainya di rumah, aku melihat ada surat dari kantor pos yang diletakkan di bawah pintu. Nama pengirim yang tertera di sampul surat itu adalah Herkanus, tapi tidak mencantumkan alamat. Hanya dari stempel pos aku mengetahui kalau surat itu di poskan dari Jakarta Utara. Dengan cepat kusobek bagian pinggiran sampul surat itu, dan membacanya:

Dixti,

Salam.
Dalam surat yang sempat dikirim ayahku semasa hidupnya, ia banyak bercerita tentang kamu. Kami baik-baik saja. Aku ingin melengkapi catatan tentang riwayatku dalam tulisan-tulisanmu nanti. Yakni, aku akan kawin lagi di AS dan kemudian di Bali.

Herkanus

            Isi surat itu, kian mengangakan teka-teki dalam pikiranku.  Mengapa ia menggaris bawahi kata kawin, AS dan Bali. Lalu, apa hubungannya dengan kata kawin yang dipesankan ayahnya? Apakah aku akan menemukan jawaban dari semua itu. Moga di suatu saat nanti!


Tamat.

1 komentar: